Mukadimah: HARDIK-HARKIT-NASIB

 

MUKADIMAH MAIYAH DUSUN AMBENGAN MEi 2016

Apa juntrungan antara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan nasib manusia? Apa pula kaitan antara Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) dengan tangisan manusia?

BAGI BANYAK orang di perdesaan, pendidikan adalah mimpi dan jalan paling dekat, kalau tak boleh disebut instan untuk mengubah nasib. Orang-orang tua, menyekolahkan  anak dengan kalimat peneguh. “Agar tidak susah seperti orang tuanya.”

Kesadaran akan mahalnya biaya pendidikan, menjadi permakluman karena mencapai cita-cita hanya dengan satu cara. Sekolah. Rumusan pembenarnya, sekolah mawa bea. Meski kemudian dipahami sangat parsial, sederhana dan apa adanya. Jika kemudian berpendidikan, anaknya akan bisa hidup di perkotaan. Konsekwensi logisnya, membanggakan orangtua.

Perlahan, ada pergeseran ucapan. Itu sifulan, disekolahkan tinggi-tinggi, jual sawah, tetap saja jadi petani utun. Mirip sifulan yang tak sekolah.

Lalu perputaran nasib terus bergulir, sekolah dan tidak sekolah, sekadar dipahami pada perubahan nasib yang sangat matrial. Berbasis pekerjaan. Lalu ada trend, berduyun-duyun sekolah ke perguruan tinggi mengambil jurusan pendidik. Agar masa depannya cerah dan bisa jadi guru.

Seorang guru dalam starta sosial di perdesaan memang terkesan lebih tinggi posisinya dibanding petani.

Hal itu terjadi di bawah tahun 2000-an. Di atas era 2000-an, jurusan  kebidanan, keperawatan dan akademi komputer, menjadi semacam trend yang ditempuh anak-anak. Sekolah-sekolah diploma juga didirikan, dijadikan tempat sekolah. Orientasinya, hanya satu. Begitu lulus segera kerja. Kerja dalam artian yang sangat formalistik. Jadi pegawai atau karyawan. Tidak bertungkus lumus dengan terik matahari dan peluh di desa. Kerasnya hidup di perdesaan mengolah tanah dan merengkuh gabah, pelahan dan kini mulai benar-benar ditinggalkan anak-anak muda.

Banyak orang mungkin lupa, guru yang biasanya hidup kaya di desa itu, pasti punya sawah dan tetap menekuni pekerjaan sebagaimana lazimnya orang desa. Ketika guru hanya  mengandalkan gaji sebagai PNS dan pengajar di sekolah, banyak di antara mereka tak bisa bebas dari hidup di perumahan yang disediakan sekolah.

Pendidikan bagi orang desa, dipahami benar-benar untuk kerja. Akan tetapi, fakta yang didapat di sekolah, anak dipaksa dengan puluhan mata pelajaran, mata kuliah, yang  semuanya tidak berfungsi sama sekali bagi dunia kerja. Lihat saja rumusan pelajaran matematika. Anak lulusan SMA, akan kesulitan jika dipaksa orang tuanya untuk mampu menghitung berapa jumlah bata yang dibutuhkan untuk membuat dapur rumah mereka yang berukuran 4 kali 6 meter. Sementara Kang No, tukang di kampung yang hanya lulusan SR, tak perlu waktu lama mengambil pena dan kertas, segera tahu jumlah batu bata, pasir, berikut semen yang dibutuhkan, berikut upahnya sebab saat ini tak lagi dikenal, membangun rumah dengan sambatan atau gotong royong.

Para orangtua kemudian sangat akrab dengan kata-kata kasar. Disekolahin tinggi-tinggi hanya bisa melawan orangtua serta bodoh dalam pelajaran. Kebanyakan di antara kita lupa, bahwa hakikat dasar pendidikan, cukup sederhana. Hal itu terefleksi pada kisah Lukman dalam Al Quran yang menasehati sekaligus memberi pelajaran pada anaknya. Kemudian ajaran dasar menuntut ilmu yang tidak hanya bersandar pada sekolah. Mungkin inilah yang menjadi sebab, kaitan antara sekolah dengan keluaran orang berilmu. Meski sulit kita cari anak yang berilmu jika tidak sekolah.

Sederet paradoks dalam dunia pendidikan di sekitar kita, layak didiskusikan sembari mentadabburi ayat-ayat Allah maupun hadist-hadist nabi. Misalnya, yar faillahu ladzina amanu minkum utul ilma darazat. Allah meninggikan orang yang berilmu beberapa derajat. Termasuk dalil, tolabul ilmi faridlotun alal kuli muslimin wal muslimat, kemudian harus ilmu yang harus dicari minal mahdi ilallahdi.

Kita tak bisa memungkiri, nyaris semua anak yang berhasil bangkit dari keterpurukan dan kemelaratan, selalu diiringi kesuksesan dalam pendidikan. Kita bisa menunjuk dengan terang, profesor itu dulu orang tuanya sangat miskin, dosen itu ketika menceritakan keterbatasannya semasa sekolah, sembari berurai air mata, dan lain sebagainya.

Satu prinsip yang tak boleh dilupakan para orangtua, yakni mendikte masa depan anak sebagaimana keinginan orangtuanya. Bahwa kemudian kita menuntun anak,  mengarahkan, memberi gambaran berbasis pengalaman, harus. Tetapi bukan untuk mendikte sesuai dengan keinginan kita.

Lukman, pertama kali hanya mengajarkan menyembah Tuhan, tidak mengingkari keberadaan-Nya. Ya bunaiya, la tusrik billah. Kemudian, Kanjeng Nabi SAW, menyempurnakan akhlak.

Kita boleh mengikuti kemauan anak untuk lebih memilih fakultas kedokteran, ekonomi, sastra, geografi, biologi, keguruan, dan semacamnya. Namun kita harus memaksakan  pengajaran tentang ketauhidan. Ketuhanan dan akhlakul karimah. Di sinilah, pendidikan bisa berkorelasi pada pengubahan nasib seseorang. Bukankah dalilnya cukup tegas, innalloha layu ghoiruma bi qoumin hatta, yu ghoiru ma bi anfusihim. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu yang ingin mengubah nasibnya sendiri.

Apakah kita perlu menghardik pendidikan meski sebenarnya kita sendiri yang kurang memahami arti dan output dari pendidikan? Apakah kita telah menjadi orang yang cenderung suka menyalahkan liyan tanpa benar-benar tahu instropeksi? Mestikah kita mengecam nasib melarat atau menyalahkan pemerintah karena sekolah mahal, meski ilmu tidak melulu hanya ada di sekolah yang mahal-mahal itu?

Hardiknas, yang selalu diperingati pada 2 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke-108 yang jatuh pada 20 Mei 2016, jadi momentum mengenang semangat perjuangan The Founding Fathers bangsa ini. Bangsa yang terbebas dari penjajah.

Biasanya, tema Harkitnas selalu dikaitkan dengan tema “kita bangkitkan semangat kerja keras mewujudkan Indonesia maju dan sejahtera”.

Tanpa upacara, seremoni dan memakai anggaran negara, orang-orang desa sudah berjuang untuk selalu bangkit. Meski secara laten dimiskinkan, dicepit kebijakan yang tanpa sadar mencopet setiap hasil keringat yang dihasilkan orang kampung tetapi orang-orang desa adalah manusia paling kokoh, tabah dan tetap bersemangat menghadapi hidup.

Semangat orang-orang desa itulah, menjadi lema Maiyah Dusun Ambengan untuk kembali melingkar di setiap Sabtu malam pada Minggu kedua tiap-tiap bulan. Bertema, Hardik-Harkit-Nasib, Maiyah Dusun Ambengan mengundang semua orang melingkar bersama, bergembira dan mentadaburi ayat-ayat Allah pada Sabtu, 14 Mei 2016 jam 20.00 WIB di Rumah Hati, Margototo, Metro Kibang, Lampung Timur.