Analisis Puisi ‘Maiyah Lingkaran Tanah Air’ Karya Emha Ainun Nadjib

Pada bagian ini akan dipaparkan 2 analisis: (1) Analisis nilai sosial budaya dan (2) Analisis nilai-nilai religi yang terdapat dalam kumpulan puisi Maiyah Tanah Air karya M.H. Ainun Nadjib.

1) Analisis nilai-nilai Pendidikan dalam Kumpulan Puisi Ma’iyah
Cak Nun sebagaimana yang diungkapkan oleh R. Sarjono adalah penyair yang peka terhadap lingkungan sekitarnya. Berbicara lingkungan tentunya tidak dapat dipisahkan dengan keadaan pendidikan, sosial dan budaya serta ekonomi, politik masyarakat. Karena bagaimanapun puisi merupakan keresahan sang penulis terhadap gejolak yang terjadi, sehingga dapat ditemukan nilai-nilai pendidikan di dalamnya.

a. Analisis nilai-nilai Pendidikan Sosial Budaya

Bila berbicara permasalahan sosial. Maka, tidak akan pernah bisa terlepas dari permasalahan kebudayaan. Sebab, antara keduanya itu ibarat dia sisi mata uang. Pada bagian-bagian tertentu puisi Cak Nun dapat ditemukan nilai pendidikan yang menarik untuk kita jadikan alat untuk bercermin dan sebagai pembelajaran.

Cak Nun sebagaimana yang diungkapkan oleh R. Sarjono adalah penyair yang peka terhadap lingkungan. Berbicara lingkungan tentunya tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat di sekitarnya. Untuk inilah, begitu memahami puisi-puisi Cak Nun hal paling pertama yang kita akan temukan adalah nilai sosial budayanya. Banyak nilai-nilai sosial budaya yang dapat dipetik. Karena puisi seperti yang diungkap pada bab awal adalah potret realita yang buruk, yang menyimpang dari idealisme harapan umum, maka disitulah dapat dijadikan cerminan untuk menemukan nilai-nilai sosial budaya ataupun kehidupan. Adapun nilai-nilai dimaksud adalah (a). Ketulusan hati, (b). Pentingnya kejujuran, (c). Pentingnya rasa cinta, baik antar sesama manusia maupun sang khaliq, (d). Ketegasan terhadap prinsip, (e). Pentingnya penegakan hukum untuk mengukuhkan kemanusiaan, (f). Tanggung jawab terhadap amanah yang diembang, (g). Pentingnya kebersamaan.

Berangkat dari realita buruk tentang dunia pendidikan baik masa lampau ataupun masa sekarang dikemas sedemikian rupa. Meskipun tidak tertulis secara langsung, akan tetapi aroma itu nampak pada hampir setiap baris puisi yang ditulis dalam Ma’iyah Tanah Air. Dengan pengucapan bergaya dialog, cak Nun dengan cermat masuk ke jantung problematika pendidikan kita. Perhatikan puisi berikut ini

Ma’iyah Lingkaran

//Agar supaya kita saling menjamin
Bahwa didalam lingkaran// kita tidak ada kotoran batin, Kepalsuan niat, kecurangan fikiran//
//atau apapun yang membuat Muhammad menitikkan air mata//
//Dan membuat Allah mengurangi//
//Atau bahkan membatalkan kasih sayangnya terhadap kita//

//Agar supaya kita saling menjamin// Bahwa di dalam lingkaran//. Pada kalimat ini Cak Nun memiliki keperihatinan terhadap hubungan yang dibangun antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Sebuah harapan yang tinggi agar setiap masing-masing pribadi berlaku tidak menyimpang dari norma, terutama norma agama dan sangat berharap agar setiap pribadi // kita tidak ada kotoran batin, Kepalsuan niat, kecurangan fikiran//. Kalimat selanjutnya //atau apapun yang//. Ini bisa berarti bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat sangat buruk, sebagaimana penegasan penulis dalam kalimat-kalimat sebelumnya. Pada bait berikutnya, Cak Nun berupaya untuk tetap mengingatkan setiap pendengar atau pembaca agar tidak //membuat Muhammad menitikkan air mata// Dan membuat Allah mengurangi Atau bahkan membatalkan kasih sayangnya terhadap kita//.

Pada ma’iyah lingkaran selanjutnya, si aku tidak pernah merasa putus asa untuk tetap memperingatkan setiap orang bahwa segala tindakan akan membawa akibat pada pelakunya, karena bagaimanapun kehidupan di dunia ini adalah sebuah proses perjalanan untuk menempuh kehidupan yang sebenar-benarnya

Ma’iyah Lingkaran

//Agar supaya perjalanan hijrah demi hijrah kita
Tidak disesatkan oleh arus masyarakat, oleh Allah atau diri kita sendiri Agar supaya perjalan jihad
kita tidak disertai oleh dendam dan ketakabburan//
//Agar supaya perjalanan ijtihad kita tidak dilalimi oleh mahluk apapun//
//Serta tidak melalimi diri sendiri//
//Agar perjalanan mujahadah kita dianugrahi bekal iman dan istiqomah Bekal kekuatan// dan //muthma’innah, bekal penghidupan yang barokah Pintu rizki yang membuka dirinya lebar-lebar atas perjuangan kita//
//Pintu kegembiraan, keasyikan uluhiyah//
Serta perlindungan dari Quatibi wabaulib

Sebuah ledakan emosi yang diulang-ulang pada setiap penulisannya membuat karya Cak Nun memiliki ciri khas tersendiri. Pengulangan-pengulangan dalam puisi tersebut mungkin terlihat tidak puitik atau bahkan terkesan membosankan, akan tetapi sesungguhnya, pengulangan-pengulangan pada “kita” itu membuat ledakan emosi yang dimiliki oleh si aku (pengarang) lebih terasa kental dengan perhatian terhadap pola kehidupan maupun pergaulan yang menjadi kebiasaan masyarakat di sekitarnya.

Dari ke (2) dua puisi tersebut di atas, dapat kita temukan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, agar segala perbuatan yang kita lakukan (akhlaq) tidak menyimpang dari ajaran Allah SWT dan Muhammad SAW.

Dengan gaya penulisan anafora (pengulangan kata) bukanlah sesuatu yang tidak disengaja oleh penulis, pengulangan-pengulangan itu memang sengaja dilakukan untuk menekankan isi atau penjelasan terhadap apa yang di maksud oleh sang penulis.

Cak Nun memotret realita keburukan masyarakat Jombang, baik tingkah laku, pola fikir, kenyataan antara zohir dan bathin yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, sangat rapi dan apik. Yakni menggunakan ungkapan yang tidak terlalu sulit untuk difahami, permainan kata “agar” yang dilanjutkan dengan “supaya” kemudian “kita” dan lain-lain menjadikan puisi ini memendam nilai sosial budaya religi yang tinggi. Serta ajaran Islam yang sesungguhnya, dalam hal ini juga menyiratkan pengalaman batin sang penulis.

//Kotoran batin, kepalsuan niat, kecurangan fikiran// menggambarkan keberadaan kauh jahiliyah (masa dahulu) yang terulang kembali dimasa sekarang, menyiratkan sejarah hitam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga //perjalanan hijrah// //perjalanan jihad// dan // perjalanan ijtihad// yang selama ini dirintis oleh nabi seolah-olah belum melekat dengan sungguh-sungguh pada pribadi hampir setiap warga negara Indonesia

Hal seperti ini tentunya membuat hati Cak Nun merasa terpanggil dan //mengajak mereka, kita atau siapa saja untuk berkumpul melingkar// (ma’iyah masya’allah) dan melahirkan sesuatu yang bersifat cinta sesungguhnya, karena baginya cinta yang ia rasakan hanyalah fana, bukan hanya dunia yang kejam, kemerdekaan negara Indonesia ternyata dirakan masih setengah-setengah. Ini dipertegas dengan //telah dilukai hati kami oleh cinta dunia, negara serta golongan manusia// kepalsuan, kekerdilan yang terjadi semata-mata disebabkan oleh kurang dekatnya manusia dengan sang penciptanya, dengan rasulnya serta rasa cinta terhadap sesama.

Lingkaran yang dibayangkan oleh sosok Cak Nun adalah kumpulan yang di dalamnya melahirkan kepercayaan antara sesama. Sebab Cak Nun merasa, hubungan antara individu yang satu dengan yang lain sudah terpecah belah meskipun terlihat memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, “lingkaran kebersamaan” yang kurang mendapat perhatian atau bahkan telah menjadi korban kebiadaban //yang dilemahkan oleh pelaku-pelaku kekuasaan dan keuangan// yang berakibat pada hubungan yang tidak harmonis antara masyarakat atas dengan masyarakat bawah, kebiadaban-kebiadaban para pemerintah itu tergambar sangat jelas dalam kalimat //hamba-hamba yang dilalimi oleh kebohongan dan kemunafikan kaum mutakabbirun // yang menggambarkan ketidak amanahan para pemimpin terhadap kewajibannya.

b. Nilai Pendidikan Politik

Pada bagian lain, misalkan ma’iyah lingkaran 4 yang menggambarkan bagaimana kerakusan, penindasan, pelecehan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparatur negara.

Ma’iyah Lingkaran 4

//Kami berkumpul menciptakan lingkaran kebersamaan antara hamba- hamba//
//yang dilemahkan oleh pelaku-pelaku kekuasaan dan keuangan//
//Kami berkumpul merapatkan lingkaran kebersamaan antara hamba-hamba yang dilalimi oleh kebohongan dan kemunafikan kaum mutakabbirun//
//Kami berkumpul memadatkan kesatuan antara hamba-hamba yang diremehkan dan kini mengerti bahwa diremehkan, antara hamba-hamba yang ditindas dan kini mengerti ditindas//,

//antar hamba-hamba yang dibuang dan kini mengerti bahwa dibuang//

Sebagaimana telah diungkapkan Agus R. Sarjono, bahwa Cak Nun adalah seorang penyair yang menulis puisi-puisi jiwa, nurani, penuh intrik sekaligus solusi atas masalah tersebut, perhatikan puisi berikut:

Ma’iyah Lingkaran

//Kami berkumpul menghidupi lingkaran kesadaran, kepahaman
dan kemengertian akan dusta dan kebohongan dunia//
//Kami berkumpul membangkitkan pengetahuan dan ilmu bahwa kami dibodohkan, difitnah//,
//dimusnahkan dan dibunuh sebelum kematian//
//Kami berkumpul menebar jaringan lingkaran para pecintaMu, Para pecinta kekasihMu, para pecinta kesejatian, para pecinta//
//kebenaran yang sungguh-sungguh kebenaran, para pecinta cinta yang benar-benar cinta//

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tugas karya sastra sesungguhnya adalah sebagai pembuka kemungkinan dengan bahasanya sendiri “memberitakan” sesuatu yang tidak diberitakan koran, majalah, dan media lain. Dengan begitu, karya sastra seolah-olah menggugat birokrasi dan politikus. Tidak hanya sampai disitu, Cak Nun juga mengkritik setiap orang yang memburu dunia secara berlebihan tanpa mengingat akhirat.

Dengan begitu, nilai pendidikan politik yang sangat menarik direnungkan adalah: bagaimana melaksanakan tugas dan fungsi selaku aparatur negara tanpa manipulasi, kekerasan, kebohongan, sehingga idealisme bangsa yang demokratis agamis itu dapat terlaksana tidak pada tataran konset belaka.

c) Pesan Moral dalam Kumpulan Puisi Ma’iyah

Moral dalam kamus bahasa Indonesia merupakan “baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlaq; budi pekerti; susila. 2. kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap diperbuatan” (KBBI: 2005: 754).

Bila kita perhatikan secara teliti, dalam ma’iyah tanah air, hampir seluruh karya Cak Nun tersebut dipenuhi oleh nilai-nilai keagamaan. Walaupun demikian, bukan berarti puisi-puisi tersebut tidak memiliki nilai- nilai ekonomi, budaya, politik, karena penekanan terhadap pentingnya nilai moral. Kecenderungan puisi-puisi Cak Nun dalam ma’iyah tanah air tergambar dengan sangat lugas dan tegas, permainan bunyi, gaya bahasa, dan dihiasi dengan bahasa simbolis dan pengulangan-pengulangan membuat karya Cak Nun semakin asyik untuk dibaca dan direnungkan.

Puisi ma’iyah lingkaran seakan menekankan pentingnya moral dan agama bagi bangsa. Ungkapan-ungkapan itu menggambarkan keburukan yang telah beranak pinak dan mendarah daging dalam segala lapisan dan tingkatan. Tidak hanya pada ma’iyah lingkaran saja, akan tetapi Cak Nun mempertajam kritikannya terhadap keterpurukan itu pada ma’iyah masya Allah.

Pada puisi tersebut, mengingatkan pentingnya mengembalikan Indonesia kepada rakyat bukan penguasa yang lalim menyerahkan segala urusan kepada Allah. Keterpurukan kondisi sosial budaya itu menurut sang penyair disebabkan oleh ribuan masalah, dan masalah-masalah tersebut menurut sang penyair diyakini adalah:

Ma’iyah Fakir

//Kami miskin, kami faqir, ya Allah//
//Penghidupan miskin Hati miskin//
//Akal miskin Watak miskin Jiwa miskin//
………………………………………….
//Batin kering jiwa dangkal pikiran pendek mental kerdil moral ambruk//
//Kehendak-kehendak kami lalim//
//Lalim, ya Allah//
………………………………………….
//Logika serabutan Memandang segala sesuatu Dengan kebusukan hati//
//Mendengar apa saja dengan logika yang curang//
//Ya Alloh yang pantas untuk kami hanya azab//
………………………………………….

Kata “azab” dalam puisi ini bisa berati siksaan yang sangat dahsyat. Tetapi, “azab” yang dimaksudkan pada puisi ini bisa juga berarti pembelajaran terhadap apa yang pernah terjadi (dilakukan) tidak lagi diulangi yang berupa bencana.

Bagi penulis, kata “azab” dilekatkan karena memiliki makna “istimewa” yaitu dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni, seolah-olah penulis sangat menyesalkan perbuatan tersebut yang diakibatkan oleh kebodohan umat itu sendiri. Perhatikan lanjutan puisi berkut:

………………………………………….
//Ya allah sedemikian fakir para hamba//
//Pergi menemui Mu dengan bekal uang curian//
//Menaiki kendaran curian Menyanyikan lagu-lagu curian//
//Menyebarkan shalawat curian Mendendangkan suara curian//
//Mendirikan pribadatan//
//Dengan tembang-tembang curian//
//Dengan tembok dan hiasan kepalsuan//
//Ya Allah mulia dzatMu yang amat bersabar//
//Atas penghinaan hamba-hambaMu//

Sesungguhnya, analisis norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada. Dengan demikian akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Sehingga pemahaman yang kita dapatkan setelah menemukan norma dalam sebuah karya, kita bisa mengontrol tindak-tanduk dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis: Yogi s Memeth (Staf pengajar di SMAN 1 Sikur & Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mataram)