Memeta Rumah Informasi

Reportase BangbangWetan Februari 2015

Malam itu adalah malam pertama bagi forum maiyah Bangbang Wetan di tahun 2015, setelah vakum bulan Januari kemarin. Nampak kerinduan jamaah setelah dua bulan tidak berkumpul dan menyerap energi di forum Bangbang Wetan. Selepas melantunkan shalawat bersama dan beberapa penampilan musik, Amin kemudian membuka forum dengan memanggil para jamaah untuk segera merapat dan meminta Dudung, Rio dan beberapa penggiat lain untuk naik ke panggung. Amin menyampaikan harapannya agar kita semua mampu mempunyai semangat perubahan yang lebih baik dari tahun kemarin, jadi ada proses berhijrah dan mempunyai energi baru di tahun 2015 kali ini.

Amin menjelaskan bahwa akan ada beberapa questioner yang disiapkan oleh penggiat dan questioner yang sudah diisi oleh para jamaah nantinya akan dijadikan sebagai sample pemetaan dan pendataan untuk merekatkan paseduluran antar jamaah Maiyah. Rio lalu menjelaskan, “Di awal tahun ini kita memiliki banyak rencana-rencana yang intinya adalah tidak ada lagi jarak antara jamaah yang duduk di panggung dengan jamaah yang duduk di depan panggung. Sehingga langkah awal menuju kesana yaitu melalui pendataan yang diisi oleh dulur-dulur dan nantinya data tersebut akan dikalkulasikan dengan statistik.” Amin bercerita bahwa banyak jamaah yang bertanya: kenapa BBW Januari tidak ada. Rio menjelaskan bahwa banyak alasan yang mendasarinya, dan diawal tahun ini kita mulai membuat suatu perubahan-perubahan, contohnya yang paling kentara yaitu tampilan Buletin.

AF’AL MAIYAH

Dudung membuka penjelasannya perihal perubahan-perubahan apa saja yang akan dilakukan di tahun 2015 ini dan sejak kapan perubahan-perubahan tersebut dicetuskan. “Di awal bulan Desember lalu, jamaah Maiyah menyelenggarakan silaturrahim nasional di Purwokerto yang dihadiri hampir semua perwakilan jamaah Maiyah seluruh Nusantara, termasuk para penggiat BBW. Disana mencetuskan rekomendasi-rekomendasi, salah satunya adalah semacam tuntutan untuk merumuskan kembali bagaimana maiyah seharusnya. Karena kondisinya berbeda-beda di setiap wilayah, maka perubahan-perubahan yang terjadi akan berbeda. Masing-masing lingkaran Maiyah memiliki ciri-ciri dan kekhasan tersendiri. Namun secara umum bahwa di struktur Maiyah dibentuk Af’al Maiyah, struktur organisasi yang mengadopsi dari struktur thariqah. Yang tertinggi adalah Dzat, dibawahnya ada Sifat, kemudian Isim dan yang terakhir adalah Jasad. Di Maiyah pusat juga terdapat struktur Af’al Maiyah. Dimana Dzat ini adalah sumber ilmu Maiyah, dalam hal ini yang berperan adalah Cak Nun sendiri, Cak Fuad, serta Syeikh Nursamad Kamba. Sementara Sifat ini mencoba menerjemahkan apa saja yang telah disampaikan oleh Dzat ke dalam langkah nyata dan mentransferkan apa saja yang disampaikan Dzat ke Isim. Isim adalah penggiat di masing-masing wilayah, kemudian Jasad adalah kita semua sebagai jamaah Maiyah.

Di Bangbang Wetan struktur Af’al Maiyah ini pun juga kita adopsi dan sudah ditetapkan pada tanggal 22 Januari kemarin di Grand Sumatera yang juga dihadiri Toto Raharjo sebagai Sifat dan Cak Zakki sebagai Isim di Maiyah pusat. Dan di Bangbang Wetan ini yang menjadi Sifat adalah Pak Suko, Pak Parto, Cak Priyo, dan Mas Rahmad. Saya dan teman-teman lainnya disini sebagai Isim yang bertanggungjawab terselenggaranya forum ini. Dengan terbentuknya struktur maka akan lebih mengkristal dan lebih jelas apa saja tanggungjawabnya. Setelah final nanti akan diadakan peresmian dalam bentuk kongres bersama yang nantinya akan mengundang teman-teman jamaah untuk ikut terlibat. Para penggiat masih sangat butuh sekali dukungan dari teman-teman terutama yang memiliki kelonggaran waktu yang bisa disumbangkan untuk kegiatan ini. Karena itulah Amin mempunyai suatu ide untuk membuat questioner dengan harapan kita mendapatkan dukungan dari teman-teman semua.”

Amin menambahkan, “Secara alamiah ternyata Maiyah ini sendiri bersifat cair, yang memiliki Dzat yang berlokasi di pusat dan di setiap wilayah memiliki Sifat, yaitu orang-orang yang meng-influence kita atau mempengaruhi kita dengan paradigma di wilayahnya masing-masing. Sementara Isim ini sama saja dengan jamaah yang sering repot-repot sendiri seperti mengkoordinir sound, mantau terop dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah Jasad, yaitu kita semua sebagai jamaah Maiyah. Harapan ke depan nantinya akan menjadi masyarakat Maiyah, dimana masyarakat maiyah ini menjadi entry point atau visi bersama. Ketika sudah memiliki ilmu, memiliki kesadaran diri dan memiliki pengalaman yang baik ataupun buruk, maka kewajiban yang utama adalah menularkan atau memasyarakatkan dan bersama-sama bermaiyah.”

Dudung menambahkan penjelasan sebelumnya, “Ada satu perubahan lagi yang akan terjadi. Kalau selama ini kita dimanjakan oleh khasanah ilmu yang disampaikan oleh Cak Nun, dan bahkan Cak Nun berusaha untuk hadir di hampir semua lingkaran Maiyah. Ke depan, peran itu akan dikurangi, ada level dibawah yang harus tumbuh. Ada Sabrang, Kyai Muzamil, dan banyak tokoh yang dapat berbagi ilmu dengan kita. Dan untuk memberikan kesempatan itu, maka kehadiran Cak Nun dimanapun termasuk di Padhang Bulan akan mulai dikurangi. Ada semacam pembagian wilayah, jika di Yogyakarta soko gurunya Cak Nun, di Kenduri Cinta ada Syeikh Nursamad Kamba, di Padhang Bulan ada Cak Fuad yang menjadi soko gurunya, sementara di Surabaya ini kita kebingungan siapa yang nantinya akan rutin datang kesini? Dengan melihat banyak potensi dan karakter dari jamaahnya adalah pemuda, maka yang ditugaskan untuk menjadi sumber ilmu di Bangbang Wetan adalah Sabrang. Tapi bukan berarti Cak Nun tidak akan datang kesini, hanya persoalan penjadwalannya saja, mungkin dua kali Sabrang kemudian selanjutnya Cak Nun. Bahkan di Padhang Bulan nanti Cak Fuad akan bergantian dengan Cak Nun. Nantinya Kyai Muzamil juga akan hadir disini untuk menjadi sumber ilmu. Cak Nun menyampaikan bahwa aktivitasnya dalam forum seperti ini akan turun 60%, dan yang dibawah akan dinaikkan 60%. Tinggal kita mempersiapkan diri untuk tumbuh bersama dengan Sabrang, demikian juga kami membutuhkan tenaga baru dan pemikiran-pemikiran baru dari teman-teman supaya kita juga tumbuh.”

Ahmad Faisol, salah satu jamaah memberikan pendapatnya tentang kebutuhan Bangbang Wetan. “Yang dibutuhkan sekarang adalah adanya regenerasi, dan regenarsi tersebut di-training agar kelak bukan hanya sekedar regenerasi tetapi juga bisa menularkan ilmunya. Dan forum seperti ini sebaiknya terus di-istiqomah-kan, karena hanya forum Maiyah seperti ini yang tidak dikemas secara eksklusif dan diadakan di hotel, di café, ataupun di restoran. Forum ini sangat merakyat, dan hanya disini ada kopi hitam rokok lintingan.”

“Dari forum ini memunculkan ide-ide untuk melakukan sesuatu di daerah masing-masing, itu saja sudah cukup. Nggak usah mbok jenengi Maiyah yo gakpopo, nggak usah dijenengi Bangbang Wetan juga ndak papa.”
Dudung

KEWAJIBAN MEMANCARKAN ENERGI

Salah satu jamaah yang baru dua kali menghadiri forum Bangbang Wetan, mengatakan “Kebaikan yang tidak terstruktur akan kalah dengan kejahatan yang terstruktur. Setelah saya amati setelah bergabung dengan Bangbang Wetan terakhir dua bulan, memang perlu adanya formalisasi. Karena masyarakat sekarang memandang bahwa yang formal lebih banyak diikuti. Seperti organisasi perusahaan-perusahaan Apindo yang sekarang sudah bermetamorfosa menjadi Perindo. Hal itu sebagai cerminan kita bahwa formalisasi itu sangat penting di tataran masyarakat. Karena forum yang cair ini sangat enak diikuti bagi sebagian orang, tapi ada keinginan untuk menambah jamaah maka salah satu jembatannya adalah formalisasi.”

Pak Al-Juwaini Budi Santoso, salah satu jamaah yang sudah setahun mengikuti Bangbang Wetan, menceritakan pengalamannya selama bermaiyah. “Saya mempunyai jamaah Bonek Tayang, arek-arek Bonek sing tak klumpukno tapi sembahyang. Saya juga punya jamaah namanya Santri Wiritan, santri-santri sing wira-wiri nang prapatan. Arek-arek sing senengane balapan nang Demak tak klumpukno tak jak tithik-tithik istighfar. Saya kepingin mengajak anak-anak saya tadi untuk ikut kesini tapi setiap kali mau kesini saya baru mendapat SMS siang atau sorenya. Saya sangat senang acara ini, karena saya lihat yang datang kesini adalah orang-orang muda.

“Jadi ketika tadi disuruh berdoa, saya ngomong: Allahumma hubbaka, duh Gusti dadekno kabeh jamaah iki katresnan dumateng Sampean. Saya juga bilang: Wa ‘ammal ladzi yuballighuni hubbaka, dadekno penggaweane Bangbang Wetan niki ndadekno kabeh dadi katresnan dumateng Jenengan. Mugo-mugo iki dadi kebagusan kabeh, rek. Kita disini tidak menjadi anggota DPR tetapi paling tidak ide-ide yang dihasilkan dari Bangbang Wetan ini bisa sampai. Dan satu lagi yang saya senangi dsini adalah jamaah yang datang adalah wong-wong enom atau orang-orang muda dan ini sangat penting dalam kondisi seperti sekarang, forum Bangbang Wetan ini bisa menjadi ‘pagar’.

“Jadi saya minta tolong agar forum ini bisa dipublikasi, karena pernah ketika saya memakai topi Maiyah merah-putih saat Jumatan di bulan Desember kemarin saya ditanyai orang kampung: Ustadz, lha kok nggawe sinterklas? Karena kejadian tersebut, akhirnya setiap kali Jumatan saya memakai topi Maiyah biar banyak orang yang tanya Maiyah iku opo pak? Lha disitu saya bisa menjelaskan apa itu Maiyah. Bangbang Wetan ini kan sudah lama, tapi kenyataannya simbol ini saja banyak yang tidak tahu. Lha, hal itu perlu dilakukan publikasi supaya informasi seperti ini bisa sampai ke masyarakat.”

Dudung kemudian menengahi, “Pertumbuhan apa sih yang diharapkan dari Maiyah? Jangan berharap Bangbang Wetan ini nantinya akan menjadi lebih besar dan jamaah menjadi banyak. Justru pertumbuhan-pertumbuhan seperti yang dilakukan oleh Pak Juwaini-lah yang diharapkan. Artinya, dari forum ini memunculkan ide-ide untuk melakukan sesuatu di daerah masing-masing, itu saja sudah cukup. Nggak usah mbok jenengi Maiyah yo gakpopo, nggak usah dijenengi Bangbang Wetan juga ndak papa. Artinya ide-ide seperti mengumpulkan anak-anak jalanan untuk diajak ngaji bareng itu sudah luar biasa dan mungkin nanti akan ada ide-ide baru dari teman-teman untuk melakukan sesuatu di daerahnya masing-masing.”

“Saya yakin pasca dari Bangbang Wetan ini, kita pasti akan menyebarkan energi. Entah itu dalam pekerjaan, dalam keluarga atau dimanapun cuma skalanya berbeda,” Amin menambahkan pendapat dari Dudung bahwa kita mempunyai kewajiban untuk mentransformasikan energi atau memancarkan energi.


Amin lalu membuka sesi bagi para jamaaah untuk memberikan pertanyaan atau menceritakan pengalamannya bermaiyah. Marzuki salah seorang jamaah berpendapat, “Setelah Januari kemarin Bangbang Wetan ini vakum, saya dan teman-teman merasa ada sesuatu yang hilang. Dan ketika ada kabar bahwa Cak Nun tidak akan rutin datang, maka ketakutannya ketika waktunya Cak Nun datang, semua jamaah berbondong-bondong datang. Tapi ketika Cak Nun tidak hadir, jamaah Maiyah ini ikut tidak hadir. Mungkin ketika adanya regenerasi nanti, hal ini juga dipikirkan.

“Saya menganggap bahwa Maiyah ini yang dititikberatkan adalah kualitas bukan kuantitas, sehingga nanti bisa menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif yang mampu memberikan sumbangsih ilmunya di depan, dan siapa tahu nanti ketika saya kembali ke kampung saya, saya bisa mengaplikasikannya.”

Salah satu jamaah perempuan, Wahyu, yang baru bergabung dengan Bangbang Wetan menyampaikan uneg-unegnya, “Saya disini penasaran dan ingin mengenal Maiyah ini seperti apa. Apakah sebuah aliran, apakah sebuah pergerakan keagamaan. Jadi manhaj al fikr-nya Maiyah ini apa, sebuah landasannya untuk mencari solusi atas permasalahan di kehidupan sehari-hari. Dan kurikulum apa yang digunakan oleh Maiyah ini?”

Amin menjelaskan bahwa secara prinsip, forum Maiyah ini adalah untuk meluaskan pemikiran kita, menambah jernih pemikiran kita, dan dalam Maiyah ini kita melakukan proses penyadaran diri. Kita melakukan proses penjernihan berpikir. Ketika kita melakukan hal yang baik, maka kebaikan itu harus disertai dengan kebenaran dan keindahan. Artinya kebaikan itu harus berestetika. Ketika kita diluar Maiyah, maka yang harus kita lakukan adalah proses pengayoman. Dan kurikulum Maiyah sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Setelah para jamaah berdiskusi yang dimoderatori oleh Amin, Zainudin seorang pengacara yang berjumpa secara energi di Youtube dengan Maiyah ataupun Cak Nun dipersilahkan untuk memberikan pengalamannya.

“Di tengah-tengah hiruk pikuk perpolitikan disana, telah membuat suatu edigiom yang diubah adalah mental, jadi revolusi mental. Sementara di Maiyah ini adanya revolusi berpikir. Di dalam Maiyah ini kita diajarkan bahwa ketika kita menjalin hubungan cinta segitiga antara aku, Allah dan Rasulullah, maka ketenangan itu ada dalam diri kita. Hiruk pikuk itu semua terjadi ketika ada seorang yang dianggap tersangka, padahal kalau kita lihat diri kita sendiri, bahwa kita ini semua merupakan calon-calon terdakwa ketika di padang mahsyar, dimana kita dihisab. Ada pesan nabi kita yaitu: laa ilaha anta subhanaka inni kuntu mina dzolimin, kita harus selalu mengingat bahwa kita ini adalah orang yang zalim yang mencari ridanya Allah dengan setulus hati. Dan adanya carut marut di negeri seberang karena tidak adanya kesadaran diri bahwa dirinya adalah calon terdakwa. Ketika saya bermaiyah, saya merasakan ketentraman.”

Regenerasi itu pasti, tapi dia harus memilih menjadi generasi apa. Dia mau menjadi pendobrak atau penerus atau mau membangun dari yang sudah ada. Pertanyaan itu harus dijawab oleh generasi itu sendiri.
Sabrang

KESADARAN PERAN GENERASI

Sabrang lalu dipersilakan untuk memberikan sumbangsih ilmunya kepada jamaah. Sabrang sampaikan bahwa dirinya lebih senang berdiskusi ketimbang berceramah. “Betapa pentingnya yang namanya regenerasi, saya dulu pernah menulis konsep dimana disitu ada generasi larva, generasi yang mampu mendefinisikan siapa dirinya dan menjadi penerus yang memiliki beberapa rumus. Dimana-mana pasti ada generasi muda yang nantinya juga akan menjadi generasi tua juga. Di transisi itu ada beberapa jenis yang tergantung generasi tersebut memilih yang mana. Tipe pertama adalah tipe generasi pendobrak, dia mendobrak cara lama menggantinya sama sekali dengan cara yang baru. Tipe yang kedua adalah generasi penerus, dia meneruskan apa yang sudah diteruskan generasi sebelumnya. Yang ketiga adalah generasi pembangun, generasi yang mampu belajar dari keberhasilan yang lebih tua dan mampu belajar dari kegagalan yang lebih tua.

“Jadi dia mampu memilahnya, tetap bisa menghargai yang lebih tua, karena yang tua mampu menjawab tantangan di zamannya. Dan yang muda pun harus mampu menjawab tantangan zamannya juga. Generasi pembangun mampu mengambil ilmu dari yang tua dan memperbarui apa yang belum berhasil dari generasi yang lebih tua. Generasi pembangun ini ciri-cirinya ia akan mampu menempatkan generasi tua di tempat yang mulia karena yang dilihat adalah ilmu bukan kegagalannya, jadi mampu melihat kebaikannya dan keburukannya tidak dihujat tapi diperbaiki dari generasinya.

“Menjadi generasi ini tidak gampang. Regenerasi itu pasti, tapi dia harus memilih menjadi generasi apa. Dia mau menjadi pendobrak atau penerus atau mau membangun dari yang sudah ada. Pertanyaan itu harus dijawab oleh generasi itu sendiri. Dan sekarang di umur muda seperti sekarang memang sedang senangnya untuk berdiskusi dan mengolah pikir.

“Ada tujuh pola dalam kehidupan manusia, tapi pasti ada variable didalamnya. Sepuluh tahun pertama mengenal siapa dirinya, mengenal keberadaannya. Anak kecil melakukan apapun yang membuat dia merasa ‘aku ada’, aku dengan senengnya, aku dengan gembiranya, dengan sedihnya, kecewanya, dia merasakan semua itu. Sepuluh tahun kedua seharusnya ia mulai belajar tentang kehidupan, belajar bagaimana bertahan hidup. Sepuluh tahun ketiga dia mengolah akal sekencang-kencangnya, dimana usia paling produktif adalah usia 20-30 tahun. Dia benar-benar mengolah pikirnya dan menentukan dia mau kemana. Sepuluh tahun yang keempat yaitu usia 30-40 tahun, gelem ora gelem sinau tresno, karena dia harus merawat rumah tangganya.

“Setelah dia belajar cinta, dia melakukan kelahiran kembali ketika masuk 40 tahun itu. Akalnya sudah menentukan hidupnya dimana, dia sudah punya modal cinta dan dia sudah tahu keberadaanya. Ia lahir kembali, karena memang 40 tahun adalah titiknya dimana ia lahir dengan pilihannya sendiri. Di sepuluh tahun kelima, dia belajar tentang kebijaksanaan. Karena ketika sudah menentukan pilihannya sendiri, dia punya cinta, dia mampu mengaplikasikan akalnya dan keputusan hidupnya di sepuluh tahun ketiga tadi, dia harus laku dalam hidupnya, dia harus menyeimbangkan lakunya dengan kebijaksanaanya yang dia miliki. Jadi ketika dia di-kampleng orang lain, dia harus bisa memaafkan. Ketika dia mau membalas maka membalasnya dengan konsep yang berbeda, dia marah tanpa amarah.

“Sepuluh tahun yang keenam, dia sudah mulai mandhito. Dia sudah belajar kasih sayang, sudah belajar kebijaksanaan, dan sudah mampu membungkus keseimbangan antara kasih sayang dan kebijaksanaan yang dibungkus dalam kebijaksanaan. Pada titik inilah generasi ini sudah menjadi generasi tua, generasi tua adalah generasi yang harus bersedia diam membiarkan generasi muda menjawab tantangan zamannya. Dia mulai mandhito dan menjadi sumber ilmu. Kalau ada yang salah dengan langkah generasi muda, maka dia tidak boleh langsung mengintervensi. Dia adalah sumber ilmu, dia hanya menunggu genthong-nya digali, karena generasi muda adanya waktunya dulu untuk menjawab tantangannya sendiri. Maka itu pentingnya yang muda harus belajar pada yang tua. Ketika sepuluh tahun keenam selesai, ia memasuki sepuluh tahun yang ketujuh. Dimana ia benar-benar mandhito, menyiapkan dirinya untuk kembali kepada Tuhan. Ketika setiap generasi benar-benar sadar perannya, maka kita akan menjadi sebuah peradaban yang terbangun pada setiap zamannya.”


Sesi selanjutnya adalah diskusi dan tanya jawab. Bambang, salah satu jamaah yang mengikuti maiyahan pada tahun 2008 sampai sekarang dan membawa semangat Bangbang Wetan dalam membentuk komunitas literasi Jawa Timur—komunitas untuk meningkatkan minat baca—tanyakan, “Anak-anak muda sekarang dihantam habis-habisan oleh media, hampir 60% waktunya dihabiskan untuk menonton TV dan bermain-main. Generasi seperti ini termasuk generasi apa?”

Dahlan, salah seorang jamaah dari Gresik mengaku dia pernah mendengar bahwa Sabrang itu mengerti bagaimana orang dulu bisa memetik kelapa tanpa memanjat? Maksudnya mungkin ini menyangkut keyakinan?

Selanjutnya salah satu jamaah dari Sidoarjo, Widodo melontarkan pertanyaan terkait kesadaran atas peran tiap generasi. Bagaimana caranya agar seseorang bisa sadar mengenal perannya dimana di dalam dirinya timbul ketakutan ketika menyangka perannya adalah seperti ini, tapi ternyata perannya bukan seperti itu?

Choirul Suyanto, mengungkapkan unek-uneknya tentang planet Mars, yang konon katanya dulu pernah seperti Bumi sekarang, ada kehidupan disana. Bahkan katanya kendaraan untuk mencapai planet lain menggunakan piring. Ini berdasarkan dari jurnal ilmiah dari Eropa. Ada seorang pemuda usia 17 tahun yang tiap malam tertentu di suatu perkumpulan didatangi utusan-utusan yang mengaku berasal dari planet Mars. Mereka datang untuk mengingatkan untuk tidak mengembangkan senjata nuklir terus menerus, karena pada puncaknya nanti bisa menghancurkan planet Bumi seperti halnya Mars dahulu. Nah, kalau dulu Mars bisa dihuni sekarang tidak, mungkinkah nasib Bumi akan seperti Mars bila Amerika jadi menginvasi Ukraina atau Rusia? Ataukah bila China lebih unggul dari Amerika ataukah bila Jawa menjadi lebih unggul seperti jaman Jawa Dwipa?

Kemudian salah satu jamaah dari Sepanjang menceritakan kegiatannya mengadakan kumpul-kumpul diskusi tiap malam Jumat dengan tagline forum Maiyah di Trosobo diberi nama Maiyah Mentas. Lalu dia melontarkan pertanyaan, “Seperti dikatakan dalam Q.S. Al-Hujurat bahwa Tuhan menciptakan bersuku-suku bangsa yang dinilai adalah ketaqwaannya. Sementara di forum lain ada perbandingan agama. Nah yang jadi pertanyaan, apa betul agama yang ada di dunia ini diperbandingkan atau semuanya salamah? Padahal kalau menurut kiasan Cak Nun tentang bluluh, cengkir, degan dan kelapa itu kan hanya proses. Semuanya menjadi salamah.”

Ketika setiap generasi benar-benar sadar perannya, maka kita akan menjadi sebuah peradaban yang terbangun pada setiap zamannya.
Sabrang

MENYIKAPI ARUS GLOBAL

Pertanyaan dan uneg-uneg dari jamaah kemudian ditanggapi Sabrang satu persatu. “Generasi pendobrak, generasi penerus dan generasi pembangun ini bukan berarti pengklasifikasian generasi. Maksudnya ketiga generasi itu dia sebagai pemuda dia memilih tipenya yang mana dan tergantung keputusan pemudanya bagaimana. Dunia terus berkembang, karena itu setiap generasi memiliki tantangannya masing-masing untuk dijawab. Ketika ada bapak berpikir bahwa dulu di zamannya tidak ada komputer dan baik-baik saja kemudian menyuruh anaknya tidak usah memakai komputer, maka bapaknya tidak menyiapkan anaknya untuk menjawab tantangan zamannya. Peran orang tua disini mendampingi anaknya untuk mengolah pikir dan menjadikan apa saja yang terjadi di zamannya sebagai proses berpikir dari anak.

“Dan di era digital sekarang, masalah literasi ini berubah menjadi sangat mengerikan dimana minat baca orang semakin rendah, orang-orang lebih suka membaca Twitter ketimbang membaca buku. Koran New York Post sampai mengganti website-nya akibat Twitter, karena orang-orang lebih suka membaca tulisan yang pendek-pendek. Itu semua bukan berarti lebih buruk atau lebih baik. Semua bahan ataupun konsep yang ada di dunia, bisa menjadi baik dan bisa menjadi buruk tergantung bagaimana anaknya mengolahnya. Bagaimana anak mengolahnya, yaitu bagaimana orang tua membantu si anak untuk mengolah apa yang ada disekitarnya. Dunia digital bisa sangat membantu, juga bisa sangat mengerikan. Sama seperti zaman-zaman yang lain, pasti memiliki tantangannya juga.

“Jadi tidak bisa kita mendefinisikan apakah dengan digital ini pasti buruk atau pasti baik. Bagaimana orang tuanya sebagai generasi yang lebih tua mampu membuat konsep untuk menjaga si anak tumbuh memanfaatkan lingkungannya dengan baik. Kalau dulu orang mendapatkan informasi dari media massa korporasi terbesar sehingga informasi itu bisa sangat mudah untuk dikontrol, sekarang dengan adanya internet, informasi itu bisa datang dari semua orang sehingga sangat susah untuk mengontrol informasi. Karena sekarang siapa saja bisa menjadi wartawan, sehingga kebenaran informasi bisa saja menjadi tidak jelas. Karena itu butuh kemampuan si anak untuk menyerap informasi dan membangun konsistensi dari informasi tersebut. Jadi budaya berpikir anaknya memang sudah dibangun dari awal, kalau software-nya sudah jadi, apapun yang masuk akan bisa diolah. Dunia pendidikan adalah dunia paling dinamis dimana menyiapkan setiap generasi agar bisa menjawab tantangan zamannya. Jadi bagaimana kita bisa menyikapinya, bukan melawan apa yang sudah datang. Sebagai manusia kita tidak kekurangan cara untuk menghadapi apapun.”

Peran orang tua mendampingi anaknya untuk mengolah pikir dan menjadikan apa saja yang terjadi di zamannya sebagai proses berpikir dari anak.
Sabrang

PERIJINAN HIDUP DI MARS

Sabrang melanjutkan, “Jagad raya itu memang akan hancur, karena Allah sendiri menjamin bahwa dunia pasti hancur. Kalau dalam teori, 26.000 tahun sekali memang ada sebuah planet yang melintasi bumi dan menjatuhkan meteor-meteor yang besar sehingga dinosaurus punah. Di fisika kita mengenal hukum entropi bahwa lama kelamaan dunia akan terkikis dan hilang. Apakah di Mars itu ada kehidupan? Karena di Mars sendiri pun memiliki kanal air. Namun ada yang aneh, ada daerah di Bumi yang lebih ekstrim daripada daerah di Mars. Kalau di Mars tidak ada kehidupan, maka di belahan Bumi yang paling ekstrim melebihi Mars seharusnya tidak ada kehidupan. Tapi di Bumi dimana ada tempat, disitu ada kehidupan. Misalnya di daerah Meksiko, ada sebuah pengeboran minyak ditemukan cavity, sebuah gua, dimana gua tersebut tertutup berjuta-juta tahun. Saking besarnya, sehingga ada sebuah ekosistem tersendiri didalamnya. Disana tidak ada cahaya matahari, namun tetap ada kehidupan didalamnya. Adalagi di danau yang banyak mengandung arsenik, arsenik adalah bahan paling beracun untuk makhluk hidup, tetapi ada bakteri yang hidup di dalam arsenik. Kehidupan itu tumbuh dengan apa yang ada di sekitarnya.

“Ada teori dalam sains yang mengatakan sebuah planet itu ada kehidupan atau tidak, itu ‘satu’ atau ‘nol’. Kalau ada satu kehidupan, maka di semua tempat di planet itu akan ada kehidupan ditempat paling ekstrim sekalipun. Kalau kita hubungkan dengan tauhid, ketika Bumi mengijinkan untuk menyedekahkan dirinya untuk dihidupi, maka terjadilah kehidupan diseluruh belahan Bumi hingga dipojok Bumi segitu rupa. Namun ketika Mars tidak mengijinkan, maka dimanapun di Mars tidak akan ditemukan kehidupan. Dengan demikian apakah ada yang berterimakasih kepada Bumi karena kita sudah hidup di Bumi, maka jangan lupa berterimakasih kepada Ibu Pertiwi sudah mengijinkan kita menumpang hidup disini.”

Sabrang pun menceritakan, kejadian kebocoran nuklir dengan efek yang luar biasa dengan radiasi yang sangat membahayakan. Orang-orang menganggap sudah tidak ada lagi kehidupan, namun ditemukan laba-laba yang hidup dan bermutasi. Jadi hidup tidak bisa dihentikan oleh apapun ketika Allah mengijinkan ada.

Sabrang mencoba mengkorelasikan dengan teknologi dan sains modern, “Apakah mungkin dulu ada jenis teknologi yang berbeda, jenis pencarian yang berbeda. Saya tidak bisa membuktikan secara empiris, tapi dengan peninggalan-peninggalan yang ada maka sangat mungkin terjadi. Saiki isih ono wong ‘ngilang’, isih ono maling ngitung arep mlayu nangdi, isih ono santet, hal-hal itulah yang tidak dikenal oleh perkembangan sains modern, berarti dulu ada pengembangan pengetahuan dengan arah yang berbeda sehingga output-nya tidak bisa dipahami dengan arah yang berbeda.

“Orang-orang dulu pun bisa membuat candi Borobudur, juga mampu membuat benteng di Papua sepanjang 128 kilometer dengan tinggi 1,8 kilometer. Bandingkan saja dengan zaman sekarang, membuat busway saja korupsi. Saya yakin bahwa ada pengembangan teknologi yang berbeda dari nenek moyang kita.

“Ada jurnal seorang kakek dari teman Maiyah juga, dalam jurnalnya dia bercerita: Aku dolan neng Mars. Kalau secara logika, mau naik apa kesana? Disitu dia ceritakan wadhaq itu ada tujuh lapis, kemudian dia gelar satu dan yang lainnya dia lipat. Dia minta sama Tuhan, dia pengen dolan neng Mars, kemudian tiba-tiba datang telur berwarna perak dan dia masuk ke telur itu. Setelah itu dia memegang payung, ‘teng’, tiba-tiba sudah sampai di Mars. Disitu dia mendeskripsikan apa saja yang dia temui disana. Dan yang dia deskripsikan itu kok sama dengan foto-foto yang saya temukan. Iso rono tenan tho iki? Jadi itu agak mengerikan, teknologi yang sama sekali tidak bisa saya bayangkan. Sekolahku ora kanggo untuk memahami itu. Piye carane dolen neng Mars dengan cara seperti itu? Dengan cara bertapa dan bersila seperti itu? Tapi saya belum bisa mencoret bahwa itu khayalan atau tidak terjadi. Hal itu perlu saya letakkan pada kotak saya belum tahu sebenarnya apa itu. Itu adalah PR pelajaran peradaban yang menyenangkan bagi saya.”

Kalau ‘sebab’ itu dari Tuhan, maka kita berperan sesuai dengan yang Tuhan inginkan. Kalau ‘sebab’ itu dari Tuhan, maka ‘akibat’-nya juga dari Tuhan. Jadi titiknya adalah membuat ‘sebab’ itu dari Tuhan.
Sabrang

HUKUM SEBAB AKIBAT

Menyambung pertanyaan sebelumnya, Sabrang merespon, “Kalau anda takut bahwa mengira peran anda ‘A’ kemudian anda salah berperan. Lho, siapa tahu peran anda adalah anda salah berperan untuk kemudian benar perannya. Iso wae, gak masalah. Yang nomor satu adalah sebenarnya niat, bagaimana niat kita untuk menjalani peran kita dengan sebenar-benarnya. Ada sebuah cara berpikir yang logis, hidup adalah sebab-akibat. Anda tidur akibat dari mengantuk, anda makan akibat dari lapar. Jadi hidup itu sebuah rangkaian sebab-akibat yang menerus. Bagaimana kita bisa bicara peran, karena hidup adalah sebab-akibat yang menggelinding saja. Akibat karena ‘sebab’ yang baru dan mengakibatkan hal yang baru, ‘sebab’ menjadi ‘akibat’ yang berikutnya, hal ini berlangsung terus. Terus diri kita mana yang berperan? Kemudian pertanyaan utamanya adalah: ‘sebab’ itu dari kita atau dari Tuhan? Kalau ‘sebab’ itu dari Tuhan, maka kita berperan sesuai dengan yang Tuhan inginkan. Kalau ‘sebab’ itu dari Tuhan, maka ‘akibat’-nya juga dari Tuhan. Jadi titiknya adalah membuat ‘sebab’ itu dari Tuhan. Gimana caranya?

“Ketika kita mendapatkan akibat, maka respon kita terhadap ‘akibat’ tersebut harus kita sambungkan dengan Tuhan. Nabi Muhammad sudah memberikan gaman yang luar biasa: mau melakukan apapun pegangannya bismillahirrohmanirrahim, karena Gusti Allah maka saya melakukan ini. Jadi bagaimana kita tahu peran kita, ketika mau melakukan apapun, kita bismillah, maka dalam perjalanannya nanti kita tahu mau ditugaskan apa. Karena kita mampu membuat semua ‘sebab’ itu kita sambungkan dengan Tuhan. Sehingga tidak ada kesedihan disitu, kalaupun nanti susah, susahnya dari Tuhan. Susahnya pasti akan menyiapkanmu untuk menghadapi sesuatu, susahnya akan membuatmu belajar sesuatu dan menjadi bekal untuk masa depan. Selain membuat semua ‘sebab’ itu dari Tuhan, kita juga membuat semua motif karena ingin mencari rida dan cintanya Tuhan.”


Bagaimana dengan forum diskusi membandingkan agama dengan agama. Wes menengno wae, Mas. Tidak usah untuk ikut-ikutan orang lain. Kalau kamu tahu itu tidak baik maka jangan lakukan. Kita tidak punya hak sama sekali untuk ndandani orang lain. Alasan yang pertama kita tidak tahu pasti bahwa kita mengarahkan dia ke sesuatu hal yang lebih benar. Siapa tahu dia sedang diperjalankan Tuhan untuk melalui itu mendapatkan kesadaran yang lain. Yang kedua, Nabi ta dewe kok mbenerke wong? Lisensi tidak punya. Lah lisensi apa? Wali bukan, nabi bukan apalagi rasul. Kewajiban terhadap diri sendiri saja. Kalau seseorang salah ya biarkan saja asal kamu tidak ikutan berbuat salah. Kalau orang itu benar ya diikuti tapi kalau salah ya tinggalkan. Kalau konsep terhadap dirimu bagus dan kamu melakukan benar-benar serius, orang akan bertanya padamu kenapa kamu melakukan itu? Nah ketika seseorang bertanya padamu berarti pikiran sudah terbuka, wadahnya sudah siap menerima ilmu dari kamu. Maka dari itu dakwah paling baik adalah melakukan apa yang dipahami, bukan woro-woro minta bayaran dengan sedekah,” papar Sabrang

“Itu dijadikan bahan diskusi internal. Karena diskusi itu bahan yang luar biasa untuk mengolah pemikiran, mengolah pemahaman, mengolah center of balance-nya kita dimana. Karena kita harus selalu tahu diri kita ada di posisi mana agar mampu menghubungkan sebab akibat motif dari Tuhan tadi. Sekian untuk kali ini,” tutup Sabrang.

Alquran sebagai petunjuk, bukan informasi yang literer. Alquran bukan buku sejarah, tapi memberi petunjuk tentang sejarah. Alquran bukan buku sains, tapi memberi petunjuk tentang sains.
Sabrang

DARI ISMAIL HINGGA BUTO CAKIL

Dini hari, Kyai Muzamil datang dari Bantul dan langsung ke atas menuju panggung. Sesi selanjutnya masih dibuka pertanyaan dari para jamaah. Namun kali ini jamaah yang mendengarkan semakin antusias dan bersemangat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lebih banyak jamaah yang mengajukan pertanyaan.

Salah seorang jamaah dari Sidoarjo, Ari mengaku mengenal Sabrang sebagai Noe Letto, mengungkapkan bahwa lirik Letto yang dia dengar tidak ada yang tahu maknanya. Liriknya memang puitis namun maknanya membingungkan. Tapi selama ikut Maiyah jadi tahu bahwa Letto ini putra dari Cak Nun yang memiliki pemikiran tidak biasa. Jadi mungkin dari lirik lagu Letto ada nilai-nilai yang tidak sampai di pecinta musik karena pecinta musik tahunya tentang cinta. Dan mungkin Letto berkenan menjelaskan liriknya terutama lagu Sebelum Cahaya dan judul album Lethologica.

Aris, salah seorang jamaah dari Surabaya, ikut menyalurkan uneg-unegnya, “Saya pernah mendengar Mas Sabrang ngomong bahwa ada orang NASA datang ke Yogya bahas tentang buku. Saya penasaran, lalu cari di Google sampe elek gak ketemu. Kenapa? Karena tiba-tiba ada film Interstellar. Saya penasaran apa benar seperti itu. Dan saya pernah bertengkar dengan teman saya gara-gara masalah dinosaurus. Bentuk dinosaurus itu seperti apa? Apa ya bentuknya begitu? Sementara Nabi Adam segitu, kuda saja segitu. Bagaimana Nabi Adam menungganginya? Begitu pula Nabi Ibrahim yang akan menyembelih Nabi Ismail yang diganti dengan kambing? Kambingnya seberapa? Hal itu yang membuat saya geger dengan teman saya. Kemudian saya browsing dan menemukan seorang professor yang mengatakan bahwa semua kehidupan di Bumi ini semakin lama semakin menyusut. Saya ingin bertanya hal ini, penjelasan secara ilmiahnya pada Mas Sabrang.”

Kemudian salah satu jamaah putri dari Surabaya yang bernama Rani, melontarkan pertanyaan titipan dari temannya apa ada hubungan antara pernyataan Rene Des Cartez: cogito ergo sum, dengan hadits Nabi: man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu.

Selanjutnya Luthfi, salah seorang jamaah dari Gresik, meminta tips kepada Sabrang untuk menghadapi Unas selain belajar. Jamaah kembali ramai saat tahu Luthfi masih menjadi pelajar SMA kelas 3.

“Saya tinggal di Surabaya sudah lama kerja di Yayasan Kristen. Dari sana saya belajar banyak sekali. Saya belajar toleransi dan belajar menjadi kelompok minoritas. Dulu saya terbiasa menjadi mayoritas dalam hal agama. Yang saya tanyakan dalam posisi saya sebagai minoritas. Saya harus belajar segalanya. Saya berada di antara teman-teman kerja yang berbeda keyakinan maka bagaimana cara saya belajar dan hal apa yang harus saya lakukan?” tanya Danang, salah satu jamaah yang berasal dari Blitar.

Setelah itu salah seorang jamaah ikut mengeluarkan suaranya, “Ucapan adalah doa. Seperti kita ketahui bahwa lagu-lagu Indonesia pada umumnya cenderung mendoktrin kita untuk menjadi karakter yang lemah. Kita bisa survei anggota band yang liriknya seperti itu, cenderung mereka pada posisi mental rumah tangga yang kacau, perceraian ataupun selingkuh. Yang mau saya tanyakan, hal ini akan mendoktrinasi generasi muda kita secara tidak langsung. Contohnya kita bisa tanyakan langsung pada anak TK sekarang: Lebih hafal lagu Balonku Ada Lima atau Sakitnya Tuh Disini? Saya percaya mereka butuh trigger (pemicu) untuk menjadikan mereka generasi-generasi pembangun yang tadi. Yang jadi permasalahan kita harus menjadi influencer sebagai suatu penyebar kebaikan melalui forum ini. Bagaimana kita yang ada di forum ini menjadi trigger bagi generasi muda agar tidak menjadi generasi yang lemah.”

Salah seorang jamaah lainnya meminta tanggapan kepada Kyai Muzammil mengenai kyai jaman sekarang. Dulu Nabi Muhammad tidak mengharap imbalan, bahkan beliau ikhlas ketika dizalimi. Sementara kyai sekarang punya bandrol. Bila bandrolnya satu juta dan ketika disewa di suatu kampung cuma diberi 500 ribu lalu tahun berikutnya diundang lagi ke tempat yang sama dia tidak mau kembali kesana. Tolong ditanggapi dan dikorelasikan dengan jaman Nabi Muhammad dakwahnya secara ikhlas dan kyai sekarang seperti apa.

Terakhir di sesi ini seorang jamaah dari Madura Ahsa kumbolo mengajukan pertanyaan kepada Sabrang, “Yang ingin saya tanyakan yaitu tentang jaman buto cakil, yaitu ada statement di buku Kyai Fahmi Basya, salah satu kyai yang mengkaji tentang studi Islam yang menyebutkan bahwa candi Borobudur merupakan peninggalan Nabi Sulaiman sedangkan candi Boko merupakan persembahan Nabi Sulaiman kepada Ratu Bilqis. Nah, berarti Ratu Biqis disini adalah orang Jawa. Yang saya tanyakan, seistimewa apa tanah Jawa ini sehingga peninggalan-peninggalan seperti Borobudur, candi Boko dsb kok ada di tanah Jawa?

“Yang kedua pada era Majapahit. Di era Majapahit perkembangan Majapahit sangat pesat. Bahkan saking pesatnya, negeri yang bernama Nusantara adalah negeri paling maju di dunia. Maka jangan kalian berkecil hati menjadi orang Jawa bahwa kalian orang Jawa pernah jaya di dunia. Lalu mendekati keruntuhannya ketika Raja Brawijaya mendengar sabda Palon. Intinya Sabda Palon mengatakan akan kembali dalam waktu 500 tahun. Dan sekarang kira-kira kita sudah mencapai waktu 500 tahun. Pertanyaan saya kenapa peninggalan-peninggalan Majapahit dibumihanguskan seolah-olah tak ada satu peninggalan yang tersisa? Nah, yang membukakakan peninggalan itu adalah banyaknya teknologi yang menggempur generasi muda sekarang sehingga apa yang ditinggalkan era Majapahit sedikit demi sedikit terbuka.”

Semakin banyak area di otak terekspos pada informasi, maka semakin banyak ruang untuk mengingat.
Sabrang

MUSIK LETTO

Sabrang menanggapi pertanyaan serta uneg-uneg dari para jamaah. “Orang membuat sebuah karya pasti ada keputusannya, lirik lagu banyak konsepnya. Kamu bisa memotret sesuatu, bisa bercerita sesuatu, bisa me-reminisance sesuatu, bisa menyatakan gagasan. Banyak keputusan yang diambil untuk mengarahkan sebuah band ini mau diarahkan kemana. Letto memilih lirik lagu yang mungkin bagi sebagian orang akan susah dipahami. Memang sengaja seperti itu, itu merupakan keputusan sadar, karena konsep kebenaran itu tidak bisa diklaim oleh siapapun.

“Contohnya begini, ada satu gajah yang dikelilingi oleh lima puluh orang dan menggambarnya, gambarnya ada yang sama tidak? Gambar gajah yang benar yang mana? Benar semua walaupun gambarnya tidak ada yang sama semua. Nah, kebenaran disini bermacam-macam. Itupun semirip-miripnya gambar gajah tetap bukan gajah. Untuk mencapai kebenarannya gajah maka kamu harus menjadi gajah. Ketika sudah menjadi gajah, kita lupa tahu mencari gajah itu seperti apa. Maka tingkat kebenaran itu berlapis-lapis dan bertingkat-tingkat.

“Letto begini konsepnya, kita menyampaikan sesuatu itu tidak lengkap, memang dia bersayap. Kamu mempunyai potret, mempunyai bahan dari lirik itu, dan arti dari lirik itu bukanlah hanya yang ada dalam lirik itu, tapi konseptual apa yang ada dalam dirimu dikawinkan dengan apa yang ada di liriknya akan menjadi arti tersendiri. Letto konsepnya memang seperti itu, kita tidak membatasi arti lirik itu sendiri. Karena bisa menjadi efek yang berbeda-beda pada setiap orang. Dan saya ingin setiap orang mempunyai hak terhadap arti lagu itu. Itu konsep pilihan, bukan suatu pilihan yang popular. Kita dihajar sama label, lirik opo ngene iki, ora paham. Tapi kita nggak masalah, kita nekat dengan itu. Kalau kita tidak ngomong sesuatu dalam lagu, terus kita punya legitimasi apa membuat lagu. Kita memasukkan ‘harga diri’ dari apa yang kita katakan dalam lagu tersebut, kita mempunyai alasan itu. Kita mempunyai suatu konsep.”

Sabrang juga menjelaskan maksud term Lethologica dalam albumnya, “Lethologica adalah sebuah keadaan dimana kamu ingin mengatakan sesuatu tapi kamu lupa. Ning ujung ilatmu iki kowe lali. Dalam psikologi namanya mental block. Lethologica kita angkat menjadi sebuah judul karena konsepnya dalam suatu hidup kita kadang mengalami mental block dan kita butuh pelepasan yaitu dengan cara mengikhlaskan mental block tersebut. Dan secara psikologi mental block ini menular, dan bagaimana cara lepas dari mental block itu? Maka butuh ada orang yang menjadi penggagas, disini konsep lagu kita. Salah satu trik yang sering kita gunakan dalam lagu Letto adalah penempatan subjek. Ketika ngomong aku, kau, atau dia, itu bisa diganti-ganti.

Kuteringat hati yang bertabur mimpi
Kemana kau pergi cinta…

“Lirik itu bisa dimaknai orang bicara kepada orang lain, bisa dimaknai Tuhan bicara kepada manusia, bisa juga dimaknai orang bicara kepada kekasihnya, bisa bermacam-macam. Itu nanti mana yang paling cocok untukmu, yang terpenting adalah konsistensi. Kalau kamu memaknai kamu bicara kepada orang lain tapi kemudian pada lirik selanjutnya ternyata tidak cocok oleh subjeknya, maka subjeknya kamu ganti dengan yang lain. Ketika saya buat lagu Sebelum Cahaya, itu konsepnya adalah Tuhan ngomong kepada manusia.

Perjalanan sunyi yang kau tempuh sendiri
Kuatkanlah hati, cinta…
Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja
Yang menemanimu sebelum cahaya…

“Dalam Bahasa Itali, Letto itu artinya berpikir. Dan saya senang sekali, tanpa sengaja nama Letto dekat dengan Lotto, yaitu pohon bidara yang tak berduri. Saya dapat nama Letto itu bukan tidak sengaja, karena ketika membuat band bersama teman-teman kita belum ada nama, yang kita tahu adalah berkarya. Kita penasaran gimana caranya membuat lagu dan kita mencoba memetakannya dengan perhitungan matematis. Ternyata label tertarik, maka harus ada nama bandnya. Iki opo jenenge cah? Elek yo band. Opo Tambal Band yo? Ora ngerti wes. Setelah bangun tidur, tiba-tiba terbesit nama Letto. Nek Letto piye? Oleh soko ngendi? Yo ngimpi, ora dong aku. Artine opo? Ora ono artine. Lho nek ditakoni filosofine? Ngarang, gampang. Yowes jenenge Letto wae. Apa filosofinya? Letto, adalah sebuah nama yang tak berarti, seperti kertas putih yang kita isi dengan tulisan-tulisan perjalanan-perjalanan kita.”

Hidup adalah sebab-akibat yang menggelinding saja. Akibat karena ‘sebab’ yang baru dan mengakibatkan hal yang baru, ‘sebab’ menjadi ‘akibat’ yang berikutnya, hal ini berlangsung terus.
Sabrang

PEMAKSIMALAN INDERA

Melanjutkan diskusi, Sabrang tambahkan, “Saya ini orangnya malas, itulah kenapa saya memilih jurusan matematika dan fisika, karena itu PR-nya paling sedikit dan ngapalnya paling sedikit. Asal tahu konsep, selesai. Kalau pelajaran sosial kan menghafal, ini pendapat Frut gimana, pendapat Descartez gimana. Mumet ngapalke pendapate wong, ruwet men uripe, mbok yo duwe konsep dewe ngethoke pendapatmu dewe. Sebenarnya dulu saya ambil jurusan psikologi, tapi saya keluar di tengah jalan. Mergo uripku kok ngapalne pendapate wong terus tho, mosok bayar larang-larang dikongkon ngapalke pendapat. Setelah itu saya keluar dari psikologi. Bukan berarti psikologi jelek, iku aku wae sing kurang gawean utekku.

“Unas (red: Ujian Nasional) adalah efektivitas belajar. Dulu konsep saya ketika belajar itu seperti ini, nomor satu yang harus saya ketahui adalah orangnya siapa yang memberi pelajaran kepada saya. Saya baca profil pengarang bukunya, kelahiran tahun berapa, disitu kita bisa menebak seperti apa tipenya. Kemudian saya membaca daftar isinya, kita bisa mengetahui gambar besarnya sperti apa, petanya seperti apa. Dari daftar isi tersebut pengarang ingin menyampaikan apa, jadi sudah terjadi kotak-kotak di kamar. Jadi ketika saya ingin tahu informasi apa, maka saya sudah tahu mau masuk ke kamar mana, karena saya sudah tahu peta besarnya. Setelah daftar isinya, saya paling membaca rangkumannya saja karena merupakan inti sari dari tiap kotak-kotaknya.

“Ketika kamu belajar dengan membaca, maka indera yang kamu gunakan adalah mata. Kalau kamu sama menulis, indera yang kamu pakai ada dua, mata dan tangan, lebih besar area di otak akan mengingat. Kalau kamu dengan bicara, membaca dengan bicara, maka otak akan menyerapnya lebih lambat. Indera yang digunakan adalah mata kemudian mulut saat mengucap dan telinga yang mendengar suara kita, maka kerja otak pun akan lambat namun ingatan akan lebih menancap di otak. Ada lagi satu trik, misalnya ada suatu bau-bauan ketika pelajaran praktek biologi, praktek kimia atau fisika, bau tersebut juga akan menimbulkan suatu ingatan tersendiri dalam kinerja otak. Bau-bauan tersebut mempuanyai ruang dalam otak sehingga memunculkan suatu memori tertentu. Trik saya dulu adalah menggunakan kelima indera saya agar saya mudah mengingat. Caranya untuk menghadapi Unas itu adalah bagaimana cara kamu memasukkan informasi ke otak, semakin banyak area di otak terekspos pada informasi, maka semakin banyak ruang untuk mengingat.”

Kalau ingin berbuat sesuatu, maka berbuatlah sesuatu karena keinginan kalian sendiri untuk mencari rida dan cintanya Tuhan.
Sabrang

EMPATI MAYORITAS DAN PEMETAAN KEBENARAN

Sabrang melanjutkan, “Belajarlah menjadi minoritas, bagaimana rasanya menjadi minoritas. Bagaimana kita bisa mengerti orang lain? Senjatanya adalah empati. Ketika kita kecil, orang tua sering bilang jangan nyubit orang lain, gimana kalau kamu dicubit orang lain? Itu gimana kita mengubah posisi empati sehingga kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Jadi ketika kita benar-benar memperjuangkan orang lain atau kita melakukan sesuatu untuk orang lain, itu benar-benar karena kita ‘merasa’, bukan hanya sekedar konseptual belaka. Di dalam lingkungan minoritas, kamu bisa merasakan menjadi minoritas, tapi di lingkungan yang lebih luas, kamu bisa merasakan menjadi mayoritas dan bisa merasakan empati karena pernah merasakan menjadi minoritas. Pada keadaan itu coba melakukan riset yang kemudian bisa di-sharing-kan di Bangbang Wetan ini, sehingga kita semua bisa belajar dari pengalamanmu.”

Menjawab pertanyaan sebelumnya terkait validitas informasi, “Peta kebenaran bukan antara hitam atau putih, bukan antara tahu dan tidak tahu, tidak sesederhana itu. Sama seperti kamera yang diputar fokusnya atau lensanya, bagaimana diputar akan semakin blur atau semakin jelas hingga benar-benar jelas. Jangan berharap informasi yang kamu dapat akan sampai pada fokus yang kebenarannya jelas. Ada yang limitasinya hanya sampai blur saja dan tidak bisa lagi dikoyak kebenarannya, maka terimalah itu sebagai wacana yang blur, tidak terlalu benar juga tidak terlalu salah. Kalau pertanyaannya adalah: ada hubungannya atau tidak, maka jelas ada hubungannya secara konseptual. Sementara kalau pertanyaanya: apakah dia dapat dari Nabi Muhammad, itu masuk area blur. Saya tidak tahu, dan tidak ada cara untuk mengkonfirmasinya. Kapan mereka bertemu, itu tidak ada catatan sejarahnya.

“Ada seorang filsuf yang berpikir sebuah konsep yang ternyata sama dengan ayat-ayat Alquran, berarti kita bisa saja mencapai kebenaran dengan cara kita berpikir sendiri, kita olah pikir kita untuk mencari sebuah kebenaran, mencari ayat yang ada di alam semesta ini dan ternyata cocok dengan yang tertulis dalam Alquran. Itu menjadi suatu fakta yang menarik untuk digaris bawahi.”

Sabrang lalu coba menyambung teori kebenaran dengan perkembangan teknologi, “Hilangkan anggapan bahwa Google itu maha tahu. Banyak informasi ada dalam Google, tapi bukan berarti semua informasi ada dalam Google. Terutama Indonesia, sumbangan kita terhadap Wikipedia pun sangat minim. Banyak buku yang tidak ada dalam Google. Saya juga tidak tahu kenapa, orang Indonesia ini sedikit sekali untuk berbagi ilmu, mungkin tidak punya budaya bagi ilmu.

“Untuk ‘teori menyusut’ itu berhubungan dengan kandungan oksigen yang ada dalam udara, sehingga bisa jadi menyusut karena keterbatasan oksigen di udara. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Nabi Adam pernah naik dinosaurus atau tidak, karena kita tidak punya fakta empiris yang menyatakan Nabi Adam lahir tahun berapa. Itu termasuk informasi yang blur. Kita percaya adanya cerita Nabi Adam, tapi kita tidak tahu kapan beliau ada. Kita tidak pernah tahu tentang itu, karena yang kita butuhkan bukan kapannya, tetapi kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam cerita tersebut.

“Kalau dulu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lain yang umurnya mampu mencapai ratusan hingga ribuan tahun, sekarang umur manusia menjadi pendek-pendek. Kita bisa menghubungkannya dengan sains, tentang teori telomeres, umur manusia bisa menjadi setengah dari generasi sebelumnya, dan menjadi setengahnya lagi, begitu seterusnya. Disini kita mempunyai Alquran sebagai petunjuk, bukan informasi yang literer. Alquran bukan buku sejarah, tapi memberi petunjuk tentang sejarah. Alquran bukan buku sains, tapi memberi petunjuk tentang sains. Dinosaurus sendiri pun apakah bentuknya seperti itu? Sampai sekarang pun masih dalam perdebatan. Jangan menganggap bahwa sains juga merupakan kebenaran yang maha benar, semua masih banyak yang blur.”

Kamu harus mempunyai rumah di kepalamu. Rumah dimana kamu bisa memasukkan informasi. Memilah, informasi yang ini jenisnya apa dll, setiap informasi kamu tahu tempatnya dimana. Memasukkan suatu informasi pada tingkatan yang berbeda.
Sabrang

PERAN DIRI SENDIRI

Kembali Sabrang merespon pertanyaan dan paparan jamaah sebelumnya, “Bagaimana kita bisa menjadi inspirator orang lain untuk menjadi generasi pembangun? Jangan pernah bermimpi. Kita mempunyai prioritas nomor satu, yaitu bertanggungjawab atas diri kita. Jadilah generasi pembangun, berkumpul dengan generasi pembangun, kalau itu menjadi trigger orang lain, maka bersyukurlah kamu bisa bermanfaat untuk lingkungan yang lebih luas, tapi menjadi inspirator bukan sebuah tujuan.

“Misalnya, kalau kamu mencari istri, jangan cari pacar yang ideal, tapi jadilah pacar yang ideal. Kalau ingin pacar rajin, maka jadilah rajin atau kualitas-kualitas yang ingin kamu capai. Logikanya seperti itu. Semua timbangannya sama, yang terutama adalah kewajiban diri sendiri dulu, yang diberikan Gusti Alloh adalah kekuasaan absolut atas dirimu sendiri, wadhaq-mu. Berkumpullah dengan orang-orang yang mempunyai frekuensi sama. Kalau ingin berbuat sesuatu, maka berbuatlah sesuatu karena keinginan kalian sendiri untuk mencari rida dan cintanya Tuhan.”

“Kalau menurut kamu band-band itu membawa kita menjadi manusia yang lemah? Ora, ternyata guna dia untukmu adalah membuatmu sadar bahwa ada orang lemah dan ada orang yang kuat, sehingga kamu menghindari menjadi orang yang lemah untuk menjadi orang yang kuat. Dia menjadi inspirator buruk agar kamu tidak menjadi seperti itu. Misalnya cerita Firaun yang mengaku dirinya adalah tuhan dan tidak mengakui Allah, dia menjadi inspirator yang buruk sehingga kita tidak boleh menjadi seperti dia. Kita berprasangka baik saja, semua menjalankan perannya sesuai dengan Tuhan. Bagaimana aku bisa membuat semua yang ada di dunia ini untuk menjadi kaca atas diriku sendiri agar aku bisa menemukan diriku sendiri sehingga aku bisa menemukan Tuhanku dan berlaku sesuai Dia untuk melakukan apa yang harus aku lakukan. Menyerahkan semuanya kepada Gusti Allah agar mencapai ketentraman.”

PERADABAN TANAH JAWA

Sabrang melanjutkan, “Dalam diskusi Martabat—sebuah forum diskusi rutin yang digagas oleh Sabrang—nomor satu yang saya masukkan adalah kamu harus mempunyai rumah di kepalamu. Rumah adalah bagaimana kamu bisa memasukkan informasi. Memilah, informasi yang ini jenisnya apa dll, setiap informasi kamu tahu tempatnya dimana. Jadi jangan memasukkan suatu informasi pada tingkatan yang berbeda. Saya kurang sepakat dengan membenarkan Alquran dengan teori sains yang sekarang, karena teori sains ini akan terus berkembang, sains bisa saja berubah menurut perkembangannya. Kalau teori sains berubah, berarti Alquran juga ikut salah bukan? Keduanya memiliki level yang berbeda.

“Kekhawatiranku terhadap perkara Borobudur dan Nabi Sulaiman adalah itu, bagaimana informasi pada tataran yang berbeda disambungkan menjadi sebuah klausal sebab-akibat pada level yang sama sehingga output-nya menjadi tidak reliable.”

Sabrang kemudian melanjutkan penjelasannya yang mengatakan bahwa ada informasi yang blur dan ada informasi yang tidak bisa dikatakan karena takut nantinya akan menimbulkan asumsi yang tidak benar. Sabrang mecoba menjelaskan satu persatu pertanyaan jamaah.

“Kenapa Tanah Jawa punya peradaban tinggi? Saya jawab dengan sains dan logika dulu. Orang akan punya waktu untuk membangun peradaban ketika urusan perutnya sudah selesai. Kalau sepanjang hari mung golek panganan, dia tidak akan bisa membangun peradaban, waktunya tidak akan cukup. Maka orang yang mampu membangun sebuah peradaban adalah orang yang memiliki punya banyak waktu kosong, sehingga waktu kosongnya diisi dengan membangun peradaban untuk berpikir, berfilosofi. Dan saya yakin, penanam pertama adalah wanita. Karena lelaki lebih banyak menahbiskan waktunya untuk mencari uang, dan wanita menghabiskan waktunya dirumah untuk menyusui anaknya.

“Pernyataan ini logis sebenarnya. Lantas kenapa Jawa peradabannya tinggi, karena di Jawa itu kita tidak kekurangan, mau makan atau minum kita tidak masalah sehingga banyak waktu kosong untuk mencari ilmu-ilmu diluar ilmu tentang bertahan hidup. Kita mencoba untuk mengkorelasikan dengan data-data yang ada. Jawa itu jatuh dari wilahannya buku, jadi koordinatnya ilmu pengetahuan adalah pulau Jawa. Kalau menurut sejarah, coba kita cari syaikh-syaikh besar sudah pernah ngamba Jawa belum, kenapa mereka memilih ngamba pulau Jawa, dan seterusnya. Disini saya tidak berani bicara karena saya takut menjadi kesimpulan, tapi itu menarik untuk digali dan mempelajarinya. Kesimpulan otak saya mengatakan bahwa memang Jawa merupakan titik koordinat yang ditanggungi ilmu pengetahuan. Kalau dalam Islam ada titik koordinat waktu yang istajabah untuk berdoa, misal pada saat dhuha, sepertiga malam. Ada juga koordinat tempatnya juga, misal di Hajar Aswat. Dan pasti ada koordinat lain dengan bidang yang berbeda pula. Di Jawa menjadi titik koordinat ilmu pengetahuan selama orang itu tahu cara mengaksesnya bagaimana.

“Lantas kenapa Majapahit dibumihanguskan? Terus terang saja saya tidak tahu alasannya. Ora tahu ngobrol langsung marang Hayam Wuruk opo Gajah Mada. Tapi banyak kemungkinan teori yang tidak saya bicarakan sebagai kebenaran. Karena mungkin saja bahwa pada masa itu hanya ada satu keraton di Jawa, sehingga keraton yang lain harus dihancurkan karena tidak boleh ada dua pilar. Mungkin saja teknologi sudah begitu tinggi dan bahan-bahan peninggalan Majapahit berasal dari alam, sehingga pada waktu tertentu ia harus kembali kepada alam. Mana yang benar maka membutuhkan penelitian lebih lanjut.”

Demikian Sabrang menutup sesi tanya-jawab yang kedua dan forum dikembalikan kepada Amin. Kemudian Amin mempersilahkan Kyai Muzammil yang baru pertama kali datang ke forum Bangbang Wetan untuk memberikan sumbangsih ilmunya kepada jamaah. Kyai Muzamil ini berasal dari Madura yang sekarang berdomisili di Jogjakarta. “Malam ini saya senang dengan Mas Sabrang, karena umur Mas Sabrang setingkat dengan umur saya, kalau Cak Nun umurnya setingkat orang tua saya.” Maksud Kyai Muzamil ini adalah umur keilmuannya. Beliau bicara tentang peta generasi yang sebelumnya dibicarakan Sabrang.

“Orang sering keliru menganggap Madura itu bukan Jawa, karena sampai sekarang belum disetujui bahwa Madura berdiri sendiri menjadi propinsi, Jawa itu meliputi sampai Madura. Jadi kalau tadi bilang orang Jawa hebat, itu termasuk Madura,” sambutan Lyai Muzamil disambut riuh tepuk tangan dan tawa dari jamaah. Kyai Muzamil memulai diskusinya dengan menjawab pertanyaan dari jamaah yang menanyakan sikap kaum minoritas.

ISLAM FORMALITAS

Kyai Muzamil: “Jadi jangan dikira nabi Muhammad hanya bergaul dengan hanya orang Islam. Kalau dari sejarah, kita lihat keakraban Nabi Muhammad dengan oarng non-muslim. Nabi Muhammad meninggal dunia dengan meninggalkan hutang dan menggadaikan baju perangnya kepada orang Yahudi. Karena kalau sampai hutang-menghutangi, hubungan mereka akrab sekali. Jadi kalau bisa mengetahui teman anda betul betul teman sungguhan atau bukan, jaluken utang. Jadi jangan merasa kecil hati, Nabi Muhammad sendiri mencontohkan untuk bersahabat dengan orang Yahudi. Sebenarnya orang dinyatakan Islam itu bukan sekedar identitas belaka, kalau orang lain yang non-Islam ternyata perilakunya lebih baik, maka dia lebih Islam. Karena kita Islam formalitas, sementara dia Islam secara substansial.”

Kemudian Kyai Muzamil menjawab pertanyaan dari jamaah tentang kyai yang sekarang. “Salahnya masyarakat yang gampang meng-kyai-kan orang. Jadi menganggap kyai ini hanya sebatas penampilan saja, orang yang memakai peci atau sorban lantas dipanggil sebagai kyai. Itu salah besar. Terus Mas Sabrang karena memakai kaos dan tidak memakai peci lantas bukan kyai? Sing tenanan kyai iku Mas Sabrang. Kalau peci kan 20-30 ribu sudah dapat. Saya pakai surban itu bukan bermaksud untuk dipanggil kyai, saya tidak pernah beli surban karena saya selalu dikasih surban sama orang lain, jadi kalau tidak saya pakai kan mesakke. Jadi saya memakai surban ini hanya menyenangkan hati orang yang ngasih saya surban. Maka jangan sekali-kali memanggil saya kyai, nanti tertipu sampean. Karena saya di Jogja di Parang Tritis itu kumpulannya para lonte-lonte.

“Suatu ketika Rasulullah mengutus Sa’ad bin Abdu Waqash, yang penting bukan Sa’ad bin Abdu Waqash itu faktualitasnya seperti apa, orangnya tinggi atau tidak, berkulit putih atau tidak, tetapi kebijaksanaan-kebijaksanaanya seperti cerita Nabi Adam yang diceritakan Mas Sabrang tadi. Suatu saat ketika Sa’ad ini kembali setelah diutus oleh Rasulullah, dia menceritakan bahwa dia bertemu dengan sekelompok masyarakat yang antara manusia dengan hewan itu sama, karena pikiran orang-orang itu sama dengan apa yang ada dalam pikirannya hewan. Jadi kalau ada kyai yang dipikir mung urusan wetheng thok, maka dia bukan kyai.”

Memberikan nasihat itu kan bukan hanya dengan lisan, kalau seorang penyair dia memberikan nasihatnya lewat syairnya, pelukis memberikan nasihatnya melalui lukisannya, sastrawan menasihati melalu karya sastranya.
Kyai Muzamil

PATUNG HALAL

Setelah rampung menjelaskan persoalan kyai sekarang, beliau menceritakan pengalamannya ketika berceramah di daerah dekat dengan Borobudur. Disitu banyak sekali pemahat yang yang membuat patung. “Saya bilang kepada mereka, anda ini adalah orang hebat, karena anda ini keturunan orang yang membuat Borobudur. Borobudur sudah dibangun ratusan tahun yang lalu, tapi anda masih melanjutkan membuat patung-patung. Maka saya katakan bahwa membuat patung itu halal, asalkan niatnya benar. Niat bagaimana? Jadi niat untuk memberikan nasihat. Memberikan nasihat itu kan bukan hanya dengan lisan, kalau seorang penyair dia memberikan nasihatnya lewat syairnya, pelukis memberikan nasihatnya melalui lukisannya, orang yang bisa membuat lagu seperti Mas Sabrang akan memberikan nasihatnya melalui lagunya, sastrawan menasihati melalu karya sastranya, kalau bisa memahat maka sampaikan nasihat dengan cara memahat.

“Silahkan memahat Semar, memberi tahu pada dunia untuk mencontoh Semar, berarti tidak haram bukan? Bahkan kalau perlu silahkan memahat patung anjing untuk mengingatkan orang lain untuk berkaca, kita sama anjing lebih baik mana? Karena sekarang orang terkadang kalah dengan anjing, lebih baik anjing. Jadi jangan gampang-gampang menghukumi patung anjing itu haram. Anjing itu kalau dikasih kebaikan dengan dikasih makan atau diopeni, anjing itu berterimakasih dan setia kemudian menjaga tuannya dari bahaya. Anjing itu tau berterimakasih, membalas kebaikan dengan lebih baik. Tapi sekarang banyak manusia yang dikasih kebaikan oleh Tuhan tapi malah menggigit. Jadi perlu supaya nasihat itu disampaikan melalui apa yang kita bisa. Kalau dulu patung termasuk berhala, sekarang sudah bertransformasi menjadi benda yang tidak kelihatan, misal jabatan.”


Penjelasan Kyai Muzamil kemudian dijeda dengan penampilan musik dari jamaah dan Sabrang yang menyanyikan lagu Sebelum Cahaya atas permintaan para jamaah. Selepas Sabrang bernyayi yang diikuti oleh para jamaah, Amin bilang kepada mas Sabrang untuk tidak kapok datang ke Bangbang Wetan. Sabrang menanggapi Amin, “Sebenarnya tidak masalah. Dulu sekitar empat tahun yang lalu saya pernah membuat diskusi bersama dengan anak-anak muda, yang namanya diskusi Martabat yang konsepnya saya berceramah. Saya membawa tema yang kemudian saya bercerita dan memaparkan sebuah konsep, ternyata hanya bertahan selama 11 bulan. Saya tidak kuat, saya sakit-sakitan waktu itu. Disana hanya berceramah dan bukan berdiskusi, kemudian saya hentikan kegiatan itu.

“Dan berlanjut dengan sebuah grup diskusi (FGD) yang berjalan hanya dengan 5-6 orang saja dan kita diskusi intens disitu. Setelah dua setengah tahun FGD, diskusi Martabat kembali dibuka lagi tiga bulan yang lalu. Dengan konsep kita duduk melingkar tanpa mikrofon agar diskusinya lebih merapat, dan temponya lebih cepat.

“Kalau jenengan khawatir saya kesal banyak dikasih pertanyaan, ora usah khawatir, wes biasa. Iki ora enake dadi anake Cak Nun ngunu kuwi. Kalau saya ora gelem, nanti dimarahi bapak saya. Tetep surgomu kuwi aku bapake. Pokoke saya diomong gitu jawaban saya Nggih-nggih mawon. Arep ngomong tak pecat dadi bapak yo ora iso tho. Wong ini sudah nasib, nasibnya nasab, ora iso diapak-apake. Jadi sudah biasa sampai dua hari dua malam itu pernah sampai diiloke mertua saya. Karena waktu itu saya berdiskusi berdua saja dengan Agus Kriwil anak Semarang yang sekarang di Ungaran. Waktu itu kita berdiskusi menggali tentang bagaimana tauhid bisa turun di Mesir Kuno, dengan relief baca dan seterusnya. Jadi kalau urusan ketahanan itu santai wae, lanjut-lanjut wae. Aku menyiapkan diriku untuk takdir yang mengerikan.” Sabrang menanggap Amin dengan bercanda dengan keluwesannya yang membuat para jamaah merasa nyaman dan tertawa.

Dalam fikih itu harus ada dialektika. Fikih itukan hanya alat, jangan dijadikan tujuan. Jadi jangan sampai menjadi pemicu jauhnya manusia dengan manusia, jauhnya manusia dengan Tuhan.
Kyai Muzamil

JALAN MAKRIFAT

Kyai Muzamil mencoba menjawab pertanyaan Mbak Rani tentang hubungan Descartes dengan man ‘arofa faqod arofa robbahu. “Karena sabda Rasulullah sholallohu ‘alay wasallam itu la yazallul mar’u ‘aliman maa tholabal ilmu, orang itu senantiasa disebut sebagai orang berilmu kalau dia masih mau menuntut ilmu, jadi merasa bodoh. Fa’in dhonnah ’annahu qod ‘alima faqod jahila, ketika dia menyangka dirinya sudah tahu maka dia sudah menjadi orang bodoh. Jadi setelah ini maka semua harus merasa semakin bodoh. Semua wadah kalau diisi itu pasti bisa penuh kan, misalnya gelas kalau diisi bisa meluap, perut juga bisa penuh. Yang tidak bisa penuh itu apa? Yang tidak bisa penuh itu kan ilmu. Jadi sampean masukkan ilmu apapun, otak sampean tidak akan merasa penuh. Maka akan semakin longgar, semakin kosong dan semakin kosong. Orang semakin pinter merasa semakin bodoh, kecuali orang-orang tertentu. Maka tidak ada ilmuwan yang berhenti belajar, jadi kalau berhenti belajar maka bukan ilmuwan.

Man ‘arofa faqod arofa robbahu, ada kebenaran-kebenaran yang universal. Kalau kebenaran universal, Allah bisa meminjam siapa saja. Jadi jangan melihat orangnya, orangnya muslim atau tidak. Kebenaran universal ini sama. Karena semua manusia ini kan tajallinya Allah. Kata sayyidina Ali bin Abi Thalib: al hikmatu dhollatul mukminin. Saya punya guru yang tidak memiliki televisi, Kyai Hasan As’adul Ghofi, karena menganggap menonton TV itu haram. Sampai saya juga punya guru yang menghalalkan bunga bank, Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono, SH, MA. Titelnya ini harus disebut semuanya, karena beliau pasti marah-marah kalau tidak lengkap. Sekarang beliau sudah meninggal. Jadi Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono, SH, MA, almarhum. Kyai Hasan dan Pak Syaikh ini bertolak belakang. Satunya menganggap TV ini haram apalagi musik, terus kalau wanita tampil di panggung kalau ada pengajian langsung pulang, Kyai Hasan Abdul Ghofi ini pulang tidak pamit. Tapi saya ambil ilmu beliau. Gus Dur itu juga salut kepada beliau dan menghargai beliau, meskipun pendapatnya seperti itu tapi karena beliau mempunyai referensi kuat.

“Guru saya bapak Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono, SH, MA almarhum ini menganggap bunga bank itu halal, karena hadits kullu qordhin jarro naf’an lil mukhlid fahuwa harom itu hadits yang dhaif. Dari kedua guru tersebut saya belajar sesuatu yang kontradiktif. Selain itu saya juga berguru kepada Kyai Abdul Wahid Zaini (alm), beliau sudah jadi kyai dan pengurus PB tetapi masih mengajar di Unair. Beliau ini moderat, beliau ini ipar dari KH Hasan Abdul Ghofi. Selama dua tahun, saya juga pernah tidak percaya Tuhan itu ada. Jadi kalau ada yang tidak percaya sama Tuhan saya tenang-tenang saja, karena pernah mengalami fase itu.

“Seperti man ‘arofa faqod arofa robbahu, dia mengenal dirinya sehingga mengenal Tuhannya. Sementara waktu itu saya belum tahu diri saya sehingga saya belum mengenal Tuhan. Dan itu terjadi ketika saya di pesantren, tiap hari saya salat, bisa ngaji, bisa baca kitab kuning tapi saya tidak percaya sama Tuhan. Sampai saya konsultasi dengan guru saya, KH. Abdul Wahid Zaini tadi, kemudian diberi amalan-amalan. Bahkan ketika membaca Alquran saya semakin tidak percaya Tuhan. Islam itu punya man arofa, man arofa itu bukan pikiran tapi pakai hati, makrifat. Kalau ada manusia mengetahui Tuhan itu ada atau ada manusia yang tidak mengetahui Tuhan itu ada, apa lantas adanya Tuhan itu tergantung dari pengetahuan manusia? Tidak kan? Jadi manusia itu tahu atau tidak itu kan Tuhan tetap ada, dan manusia percaya atau tidak, Tuhan itu akan tetap ada.

“Kemudian manusia bisa tahu Tuhan itu ada kan bermacam-macam jalannya. Ada yang dengan inderanya, ada yang pakai akalnya jadi logika, ada juga yang paki hati jadi tidak perlu berpikir. Dan saya gagal menemukan Tuhan itu pakai akal. Dan akhirnya pun saya mengetahui adanya Tuhan itu tadi ya pakai makrifat, saya memakai hati saya. Karena semakin saya pikirkan teori-teori adanya Tuhan, otak saya semakin tidak bisa, sampai tidak bisa tidur. Saya percaya Tuhan salah satunya itu pengalaman, karena saya tidak lulus SMA. Dulu cita-cita saya itu menjadi jaksa, begitu saya sudah siap belajar hingga bagaimana saya bisa lulus SMA dengan nilai terbaik karena saya ingin kuliah di fakultas hukum, saya divonis tidak boleh ikut Ebtanas. Saya tidak bisa ikut Ebtanas karena kehadiran saya tidak memenuhi prosentase kehadiran. Kehadiran harus sampai 80%, sementara kehadiran saya tidak sampai 80%. Padahal ketika lomba cerdas cermat saya biasa mewakili sekolah Al-Ibrahimy, padahal sampai empat kali dan menjadi ketua OSIS. Jadi bagaimana mungkin orang yang mewakili lomba cerdas cermat empat kali dan menjadi ketua OSIS tapi divonis tidak bisa ikut Ebtanas, coba dipikir, bagaimana logikanya? Yang akhirnya kandaslah cita-cita saya menjadi jaksa. Jadi disinilah saya percaya adanya Tuhan. Jadi saya percaya adanya Tuhan dari pengalaman. Jadi arofa itu saya menganggapnya dari hati. Makanya Ar-Rumy bilang, aku mencari Tuhan ke masjid-masjid ternyata Tuhan tidak ada, sampai saya cari ke Mekkah, aku putari Ka’bah ternyata Tuhan juga tidak disana. Akhirnya aku cari Tuhan di dalam hatiku.


Seusai Kyai Muzamil menceritakan pengalamannya mencari Tuhan, Amin kemudian dhawuh bahwa Kyai Muzamil ini mendapat tugas dari Cak Nun untuk berkeliling dan mengkomparasikan ilmu-ilmu di Maiyah dengan ilmu-ilmu yang ada di pesantren. Pak Muzamil kemudian menceritakan, “Saya memang ditugasi Cak Nun untuk menemani teman-teman. Saya bukan orang pintar, jadi jangan ditempatkan menjadi narasumber, jadi teman saja. Mas Sabrang ini lebih top, dan saya yakin teman-teman ini lebih pintar dari saya. Saya hanya kebetulan bisa baca kitab kuning dan bisa mengkomparasikannya dengan kitab putih. Meskipun saya tidak lulus SMA, jadi harap dimaklumi kalau saya bodoh ya. Saya hanya berguru kepada KH. Hasan Abdul Ghofi, KH. Abdul Wahid Zaini, Prof. Dr. Syaikh Hadi Purmono, SH, MA (alm), KH. Muhid (Rois AWAMnya NU), KH. Ma’sum Syafi’I dari Banyuwangi, kemudian saya bertemu Cak Nun. Karena saya berguru dengan orang-orang sufi dan juga beberapa guru yang seperti pak Syaikh tadi, pandangan saya sama dengan Cak Nun bahwa saya tidak anti syi’ah, tidak anti mu’tazilah, dan lain-lain.

“Di Jogja pun juga menjadi Ketua Lajnah Bahtsul Masa’il, PWNU Jogja. Jadi ini saya diamanahi Cak Nun untuk menemani sampean-sampean semua. Dan semalam Cak Nun bilang mau mandhito. Jadi kalau saya dan Mas Sabrang salah, nanti Cak Nun akan mengingatkan.

“Saya memang sedang ditugasi dengan Cak Nun juga untuk menulis buku fikih, Fiqih Muzammily. Jadi kalau salah, orang tidak perlu mengutuk Imam Syafi’i atau Hanafi. Kalau saya ini kan berhak dikutuk atau segala macamnya. Bukan berarti saya mengangkat diri setara dengan Imam Syafi’i. Karena saya menganggap bahwa buku fikih-fikih sekarang itu banyak yang tidak membumi. Salah satu contoh tentang perdebatan tentang aurat wanita yang antara wajah dan tangan atau menutup semua sampai memakai cadar. Imam Syafi’i itu berpendapat bahwa perempuan itu harus menutup seluruh tubuhnya dengan memakai cadar dan seterusnya. Itu harus kita akui bagaimanapun bahwa Imam Syafi’I hidupnya di Mekah, Madinah, Iraq dan terakhir di Mesir. Beliau tidak pernah melihat orang Papua, Spanyol, Perancis, beliau kan tidak pernah. Sehingga beliau hidup dalam suatu kultur yang memang kultur Arab itu seperti itu. Berarti muncul fikih yang memang lahir dari Indonesia, jadi pandangannya memang ada yang berubah. Dalam fikih itu harus ada dialektika. Fikih itukan hanya alat, jangan dijadikan tujuan. Jadi jangan sampai menjadi pemicu jauhnya manusia dengan manusia, jauhnya manusia dengan Tuhan.”

Man ‘arofa faqod arofa robbahu, ada kebenaran-kebenaran yang universal. Kalau kebenaran universal, Allah bisa meminjam siapa saja. Jadi jangan melihat orangnya, orangnya muslim atau tidak. Kebenaran universal ini sama. Karena semua manusia ini tajallinya Allah.
Kyai Muzamil

JALAN AQLI

Setelah Kyai Muzamil merampungkan penjelasannya tentang tugas yang diamanahkan Cak Nun, forum dikembalikan kepada Amin dan diberikan kesempatan kepada Sabrang untuk menyampaikan sumbangsih ilmunya yang terakhir. Kemudian Sabrang memulainya dengan menceritakan pengalamannya ketika belajar di luar negeri.

“Dulu saya sempat ateis selama satu tahun. Kerjaan saya disana mencari telepon umum agar bisa tidur disana dengan nyaman. Kemudian terpikir kenapa tidak tidur di masjid, karena di masjid bisa menampung siapa saja. Akhirnya saya putuskan untuk pergi kesana. Disitu saya mempunyai kesempatan untuk mengobrol dengan seorang syaikh.

“Syaikh, kalau memang benar Gusti Allah itu ada dan Islam itu benar, saya mempunyai pertanyaan: Katanya Tuhan Maha Adil, kata Alquran setan masuk neraka. Setan juga bisa berkembang biak, kan? Kalau syetan lahir satu detik sebelum kiamat bagaimana? Dia belum sempat melakukan kesalahan apapun, lalu dia masuk surga atau neraka? Kalau dia masuk surga, berarti Alquran salah, Islam salah. Kalau masuk neraka, berarti Tuhan tidak adil?

“Dalam batin saya, modyar kowe, piye jawabe, hehe. Syaikh itupun tertawa kepada saya. Kemudian beliau balik bertanya: Kamu tahu syetan berkembangbiak dengan bagaimana? Lantas saya berpikir: oh iya ya. Ya sama seperti manusia, jawab saya. Kemudian Syaikh itu melanjutkan pertanyaannya: Apa kamu yakin syetan lahir karena persetubuhan kemudian melahirkan anak? Kamu tahu informasinya darimana? Kalau misalnya dia berkembangbiak dengan membelah diri seperti amuba bagaimana? Berarti entitas baru anaknya itu melakukan dosa juga seperti orang tuanya. Berarti mungkin kan dia masuk neraka?

“Batin saya, oh iya ya, sing pekok iki utekku wae koyoke. Setelah itu saya pikir, ini urusan Gusti Allah, kita sebagai manusia percaya saja. Kalau ada yang tidak beres atau tidak konsisten, berarti urusan otak kita saja yang belum beres. Ada pengetahuan yang belum kita sampai, atau ada asumsi dalam diri yang belum diurai. Setelah itu saya Islam lagi, dan percaya kepada Gusti Allah. Dan ternyata untuk menemukan jalan Tuhan itu bermacam-macam, ada yang rumit dan ada yang sangat sederhana.

“Ada teman saya bernama Merlis yang rupanya sangat jelek seperti gendruwo jadi kalau saya ditanya apa dia teman saya, saya jawab bukan, ini setan pohon yang saya ambil. Karena anaknya juga menyenangkan. Dia tidak memikir panjang, dia tidak percaya sama Tuhan. Terakhir saya ketemu dia, dia salat rajin. Kemudian saya tanya: Piye, piye perjalananmu nemokke Gusti Allah? Dia menjawab:
Dulu, aku iki gak percoyo karo Gusti Allah. Jare Gusti Allah iki Maha Besar, Maha iki, Maha iki. Kok isok lho. Sak piro gedhene, gak masuk akal. Terus aku belajar matematika, aku ngitung siji, loro, telu, papat dan seterusnya. Sampe sejuta itu masih ada lagi. Sampai semilyar masih ada lagi, setriliun masih ada lagi, tak terbatas. Wong matematika ngunu wae aku percoyo tak terbatas kok, Gusti Allah tak terbatas kok aku ora percoyo.

“Sederhana sekali ketika ia ingin menemukan Tuhan. Mungkin Tuhan adil, untuk IQ melati maka dibutuhkan bukti yang melati juga mungkin. Saya yakin bahwa Tuhan pasti menyiapkan jalan untuk manusia kemana dia harus mencari. Semoga kita disini bersama-sama bisa mencari kebenaran, bisa menemukan posisi kita, bisa menjalankan tugas kita di dunia dengan selamat, direntangkan hidup kita, direntangkan nyawa kita sampai kembali kepada-Nya. Amin ya robbal ‘alamin. Maturnuwun.” Sabrang menutup paparannya malam itu.

Setelah itu dilanjut dengan bershalawat bersama Gus Luthfi, pada penghujung acara Kyai Muzamil menutup forum Bangbang Wetan dengan doa bersama.

[Teks: Masfufatul Qibtiyah Y dan Naqibatin Nadliriyah]