KIAIKANJENG OF THE UNHIDDEN HAND

Reportase Kenduri Cinta Mei 2015

Sejak Jumat siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk menghadiri forum maiyahan Kenduri Cinta. Sebelumnya, KiaiKanjeng menjalani rangkaian maiyahan di Jawa Timur, sejak tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan pada esok harinya tanggal 6 Mei di Sidoarjo. Sebagaimana di banyak tempat, acara maiyahan selalu menembus tengah malam, termasuk maiyahan di Sidoarjo dua hari sebelumnya yang berlangsung hingga pukul dua dini hari. Setelahnya Cak Nun dan KiaiKanjeng bergegas kembali ke Yogyakarta untuk sorenya melanjutkan perjalanan ke Jakarta.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana stamina mereka tetap terjaga. Sejak menyusun peralatan gamelan lalu membongkarnya kembali, kemudian menempuh perjalanan dari satu desa ke desa, dari satu kota ke kota lainnya. Agenda yang berturut-turut itu dijadwal langsung oleh masyarakat, berangkat dari satu tempat ke tempat untuk melayani, bertemu dengan ribuan orang, berdiskusi, menampung dan mencari solusi dari berbagai ragam problematika. Tak terlihat letih di wajah mereka, selalu tampak sumringah, selalu segar mengakrabi serta melayani.

Sejak siang, para penggiat telah tampak di TIM (Taman Ismail Marzuki), tempat diadakannya maiyahan Kenduri Cinta 15 tahun terakhir, menyiapkan keperluan teknis, memeriksa tenda, memasang backdrop, juga memastikan peralatan sound system. Sementara kru KiaiKanjeng menata perangkat gamelan menyesuaikan panggung. Pukul setengah delapan malam, personil KiaiKanjeng melakukan check sound. Beberapa jamaah tampak mulai duduk bersila menikmati nomor-nomor “latihan” KiaiKanjeng. Sebagian lainnya terlihat santai menikmati jajanan angkringan, menikmati kopi panas dan kacang rebus. Kenduri Cinta selalu spesial, edisi Mei kali ini forum mengangkat tema KiaiKanjeng Of The Unhidden Hand. Forum ingin menggali KiaiKanjeng lebih mendalam, bersama menghikmahi proses mereka.

Tepat pukul delapan malam, forum maiyahan Kenduri Cinta dibuka dengan pembacaan surat Yasiin, khusus malam itu dibacakan untuk Wiwit Widyanto, salah satu jamaah Maiyah yang berpulang pada siang sebelumnya dalam perjalanan menuju Kenduri Cinta. Doa malam itu juga ditujukan untuk Ibu Hery Listyawati, istri duta besar Indonesia untuk Pakistan yang meninggal dalam sebuah kecelakaan helikopter di Pakistan—beliau merupakan kerabat dekat Cak Nun dan lingkar Maiyah—juga untuk Nazhim Abady, jamaah Maiyah asal Bojonegoro yang juga berpulang pada 3 Mei lalu.

KONSISTENSI KIAIKANJENG

Setelah pembacaan Surat Yasiin, Fahmi dan Luqman tampil memandu diskusi sesi pertama, menggali khasanah jamaah dalam memaknai KiaiKanjeng. Perjalanan Maiyah tidak bisa dilepaskan dari peran KiaiKanjeng maka sangat relevan jika malam itu jamaah Kenduri Cinta memberi apresiasi khusus kepada KiaiKanjeng. Salah satu jamaah, Fachri, menceritakan kesannya saat ia menghadiri maiyahan dan menyaksikan KiaiKanjeng pertama kali di UIN Syarif Hidayatullah pada 2007 silam.

Jamaah lainnya, Eka, mengaku mengenal KiaiKanjeng melalui YouTube. KiaiKanjeng dinilainya berhasil mengaransemen semua jenis genre menjadi padu. Eka terkesan dengan aransemen-aransemen KiaiKanjeng, membuatnya menjadi kelompok musik lintas zaman. Syi’ir Tanpo Waton salah satunya, melengkapi karya-karya KiaiKanjeng sebelumnya; Tombo Ati dan Ilir-ilir. Pada dimensi lain, aransemen Sholawat An Nabi juga Heal The World milik Michael Jackson adalah contoh nomor yang membuktikan bahwa KiaiKanjeng adalah grup musik yang mampu menampung berbagai jenis musik.

Menambahkan dari sisi berbeda, Adi Pudjo mengambil poin penting, yaitu: konsistensi. Konsistensi yang ditunjukkan oleh KiaiKanjeng merupakan wujud pelayanan yang benar-benar total. Dalam perjalanannya, KiaiKanjeng bersentuhan dengan masyarakat di kota-kota, di pedesaan, segmentasi masyarakat yang disambanginya juga lintas usia, mulai dari anak-anak kecil hingga orang tua. Tidak jarang dalam perjalanannya KiaiKanjeng melatih anak-anak kecil bersholawat, melatih cara memukul terbang, bahkan ketika di Australia para siswa disana juga belajar bagaimana cara memukul saron dan demung.

Imam Sapargo sepakat dengan apa yang disampaikan Adi Pudjo, menurutnya konsistensi KiaiKanjeng dalam menemani masyarakat adalah sebuah hal yang layak diapresiasi tinggi. Imam malam itu menceritakan interaksinya saat mengikuti Maiyah Situ Gintung—maiyahan yang dilakukan di sekitar Situ Gintung, Tangerang Selatan, pasca jebolnya tanggul Situ Gintung pada 2009.

Jamaah lainnya, Didik Setiawan, terkesan dengan persambungan KiaiKanjeng dengan (Alm.) Mbah Surip. Bagi Didik, sosok Mbah Surip memberinya pelajaran berharga tentang orisinalitas. Didik pernah menjadi pengamen dan suatu kali ngobrol dengan Mbah Surip, dia dinasehati oleh Mbah Surip agar selalu bangga membawakan lagu karya sendiri. KiaiKanjeng seakan melengkapi pesan Mbah Surip tersebut, bahwa sudah sepatutnya kita bangga dengan karya-karya sendiri. KiaiKanjeng, selain menghasilkan karya-karya baru, hasil aransemen ulang lagu-lagu asli bangsa Indonesia merupakan sebuah bentuk ijtihad yang nyata.

Musthofa, jamaah asal Tegal, memiliki kesan mendalam pada lagu Ilir-Ilir. Ketika ia masih kecil, bersama keluarganya seringkali ia mendengarkan lagu Ilir-ilir aransemen KiaiKanjeng dari sebuah tape recorder kecil, bahkan lagu tersebut dihafal seluruh keluarganya.

Immanuel Simson, ikut sampaikan kesannya, Cak Nun bersama KiaiKanjeng diakuinya begitu menjunjung dan menghormati perbedaan. KiaiKanjeng berhasil membongkar sekat-sekat yang sebelumnya memisahkan antar kelompok. Ia juga mengaku terkesan dengan aransemen Silent Night yang dipadukan dengan sholawat. Penggalian-penggalian terus dilanjutkan, moderator kemudian merajut nilai-nilai yang bisa ditangkap dari berbagai perspektif jamaah terhadap KiaiKanjeng.

KiaiKanjeng

“KiaiKanjeng melewati berbagai rezim. KiaiKanjeng melewati berbagai dinamika sosial, politik dan kebudayaan. Dan sampai detik ini KiaiKanjeng masih eksis. KiaiKanjeng fenomenal dan memiliki masa depan.”

Bambang Isti Nugroho

PENDIDIKAN POLITIK KIAIKANJENG

Setelah berbagi cerita dan pengalaman terkait persentuhan jamaah secara personal dengan KiaiKanjeng, Kenduri Cinta dilanjutkan dengan sesi sinau sholawat yang langsung dipandu oleh Islamiyanto dan Imam Fatawi dari KiaiKanjeng. Jamaah secara bersama dipandu untuk melantunkan wirid Padhang Bulan, Hasbunallah dan Shohibu Baity.

Islamiyanto lalu berbagi cerita, ia mengibaratkan filosofi KiaiKanjeng seperti filosofi santan. Buah kelapa “disiksa”, harus jatuh, dikupas, dipecahkan, diparut, diperas untuk menjadi santan. Santan lalu dimasukkan ke panci, dicampur dengan pisang, maka jadilah kolak pisang. Loh, kenapa namanya bukan kolak santan? Disitulah KiaiKanjeng menurutnya.

Erik Supit dan Beben Jazz kemudian menggali lebih dalam mengenai KiaiKanjeng. Hadir Bambang Isti Nugroho, Simon HT dan Toto Rahardjo, sahabat-sahabat Cak Nun yang merupakan saksi sejarah masa awal KiaiKanjeng. “Ibaratnya malam ini adalah malam KiaiKanjeng. Segala sesuatu tentang KiaiKanjeng akan kita bicarakan malam ini,” Erik mengawali.

Toto Rahardjo, salah satu pendiri KiaiKanjeng, menceritakan lahirnya KiaiKanjeng yang pada awalnya dari sebuah naskah pementasan teater berjudul Pak Kanjeng. Tokoh Pak Kanjeng adalah personifikasi sosok pejuang Kedungombo yang bernama Pak Jenggot yang kala pemerintahan Soeharto menolak pembangunan waduk Kedungombo di Boyolali. Tokoh Pak Kanjeng diperankan oleh 3 orang: Joko Kamto, Novi Budiyanto dan Butet Kertarejasa. Djadug Ferianto juga terlibat dalam pementasan sebagai pengaransemen musik. Teater Pak Kanjeng itulah titik awal perjalanan berkesenian KiaiKanjeng. Pementasan Pak Kanjeng dicekal oleh orde baru, dilarang tampil dan dikejar-kejar di beberapa kota, hingga kemudian diputuskan untuk tidak dipentaskan kembali. Kemudian lahirlah Komunitas Pak Kanjeng.

Pada prosesnya kemudian, Djadug dan Butet memutuskan keluar dari Komunitas Pak Kanjeng. Sedangkan Joko Kamto dan Novi Budiyanto bertahan di Komunitas Pak Kanjeng bersama Cak Nun, hingga lahirlah Gamelan KiaiKanjeng. Lebih jauh lagi, Toto Raharjo berkisah bagaimana kelompok karawitan Dinasti menjadi embrio awal Komunitas Pak Kanjeng. Novi Budianto bersama Cak Nun melalui Karawitan Dinasti melahirkan konsep musik puisi yang merupakan sebuah genre baru dalam pembacaan puisi saat itu.

“Anda diwajibkan oleh Allah menjadi orang Indonesia. Rumput diwajibkan menjadi rumput, begitu juga ayam diwajibkan menjadi ayam. Jangan sampai ayam bercita-cita menjadi burung.”

Emha Ainun Nadjib

Melanjutkan acara, Bambang Isti Nugroho menceritakan awal perkenalannya dengan Cak Nun. Melalui puisi-puisi Cak Nun yang ia temukan di majalah Horison, Isti mengikuti perjalanan Kelompok Karawitan Dinasti. Pada masa itu, menyelenggarakan acara-acara seperti Kenduri Cinta tidak semudah saat ini, kebebasan adalah hal yang sangat mahal. Isti Nugroho—sempat ditahan di LP Wirogunan selama 8 tahun atas tuduhan subversif—tidak mengikuti proses langsung lahirnya Gamelan KiaiKanjeng, namun dari kisah yang ia ceritakan dapat digambarkan bagaimana Cak Nun sangat keras menentang Soeharto saat itu. Mengadakan sebuah pementasan seperti membayangkan sebuah borgol pada akhirnya, karena ekspresi protes terhadap rezim orde baru dalam bentuk apapun sudah pasti akan ditangkap aparat, Isti Nugroho adalah salah satu orang yang pernah merasakannya.

Tidak banyak kelompok musik yang mampu bertahan seperti yang dijalani oleh KiaiKanjeng. Menurut Isti, Cak Nun bersama KiaiKanjeng bukan hanya sekedar musik, tetapi alunan nada yang keluar dari alat-alat KiaiKanjeng sanggup mengisi relung-relung jiwa manusia yang hadir dalam setiap pementasannya. KiaiKanjeng mampu memasuki jiwa-jiwa manusia yang ingin menemukan kebenaran, ingin menemukan keadilan. Musik puisi yang ditampilkan oleh Kelompok Musik Karawitan Dinasti sendiri diakui oleh Bambang Isti Nugroho adalah salah satu faktor yang merubah cara berpikirnya ketika itu, hingga ia menemukan wilayahnya sendiri dalam dunia pergerakan pemuda pada dekade 80-an.

Selanjutnya, Simon Hasbuan Tambunan atau yang lebih dikenal dengan Simon HT berkisah tentang kesaksiannya terhadap perjalanan KiaiKanjeng dan Cak Nun. KiaiKanjeng memiliki nilai lebih yang menurut Simon HT tidak dimiliki oleh kelompok atau grup musik lain. Nilai lebih yang dimaksudnya adalah pendidikan politik murni yang selalu disampaikan oleh Cak Nun dalam setiap pementasannya bersama KiaiKanjeng. Selain itu, KiaiKanjeng menawarkan cara berpikir yang berbeda dalam menyikapi persoalan masyarakat, baik itu sosial, budaya, hukum, politik hingga agama. Itulah daya tarik dari KiaiKanjeng. Jika kelompok musik biasanya memiliki wadah fans club untuk para pemujanya, hal ini tidak berlaku dengan KiaiKanjeng. Siapapun yang mencintai KiaiKanjeng tidak terbatas dalam sebuah ruangan kecil bernama fans club. Dimanapun KiaiKanjeng hadir, masyarakat selalu ramai memadati.

Toto Rahardjo kemudian nyelethuk, “Saya juga tidak tahu apakah setiap pagelaran KiaiKanjeng ini ada surat izinnya atau tidak?” Memang pada setiap pagelaran KiaiKanjeng terdapat situasi unik, berbeda dengan pementasan kelompok musik lainnya. Dari segi penataan panggung, jarak antara panggung dengan audien-nya, hingga pada persoalan keamanan acara. Jika kelompok lain menyelenggarakan konser paling tidak pihak aparat setempat mengerahkan personel untuk keamanan, tetapi KiaiKanjeng hampir tidak pernah terlihat aparat kemanan yang bertugas sebagai petugas kemanan ketika pagelaran berlangsung.

Toto Rahardjo ikut menambahkan, nomor-nomor lagu yang dibawakan oleh KiaiKanjeng tidak selalu merupakan nomor-nomor yang sebelumnya dipersiapkan pada saat latihan. Cak Nun seringkali secara spontan meminta nomor-nomor tidak disiapkan sebelumnya, seringkali Cak Nun meminta nomor-nomor lawas yang sudah lama tidak dimainkan. Hal itu juga merupakan tantangan tersendiri untuk KiaiKanjeng yang harus dihadapi dalam setiap pementasannya.

“Alunan nada KiaiKanjeng sanggup mengisi relung-relung jiwa manusia yang hadir dalam setiap pementasannya. KiaiKanjeng mampu memasuki jiwa-jiwa manusia yang ingin menemukan kebenaran, ingin menemukan keadilan.”

Bambang Isti Nugroho

KiaiKanjeng

SOROGAN, SEBUAH IJTIHAD

Novi Budianto, sosok penggerak utama KiaiKanjeng, ikut menceritakan awal mula lahirnya KiaiKanjeng dengan menegaskan bahwa KiaiKanjeng adalah nama dari sebuah gamelan. Ia mengkonfirmasi bahwa nama KiaiKanjeng memang terinspirasi dari sebuah pementasan Teater Pak Kanjeng. Episode berikutnya lahirlah Komunitas Pak Kanjeng yang kemudian mengakomodir keinginan Cak Nun untuk kembali menampilkan pementasan musik puisi yang sebelumnya sudah pernah dilakukan bersama Kelompok Musik Karawitan Dinasti di awal 80-an. Ketika itu Cak Nun meminta Novi Budianto untuk kembali membuat gamelan. Penyematan Kiai pada KiaiKanjeng berdasarkan kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu menyematkan kata kiai pada sebuah benda atau mahkluk yang dikeramatkan.

Malam itu, KiaiKanjeng mengawali dengan nomor lagu menghentak. Lagu rakyat Gundul-Gundul Pacul diaransemen dengan berbagai genre; etnik, pop, rock dan jazz. Berikutnya, Terbit Rembulan, sebuah lagu yang diciptakan khusus oleh Novi Budianto untuk (Alm.) Gito Rollies, lebih menghentak lagi dengan genre rock, sesuai dengan ciri khas Gito Rollies yang dikenal sebagai penyanyi rock. Keindahan pukulan saron, demung dan bonang saling bersahutan melengkapi hentakan drum, gesekan biola, betotan bass, alunan suling dan piano dan juga petikan gitar. Suara vokal khas Doni kemudian mengisi sebuah nomor populer Just The Way You Are milik Bruno Mars. Melengkapi nomor-nomor sebelumnya, KiaiKanjeng melanjutkan persembahannya dengan membawakan sebuah lagu dangdut karya Rhoma Irama berjudul Indonesia.

Malam itu Beben Jazz ikut memaknai KiaiKanjeng, terutama dari sisi musikalitasnya. “Jika dilihat dari komposisi personel dan kelengkapan KiaiKanjeng maka KiaiKanjeng masuk dalam kategori big band. Jika dilihat dari aliran musik maka KiaiKanjeng adalah orkestra. Untuk memimpin sebuah orkestra dibutuhkan seorang komposer yang sudah pasti harus memahami ilmu musik secara total, dialah yang bertugas sebagai pengaransemen sebuah lagu orkestrasi tersebut. Ia yang mengetahui persis partitur nada yang harus dimainkan oleh setiap pemain dalam sebuah orkestra,” ucap Beben yang terlihat terpukau.

Dua tahun silam, di Kadipiro, Beben untuk kali pertama bertemu dan berlatih bersama dengan KiaiKanjeng dalam rangka persiapan pementasan Jazz 7 Langit. Menurutnya, untuk melakukan kolaborasi musik, pertama kali yang harus dicari adalah titik temu antara dua kelompok yang akan berkolaborasi. Pada umumnya gamelan memang sulit berkolaborasi dengan musik Barat, hal ini dikarenakan karakteristik dasarnya yang memang berbeda. Namun ia begitu terkesan dengan gamelan KiaiKanjeng yang cepat beradaptasi dengan musik Barat (baca: musik Jazz). Ia kemudian meminta Novi Budiyanto untuk kembali menjelaskan mengapa KiaiKanjeng sangat adaptif terhadap musik Barat.

Novi Budianto lalu jelaskan bahwa gamelan KiaiKanjeng ia ciptakan untuk melayani berbagai lapisan masyarakat dan menyesuaikan karakter Cak Nun yang “arab”. Susunan tangga nada gamelan KiaiKanjeng adalah Sol-La-Si-Do-Re-Mi-Fa-Sol dimana Do=G. Dalam perjalanannya, gamelan KiaiKanjeng menemukan metode sorogan, yaitu sebuah metode yang memungkinkan gamelan KiaiKanjeng memainkan berbagai aliran musik, sehingga dalam susunan tangga nadanya tidak selalu Do=G, tetapi juga bisa Do=C, Do=D, Do=E dan seterusnya. Dalam metode sorogan, saron dan demung akan diganti beberapa bilahnya (lempengan besi) agar kemudian bisa menentukan Do=D, Do=C dan sebagainya.

Inna Kamarie kemudian menyanyikan Over The Rainbow diiringi gamelan KiaiKanjeng untuk menerangkan secara langsung bagaimana metode sorogan digunakan. Ada dua poin yang digarisbawahi Beben dalam mengamati KiaiKanjeng: sistem tuning dan metode sorogan.

“Perjalanan KiaiKanjeng hampir tidak pernah lepas dari konteks sosial, budaya dan politik.”

Erik Supit

BERBEDA TAPI SELARAS

Personel KiaiKanjeng yang terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan juga mencerminkan kekayaan khasanah. Ada yang berlatar belakang pendidikan musik, namun banyak diantara mereka yang sekilas “tidak nyambung” dengan dunia musik. Jijit salah satunya, pemain perkusi KiaiKanjeng yang selalu tampak nyentrik itu adalah sarjana seni tari klasik. Lalu bagaimana seorang sarjana tari kemudian menjadi pemusik? Ia katakan bahwa pada dasarnya seniman yang menggeluti kesenian tradisional (Jawa khususnya) maka minimal pasti mengetahui bentuk kesenian tradisional lainnya, sebab antara satu displin seni dan yang lain sangat berhubungan. Jijit mencontohkan seorang penari juga harus mengenal gamelan karena gamelan lah yang akan menjadi pengiring musik ketika ia menari. Begitu juga ketika ia berakting dalam sebuah lakon wayang orang, maka mau tidak mau ia harus belajar nembang, karena itu merupakan bagian penting dari wayang orang.

Dalam pandangan Beben, KiaiKanjeng merupakan bentuk dari musik progresif Indonesia. Menurutnya, bukan hanya gamelan KiaiKanjeng-nya saja yang memiliki jiwa progresif, juga jiwa-jiwa para personelnya juga sudah tertanam daya spontanitas, improvisasi dan kreativitas tinggi dalam bermusik. Ia menambahkan, KiaiKanjeng sudah berada di fase ketiga dalam bermusik. Ketika seseorang bermusik, pada fase pertama motivasinya adalah mencari uang, fase kedua adalah bermain musik karena mereka mencintai musik. KiaiKanjeng menembus fase ketiga dimana mereka bermain musik untuk melayani masyarakat, bahwa bermain musik adalah ibadah pelayanan kepada sesama manusia.

Malam itu, Erik Supit menegaskan bahwa apabila ada yang menanyakan seperti apa musik Indonesia? Maka jawabnya adalah: KiaiKanjeng. Melanjutkan eksplorasi musiknya malam itu, KiaiKanjeng membawakan Ghonilli, sebuah nomor lagu yang kental dengan nuansa Timur Tengah. Khasanah Timur Tengah yang ikut mewarnai KiaiKanjeng tidak lain dan tidak bukan adalah Umi Kultsum, seorang legenda musik dari Mesir.

Novi Budianto mengakui bahwa dirinya sangat nyandu dengan Umi Kultsum. KiaiKanjeng pernah menyambangi Mesir membawakan nomor-nomor Ummi Kultsum dan mendapat apresiasi tinggi penikmat musik disana. Joko SP, gitaris KiaiKanjeng yang memiliki latar belakang pendidikan seni rupa, menceritakan bagaimana Cak Nun dan Novi Budianto “meracuni” personel KiaiKanjeng dengan nomor-nomor Umi Kultsum. Pada awalnya, mereka merasakan kesulitan luar biasa untuk mengaplikasikan nomor-nomor Umi Kultsum dalam komposisi KiaiKanjeng. Sejalan dengan ilmu Maiyah, yang dilakukan oleh KiaiKanjeng adalah meng-ijtihad-i gamelan KiaiKanjeng sehingga kemudian mampu mengakomodir nomor-nomor Ummi Kultsum. Beberapa nomor Umi Kultsum kemudian di-kiaikanjeng-kan (istilah Cak Nun dalam proses aransemen lagu-lagu di KiaiKanjeng) sehingga dapat dimainkan dengan apik menggunakan gamelan KiaiKanjeng.

Ari Sumarsono, pemain biola KiaiKanjeng, ikut merespon Beben sebelumnya tentang apakah KiaiKanjeng memiliki form dalam setiap lagu-lagu yang dimainkan. Ari Blothong yang memang memiliki latar belakang pendidikan musik menjelaskan bahwa kompleksitas para pemain KiaiKanjeng memiliki tantangan tersendiri. Ari Blothong yang sebelumnya memiliki kebiasaan membaca ketika memainkan biola, pada awalnya kaget dengan metode sense of ngeng yang digunakan oleh Novi Budianto di KiaiKanjeng. Karena tidak jarang susunan nada yang dimainkan jika ditulis dalam sebuah form akan berbeda ketika dimainkan di panggung. Ari mengakui bahwa metode sense of ngeng itulah yang justru kemudian menjadi sebuah metode bersama dalam meracik komposisi-komposisi, sehingga ketika aransemen sebuah lagu dituliskan dalam susunan chord, angka ji-ro-lu-pat-mo-nem atau susunan not balok pun tetap bisa.

kiaikanjeng

“KiaiKanjeng menembus fase ketiga dimana mereka bermain musik untuk melayani masyarakat, bahwa bermain musik adalah ibadah pelayanan kepada sesama manusia.”

Beben Jazz

Forum Kenduri Cinta yang sudah berlangsung selama 15 tahun seakan menjadi sebuah oase bagi warga Ibukota. Masyarakat yang hadir malam itu terlihat masih banyak yang bersepatu formal, berbaju rapi dan tidak sedikit yang masih mengenakan batik, menandakan wajah-wajah para pekerja yang baru saja pulang dari kantor. Terlebih malam itu KiaiKanjeng hadir, tentu suatu hal yang membuat mereka antusias hadir, dengan keikhlasan dan kesediaan untuk berbagi serta memetik ilmu bersama.

Tampak mata dan telinga mereka tidak lelah menyerap lompatan-lompatan ilmu dan hentakan-hentakan nada dari KiaiKanjeng, mulai dari wirid dan sholawat, tembang Jawa, lagu-lagu Barat, irama khas Timur Tengah hingga dangdut. Pemilihan busana batik bebas yang dikenakan oleh para personel KiaiKanjeng seakan menegaskan bahwa setiap individu di KiaiKanjeng memiliki perbedaaan namun tetap selaras.

MAESTRO MULTIDIMENSI

Suasana di Taman Ismail Marzuki makin hangat ketika Cak Nun ikut hadir ditengah jamaah, mengawali acara ia menceritakan pengalamannya saat KiaiKanjeng berkunjung ke Conservatorio Di Napoli, sebuah museum musik klasik ternama di dunia. Pada saat melakukan re-check di tempat pementasan tersebut, Cak Nun mendapati bahwa tempat itu pernah disinggahi oleh pemusik-pemusik ternama dunia, sehingga Cak Nun merasakan tanda “bahaya” bahwa akan disematkan gelar maestro padanya. Sesampai di Roma, Cak Nun meminta Jijit untuk menjelaskan apa maksud dari maestro. Jijit menjelaskan bahwa maestro musik tidak harus seseorang yang bisa memainkan alat musik atau mengetahui teori-teori keilmuan musik.

Menurut Jijit, kemaestroan Cak Nun lebih disebabkan kemampuan beliau meramu komposisi musik KiaiKanjeng. Cak Nun mengakui ia tidak bisa memainkan satu pun alat musik apalagi memiliki pengetahuan tekstual tentang musik, sehingga Cak Nun perlu meminta izin kepada KiaiKanjeng sebelum menerima gelar maestro di Napoli, karena Cak Nun tidak ingin di-maestro-kan. Cak Nun menambahkan bahwa apa yang beliau lakukan di KiaiKanjeng tidak lebih dari seorang pengawas yang menentukan tinggi-rendah dan panjang-pendeknya nada-nada dalam sebuah aransemen.

Jenis musik yang dibawakan KiaiKanjeng dari satu pementasan ke pementasan berikutnya tidak selalu sama. Gamelan KiaiKanjeng tidak hanya membutuhkan seorang komposer yang hanya mengerti susunan tangga nada, tetapi juga harus mampu membaca audiens yang hadir pada setiap pementasan. Komposer juga harus mampu menentukan nomor-nomor mana saja yang akan dibawakan dalam memberi pelayanan, hal ini dikarenakan kebutuhan akan audien yang hadir pada sebuah pementasan itu sendiri. Kemaestroan seorang komposer yang memimpin KiaiKanjeng bukan hanya maestro dalam bidang musik, melainkan juga seorang maestro dalam bidang politik, sosial dan budaya.

Menambahkan penjelasan bagaimana Umi Kultsum sangat mewarnai KiaiKanjeng, Cak Nun sampaikan bahwa di KiaiKanjeng kuncinya ada pada bonang, saron dan demung. Ketika KiaiKanjeng menampilkan nomor-nomor Umi Kultsum di gedung Jumhuriyah, Mesir tahun 2003 silam, orang-orang disana begitu kagum menyaksikan karya-karya Umi Kultsum dibawakan dengan hasil aransemen gamelan. Alat musik qonun dan gambus yang biasa digunakan untuk memainkan nomor-nomor milik Umi Kultsum digantikan oleh bonang, saron dan demung. Hal inilah yang dianggap luar biasa oleh publik Mesir saat itu.

“Perhitungan saya adalah perhitungan musikal, perhitungan koordinat musik KiaiKanjeng di tengah dunia musik yang lain dan yang ketiga adalah kehadiran musik ini dalam peta pikiran dan hati masyarakat sehingga harus saya aransir sedemikian rupa.”

Emha Ainun Nadjib

kiaikanjeng

Suasana semakin gerr dengan dagelan-dagelan Cak Nun yang menceritakan kisah-kisah ndagel-nya seorang Novi Budianto. Bahkan jika orang tidak mengenal wajah Novi Budianto, orang tidak akan percaya bahwa dia adalah seorang jenius dalam bidang musik. Tidak lain dan tidak bukan, gamelan KiaiKanjeng adalah masterpiece terbaik karya Novi Budiyanto. Dibalik kisah-kisah itu, Cak Nun ingin menyampaikan sebuah hikmah, bahwa Allah memberikan kelebihan-kelebihan yang berbeda satu sama lain dalam setiap diri manusia, sehingga tidak ada sedikit kesempatan pun bagi seorang manusia untuk merasa unggul dari manusia yang lainnya.

KiaiKanjeng lalu memainkan nomor Pambuko II, secara spontan berkolaborasi dengan Inna Kamarie, disambung dengan memainkan kembali ending dari Pambuko II berkolaborasi dengan Cak Nun yang melantunkan salah satu syair sholawat Tarhim karya Syeikh Mahmud Khalil Al Hussairy. Dari dua kali cuplikan Pambuko II itu membuktikan bahwa KiaiKanjeng adalah musik yang mampu memangku musik dari bangsa-bangsa.

Melengkapi khasanah musik malam itu, Inna Kamarie bawakan lagu Angin Mamiri yang oleh Gamelan KiaiKanjeng diaransemen dalam sebuah nomor medley Nusantara dan dilanjutkan dengan nomor Wa Makaru dengan vokal Imam Fatawi, Islamiyanto dan Donny dan dipungkasi dengan Imagine yang dibawakan oleh Cak Nun.

Cak Nun malam itu mengelaborasi tentang halal-haramnya sebuah benda. Bahwa sejatinya kita tidak bisa menghukumi halal atau haramnya sebuah benda karena hal tersebut membutuhkan proses yang sangat panjang dan komprehensif. Nasi memang halal tetapi ketika nasi itu didapatkan dengan cara mencuri maka akan menjadi haram hukumnya. Begitu juga dengan sertifikasi halal pada sebuah makanan, hal ini menjadi hal yang aneh. Jika beberapa bulan yang lalu Cak Nun memberi penjelasan bahwa sertifikasi halal sebenarnya justru sangat dibutuhkan di sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya adalah non muslim, sehingga makanan yang haram lah yang mestinya perlu disertifikasi. Pada lompatan berikutnya, Cak Nun melempar sebuah pertanyaan: siapa yang bisa menjamin bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk mengolah makanan ketika disertifikasi juga digunakan ketika sertifikasi halal sudah didapatkan? Karena tidak mungkin lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal akan mengawasi terus menerus setiap hari perusahaan makanan yang sudah mendapatkan sertifikasi halal tadi.

Begitu juga dengan musik, tidak bisa kita menghukumi musik itu halal atau haram. Karena ia adalah benda. Pisau juga tidak bisa dihukumi halal atau haram meskipun pisau tersebut digunakan untuk membunuh. Yang dihukumi halal atau haram adalah perbuatan membunuhnya, bukan pisaunya. Begitu juga ketika kita menggunakan pisau untuk menyembelih hewan kambing atau ayam, bukan pisaunya yang dihukumi halal atau haram, tetapi proses penyembelihannya yang paling utama diperhatikan, karena kemudian hal tersebut akan berdampak pada hukum hewan yang disembelih. Apabila tata cara penyembelihannya tidak sesuai dengan syariat Islam maka daging hewan tersebut menjadi haram. Cak Nun mengajak jamah untuk mengeksplorasi lebih dalam lagi terminologi halal dan haram sebuah benda.

“Allah mengatakan: kebanyakan manusia tidak mau menggunakan akal sehat, aktsaruhum laa ya’qiluun. Maka saya berdoa kepada Allah semoga orang-orang yang datang ke Kenduri Cinta dan maiyahan tidak termasuk ke dalam golongan orang yang tidak mau menggunakan akal sehat.”

Emha Ainun Nadjib

kiaikanjeng

BERDAULAT ATAS DIRI SENDIRI

Mohammad Sobary yang akrab disapa Kang Sobary malam itu menguatkan sebuah tema besar yaitu: sinau kedaulatan. Tentang kedaulatan, ia mengisahkan bagaimana masyarakat Temanggung yang “hanya” petani tembakau namun dengan gagah mendeklarasikan kedaulatan atas dirinya sendiri, ketika pada 12 April 2012 mereka berkumpul di lapangan sepakbola Maron, Temanggung. 10.000 warga merokok berbarengan sebagai wujud perlawanan kepada pemerintah yang hendak memutuskan secara resmi rancangan regulasi yang melemahkan para petani tembakau.

Peristiwa itu disebut oleh Kang Sobary sebagai ideologi perlawanan terhadap kerangka aturan internasional yang mengontrol efek negatif dari merokok. Secara gamblang Kang Sobary menjelaskan bagaimana kepentingan politik global terlibat jauh dalam kampanye antirokok saat ini. Menurut Kang Sobary, kedaulatan saat ini tidak dimiliki oleh rakyat Indonesia karena dalam waktu yang bersamaan kedaulatan itu diinjak-injak oleh rakyat Indonesia yang lainnya. “Mereka berdaulat. Merokok kretek menjadi bahasa perlawanan. Memprotes negara. Melawan negara yang tidak berdaulat.”

Cak Nun menambahkan penjelasan Kang Sobary terkait kedaulatan. Mengambil contoh jilbab, bahwa wanita yang berjilbab tidak memendam rasa benci terhadap perempuan disebelahnya yang tidak berjilbab. Begitu juga sebaliknya, seorang perempuan yang tidak berjilbab tidak memiliki rasa curiga sedikit pun terhadap perempuan disebelahnya yang berjilbab. Inilah wujud kedaulatan setiap individu yang selalu dihadirkan dalam setiap forum Maiyah.

Begitu juga yang terjadi di maiyahan, orang yang merokok memiliki kedaulatan atas dirinya sendiri untuk merokok dan orang yang tidak merokok berdaulat atas dirinya sendiri sehingga tidak merasa terganggu dengan asap rokok dari orang yang merokok. Cak Nun menegaskan bahwa beliau tidak pernah sekalipun menganjurkan orang lain untuk merokok. Dan begitu juga sebaliknya, Cak Nun tidak menganjurkan orang lain untuk tidak merokok. Bahkan untuk keputusan-keputusan yang paling prinsip dari setiap orang yang bersambungan dengan Cak Nun, tidak sekalipun beliau mengintervensi terhadap keputusan yang dipilihnya.

Maiyah mengajarkan kepada seluruh jamaah agar mampu berdaulat atas dirinya sendiri. Yang dilakukan oleh Kenduri Cinta dan forum maiyahan di berbagai tempat lainnya adalah semua memiliki kedaulatannya masing-masing, dan yang dilakukan adalah memperluas wacana kemudian diserap bersama-sama dan masing-masing memiliki filter sendiri, sehingga setiap yang hadir memiliki kedaulatan untuk menghasilkan keputusan yang paling rasional dalam diri masing-masing, bukan berdasarkan kata si A atau kata si B. Setiap individu yang hadir di maiyahanselalu terbiasa menggunakan kedewasaan dalam berpikir dan bergaul satu sama lain. Bahkan setiap jamaah Maiyah sudah terlatih untuk tidak lagi membawa kesadaran laki-laki atau perempuan, karena yang dibawa adalah kesadaran sebagai manusia yang membawa akal yang sehat, hati yang jernih dan jiwa yang merdeka.

“KiaiKanjeng adalah contoh musisi yang berdaulat karena sejak awal sudah memiliki kesadaran berdaulat atas dirinya. Dengan kedaulatan atas dirinya itu, maka KiaiKanjeng itu ada dan selalu mendapatkan undangan dari publik yang sejati.” Emha Ainun Nadjib

Cak Nun selalu mengingatkan betapa pentingnya kedewasaan dalam hidup manusia agar setiap manusia tidak memiliki keinginan untuk bertengkar satu sama lain, seandainya memang harus berduel secara fisik maka harus berani bertemu saling berhadap-hadapan, bukan dengan cara saling melempar dari jauh. Cak Nun menyindir fenomena saat ini dimana begitu banyak kekeliruan orang menggunakan media sosial untuk menyerang orang lain di dunia maya.

Beben menambahkan penjelasan tentang mengapa Cak Nun layak disebut maestro. Menurut Beben, tingkatan yang paling tinggi dalam bermusik adalah ketika seseorang terlibat dalam sebuah permainan musik yang ia lakukan tidak hanya berkonsentrasi pada perannya saja tetapi dalam bersamaan ia mampu mendengar dan mengamati apa yang sedang dimainkan oleh personel musik lainnya. Inilah yang menjadi perhatian Beben pada setiap pementasan KiaiKanjeng, dimana Cak Nun sering sekali terlihat memperhatikan dan fokus pada irama nada yang dimainkan. Pada satu momen bahkan ditengah permainan, Cak Nun tampak memejamkan mata untuk memfokuskan dirinya memperhatikan setiap ketukan-ketukan nada yang dialunkan KiaiKanjeng.

Berturut-turut kemudian KiaiKanjeng membawakan sebuah nomor yang berjudul Give Me One Reason dan dilanjutkan dengan nomor medley Man On The Land – Manungso kolaborasi dengan Inna Kamarie sebagai vokal.

Jamaah yang hadir tampak begitu menikmati sajian-sajian musik KiaiKanjeng, keterbatasan pelataran Taman Ismail Marzuki tidak mengurangi sedikitpun antusias mereka karena mereka memang memendam kerinduan terhadap KiaiKanjeng. Tampak sebagian dari mereka hanya menikmati alunan musik yang keluar dari sound system, duduk di sela-sela mobil yang berjejer di parkiran sembari menikmati kopi dan kudapan ringan yang dijajakan oleh angkringan di pojok pelataran. Para pedagang kaki lima juga terlihat ikut menikmati suasana Kenduri Cinta.

kiaikanjeng

“Anda diwajibkan oleh Allah menjadi orang Indonesia. Rumput diwajibkan menjadi rumput, begitu juga ayam diwajibkan menjadi ayam. Jangan sampai ayam bercita-cita menjadi burung.”

Emha Ainun Nadjib

AKHLAK, MARTABAT DAN AKIDAH DALAM KIAIKANJENG

Layaknya sebuah komunitas, konflik juga seringkali mewarnai perjalanan KiaiKanjeng. Joko SP mengakui bahwa benturan-benturan juga terjadi antar personel yang memiliki latar belakang berbeda-beda bahkan lebih banyak yang tidak memiliki latar belakang pendidikan musik. Namun benturan-benturan itu bukan disebabkan oleh hal-hal prinsipil, melainkan benturan yang memang harus terjadi demi orisinalitas KiaiKanjeng itu sendiri.

Ketika ditanya oleh Erik Supit apakah pernah ada wacana membubarkan diri? Joko SP menjawab dengan tegas tidak pernah sedikit pun muncul keinginan dari para personel untuk membubarkan KiaiKanjeng. Yoyok, pemain bas KiaiKanjeng yang memiliki latar belakang pendidikan kesehatan dan saat ini bertugas sebagai penyuluh kesehatan, menambahkan bahwa benturan yang terjadi justru menjadi romantisme tersendiri. Yoyok menceritakan bagaimana album Maiyah Nusantara yang lahir pasca terjadinya benturan internal KiaiKanjeng justru kemudian menjadi era transformasi musik sholawat menuju musik ritual, dimana kemudian Maiyah lahir dan dikenal lebih luas.

Berikutnya, Inna Kamarie, ia ikut berbagi pengalamannya saat berkolaborasi bersama KiaiKanjeng di Indonesia Jass Festival 2013. Dari banyak pengalamannya berkolaborasi dengan beberapa komposer dan kelompok musik, KiaiKanjeng lah yang membawa dirinya pada nilai-nilai spiritualitas, bahwa segala sesuatu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Tuhan. Menurut Inna, ketika seorang pemusik bermusik hanya untuk musik, menurutnya itu adalah hal yang sia-sia. Inna menambahkan bahwa KiaiKanjeng menyalurkan spirit melayani dalam setiap pementasannya, hal itulah yang selalu ia rasakan. Jika sebelumnya Erik menyatakan bahwa KiaiKanjeng adalah kelompok musik yang mewakili musik Indonesia, Inna Kamarie justru merasa bahwa KiaiKanjeng lebih dari sekedar musik Indonesia. KiaiKanjeng menurut Inna juga mampu melahirkan suasana yang khusyuk untuk menemukan Tuhan.

Terhadap sosok Cak Nun yang sangat sentral perannya di KiaiKanjeng, Inna Kamarie melihat sikap hidup Cak Nun adalah impelementasi dari musik Jazz yang penuh improvisasi dan spontanitas. Siapapun yang belajar kepada Cak Nun dan mempelajari sikap hidupnya dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan pribadinya akan tumbuh sikap optimisme dalam dirinya. Digambarkan oleh Inna, apabila Tuhan memberi manusia lubang yang dalam maka manusia harus berani berimprovisasi secara spontan untuk keluar dari lubang tersebut, apakah dengan tangga atau dengan meniti dindingnya.

“Mereka (KiaiKanjeng) adalah manusia-manusia yang berani mempertaruhkan nyawa mereka bahkan nyawa keluarganya untuk membuktikan bahwa Allah bertanggung jawab dan sayang kepada manusia yang cinta kepada-Nya.”

Emha Ainun Nadjib

kiaikanjeng

Merespon pertanyaan Erik Supit, Cak Nun sampaikan, “Di KiaiKanjeng ukuran utamanya adalah akhlak. Di KiaiKanjeng tidak ada rekruitmen dan tidak ada pemecatan. Tidak ada sejarahnya narik orang masuk dan nyuruh orang keluar. Belum pernah dan tidak akan pernah. Semua berkumpul murni secara alami berdasarkan interaksi murninya hati mereka dan bersatunya gelombang serta frekuensi mereka.”

Cak Nun lalu memberikan lataran bahwa dalam KiaiKanjeng yang paling utama adalah akhlak, kemudian martabat dan yang ketiga adalah akidah. “Gamelan KiaiKanjeng tidak akan menerima undangan pementasan semahal apapun apabila itu mengganggu martabatnya,” tegas Cak Nun.

Dalam sejarahnya, KiaiKanjeng belum pernah menerima undangan dari pejabat diatas bupati. Hal tersebut lebih karena pertimbangan sosiologis, dimana persambungan antara seorang bupati dengan rakyatnya diyakini oleh Cak Nun memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia. Pada setiap acara bersama para kepala daerah (bupati), Cak Nun selalu serius memandu jalannya pementasan sehingga apa yang disuguhkan oleh KiaiKanjeng bukan sekedar pementasan musik saja, melainkan sebuah pertunjukan yang mampu menciptakan sebuah formula kepemerintahan yang seideal mungki, serta berusaha menampilkan pengelolaan komprehensif dari seluruh pembangunan manusianya.

Menjelaskan mengapa akidah bukan hal yang paling utama dalam KiaiKanjeng, Cak Nun katakan bahwa antara personel satu dan yang lain tidak pernah mempengaruhi untuk salat atau tidak salat. Dalam Maiyah, sudah banyak dipahami bahwa untuk persoalan akidah setiap individu bertanggung jawab penuh hanya kepada Allah. Dalam KiaiKanjeng hanya Islamiyanto yang memiliki latar belakang pesantren—saat ini ia juga menjadi tenaga pengajar di salah satu pondok pesantren—namun justru kita melihat bahwa seluruh personel KiaiKanjeng adalah santri. Secara snapshot Cak Nun paparkan tentang masing-masing pribadi personel KiaiKanjeng diwarnai dengan kisah-kisah perjalanan KiaiKanjeng di beberapa negara, termasuk salah satunya ketika mereka melakukan ibadah umroh ketika Toto Rahadrjo terharu hingga meneteskan air mata saat pertama kali melihat Kabah.

Cak Nun menegaskan bahwa perjalanan KiaiKanjeng yang sudah mencapai 3.640 ini sangat berlandaskan hati yang murni sehingga yang terjadi adalah bertajallinya Allah dengan hati setiap personel KiaiKanjeng, sehingga pandangan orang terhadap KiaiKanjeng bahwa mereka adalah pemusik itu pasti meleset, karena mereka adalah manusia-manusia yang berani mempertaruhkan nyawa mereka bahkan nyawa keluarganya untuk membuktikan bahwa Allah bertanggung jawab dan sayang kepada manusia yang cinta kepada-Nya.

Tajallinya Allah di KiaiKanjeng tidak hanya terwujud dalam kreativitas para personelnya ketika memainkan alat musik dan menghasilkan karya, tetapi juga terwujud dalam bentuk nafkah bagi keluarga mereka yang sering mereka tinggalkan. Jika ada pihak yang mempertanyakan siapa sponsor tetap KiaiKanjeng, maka jawabannya adalah kasih sayang Allah SWT kepada mereka. Dan KiaiKanjeng sudah membuktikan kasih sayang Allah tersebut selama 22 tahun perjalanannya.

“Saya sangat percaya kepada manusia dan saya tidak boleh menjadi sebab seseorang menjadi Islam. Karena setiap manusia harus memiliki landasan yang otentik untuk menemukan Tuhan.”

Emha Ainun Nadjib

#kcmei (6)

KEDAULATAN AKIDAH

Menanggapi ketidakpahaman umat mengenai hukum musik dalam Islam, Kyai Muzammil katakan bahwa hukum musik itu tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya. Pada momen tertentu musik bisa saja haram hukumnya, tetapi pada saat lain juga bisa halal hukumnya. Kyai Muzammil juga menekankan bahwa konsep itu juga berlaku pada hal-hal lain yang tidak tercantum dalam Alquran, bukan kemudian dengan mudah setiap orang menyatakan sesuatu hukumnya haram hanya karena tidak dicantumkan dalam Alquran.

Menurut Kyai Muzammil, hukum musik itu ada 5: wajib, halal, mubah, makruh, halal, dan haram. Setiap hukum tersebut musti dianalisis masing-masing untuk menentukan hukumnya terhadap musik. Hal itu juga dapat diimplementasikan pada hal-hal lain yang ditemui setiap hari. Menjelang akhir, Kyai Muzammil sampaikan hikmah-hikmah, bahwa ada kyai-kyai yang memiliki kemampuan topo ngrame yaitu sebuah kemampuan yang mampu fokus dalam kondisi ramai sekalipun. Cak Nun ikut menambahkan pemaparan Kyai Muzammil dengan pengalaman pribadinya, ketika menulis Cak Nun tidak pernah bergantung pada situasi dan kondisi keramaian atau kesepian di sekitarnya, tidak jarang ia menulis bersamaan saat menemani KiaiKanjeng berlatih.

Melengkapi pemaparannya, Cak Nun kembali menjelaskan betapa akidah merupakan sebuah wilayah yang sangat privat bagi setiap individu manusia. Allah sendiri menjelaskan dalam Surat Yunus ayat 99-100, dijelaskan dalam ayat tersebut Allah sangat mungkin untuk membuat seluruh manusia di dunia ini beriman kepada-Nya, tetapi apakah kita akan menunggu hal itu terwujud untuk mampu mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada sesama manusia? Maka itu dalam Maiyah tidak ada istilah pemaksaan bagi jamaah untuk mengambil suatu keputusan, apalagi yang sifatnya prinsip.

Maiyah mengajarkan kedaulatan dalam diri setiap individu. Yang disepakati dalam forum Kenduri Cinta dan maiyahan lainnya adalah setiap bahwa setiap individu bersepakat untuk saling mengamankan, saling membesarkan hati dan saling membimbing untuk menuju rahmatan lil ‘alamiin. Benar adanya bahwa agama tidak sama antara satu dengan yang lainnya, yang harus dipahami satu sama lain adalah bahwa agama merupakan wilayah keimanan seseorang dimana hanya Allah yang berhak menjadi hakim untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Setelah kolaborasi Inna Kamarie dan KiaiKanjeng yang membawakan lagu Siti Nurhaliza berjudul Cindai, Syeikh Nursamad Kamba lalu bercerita sedikit pengalamannya saat menemani KiaiKanjeng ke Mesir pada tahun 2003 silam. Pementasan yang dilakukan di Masroh Al Jumhuriyah saat itu bisa dikatakan sebagai pementasan yang sangat fenomenal di Mesir. Meski publikasinya sangat minim tetapi publik yang menonton pementasan tersebut ternyata melebihi dari yang diperkirakan sebelumnya. Nomor-nomor Umi Kulstum yang dibawakan berhasil memukau publik saat itu. Sebuah hal yang tidak terbayangkan publik sebelumnya bahwa lagu Syukaro ternyata bisa sampai ke Indonesia bahkan diaransemen dengan apik oleh Gamelan KiaiKanjeng. Cak Nun bersama rombongan KiaiKanjeng saat itu dijamu melebihi tamu negara dan disambut oleh barisan militer. Cak Nun bersama personel KiaiKanjeng juga sempat masuk ke dalam sebuah ruangan di Masjid Syikh Imam Badawi dimana beberapa peninggalan Rasulullah SAW disimpan. Inilah salah satu kelebihan KiaiKanjeng ketika hadir di suatu tempat, yang pertama kali dilakukan adalah pendekatan secara kultural untuk menciptakan suasana komunikasi yang kondusif sehingga tidak merasa asing meskipun sedang pentas di negara lain.

KiaiKanjeng kemudian membawakan sebuah nomor musikalisasi puisi Alquran yang diawali dengan pembacaan cuplikan beberapa ayat dalam surat Al-Hasyr oleh Cak Nun. Jamaah tampak masih merasa belum puas dan memang masih banyak lagi ilmu-ilmu yang masih bisa didapatkan dari sebuah pintu bernama KiaiKanjeng. Tepat pukul 4 dinihari Kenduri Cinta edisi spesial KiaiKanjeng of The Unhidden Hand dipuncaki dengan doa bersama yang dipimpin oleh Kyai Muzammil. Segera malam itu KiaiKanjeng bergegas menuju Jogja untuk sekedar berisitirahat dan bertemu keluarga, lalu melanjutkan lusa harinya untuk maiyahan di Situbondo dan berlanjut maiyahan ke Solo.