Pelatihan Untuk Calon Pekerja Profetik

“Bahasa Arabnya warta itu naba, orang yang menyampaikannya namanya nabi. Jadi, melakukan kerja kewartawanan itu tidak sekadar profesi, tapi sebuah pekerjaan profetik.”
Haryanto

Sumber daya manusia masih saja menjadi masalah klasik yang masih saja membayangi langkah kami. Bahkan, pasca acara Silaturahmi Penggiat Maiyah di Baturaden yang harusnya menjadi titik balik kemajuan justru menjadi titik terendah bagi buletin Mocopat Syafaat dari ukuran kinerja. Betapa tidak, tingkat keaktifan anggota redaksi bisa dikatakan sangat minim (banyak faktor yang melatarbelakanginya), manajemen rubrik dan kolom yang ambyar karena hampir-hampir nihilnya setoran konten dari para pengampu rubrik dan kolom terkait, gagalnya sekian pertemuan yang dimaksudkan untuk “merapatkan barisan” kami. Keadaan ini tentu membuat sekian rencana dan cita-cita yang sudah disusun menjadi terbang semakin tinggi dan hampir tidak tergapai.

Namun, tentu khianat terhadap apa yang sudah menjadi tugas kami tidak pernah akan menjadi pilihan. Di tengah kepayahan dan rasa pesimis yang mulai mendekat, dengan mengumpulkan daya dan semangat yang masih tersisa, kami mengoordinasikan diri untuk bersetia terhadap apa yang sudah kami agendakan.

Malam Jumat kemarin, 26 Februari 20015, bertempat di Rumah Maiyah, Kadipiro, Yogyakarta, kami menyelenggarakan pelatihan penulisan kewartawanan. Sebagai pemateri dalam acara pelatihan penulisan ini adalah Haryanto dan Helmi Mustofa. Tepat pukul 20.00 WIB acara dimulai dengan pengantar dari redaksi buletin Mocopat Syafaat yang menjelaskan urgensi pelaksanaan pelatihan penulisan ini, yakni untuk memfasilitasi pengembangan potensi dan bakat menulis di lingkar jamaah Maiyah Rembug Mocopat Syafaat sehingga nantinya diharapkan hidup kembali geliat kepenulisan yang akan memudahkan bagi pendokumentasian peristiwa, pemikiran, dan gagasan yang ada khususnya dan setidak-tidaknya di lingkup Yogyakarta dan sekitarnya.

Setelah sambutan sekaligus perkenalan RMS (Rembug Mocopat Syafaat), Koordinator RMS, Aji, secara singkat menjelaskan RMS sebagai pemegang tongkat estafet dari KMS dan tujuan dibentuknya RMS sebagai sebuah forum rembug dan bahu-membahu antar unit Maiyah yang ada di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Acara langsung dilanjutkan oleh penyampaian materi pelatihan oleh para pemateri. Acara pelatihan penulisan kewartawanan ini pada prinsipnya dibagi menjadi 3 sesi. Sesi pertama mencoba mengajak para peserta pelatihan untuk berdiskusi dan mencoba menjawab pertanyaan: mengapa harus menulis? Helmi memulai materinya dengan mengungkapkan asumsinya terhadap para peserta pelatihan. Pertama, menganggap bahwa para peserta yang hadir di acara tersebut pasti telah memiliki minat untuk menulis. “Minat itu artinya niat,” kata Helmi sambil menambahkan bahwa niat itu tidak ada artinya jika tidak berani menjalaninya. Kedua, ia percaya bahwa semua peserta pelatihan ini pasti sudah punya sedikit atau banyak pengetahuan tentang menulis. Dua hal ini sudah menjadi modal yang cukup bagi seorang yang belajar menulis. Meski demikian, dua hal itu belum lengkap tanpa adanya keberpihakan atau kepentingan, yang dalam hal ini adalah tulisan-tulisan yang bisa mendeskripsikan, menjelaskan, menguraikan gagasan, nilai, dan mungkin praktik hidup yang ber-maiyah, “Ya, apakah itu nanti menulis berita, reportase, atau menulis hal-hal yang ada dalam wilayah jurnalistik yang lain. Mungkin saja nanti tidak saja bertugas menulis, tetapi menggali data,” jelas Helmi.

 

Haryanto yang mendapat giliran berikutnya, langsung menyuguhkan sebuah analogi menarik tentang bagaimana jalannya proses penulisan. Ia mengungkapkan bahwa kita sering kali hanya melihat titik akhir ketika seorang penulis menuliskan karyanya, tetapi lupa menilik proses yang dijalani sebelum tindakan menulis. “Kemarin ketika di rumah teman ada secangkir kopi. Setiap ada yang datang menyeruput kopi itu. Ada sekitar 8 orang. Pas terakhir teman saya, Miftah, menanyakan siapa yang menghabiskan kopinya. Kemudian ada teman yang menjawab bahwa itu Iyak. Padahal yang meminum kopi itu ada 8 orang, tetapi yang disebut menghabiskan itu orang yang terakhir, Iyak.” Hal itu sama dengan proses penulisan, menurut Haryanto banyak dilihat orang bahwa menulis itu adalah proses akhirnya saja. Menulis itu tidak dimulai begitu saja saat seseorang mulai menggoreskan pena di kertas atau mulai mengetik di komputer, tetapi jauh sebelum itu ada banyak hal. Mulai dari proses pengamatan, pengumpulan data, formulasi dan seterusnya, hingga semua itu siap disajikan dalam tulisan. Dengan pelatihan diharapkan nantinya para peserta mulai bisa memahami bahwa pelatihan juga bagian dari proses sebelum menulis.

Selain itu, Haryanto juga mengharapkan bahwa peserta pelatihan yang mungkin belum banyak memahami dunia jurnalistik minimal bisa membedakan beberapa jenis tulisan. Hal ini penting karena menurut Haryanto saat ini banyak bias yang menyesatkan, seolah-olah tampil sebagai berita, padahal iklan. Hal itu terkait dengan pergeseran fungsi media, yang dulu memberitakan tren, sekarang menciptakan tren. “Jadi yang namanya berita itu, ketika di masyarakat luas ramai membicarakan batu, kemudian ditulis bahwa di Indonesia sedang terjadi tren batu. Tapi kalau sekarang ndak, yang gemar batu itu mungkin baru satu atau dua desa, tetapi pemberitaannya itu setiap hari, lewat koran, televisi, radio tiap hari, maka disimpulkan bahwa di Indonesia sedang terjadi tren batu hingga akibat pemberitaan terus-menerus ini kemudian benar-benar menjadi tren,” terang Haryanto.

Haryanto lalu mencoba memberi pengertian pentingnya pelatihan penulisan untuk bisa meng-counter gerakan gemar membaca dengan gerakan gemar menulis. Di kalangan peserta didik selama beberapa tahun terakhir gencar diserukan dan coba dibudayakan gerakan gemar membaca. Kita perlu tahu bahwa tulisan itu tidak selamanya sifatnya informatif, berisi pengetahuan, tetapi juga bisa membuat bingung dan menjerumuskan. “Jika di mana-mana gemar membaca ujung-ujungnya yang paling berkepentingan itu siapa? Ya yang punya tulisan, kan begitu. Lha berarti pas! Sebelum internet masuk, sebelum berbagai tulisan membanjir ke Indonesia dengan berbagai macam kepentingan, maka harus diberi landasan dulu bahwa orang di Indonesia harus gemar membaca. Nah, setelah kita gemar membaca tulisan apa pun banjir ke kita. Kalau jaman dulu yang disebut anak bodoh itu adalah anak yang kurang informasi, tetapi sekarang anak yang kebanjiran informasi itu justru akan menjadi bodoh,” papar Haryanto.

Haryanto menegaskan bahwa menulis itu bukan profesi karena yang profesi itu penulis, sedangkan kita bukan penulis, tetapi orang yang menulis untuk melawan gerakan membaca apa saja ini, yang hanya memprodukkan orang yang tidak punya pendapat. Ia menawarkan pembedaan antara kerja kewartawanan dan kerja wartawan. Menurutnya, kerja wartawan itu di media massa, baik koran, televisi, radio, situs berita, tetapi ini tidak berarti ia sedang melakukan pekerjaan kewartawanan. “Bahasa Arabnya warta itu naba, orang yang menyampaikannya namanya nabi. Jadi, melakukan kerja kewartawanan itu (tidak sekadar profesi), tapi sebuah pekerjaan profetik,” pungkas Haryanto dalam pengantarnya.

 

Selanjutnya, acara pelatihan langsung dimulai dengan memberi para peserta konsep dan teknik penulisan yang langsung dipraktikkan. Artinya, karena ini adalah pelatihan penulisan, peserta diajak untuk tidak saja mengerti konsep dan teknik penulisan, tetapi untuk langsung mengeksekusi materi yang disampaikan pemateri menjadi bentuk-bentuk tulisan. Dengan dipandu oleh Helmi dan Haryanto yang malam itu sedang “bocor” dengan gurauan-gurauan segarnya, para peserta tampak sangat menikmati jalannya pelatihan penulisan. Bahkan, saking interaktifnya, para panitia yang awalnya berniat ‘di belakang layar’ pun juga terlibat langsung dalam jalannya pelatihan ini ketika peserta diperkenalkan dengan ide penggunaan narasumber untuk menguatkan deskripsi dan penjelasan dalam tulisan mereka.

Pada akhir acara, ketika para peserta diminta untuk mengutarakan masukan atau tanggapan mereka terkait dengan pelaksanaan pelatihan penulisan kewartawanan, tanggapan yang disampaikan dua peserta yang mewakili rekan-rekannya sangat antusias, sebagaimana antusiasme tersebut terlihat selama berlangsungnya sesi pelatihan penulisan ini dan memberi beberapa masukan terkait dengan waktu pelaksanaan. Menindaklanjuti antusiasme tersebut, Penya sebelum mengakhiri acara ini menawarkan kepada para peserta untuk membentuk sebuah komunitas penulis yang akan menjadi tindak lanjut pelatihan hari itu, sekaligus sebagai sarana komunikasi bagi peserta, pemateri dan para redaksi buletin Mocopat Syafaat. Dari 30 orang yang mendaftar, 28 orang bisa hadir mengikuti pelatihan ini hingga acara ditutup pada pukul 24.30 WIB.

[Teks: Penya Adinugraha]