Reportase JS: KOTAK

Reportase Juguran Syafaat Pebruari 2015

IMG-20150215-WA0004

Berbeda dengan forum pada edisi bulan-bulan sebelumnya, Juguran Syafaat malam itu dilengkapi dengan perlengkapan multimedia. Malam itu, forum Juguran Syafaat mengangkat sebuah tema yang berjudul: Kotak.

Tepat pukul sembilan malam, acara dimulai dengan pembacaan Alquran secara tartil dan terpimpin, dilanjutkan dengan bersama melantunkan wirid Padhangmbulan. Kukuh membuka diskusi dengan memaparkan hasil riset—riset dilakukan oleh para penggiat selama sebulan terakhir—perihal kemandegan dana kas masjid di kabupaten Banyumas. Motivasi awal dari riset itu adalah karena kegelisahan melihat orang-orang yang berada di sekitaran masjid yang dinilai secara ekonomi kurang diperhatikan. Sedangkan pada sisi lain, masjid terus saja menumpuk hasil infak dan digunakan untuk membangun secara fisik saja.

Kegelisahan ini dijawab dengan riset awal penggiat Juguran Syafaat dalam bentuk mengumpulkan data-data tentang kas masjid di seluruh kabupaten Banyumas. Karyanto—penggiat yang juga menjadi ketua takmir masjid di desanya—menuturkan bahwa setiap bulan di masjidnya tidak ada pengeluaran yang cukup berarti kecuali untuk kebersihan. Kukuh menyambung dengan presentasi hasil riset para penggiat Juguran Syafaat, tentang beberapa sampling informasi kas masjid di kabupaten Banyumas. Yang cukup mencengangkan adalah bahwa besaran dana kas masjid di seluruh kabupaten Banyumas adalah sama dengan seperempat dana pembangunan (APBD) kabupaten Banyumas atau lima kali dari pembayaran premi kesehatan untuk rakyat miskin kabupaten Banyumas atau BPJS.

Melihat jumlah dana yang demikian fantastis, sebenarnya ada potensi besar dari kalangan internal masjid dalam hal penanganan permasalahan umat. Selama ini pengeluaran dana kas masjid hanya digunakan sebatas untuk pembangunan fisik—yang notabene sudah tidak begitu diperlukan lagi. Hal-hal demikian itulah yang kemudian perlu dicari kembali, perlu kiranya diteliti kembali tafsir sejati dari “memakmurkan masjid”.

Dalam forum malam itu, hadir Arif Suyitno—salah satu pengurus ranting NU Purwokerto Wetan—yang juga sedang memulai gerakan mengaktifkan kembali dana infak masjid, tidak hanya sebagai sarana pembangunan fisik tapi juga untuk dana sosial kemasyarakatan. Arif menyampaikan bahwa ‘memakmurkan masjid’ saat ini hanya sekedar membangun infrastruktur masjid secara fisik, yang arahnya justru kemubaziran.

PRIBADI UNIVERSAL

Setelah pemaparan hasil riset para penggiat, Rizky kemudian sampaikan mukadimah tentang tema Juguran Syafaat kali itu. Tema itu diangkat dari “pengkotak-kotakan” dana infak yang banyak disebut dengan istlah uang dunia dan uang akhirat.

Agus Sukoco sampaikan bahwa “kotak” dalam perspektif sosiologis primordial lawan katanya adalah universal atau rahmatan lil alamin. “Manusia hidup itu harus mampu membebaskan dari penjara primordialisme. Dia harus keluar dan menjadi diri universal. Ketika dia orang Jawa, ketika dia berada dalam fanatisme primordialisme maka tidak menunjukkan output sikap universalitasnya. Tidak mengekspresikan output sosial yang rahmatan lil alamin. Maka dia menjadi bagian dari kotak itu,” tambahnya. Menurutnya, Kristen, Hindu dan Budha itu bukan saingan Islam. Tapi mereka adalah kotak-kotak kecil yang Islam menjadi kotak besar yang menampung semuanya itu. Ini adalah prinsip rahmatan lil alamin. Juguran Syafaat mencoba untuk membebaskan diri kita dari prinsip-prinsip primordialisme seperti itu.

“Orang sekarang bersemangat membangun kotak-kotak. Karena ini menjadi komoditas politik. Ada yang berkepentingan dalam memainkan dan membentur-benturkan kotak-kotak ini. Orang harus mampu keluar dari itu semua, menemukan diri universalnya. Yaitu sebagai manusia hamba Tuhan. Jika sudah ditemukan, maka kita bukan hanya orang Jawa, orang Indonesia, tapi adalah penduduk bumi, penduduk alam semesta. Maka Amerika bukan orang lain, Australia bukan orang lain, mereka sama seperti kita. Inilah Islam sebagai rahmatan lil alamin,” sambung Agus Sukoco.

Karyanto merespon pemaparan hasil riset sebelumnya dengan menceritakan bahwa konsep masjid jaman dahulu sudah terwakili dengan konsep RT (Rukun Tetangga) jaman sekarang, sedangkan masjid sekarang hanya bentuk bangunan fisik saja, bukan bentuk sistem sosial. Kusworo menambahkan bahwa agama itu letaknya di dapur dan yang kita suguhkan sebagai produk makanan di etalase itu bukan simbol-simbol agama, tapi output sosialnya.

Lain hal dengan Bilwan dari Baturraden Adventure Forest, ia menceritakan awal mulanya datang ke Purwokerto yang dikarenakan sudah tidak betah tinggal di kota besar yang bising. Bilwan menganggap bahwa perjalanannya ke Purwokerto adalah sebuah perjalanan spiritual mencari Tuhan. “Dan yang paling penting adalah, kita harus bisa mencari jawaban atas apa tugas kita di dunia ini,” katanya.

Dalam Juguran Syafaat malam itu, juga diputar cuplikan film PK, sebuah film dari India yang bercerita tentang pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia akan hakikat beragama dan bertuhan. Film ini diharapkan bisa menjadi pemantik agar diskusi berkelanjutan dan lebih penuh khasanah. Dalam film itu diceritakan bagaimana manusia dikotak-kotakkan dalam simbol-simbol agama yang justru semakin menjauhkan diri kita terhadap kemanusiaan yang universal.

Melihat film PK, Titut merespon. Pada sebuah pertunjukkan teater, ia satukali pernah memerankan tokoh Yesus, dan hal itu baginya hanyalah sebuah peran dalam pementasan. Ia juga menceritakan bagaimana salah satu kawannya yang berbisnis di bidang konveksi, membubarkan usahanya hanya karena perusahaannya melayani permintaan order seragam dari gereja. Menurutnya, hal itu disebabkan kedangkalan berpikir, banyak orang tidak bisa membedakan yang mana hal-hal muamalah, dan yang mana hal-hal yang berurusan dengan akidah.

Kusworo menyampaikan bahwa pembangunan saat ini hanya menggunakan 20% dari dana yang dianggarkan. Jika hal itu terjadi di Korea atau Jepang maka yang terjadi adalah kekacauan masyarakat, tapi jika di Indonesia ini akan tetap baik-baik saja. Ini bukti bahwa sebenarnya masyarakat bergerak hampir tidak terpengaruh oleh apa yang dilakukan oleh pemerintah kita.

Rizky menyambungkan bahwa ada beberapa masjid yang sudah sangat baik dalam pengelolaan dana kasnya, yang perlu kita lakukan adalah mempelajari kesana dan mengimplementasikannya ditempat masing-masing.

SISTEM RUSAK-RUSAKAN

Menyambung diskusi sebelumnya, Agus Sukoco berpendapat bahwa dengan sistem yang banyak disebut dengan sistem qurani atau madani yang banyak digembor-gemborkan, sebenarnya tidak berjalan. Kalau memang sistem itu berlangsung, seharusnya orang bekerja keras, jujur, baik itu akan mendapatkan balasan yang setimpal di dunia (tidak hanya di akhirat), tapi pada kenyataannya sekarang tidak. Justru mereka yang bekerja keras, jujur, baik hanya hidup biasa-biasa saja. Menurutnya, hal itu pastilah ada sistem yang salah, itu artinya sistem yang berjalan sekarang belumlah qurani atau madani.

Satu sholawat Ya Imamar Rusli lalu dipersembahkan oleh Rifangi dan tim musisi.

Setelah sholawata, Bilwan coba merespon tentang banyaknya parameter lain selain uang dalam hal indeks kemakmuran masjid. Rizky menambahkan bahwa ini sebuah riset jangka panjang, dan edisi kali ini hanya riset awalan yang digunakan untuk mendekonstruksi paradigma kita tentang dana kas masjid.

Gilang dari Purbalingga, ikut sampaikan pendapatnya. Menurutnya, kita ini ibarat anak burung yang lahir di dalam sangkar, tidak punya imajinasi akan alam semesta yang sebenarnya karena kita dibelenggu oleh sistem dan pikiran kita sendiri.

Ucapan assalamualaikum tidak hanya berupa sapaan seperti selamat pagi atau selamat siang, tapi didalamnya terdapat ikrar untuk saling memberi kasih sayang diantara mereka yang mengucapkannya. “Kalau dalam mereka sudah saling memberi kasih sayang, maka ada pekerjaan selanjutnya yaitu mengerjakan rahmat menjadi barokah. Rahmat itu anugerah Tuhan yang langsung. Tugas kita adalah mentransformasikan rahmat menjadi barokah. Menjadi fungsi-fungsi sosial yang lebih maslahat. Pohon itu rahmat, dan kursi meja itu adalah barokah,” Agus Sukoco menguatkan pendapat sebelumnya.

Togar dari Sokaraja merespon diskusi Juguran Syafaat malam itu dengan menyampaikan pendapatnya bahwa sistem sosial kita dahulu telah mampu menyejahterakan masyarakat tanpa adanya campur tangan dari siapapun. Dalam sistem sosial di desanya, misal, anak yatim dijamin oleh tetangga-tetangganya. Dalam upacara kematian pun, sudah tidak perlu memikirkan biaya lagi, karena tetangga-tetangga menanggung semua biayanya. Berbeda dengan orang luar negeri yang untuk upacara kematian saja butuh jasa pihak ketiga.

Agus Sukoco lalu menambahkan, bahwa cara berpikir Togar adalah cara berpikir yang berada diluar kotak. Artinya ia sudah mempunya jiwa universalitas yang membuat dia mampu memperlakukan kotak Banyumas, kotak Jawa dengan otentisitas kulturalnya. Jika orang belum mampu transenden berada pada kesadaran universal, maka dia akan gagal memperlakukan kotak, maka kotak hanya melahirkan fanatisme, hanya melahirkan semangat primordialisme.

Menjelang larut, Kusworo mengakhiri diskusi dengan menekankan bahwa pertemuan-pertemuan seperti ini sangat penting, karena disini terjadi saling belajar melihat tidak hanya dengan mata fisik tapi juga melihat sesuatu yang lebih esensial.

Forum Juguran Syafaat malam itu diakhiri pukul 02.30 dini hari dengan rangakaian sholawat Alfu Salam yang dilantunkan bersama.