Maiyah Adalah Pelayanan

Reportase Mocopat Syafaat Januari 2015

Mas Hariyanto membuka acara dengan melontarkan sebuah statement bahwa dalam Maiyah ini salah satu nilainya adalah pelayanan dan dalam melakukan pelayanan perlu sebuah skema pemetaan dan pemahaman yang jelas. Sebagai contoh, sebuah kisah seorang tua yang bersusah payah menyeberang di sebuah jalan dan akhirnya mampu menyeberangi jalan tersebut. Setelah sampai di seberang jalan satunya, ada seorang mahasiswa yang baik hati merasa iba kepada orang tua tersebut dan berpikir bahwa orang tua itu butuh bantuan untuk menyeberang. Lalu, mahasiswa itu menyeberangkan kembali orang tua itu ke seberang jalan tempat semula orang tua itu berada dan akhirnya niat mahasiswa yang tulus ingin membantu tadi malah menjadi sebuah masalah baru bagi sang orang tua. Dari cerita tersebut, kita tahu bahwa tidak ada yang salah dari niat si mahasiswa, bahkan bisa dikatakan mulia. Akan tetapi, karena ketidakpahamannya akan keadaan dan pemetaan yang kurang jelas, perbuatan si mahasiswa yang dilandasi niat menolong tersebut malah menimbulkan masalah baru. Oleh karenanya, malam ini kita akan membahas seputar bagaimana melakukan pelayanan yang baik, kalau memakai terminologi Jawa, bener saja tidak cukup kita harus pener agar efek dari apa yang kita lakukan memiliki output kemaslahatan.

Mas Rizki (Juguran Syafaat) menceritakan bahwa beberapa waktu lalu temen-temen dari Juguran Syafaat mendapat workshop dari Bapak Toto Rahardjo selama tiga hari mengenai pergerakan dan organisasi. Pak Toto menjelaskan bahwa di daerah terdapat sebuah suku bernama Suku Boti. Cara hidup mereka sangat otentik, mereka tidak memakai pakaian seperti kita, tidak menggunakan TV atau alat-alat hidup lain yang kita sebut sekarang ini dengan hal-hal yang modern. Di sana seorang wanita dikatakan dewasa ketika sudah mampu untuk menenun. Bahkan, untuk menjaga harga diri dan martabatnya, mereka menggunakan alat makan dan rumah tangga dari alat yang mereka buat sendiri di setiap rumahnya. Hal itu mereka lakukan bukan berarti karena mereka tidak tahu tentang info modernitas, tetapi mereka memilih jalan hidup seperti itu untuk menjaga nilai dan budaya leluhur mereka. Hal yang unik lainnya, dalam hitungan hari mereka dalam seminggu bukan tujuh, tetapi sembilan. Pada setiap hari ke sembilan mereka berkumpul bersama untuk mengoreksi apa yang telah mereka lakukan di hari-hari sebelumnya dan menentukan agenda-agenda di sembilan hari berikutnya. Dan dalam forum itu, seorang kepala suku dan para sesepuh memberikan arahan dan nasehat mengenai nilai-nilai yang harus dijaga dan dilaksanakan dalam bermasyarakat.

Pak Toto juga menjelaskan bahwa terlepas dari perbedaan dan cara hidup mereka, suku Boti menjadi proyeksi masyarakat yang otentik dan Maiyah sendiri mungkin menjadi embrio otentitas nilai masyarakat kedepannya. Untuk menjadi masyarakat yang otentik seperti itu, pasti kita melewati jalan yang sunyi di era peradaban seperti ini. Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai masyarakat Maiyah dan penggiat simpul Maiyah di masing-masing daerah. Pak Toto menjelaskan bahwa Maiyah adalah sumur nilai, banyak sumber-sumber nilai dan pengetahuan di sini. Yang harus kita lakukan adalah mengambil nilai-nilai tersebut untuk kita lakukan sesuai kemampuan kita dan didalam bidang kita masing-masing dengan semampunya. Mungkin salah satu nilai tersebut adalah pengabdian dan spirit memberi. Kita bisa mengabdi lewat jalan dan bidang kita masing-masing di masyarakat.

Cak Dil kemudian mengingatkan bahwa kita juga tidak perlu menolak modernitas, tetapi harus mengolahnya dengan niai yang kita punya, misalnya untuk melawan kapital, kita tidak perlu untuk menolak kapital, tetapi membuat kapital sendiri dengan nilai-nilai Maiyah di dalamnya.

Maiyah adalah dalam rangka ndeder ksatria untuk melahirkan generasi baru yang nantinya akan melakukan pelayanan-pelayanan yang menciptakan kemaslahatan bersama.

Sebenarnya, dari yang sudah teridentifikasi, simpul-simpul Maiyah sudah banyak tersebar di Nusantara ataupun secara informal mereka sudah membentuk forum yang didalamnya terdapat nilai-nilai Maiyah. Mungkin hal pertama yang perlu kita lakukan adalah niteni atau bahasa ilmiahnya sekarang disebut dengan riset. Riset tidak harus sesuatu yang besar dan dibiayai oleh pemerintah. Kalau di Jawa niteni atau riset itu bisa kita lakukan dari hal-hal kecil sesederhana mengamati gejala-gejala yang terjadi di sekitar kita. Niteni, kata Cak Nun, adalah salah satu output dari budaya berpikir secara komprehensif yang juga menjadi salah satu nilai di dalam Maiyah. Dalam diskusi NM pekan lalu, setelah mencoba menganalisa jenis niteni di Jawa, ditemukan 3 jenis niteni: 1. Niteni dalam rangka untuk selalu mengembangkan semangat belajar dan mencari, 2. Niteni ketika terjadi situasi dan keadaan yang sedang carut marut dan ruwet untuk kita pelajari dan memikirkan sikap serta solusi yang akan diambil— bukan untuk kita khawatir atau bahkan ikut menjadi ruwet sebagai kelompok sosial, 3. Niteni sebagai peringatan dengan kadar yang lebih tinggi untuk kita menjadi waspada dan siap akan hal-hal yang terjadi sebagai sikap pribadi, biasanya diungkapkan dengan redaksi “awas titenono!”.

Pak Mustofa juga menjelaskan bahwa dalam diskusi NM ditemukan bahwa di Surat Al-Ghasiyah Allah juga menegaskan pentingnya budaya niteni. Di ayat itu diceritakan tentang kejadian hari akhir di mana setelahnya digambarkan akan adanya neraka dengan siksaannya dan surga dengan kenikmatannya. Akan tetapi, ayat selanjutnya tidak langsung menyuruh kita untuk melakukan salat ataupun berbuat baik agar terhindar dari siksa neraka, tetapi disuruh mengamati dan memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana gunung ditegakkan. Di sini seakan terjadi lompatan dari ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang akhirat lha kok tiba-tiba kita disuruh untuk mengamati unta dan gunung? Ini menunjukkan bagaimana pentingnya niteni. Bahkan, untuk memahami surga dan neraka, kita harus niteni bagaimana proses unta diciptakan dan gunung ditegakkan, bagaimana sesuatu yang tidak ada kemudian diciptakan menjadi ada.

Pak Joko Kamto menambahkan bahwa akhirat atau hari akhir tidak selalu dimaknai sebagai kiamat yang akan terjadi dalam rentang waktu yang lama, tetapi waktu atau hari setelah berakhirnya sebuah hari itulah akhirat, seperti akhiratnya Senin itu ya Selasa. Dan diharapkan semakin kita sering niteni, semakin banyak gejala-gejala yang kita perhatikan dapat membantu kita untuk melakukan tindakan yang akan diambil.

Untuk menambah pemahaman kita tentang bagaimana melakukan pelayanan dan pengabdian dalam rangka kita beribadah kepada Tuhan, Cak Nun membacakan sebuah hadits Qudsy yang diturunkan dan diresapkan ke dalam diri Kanjeng Nabi Muhammad yang artinya: Wahai hamba-Ku anak Adam, kenapa engkau tidak menjenguk-Ku, padahal Aku sedang sakit? Kenapa engkau tidak memberi-Ku makan, padahal Aku kelaparan? Kenapa engkau tidak memberi-Ku minum padahal Aku sedang haus? Kanjeng Nabi Muhammad menjawab: Bagaimana mungkin Engkau sakit, memberimu makan, dan minum wahai pengasuh-Ku, padahal Engkaulah yang Maha Kaya Pemilik Jagat Raya dan Pemberi Rahmat Seluruh Alam? — Wahai anak Adam jika engkau menjenguk hamba-Ku yang sedang sakit, memberi makanan pada hamba-Ku yang kelaparan, dan memberi minum kepada hamba-Ku yang kehausan, niscaya Engkau bertemu dengan-Ku sisinya.

Jadi, Tuhan sangatlah dekat dengan kita. Kita akan berjumpa dengan-Nya ketika kita mengamati dan memperhatikan keadaan di sekitar kita kemudian melakukan pelayanan kepada sesama. Begitulah cara kita ber-Tuhan, sebaiknya jika tidak memperhatikan keadaan di sekitar kita dan acuh bahkan menyakiti sesame, sesungguhnya kita tidak ber-Tuhan (walaupun kita mengaku beragama) dan kita akan semakin jauh dari Tuhan sehingga tidak akan mampu berjumpa dengan-Nya meski kita beragama. Melakukan pelayanan tidak harus selalu dengan hal-hal yang besar, tetapi mulai dari sesuatu yang kita mampu untuk memberikan pelayanan di lingkungan sekitar kita, karena Tuhan berada di situ, Tuhan sangatlah dekat dengan kita. Dan motivasi utama kita melakukan pelayanan adalah karena kita ingin berjumpa dengan Tuhan.

Krisis kita sebenarnya bukan krisis mental, tetapi krisis akal. Dengan demikian, revolusinya bukan revolusi mental, tetapi revolusi akal.

Pak Toto menambahkan bahwa dalam melakukan sebuah pergerakan, titik utamanya bukanlah menyebarkan nilainya, tetapi menyebarkan kemanfaatan dari nilai tersebut dengan melakukan pelayanan-pelayanan, maka dengan sendirinya nilai-nilai itu akan tertanam dan dirasakan oleh masyarakat. Untuk apa sebuah definisi tanpa arti. Sebenarnya, acara-acara Maiyah yang kita lakukan seperti tiap tanggal 17 ini, baik di Adi TV atau di mana saja, baru mengidentifikasi di mana Tuhan berada, belum bertemu. Dengan pelayanan dalam bingkai kebersamaan itulah, proses kita untuk bertemu Tuhan, acara-acara seperti ini hanyalah dalam rangka untuk bersama-bersama meneguhkan prinsip-prinsip dan niai yang akan kita gunakan sebagai dasar pelayanan itu tadi.

Maka Maiyah ini adalah dalam rangka ndeder ksatria untuk melahirkan generasi baru yang nantinya akan melakukan pelayanan-pelayanan yang menciptakan kemaslahatan bersama. Maiyah menjadi laboratorium untuk memformulasi cara hidup yang berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, cara hidup baru yang menuju cahaya. Cak Nun menegaskan bahwa setelah ber-Maiyah, kita akan kembali di kehidupan kita masing-masing, dengan problematika dan tuntutan masing-masing. Ber-Maiyah, sebenarnya adalah ketika kita kembali ke kehidupan kita masing-masing.

Krisis kita sebenarnya bukan krisis mental, tetapi krisis akal. Dengan demikian, revolusinya bukan revolusi mental, tetapi revolusi akal. Mental yang rusak itu hanya sebagai output dari akal yang rusak. Maka kita harus mengidentifikasi sesuatu dengan akal yang objektif, dimulai dari diri kita sendiri. Dalam Alquran di Surat An-Nur 35 oleh Allah digambarkan cara kerja manusia, manusia itu adalah pancaran cahayanya Allah, penjelmaan Allah yang akhsanutaqwim, yang paling tinggi dan paling penting. Dalam An-Nur digambarkan bahwa diri kita adalah miskah, dan di dalam miskah ada misbah atau hati yang menyala bagaikan lampu, dan misbah itu dilindungi oleh zujajah atau akal.

Mari kita Identifikasi yang jujur itu hati atau pikiran? Hati itu sumber keinginan, di dalamnya terdapat syahwat yang luasnya lebih luas dari alam semesta dan pendaran hati itu tidak terbatas, maka harus dilindungi dengan akal. Akal pikiran membatasi hati agar tidak melebihi batas dengan pertimbangan-pertimbangan dan logika yang suci. Dua tambah dua dalam keadaan apapun, sedih, sakit, marah tetaplah empat. Kepentingan itu ada di dalam hati, entah cinta, kekuasaan, dan lain-lain yang jika dituruti tidak akan ada batasnya. Maka, dibutuhkan akal yang melindunginya dengan logika yang suci dan obyektif agar pendaran-pendaran hati itu mampu diolah menjadi kemaslahatan bersama.

[Teks: Isa]