Negara Swasta

SETELAH KEMATIAN Destarata, reformasi yang terjadi di Astina dipergunakan oleh Bala Kurawa sebagai sarana penjarahan aset-aset negara secara diam-diam dengan kedok privatisasi. Kurawa berhasil menghilangkan eksistensi negara Astina. Dengan sembrono, Kurawa menghapus kewajiban untuk mensakralkan pusaka-pusaka Astina dan menggantikannya dengan remeh-temeh dan pernak-pernik kebebasan tuntutan-tuntutan hak. Kedaulatan rakyat Astina dilumpuhkan dengan cara menenggelamkan mereka kedalam arus globalisasi. Rakyat Astina semakin dijauhkan dan dibuai supaya tidak mengenal Pandawa Lima pelindung rakyat Astina. Bahkan oleh Kurawa, Pandawa Lima berhasil diusir keluar dari peta perpolitikan Astina. Kurawa berhasil mendoktrin dirinya sendiri dengan semboyan “Suara kurawa suara tuhan”.

Kesemrawutan birokasi tersamarkan oleh jargon perampingan birokrasi. Disatu sisi pembangunan kemewahan terus berlangsung, invasi ekonomi berkedok investasi-investasi difasilitasi, pengemplang pajak justru disodori tax amnesty. Namun disisi lain, secara sistematis penindasan terhadap rakyat terjadi. Fasilitas umum, ruang-ruang terbuka yang semestinya disediakan oleh negara untuk fasilitas rekreasi rakyat malah dipasangi tarif-tarif retribusi. Barang-barang kebutuhan rakyat dikenai berbagai macam pajak. Astina semakin hari semakin tidak manusiawi. Astina tidak lagi hadir sebagai sebuah negara tetapi tampil layaknya sebuah perusahaan swasta.

Linglung Bilung Sarawita tak berdaya melangkah keluar dari kadipaten Ibukota. Belasan tahun pengabdiannya kepada Negeri Astina di Ibukota terasa sia-sia.”Oh Gusti, keadilanmu yang kutunggu. Mengapa negeriku Astina ini menjadi semakin terasa asing bagiku. Dimana kebijaksanaan Ibukota? Dimana Negara? Aku berpuluh tahun bekerja sukarela menjadi pegawai negara terasa sia-sia. Negara yang ikut kuurus, kutata, kujaga itu kini menjadi berantakan. Ideologinya dikebiri, Nasionalismenya lumpuh, Konstitusinya nggantung, pertahanan keamanannya bolong-bolong, aparatnya tidak setia kepada tugasnya dan sering selingkuh untuk publikasi eksistensi pribadinya. Semena-mena Adipati Basukarno memecatku, hanya karena aku menolak untuk mendukung pembangunan-pembangunan fasilitas mewah bagi Dewa-dewa yang sama sekali bukan untuk rakyat, malahan rakyat dikorbankan. Hei Basukarno, apa kamu sedang menyiapkan liang kubur bagi bangsamu dengan arogansimu? Apa kau benar-benar sedang menabuh genderang perang Barathayuda?”

Sebagai anak Dewa Surya yang dikandung Kunthi karena ketidak sengajaan, Basukarno dilahirkan tidak secara normal. Dengan cara abnormal Ibu Kunthi dibantu Dewa-dewa melahirkan Basukarno melalui telinga. Singkat cerita setelah sekian lama pasca si bayi Basukarno dilarung ke sungai, Ibu Kunthi mendapati putranya telah menjadi Adipati Awangga di Astina. Sepak terjang Basukarno menjadi fenomenal di kalangan Kurawa. Basukarno mendapat dukungan penuh dari para Dewa, bahkan Kurawa pada akhirnya turut serta mendirikan secara masif bangunan-bangunan dan berbagai macam fasilitas yang mewah diperuntukan pemujaan bagi Dewa-dewa dari Kahyangan. Astina tanpa disadari sudah dalam kontrol penuh Kahyangan, bahkan Kurawa termotivasi penuh untuk memenangkan Perang Suci Barathayuda yang sejak lama telah dihembuskan oleh media massa Kahyangan. Propaganda Perang Suci yang sebenarnya perang saudara terus berlangsung. Kurawa melawan saudaranya, Pandawa Lima.

Ritme kesibukan Basukarno melakukan percepatan pembangunan kuil-kuil pemujaan bagi Kahyangan di wilayah Ibukota Astina sempat mengendur beberapa saat setelah pertemuannya dengan Ibu Kunthi. Namun selang beberapa saat kemudian, Dewa Surya beserta Dewa-dewa lainnya memotivasinya dengan support sepiritual yang luar biasa sehingga semangat Basukarno untuk kembali tancap gas membangun fasilitas-fasilitas mewah untuk Dewa-dewa kembali membara. Relokasi-relokasi (Red. penggusuran) dilakukan guna mempercepat penataan-penataan Ibukota supaya kompetibel dengan suasana Kahyangan. Basukarno beserta Kurawa kembali bersiap-siap untuk perang Barathayuda seperti yang dikabarkan para Dewa. Kurawa semakin larut dalam ambisi fatamorgana memenangkan perang saudara, dan semakin abai terhadap kebutuhan Rakyat Astina seperti Bilung Sarawita.

Tubuh kurus Bilung Sarawita bergetar menahan amarah yang mencapai puncaknya. “Wahai Dewa-dewa, apakah yang kalian kehendaki terulangnya lagi pertumpahan darah dan gelimang jasad-jasad tanpa nyawa? Apakah genderang perang Barathayuda akan segera kalian tabuh dikehidupan nyata?” Berlahan getaran tubuh itu meredam seiring tarikan nafas dalam-dalam sembari mengambil posisi duduk menyerupai tahiyat awal dengan posisi tegak. Matanya menatap lurus fokus horisontal mengarah ke mata-mata hati. “Apakah yang sudah, sedang dan akan aku lakukan ini sudah benar dan baik untuk rakyat Indonesia.”[AS]