Mengidentifikasi ‘Garis’ dan ‘Bidang’ menuju ‘Manusia Ruang’

“HENDAKLAH waspada kepada saya. Anda harus hati-hati kepada saya”, Cak Nun menyapa jamaah Kenduri Cinta pada Jumat malam (14/9) lalu. Setelah jeda penampilan musik dari “Golek Suwong” dan “Project Cinta”, Cak Nun naik ke Panggung bersama Andre Dwi. Sementara Ali Hasbullah, Ust. Fauzan dan Kyai Syauqi juga masih berada di panggung setelah sebelumnya berdiskusi bersama di sesi awal yang dimoderatori Tri Mulyana dan Sigit Hariyanto.

Sebuah pesan awal yang disampaikan oleh Cak Nun bukan tanpa alasan. Membludaknya jamaah pada setiap Maiyahan menjadi kekhawatiran tersendiri, bahkan di Kenduri Cinta edisi Agustus lalu, Cak Nun juga menyampaikan pesan serupa. Tentu saja sangat wajar, sebagai manusia biasa Cak Nun sendiri merasa khawatir jika jamaah maiyah terjebak pada kultus individu pada sosok dan diri Cak Nun.

Hampir di setiap Maiyahan, ketika hendak naik atau menuju panggung lokasi Maiyahan dilangsungkan, banyak jamaah yang sudah berebut untuk bersalaman dan mencium tangan Cak Nun. Di akhir acara, ketika prosesi salaman sering memakan waktu 1-2 jam bagi Cak Nun untuk melayani jamaah yang ternyata tidak hanya bersalaman dan mencium tangan, ada yang minta diusap kepalanya, disuwuk air mineralnya, ada yang memeluk tubuh Cak Nun sangat erat, sehingga terkadang membuat alur lalu lintas salaman menjadi tersendat.

Belum lagi, ada yang tiba-tiba naik ke panggung di tengah-tengah acara, tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa segan, menumpahkan persoalan hidup. Tidak jarang ada yang sampai terisak menangis hingga menetes air mata ketika mengungkapkan tekanan hidup yang dialami kepada Cak Nun. Kondisi seperti ini sudah dialami oleh Cak Nun sejak dulu, bukan hanya akhir-akhir ini saja.

Sebagaimana yang juga selalu ditekankan oleh Cak Nun bahwa di Maiyah dan juga di dalam kehidupan kita, bahwa Allah adalah pihak utama yang harus selalu diutamakan. Kalau pun ada sosok lain yang harus ada selain Allah, maka sosok itu adalah Rasulullah saw. Maka di Maiyah kita mengenal segitiga cinta. Dalam sebuah ayat di dalam Al Qur’an, Allah berfirman; Laa tarfa’ ashwatakum fauqo shouti-n-nabii. Kita di Maiyah mentadabburi, bahkan sekadar untuk meninggikan suara di atas suara Rasulullah saw saja kita dilarang oleh Allah, apalagi menjadi lebih populer dari Rasulullah saw. Maka sangat jelas bahwa Cak Nun tidak menghendaki dirinya menjadi lebih populer dari Rasulullah saw. Apalagi lebih diprimerkan dari Allah swt.

“Kalau sama Allah, sama Rasulullah saw, sama Al Qur’an, maka Anda laa roiba fiihi hudan lill muttaqiin”, Cak Nun menjelaskan sembari menegaskan bahwa prinsip dasar Sinau Bareng di Maiyah adalah jangan percaya kepada Cak Nun. Segala informasi yang didapatkan di Maiyah, ada yang mungkin bisa langsung dicerna oleh akal dan pikiran manusia, namun tentu lebih banyak lagi informasi yang harus diproses terlebih dahulu, tidak ditelan mentah-mentah, apalagi dijadikan landasan sebagai fatwa.

Kenduri Cinta edisi September 2018 mengangkat tema “INDOAUTONESIA”. Tema-tema yang diangkat di Kenduri Cinta selalu mengutamakan kekuatan logika akal dan nurani setiap manusia yang hadir, sehingga sejak dulu di Maiyahan tidak pernah ada fatwa apalagi doktrin, karena setiap orang yang hadir berhak menemukan sendiri kebenaran yang diyakini, dan juga menyadari tidak akan memaksakan kebenarannya untuk diyakini oleh orang lain.

Pesan tegas Cak Nun ini menjadi salah satu khasanah ilmu di Maiyah yang menjadi dasar pondasi yang selalu menjaga tumbuh suburnya kesetiaan setiap makhluk Allah yang terlibat dalam Sinau Bareng di Maiyah. Tidak terlalu membesar-besarkan, namun sepertinya memang itu yang menjadi pemompa semangat sehingga majelis ilmu Maiyah di berbagai daerah terselenggara secara istiqomah.

Jika Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan; Undhur maa qoola wa laa tandhur man qoola, lihatlah, perhatikan, dengarkan apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan. Sebuah pesan mendalam yang disampaikan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Rasulullah saw yang paling cerdas. Seringkali sebuah informasi yang benar memang datang dari orang yang tidak kita sangka-sangka. Terkadang, kita sering under estimate kepada seseorang, sehingga apapun yang ia sampaikan selalu kita abaikan.

Nemun demikian, ada klausul lain yang juga berlaku hari ini, karena kita sekarang tidak hidup di era Ali bin Abi Tahlib. Maka ada klausul lain dimana kita juga harus melihat siapa yang menyampaikan, tanpa mempertimbangkan apa yang disampaikan. Karena pada momen tertentu, kita dapat menjumpai seseorang yang sangat berkharisma, sehingga apa yang disampaikan adalah ilmu yang penuh hikmah. Ada juga klausul yang berlaku dimana kita harus memperhatikan siapa dan apa yang disampaikan. Ada jenis manusia yang memang harus selalu kita pertimbangkan, baik terkait siapa sosok dirinya maupun apa yang disampaikan. Kemudian, ada juga klausul dimana situasi dan kondisi fakta di lapangan sudah sangat jelas, maka yang berlaku adalah jangan dilihat siapa yang mengatakan dan jangan pula apa yang disampaikan.

Cak Nun senantiasa melatih kita untuk selalu berpikir dan berlaku seperti orang thawaf di ka’bah. Melihat, memperhatikan, memandang, bahkan meneliti setiap sisi. Bahkan jika perlu, jangan hanya mengelilingi sisi samping saja, namun juga atas dan bawah. Sehingga semakin lengkap referensi kita ketika hendak memutuskan keputusan yang akan diambil. Kita pernah diajarkan zig-zag, siklikal, melingkar agar tidak selalu terjebak pada posisi linier semata.

Beberapa bulan terakhir, Cak Nun kembali mengelaborasi terminologi manusia ruang. Sebagaimana ruang, Cak Nun memposisikan diri sebagai ruang bagi semua orang. Siapa pun saja yang datang kepada Cak Nun dengan niat yang baik, hati yang tulus maka akan diterima juga dengan baik. Menjadi manusia ruang bukan hal yang mudah untuk dilakukan jika kita tdiak terbiasa mengidentifikasi mana yang primer dan mana yang sekunder.

Dalam bangun ruang, terdapat bidang dan garis. Anggaplah Indonesia ini sebuah ruang, maka di dalam Indonesia terdapat banyak bangun dan di setiap bangun terdapat garis. Ada wilayah yang memang sifatnya adalah bangun dana da yang garis. Dan Indonesia adalah ruang bagi itu semua. Jika kita melihat wilayah yang lebih luas lagi, maka Islam adalah ruang bagi seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah di alam semesta ini. Sayangnya, seringkali sekarang ini kita menghadapi kesalahpahaman masyarakat memahami Islam hanya dianggap sebagai sebuah institusi semata. Sehingga, universalitas Islam tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat, diakibatkan dari sempitnya pemahaman masyarakat tentang Islam itu sendiri.

Persoalan PILPRES tidak luput dari pembahasan yang disampaikan oleh Cak Nun di Kenduri Cinta Jumat lalu. Tidak dipungkiri, Cak Nun masih menjadi alah satu referensi masyarakat di Indonesia untuk ditunggu siapa calon Presiden yang disarankan oleh Cak Nun untuk dipilih. Hampir pada setiap pemilu di Indonesia, sejak adanya pemilihan secara langsung Presiden dan Wakil Presiden, Cak Nun selalu mendapat pertanyaan tentang siapa sosok yang layak untuk dipilih.

Sementara, masyarkaat Indonesia kebanyakan menyempitkan diri untuk bersibuk ria berada di sebuah bangunan kecil bernama PILPRES. Hingga akhirnya justru melupakan asas demokrasi itu sendiri bahwa pilihan terhadap salah satu kandidat adalah sebuah rahasia. Hari ini, asas rahasia itu sudah tidak ada, karena pilihan setiap orang terhadap salah satu kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden sudah mereka umbar di ruang publik, dalam obrolan warung kopi, dalam postingan media sosial dan lain sebagainya. Sudah tidak ada lagi rahasia dalam iklim demokrasi di Indonesia.

Maka, salah satu saran Cak Nun adalah nikmatilah kerahasiaan pilihan dalam bilik TPS di hari pemilihan, jangan diumbar-umbar di ruang publik. Pada faktanya, yang terjadi justru semakin memecah persatuan rakyat di Indonesia hanya dikarenakan perbedaan pandangan politik. Padahal, urusan PILPRES ini hanyalah ‘garis’ yang berada di dalam ‘bangun’ demokrasi yang berada di dalam ‘ruang’ bernama Indonesia.

Seringkali Cak Nun mensimulasikan bahkan dalam statemen yang sangat radikal. Pernah suatu ketika di Kenduri Cinta, Cak Nun menyampaikan; Andaikan Indonesia ini bubar, apakah Anda tetap hidup? Mayoritas jamaah saat itu menjawab “tetap hidup!”. Sebuah jawaban yang penuh optimisme yang muncul dari orang maiyah. Bukan dalam rangka menegasikan fungsi negara, tetapi justru membuktikan bahwa memang hidup dan mati kita di dunia ini bukan bersandar kepada keberlangsungan negara, melainkan hanya kepada Allah yang memang Maha Memiliki atas segala kehidupan ini. Pesan inilah yang sepertinya menjadi konklusi yang hendak ingin disampaikan oleh Cak Nun kepada masyarakat di Indonesia.

Ada 4 kondisi makhluk Allah di hadapan Allah; dibimbing, diizinkan, dibiarkan, dan disesatkan. Kita sebagai manusia tidak mampu menentukan di mana letak posisi yang tepat Indonesia di hadapan Allah. Apakah Indonesia ini dibimbing oleh Allah, diizinkan oleh Allah, dibiarkan oleh Allah, atau justru sedang disesatkan oleh Allah. Dan seperti yang juga disampaikan oleh Cak Nun dalam sebuah video yang dirilis resmi di kanal youtube caknun.com, tugas kita sekarang adalah merayu Allah agar jangan sampai kita menjadi pihak yang disesatkan oleh Allah. Syukur kalau kita mampu mengupayakan menjadi manusia yang dibimbing oleh Allah. Karena manusia yang dibimbing oleh Allah, bukan hanya diizinkan, tetapi juga difasilitasi oleh Allah, dipenuhi segala kebutuhannya oleh Allah.