Tadabbur “Slilit Sang Kiai”

Catatan singkat diskusi buku “Slilit Sang Kiai”

SEORANG berkebangsaan Jerman, Karl May dapat menggambarkan kondisi West Wild –nya Amerika tanpa sekalipun dia pernah menginjakkan kakinya di Amerika dalam novel fiksi “Winnetou”,  hal ini berlangsung sekitar hampir 2 abad yang lalu. Hampir satu abad berikutnya pria kelahiran Solo, Asraman Sukowati atau dikenal dengan Kho Ping Ho membuat tulisan karangan silat dengan latar belakang negeri Cina, tanpa diapun belum pernah pergi ke negeri tersebut. Imajinasi seseorang bisa menembus pengetahuan pengarang atau pembacanya lewat sebuah karya tulisan, dan tetap menjadi pembahasan berabad-abad setelahnya karena para pencinta buku berkumpul untuk membahasnya dalam perkumpulan atau komunitas penikmat membaca buku.

Berbicara tentang Maiyah sudah pasti kita tidak bisa melepaskan diri dari sosok Cak Nun. Salah satu hal yang belum tampak di Maiyah hari ini adalah adanya sebuah klub pecinta buku karya-karya Cak Nun. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi para penggiat Kenduri Cinta. Semua gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang disampaikan ketika Maiyahan sebenarnya sudah disampaikan jauh sebelum Maiyah itu sendiri lahir. Maka penggiat Kenduri Cinta menggagas adanya sebuah forum diskusi yang khusus untuk membahas tulisan-tulisan karya Cak Nun.

“Slilit Sang Kiai”, sebuah buku kumpulan esai karya Emha Ainun Nadjib yang diterbitkan pertama kali tahun 1991 menjadi buku pertama yang dijadikan bahan diskusi para penggiat Kenduri Cinta untuk mulai belajar bersama mentadabburi esai karya-karya Emha Ainun Nadjib, di tengah fenomena budaya menonton video cenderung lebih tinggi peminatnya dibanding dengan minat membaca tulisan.

Jumat lalu (21/9), penggiat Kenduri Cinta menginisiasi lahirnya sebuah wadah baru yang dikhususkan untuk menjadi ruang diskusi, membahas tulisan karya Cak Nun. Inisiatif ini lahir dalam rangka menghidupkan kembali minat baca, setidaknya dalam lingkup kecil penggiat Komunitas Kenduri Cinta ini. Setelah digagas sebelumnya di forum Reboan, ruang diskusi ini kemudian dilaksanakan di sebuah Café di bilangan Tebet Jumat lalu.

Para penggiat Kenduri Cinta adalah orang-orang yang telah menemukan satu kesepakatan akan nilai-nilai yang dibawa oleh Cak Nun dalam tulisan-tulisannya, yang kemudian kini melalui Sinau Bareng di Maiyah kita dapat menyimak secara langsung gagasan-gagasan bernas seorang Emha Ainun Nadjib. Setidakya, sebulan sekali kita bersua dengan beliau di Kenduri Cinta.

Jauh sebelum ada Maiyah, Cak Nun menuliskan gagasan-gagasannya melalui tulisan, salah satu buku yang fenomenal adalah buku “Slilit Sang Kiai” yang menjadi buku pertama untuk dijadikan bahan diskusi penggiat Kenduri Cinta ini. Alasan lain yang menjadi penguat mengapa acara diskusi esai karya Cak Nun ini digagas adalah karena kebanyakan Jamaah Maiyah mengenal Cak Nun, terutama yang baru mengenal Maiyah tidak berangkat dari esai-esai karya Cak Nun. Berbeda dengan mereka yang sudah mengenal sosok Cak Nun di tahun 90-an, mereka adalah orang-orang yang mengenal Cak Nun karena tulisan-tulisan yang sangat bernas saat itu, sehingga kahadiran Cak Nun melalui kolom atau esai yang dipublikasikan di surat kabar begitu dinantikan oleh mereka.

Seringkali ketika kita membaca salah satu tulisan Cak Nun yang sudah lama, dengan mudah kita kemudian mengatakan bahwa tulisan tersebut masih sangat relevan dengan zaman sekarang. Pertanyaannya kemudian adalah apakah memang benar Cak Nun begitu visioner, sehingga kegelisahan sebuah persoalan yang ditulis pada tahun 80-an ternyata masih sangat relevan hari ini atau memang zaman yang sedang kita alami ini yang tidak berubah sama sekali? Tidak hanya 1-2 tulisan saja yang ditulis oleh Cak Nun di tahun 70-an bahkan yang masih sangat relevan dengan situasi yang kita alami hari ini.

Seperti tulisan “Slilit Sang Kiai”, kegelisahan seorang Kiai ketika di sorga, karena ketika hidupnya ia pernah memotong bagian kecil dari pagar bambu milik tetangganya untuk membersihkan slilit sisa makanan di sela-sela giginya. Alkisah, sang Kiai begitu gusar, seluruh dosa sudah diampuni oleh Allah, tetapi peristiwa memotong sebagian pagar bambu untuk dijadikan tusuk gigi itu masih terngiang. Hanya sekadar bagian kecil dari potongan bambu saja sang Kiai sangat masygul, bagaimana jika yang sesuatu yang ia ambil yang bukan merupakan hak nya adalah gelondongan kayu jati atau uang miliaran milik rakyat? Ada nilai-nilai kehidupan yang sangat luhur dari tulisan ini, bukan hanya soal pembelajaran bahwa mengambil hak milik orang lain adalah perbuatan yang tidak terpuji, tetapi juga bagaimana kita sebagai manusia juga harus memiliki kepekaan untuk menyayangi makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain.

Cak Nun menulis dalam tulisan tersebut, bagaimana Suku Wintu begitu meyayangi alam, salah satu yang mereka lakukan adalah tidak menebang kayu yang masih muda, dan ketika harus mencabut akar dari sebuah pohon, mereka memilih untuk menggali lubang di sekitar pohon itu, kemudian mencabut dengan sangat hati-hati akar pohon yang tertanam di dalam tanah itu.

Adi Pudjo berkisah, bahwa tulisan-tulisan Cak Nun telah mengantarkan dirinya untuk mengenal Islam lebih dalam. Ia mengakui bahwa ia tidak memiliki latar belakang sebagai seorang santri, sehingga tidak begitu memahami Islam. Melalui tulisan-tulisan Cak Nun yang dulu dipublikasikan salah satu surat kabar di Surabaya, Adi mulai belajar memahami esensi dari hidup beragama.

Ada satu pertanyaan yang muncul, apakah tulisan-tulisan karya Cak Nun ini sanggup diterima oleh masyarakat hari ini, apalagi kita semua memahami bahwa budaya membaca masyarakat kita sangat rendah. Fahmi Agustian dalam diskusi kali ini merespons bahwa yang diperlukan saat ini adalah bagaimana nilai-nilai Maiyah yang sudah digagas oleh Cak Nun sejak lama dalam tulisan-tulisan beliau, dikemas ulang dalam kemasan yang lebih mudah diterima oleh masyarakat hari ini. Mau tidak mau, kita memang harus menyesuaikan diri dengan zaman sekarang, bukan sepenuhnya mengikuti arus yang ada, namun dengan skala yang terukur memang harus ada hal-hal yang kita harus berkompromi dengan perkembangan hari ini. Semoga dengan digagasnya sebuah forum diskusi yang membahas esai karya Cak Nun ini, semangat membaca Jamaah Maiyah kembali tumbuh.

Tentu saja, karena agenda ini baru pertama kali dilaksanakan, masih tampak suasana yang canggung. Terlebih, para penggagas diskusi ini adalah penggiat yang notabene baru 1-2 tahun bergabung di Komunitas Kenduri Cinta. Tradisi yang dibangun di Kenduri Cinta adalah bahwa tidak ada senioritas. Setiap ide dan gagasan yang muncul dalam forum Reboan, akan dibicarakan dan didiskusikan. Jika kemudian disepakati, maka seluruh penggiat secara kolektif akan mendukung agenda yang sudah disepakati itu.

Secara bergantian, beberapa penggiat Kenduri Cinta yang hadir pun turut menyampaikan respons mereka. Beberapa penggiat yang sudah lama bergabung di Kenduri Cinta menyambut baik adanya wahana diskusi esai karya Cak Nun ini. Harapannya tentu saja, pada event diskusi selanjutnya, format acara yang dilangsungkan bisa lebih matang lagi dan mampu menjaring peserta lebih banyak lagi untuk turut berkontribusi. Direncanakan, acara diskusi esai karya Cak Nun ini akan diselenggarakan satu bulan sekali. Tentu saja nantinya akan membahas esai-esai yang lain dari buku-buku yang juga tak kalah fenomenal dari “Slilit Sang Kiai”.

Siapa yang dapat menjaga nilai-nilai yang dikandung oleh esai karya Cak Nun selain para jamaah Maiyah itu sendiri? Mereka adalah yang notabene belajar bersama untuk secara kontinyu membahas dan terus menggali nilai-nilai yang dikandung. Ikhtiar ini tentu saja dilandasi sebuah komitmen bersama untuk terus menjaga semangat keberlangsungan penyelenggaraan event ini. Sebagai laboraturim bersama, para penggiat Kenduri Cinta terus melakukan eksperimen dan membuat hipotesa agar mendapat formula-formula dengan dosis yang tepat di situasinya dalam upaya membuat ruang untuk merangkai nilai dan merajut makna serta mengaplikasikan dalam kehidupan ini.