TAWAKAL REFORMASI

Reportase Juguran Syafaat 9 Mei 2015

URUN PERSPEKTIF REFORMASI

Setelah membaca Alquran Surat Yunus ayat 1-20 forum Juguran Syafaat malam itu dialasi dengan wirid padhangmbulan. Al Fatihah lalu dibacakan teruntuk (Alm.) Wiwit Widiyanto, jamaah Maiyah yang berpulang sehari sebelumnya.

Mengawali forum, Kukuh memandu para sedulur untuk saling mengenal lebih dekat antara satu dengan yang lain, terutama bagi sedulur yang baru pertama kali itu menghadiri Juguran Syafaat. Diantara yang hadir ada yang berasal dari kalangan akademisi, seperti IAIN Purwokerto dan Universitas Jendral Sudirman, juga ada yang dari kalangan pekerja kantoran serta seniman. Meski malam itu mereka baru hadir di Juguran Syafaat, sebagian mereka ada yang sudah pernah mengikuti maiyahan di Jogja (Mocopat Syafaat).

Tentang tema, Viki dari Sokaraja merelasikan reformasi dengan bidang kesehatan, ia sampaikan bahwa industri kesehatan dahulu menggunakan alat-alat manual namun kini telah ber-reformasi menggunakan alat-alat digital yang canggih. Warso dari Purbalingga menyambungkan reformasi dengan peristiwa-peristiwa kehidupannya, menurutnya reformasi adalah ganti formasi atau ganti bentuk, dari yang sebelumnya kurang baik menjadi lebih baik. Lain hal dengan Faisal, akademisi dari Universitas Jendral Soedirman itu mengatakan bahwa gerakan reformasi 1998 hanya diketahui masyarakat sebagai peristiwa lengsernya Soeharto, padahal dibalik itu ada hal yang tidak pernah diekspos oleh media yaitu ada tiga tokoh yang berperan penting dalam proses tersebut, yaitu: Cak Nun, Cak Nur dan Gus Dur.

Merespon ketiga pembicara sebelumnya, Kukuh sampaikan titik lemah gerakan reformasi yaitu tidak adanya pemahaman bersama mengenai bagaimana menjalankan pemerintahan selanjutnya pasca turunnya Soeharto. Mereka waktu itu hanya bertujuan untuk menurunkan Soeharto.

Diskusi kemudian diberi jeda dengan tampilnya kelompok musik Ki Ageng Juguran yang malam itu membawakan lagu Kuncine Lawang Suwargo.

SISI LAIN “98”

Pertemuan Juguran Syafaat diselenggarakan semata-mata untuk mewadahi kemurnian dalam belajar bukan untuk kepentingan-kepentingan sesaat, hal itu dikemukakan oleh Kusworo. “Kalau mengatakan ‘sumber informasi’ sekarang sudah tidak ada sumber yang valid, semua kabur,” kata Kusworo. Menurut Kusworo, anak-anak muda perlu banyak alternatif asupan informasi untuk melatih cara berpikir mereka. Itulah mengapa ada forum-forum maiyahan (Juguran Syafaat dan lainnya), mereka pun dapat mengikutinya melalui buku, YouTube atau menghadiri langsung.

Rizky menambahkan, forum Maiyah bukan lahir karena inisiatif tapi karena kebutuhan zaman. Ketika informasi semakin kabur sumber dan validitasnya maka zaman bereaksi dengan menelurkan komunitas-komunitas epistemik, komunitas yang lebih mendalam penggaliannya dibanding umumnya. Kata, peristiwa dan fenomena apapun musti diketahui bukan hanya dari kulitnya tapi juga kedalamannya. Bukan hanya etimologinya tapi juga epistemologinya. “Kita bersyukur bisa terlibat dalam forum-forum semacam ini,” ujar Rizky, “Reformasi (baca: tema) disini adalah sebagai pemantik saja bahwa cara berpikir kita sebenarnya terpenggal dalam mengakses sejarah, pengertian dan definisi.”

Ki Ageng Juguran kembali mengisi jeda dengan nomor sholawat Padhangmbulan.

Terkait gerakan reformasi yang terjadi pada bulan Mei 1998, Hardi—pada saat reformasi berprofesi sebagai wartawan—menyampaikan, bulan Mei selalu menjadi momentum kebangkitan negara Indonesia, mulai dari lahirnya gerakan Budi Utomo, penyelenggaraan rapat persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) hingga peristiwa reformasi. Dalam peristiwa reformasi banyak pihak yang memiliki kepentingan, dari pribadi-pribadi, media massa, aktivis-aktivis hingga kepentingan militer. “Setelah Soeharto turun, berbagai macam kepentingan muncul, saling berebut bicara sebagai ahli reformasi. Banyak hal terjadi di luar gedung DPR yang secara paralel tersambung dengan peristiwa reformasi tapi tidak bisa kita ungkap karena tersembunyi oleh dinding militer,” tambah Hardi. Ia menyayangkan banyaknya penggalan-penggalan informasi yang hilang, sehingga pemahaman kita tentang sejarah reformasi menjadi tidak utuh, terutama siapa-siapa saja yang berperan saat itu.

Bilwan adalah salah satu orang yang kecewa dengan turunnya Soeharto. Ketika reformasi bergulir, ia saat itu sedang berada di Jakarta dan kehilangan kesempatan untuk dekat dengan penguasa. Namun harapan akan hari esok kembali tumbuh setelah ia tahu bahwa yang diundang untuk ‘rembugan’ reformasi oleh Soeharto bukanlah dari kalangan aktivis, partai politik, anggota dewan dan sebagainya, namun justru orang-orang seperti Cak Nun, Cak Nur, Gus Dur dan lain-lain. Meskipun pada akhirnya kini ia menyimpan kesedihan karena reformasi tidak dikawal dengan baik.

Kusworo langsung menanggapi, jika dalam permainan sepakbola yang dilakukan oleh Indonesia baru mengganti pemain-pemainnya bukan mengubah formasi permainannya.

Dari perspektif berbeda, gerakan reformasi diawali dengan kerusuhan rasial yang terjadi dibanyak tempat. Titut Edi lalu mengisahkan tentang sebuah hubungan harmonis antara ia dan tetangganya yang keturunan Tiongkok, diantara mereka tak pernah terjadi pertengkaran. Hal ini karena mereka memahami bahwa yang terpenting dalam membina hubungan dengan sesama manusia adalah urusan ruhaninya bukan urusan warna kulit, fisik, suku atau agamanya, karena yang sejati adalah mensyukuri apa yang dimiliki.

Titut lalu membaca sebuah puisi tentang kritik terhadap kehidupan, lalu disambung dengan sebuah lagu berjudul Amenangi Jaman Edan. Diskusi makin menghangat dan berlanjut hingga malam. Menjelang tengah malam, sebuah nomor berjudul Marhaban Ahlan Wa Sahlan dipersembahkan oleh Ki Ageng Juguran, dilanjutkan dengan lagu Kepadamu Kekasihku yang divokali oleh Tita.

TAWAKAL, RUANG TUHAN ATAS BATAS KITA

Kita diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan serta kemampuan yang terbatas. Namun dalam ketidakmampuan itulah justru tawakal dibutuhkan. Agus Sukoco mengibaratkan seperti kita mengenal dekat seorang Kapolres, jika kita dengan Kapolres hubungannya sudah dekat maka kejadian buruk apapun yang menimpa, kita bisa mengeluhkan dan pasti akan dibantu oleh Kapolres karena ia mengenal dekat kita. Itu berbeda jika kita jauh, kita akan sungkan minta bantuannya. Kepada Tuhan, kita musti seyakin itu, bahwa ketika terjadi apa-apa nantinya Tuhan akan ikut bekerja dan bertanggung jawab memfasilitasinya. Seperti itulah tawakal.

“Kita sering jauh memposisikan Allah. Tawakal ini disengaja Tuhan karena kita memang diciptakan secara terbatas kemampuannya. Dalam ketidakmampuan, disitulah Tuhan hadir melalui ruang tawakal,” ucap Agus Sukoco.

Dalam bertawakal, kita harus melakukan sesuatu dengan semaksimal mungkin. Apabila belum melakukan apa-apa sudah pasrah, maka itu adalah bentuk dari kemenyerahan bukan ketawakalan. Hal itu ditambahkan oleh Azmy dari komunitas Gusdurian.

Agus Sukoco malam itu juga mengkritisi demokrasi dan proses politik yang banyak terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah proses pemilihan kepala daerah dimana calon-calonnya harus mendapatkan rekomendasi dan partai politik pusat. Hal itu berbeda dengan tradisi pemilihan kepala suku, rakyat setempat mempunyai kedaulatan penuh dalam memilih siapa-siapa yang kelak akan menjadi pemimpin di sukunya.

“Pilkada itu omong kosong jika disebut demokrasi. Diam-diam kita kalah berdaulat dibanding dengan sebuah suku primitif di pedalaman sana. Besok-besok, anggota DPR kita nampaknya perlu studi banding untuk belajar kedaulatan kepada pemilihan kepala suku primitif,” kritik Agus.

“Globalisasi cenderung menjadi peristiwa yang menyebabkan batalnya kesucian hidup. Runtuhnya nilai-nilai lokal itu karena nilai-nilai Barat yang sedang memenangi sejarah berkuasa dominan atasnya. Kita dipaksa untuk mengakui bahwa yang cantik itu yang berkulit putih, yang ganteng itu yang berhidung mancung. Saya berdoa, semoga kelak yang memenangkan peradaban adalah bangsa Afrika, sehingga ukuran tadi akan terbalik semua.

“Apakah yang disebut maju itu harus seperti Singapura, Amerika dan Jepang? Jika iya, maka kita tidak akan pernah bisa mencapainya karena bekal kita bukan mencari kemajuan dengan indikator yang mereka peroleh. Kita musti mempunyai ukuran sendiri untuk menjadi negara maju yang seperti apa.

“Reformasi adalah satu format kepemimpinan yang mampu menjaga kedaulatan. Yang Juguran Syafaat lakukan sekarang adalah upaya untuk melakukan wudhu dan mandi besar peradaban yang sedang terjadi kenajisan disana-sini.

“Mau sampai kapan? Ya kita tidak tahu. Tapi kita terus melakukan, melakukan dan melakukan. Karena Rasulullah saja saat mendapatkan ayat tidak pernah menanyakan kapan akan selesai. Rasulullah hanya menjalani ayat demi ayat sampai 23 tahun. Maka doa kita adalah agar kita dibimbing oleh hidayah Tuhan setapak demi setapak sebagaimana Rasulullah menjalani kehidupan dan perjuangan dalam bimbingan wahyu seayat demi seayat,” tutur Agus Sukoco.

Menyambung hal itu, Hadiwijaya—seniman Banyumas—mengibaratkan proses kehidupan manusia seperti pembuatan batu akik. Batu digosok sejak dari bahan, digergaji kecil-kecil, diperhalus dan kemudian digerinda untuk menghasilkan sebuah batu yang bagus. Reformasi adalah sebuah keniscayaan, ia terjadi tidak hanya dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa naun juga dalam perjalanan diri manusia. Jika kita menolak reformasi maka itulah yang disebut dengan mati sajroning urip.

Mengakhiri forum, Rizky mengingatkan dimensi lain dari proses gerakan reformasi 1998. Dimulai dari tanggal 11 beberapa hari sebelum turunnya Soeharto, sholawat dan wirid makin kencang digerakkan di Padhangmbulan Jombang, hingga dua hari setelah turunnya Soeharto, Cak Nun didampingi Habib Yahya dari Solo mulai menelateni sholawat keliling kampung-kampung di Jakarta dalam rangka menjaga ketentraman di Ibukota yang kala itu bergolak. Hingga akhirnya menjadi embrio dari berkembangnya komunitas Maiyah sampai sekarang.

“Buah yang murni dari proses reformasi 1998 adalah lahirnya Maiyah. Maiyah adalah kita datang kemari dengan niat dan pendalaman ilmu secara murni sehingga menjadi komunitas epistemik yang tidak hanya saling melempar wacana di permukaan, tetapi juga mencari kedalaman-kedalaman dan berani memunculkan hal-hal baru yang membuat bangunan berpikir berdaulat,” tutup Rizky.

Menjelang pukul tiga dinihari forum Juguran Syafaat diakhiri dengan sholawat bersama-sama.