Setelah Mudik, Kita Kembali Berpuasa

BERKUMPUL BERSAMA keluarga di kampung halaman pada waktu Lebaran sudah menjadi tradisi tahunan. Hampir setiap orang yang hidup merantau atau memiliki kerabat yang tinggal berjauhan mendambakan momen ini. Meskipun untuk mudik butuh perjuangan, tetapi persiapan bekal dan perjalanan selama pulang kampung jadi terbayar dengan melepas kerinduan. Bergembira berkumpul bersama sanak saudara, setelah sebulan lamanya melaksanakan shiyam ramadlan.

Berduyun-duyun orang keluar dari Ibukota Jakarta dan Kota-kota besar lainnya menjelang hari Lebaran. Menggunakan berbagai moda transportasi baik darat, laut, atau udara menuju kampung halaman. Bagi yang menggunakan kendaraan umum, tiket perjalanan sudah di pesan jauh-jauh hari. Sedangkan yang menggunakan kendaraan pribadi, kemungkinan terjebak macet selalu menghantui. Begitu juga setelah hari Lebaran, mulai berduyun-duyun orang balik ke Kota tempat mereka menjalankan aktivitas hidup sehari-hari.

Tahun demi tahun semakin terjadi perbaikan guna mengatasi kendala transportasi mudik dan balik Lebaran. Tiket pesawat, bus, dan kereta api dijual secara online. Jumlah armada dan jadwal pemberangkatan ditambah. Untuk pengguna kereta api tidak lagi ada tiket tanpa tempat duduk dijual, sehingga pemandangan penumpang kereta api yang berdiri berjejal memenuhi selasar gerbong, sambungan kereta, hingga di dalam WC sudah tidak ada lagi. Untuk pengguna jalur darat jalan-jalan diperbaiki. Tol-tol dibangun sebagai jalan bebas hambatan untuk mengurangi kemacetan.

Kenyamanan perjalanan mudik sering dijadikan indikasi kesuksesan penyelenggara pemerintahan. Berbagai pembangunan fasilitas umum digencarkan supaya arus mudik dan balik semakin lancar. Namun, kesuksesan pembangunan fasilitas umum pada dasarnya adalah kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan kecukupan hajat hidup orang banyak, termasuk keberadaan jalan raya.

Klaim sepihak sebagai yang paling berperan dalam pembangunan jalur Tax On Location oleh periode pemerintahan tertentu boleh-boleh saja. Tetapi kenyataan bahwa hutang berkedok investasi dibalik pembangunan-pembangunan itu semestinya tidak ditutupi. Supaya masyarakat tahu bahwa pemilik jalan TOL adalah Rakyat, yang ketika melewati jalan miliknya justru dipaksa untuk membayar pajak. Jalan TOL dibangun oleh pemerintah dan swasta dengan skema investasi yang rumit tentu ketika dijelaskan tidak mudah untuk dimengerti oleh khalayak awam. Bahkan ketika jalan raya yang menguasai hajat hidup orang banyak itu dimiliki oleh Swasta sekalipun, Rakyat tidak bakal mampu menggugat.

Adanya pihak Swasta dalam hubungan antara Pemerintah dan Rakyat berakibat rumah tangga negara tidak lagi dapat dipetakan menggunakan relasi tegas suami-istri. Tentunya ada uraian peran pihak Pengusaha Swasta di dalam rumah tangga Negara Kesatuan Republik Indonesia supaya usaha kehidupan masyarakat dapat tepat menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jangan sampai kelak kemudian hari akan muncul Pemerintahan Swasta yang secara sembrono menjadi orang-tua yang dengan dalih keadilan sosial memaksakan anak-anaknya dari Sabang sampai Merauke mesti berpakaian pembangunan dengan ukuran yang sama tanpa memperhitungkan geografis penghasilan dan kebutuhan rakyat masing-masing daerah.

Apa pun itu, kita semua patut bersyukur karena pada tahun ini kita dapat kembali melaksanakan tradisi mudik berlebaran di kampung halaman. Setelah satu bulan lamanya kita berada dalam sebuah arena penempaan diri di Madrasah Ramadlan. Satu bulan kita melatih diri menjalani Shiyam untuk kemudian sebelas bulan berikutnya kita akan melaksanakan Shoum pada dimensi yang lebih luas. Karena pada hakikatnya, Puasa yang sejati adalah Puasa dalam kehidupan sehari-hari. Puasa yang sejati bukan sekadar menahan lapar dan haus, namun juga mampu membatasi diri untuk tidak melakukan sesuatu hal yang semestinya boleh kita lakukan. Atau bahkan lebih radikal lagi, kita tidak melakukan sesuatu hal yang sebenarnya kita berhak melakukannya, namun atas dasar pertimbangan Shoum, kita tidak melakukannya.