Mundur Selangkah Memahami Bumi Kembali

“KALAU Anda datang ke Kenduri Cinta, berarti Anda siap untuk menerima apa saja yang disuguhkan. Bukan mengajar, tapi untuk belajar. Di Maiyah tidak ada pengajaran, tidak ada mu’allim, tetapi muta’allim. Anda siap memaknai apa saja yang Anda terima di sini”, Cak Nun menyapa jamaah Maiyah di Kenduri Cinta yang memang sudah menunggu kedatangan Cak Nun malam itu.

Kenduri Cinta ini bukan hanya sebuah majelis ilmu semata, nuansa egaliter yang sangat kental sangat terasa, sehingga siapapun saja asalkan datang dengan hati dan pikiran yang jernih, maka akan merasa nyaman seperti berada di rumah sendiri. Malam itu, Cak Nun bahkan hadir lebih awal dari biasanya, namun memutuskan untuk turut menikmati diskusi sesi awal, duduk di sayap panggung sebelah kanan bersama Pak Pipit Ruchiyat Kartawijaya. Pak Pipit adalah seorang sahabat lama Cak Nun ketika dahulu menggelandang di Jerman dan Belanda. Hubungan silaturahmi kedua sahabat ini terjalin sangat erat, hingga hari ini.

Maiyah selalu merespons peristiwa, apapun peristiwa yang terjadi baik di Indonesia maupun dunia, Maiyah memiliki cara pandang tersendiri dalam memaknai dan memotret peristiwa itu. Tak mengherankan, masyarakat luas juga banyak yang menunggu apa yang hendak disampaikan oleh Cak Nun pada setiap peristiwa yang terjadi. Tema Kenduri Cinta edisi Oktober 2018 ini adalah “Maiyah Bumi dan Manusia”, muatan utama tema yang diangkat ini memang dalam rangka kembali mempelajari, memaknai, menghikmahi fenomena alam yang terjadi akhir-akhir ini. Adanya gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang dan sederet fenomena alam lainnya jika menggunakan cara pandang alam, maka sebenarnya peristiwa itu terjadi dalam ranah yang wajar saja, karena alam hanya mengikuti sunnatullah.

Jika ada hutan yang digunduli dengan cara ditebangi pepohonannya tanpa ada reboisasi yang terencana dengan baik, maka jangan salahkan alam jika terjadi banjir bandang dan tanah longsor. Salah satu risiko kita di Indonesia adalah, bahwa secara geografis kepulauan di Indonesia dikelilingi oleh ring of fire. Wilayah yang memang sangat rawan terjadi gempa bumi, baik tektonik maupun vulkanik. Setidaknya ada 127 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia yang sewaktu-waktu bisa saja erupsi.

Hampir di semua teori ilmu pengetahuan alam menunjukkan bukti bahwa alam semesta adalah makhluk yang diciptakan terlebih dahulu daripada binatang dan manusia. Jauh sebelum manusia diciptakan, Tuhan telah mempersiapkan kelengkapannya terlebih dahulu. Adanya matahari, bulan, bintang, planet-planet dan lain sebagainya. Bahkan, secara khusus semua kelengkapan itu diciptakan dalam rangka membantu kehidupan manusia di bumi.

“Apakah gempa bumi itu azab atau musibah, kita tidak berhak memperdebatkannya”, Kyai Muzammil malam itu mengungkapkan dengan tegas, bahwa apakah azab atau musibah dari sebuah fenomena alam, kita sebagai manusia tidak akan mampu memetakannya. Memang benar adanya bahwa bumi merupakan saudara tua manusia, yang seharusnya kemudian kita pertanyakan kembali adalah apakah kita masih menganggap bumi sebagai saudara tua dari kita atau tidak? Jangan-jangan, pemenfaatan sumber daya alam yang dilakukan manusia sudah dirasakan oleh bumi sebagai bentuk eksploitasi yang berlebihan.

“Manusia itu bagi bumi seperti virus, yang terus menggerogoti bumi”, begitu kira-kira yang diungkapkan oleh Sabrang. Penambangan, eksplorasi minyak, alih fungsi hutan, pengeboran sumur dan lain sebagainya yang dilakukan manusia tak ubahnya sebuah virus bagi bumi itu sendiri. Sabrang berpendapat, adanya fenomena alam berupa gempa bumi sebenarnya adalah bentuk keseimbangan dari bumi itu sendiri. Ketika manusia melakukan pengeboran bumi, maka dipastikan akan terjadi perubahan struktur bumi. Salah satu dampak dari eksploitasi bumi yang sangat terasa adalah begitu terasa suhu panas bumi dalam beberapa tahun terakhir yang cukup tinggi dari sebelumnya. Bahkan, menurut beberapa ilmuwan, suhu panas bumi saat ini sudah dalam batas yang sangat membahayakan, bukan hanya bagi bumi tetapi juga bagi manusia dan seluruh penduduk bumi.

Seperti halnya Maiyahan, Kenduri Cinta pun memotret peristiwa dari berbagai sudut pandang. Dan bukan hanya narasumber yang ada di panggung saja yang berhak untuk menyampaikan pendapat, jamaah pun memiliki kesempatan yang sama. Terbukti, di sesi awal begitu banyak jamaah yang terlibat dalam diskusi interaktif. Mereka datang dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi, merespons tema yang dibicarakan. Bukan dalam rangka menggurui, melainkan dalam rangka berbagi, bahwa dalam satu informasi bisa dilihat dari berbagai sudut pandang untuk memahaminya.

Pak Pipit malam itu membawa dua buah tulisan untuk merespons PILPRES 2019 dari sudut pandang primbon. Ini bukan dalam rangka mengajak jamaah untuk membahas klenik. Pak Pipit sendiri adalah orang yang sangat kompeten di bidang ilmu pemerintahan, bahkan beberapa kali ia dimintai bantuan oleh Kementrian Dalam Negeri untuk turut serta menyusun beberapa hal yang berkaitan dengan birokrasi di Indonesia. Sudut pandang primbon digunakan oleh Pak Pipit karena berkali-kali Pak Pipit mengusulkan harus ada revisi dalam Undang-Undang Pemilihan Umum, tidak digubris. Pak Pipit sendiri terlibat dalam penyusunan jumlah kursi parlemen yang dibagi sesuai dengan luas wilayah di setiap Provinsi, ketika benar-benar dihitung dengan ilmu pengetahuan, banyak yang tidak setuju karena ada provinsi yang berkurang jumlah kursinya. Tulisan itu semacam sindiran dari Pak Pipit untuk menerangkan bahwa sebenarnya Pemilihan Umum di Indonesia tahun 2019 tidak akan melahirkan pemimpin yang ideal. Dan setelah dihitung oleh Pak Pipit dengan hitungan primbon, kedua kandidat Capres dan Cawapres memang tidak berjodoh dengan Indonesia. Tapi sekali lagi,  yang disampaikan oleh Pak Pipit ini bukan kebenaran yang absolut. Ibarat pertandingan sepakbola, peluit sudah ditiup oleh wasit, kita sebagai penonton hanya bisa menyaksikan dan berteriak di tribun penonton.

KEMESRAAN yang tergambar di Kenduri Cinta memang terasa sangat nyata. Mereka yang datang di forum majelis ilmu ini adalah mereka yang telah menemukan kesepakatan bersama di Maiyah untuk bersama-sama menjaga nilai-nilai kehidupan yang tersampaikan di Maiyah. Ada yang sudah datang berkali-kali, sehingga merasa ada yang kurang jika melewatkan satu edisi Kenduri Cinta, ada yang sebelumnya hanya menikmati Maiyahan dari video-video yang tersebar di internet, ada pula yang baru pertama kali datang. Setiap dari mereka memiliki kesan tersendiri dan tentunya memiliki alasan tersendiri mengapa mereka datang dan merasa betah di Kenduri Cinta.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang jamaah melalui akun twitternya @hrspydh Maiyah, dalam hal ini Kenduri Cinta, buat orang kaya gua, masyarakat urban yang ‘anti banget’ sama kajian, terlebih kajian keagamaan yang gak ada nilai matrialismenya, adalah pohon rindang pinggir jalan disebelah lampu merah saat jalanan lagi panas terik memanggang.

Tampak sebuah kesan yang sangat mendalam baginya, betapa Kenduri Cinta menjadi rumah yang nyaman baginya. Taka da kemewahan dunia yang ditawarkan oleh Kenduri Cinta, tapi begitu banyak orang yang merasa sangat nyaman untuk berteduh di bawah “pohon rindang” ini.

“Untung ada Maiyah”, sebuah kalimat yang sudah disampaikan berulang kali oleh Syeikh Nursamad Kamba. Salah sati kritik sosial yang juga selalu disampaikan oleh Syeikh Kamba adalah kenapa Islam hari ini selalu tampak sebagai sebuah institusi bukan sebagai nilai. Syeikh Kamba malam itu menerangkan bahwa Rasulullah Saw selama 23 tahun berdakwah dan menerima wahyu Al Qur`an, dalam kurun waktu sekitar 10 tahun mampu mewujdukan masyarakat madani di Madinah. Padahal, saat itu ummat Islama dalah minoritas. Namun, karena nilai yang dibawa oleh Rasulullah Saw adalah nilai yang sangat murni, kaitannya dalam memahami dan memaknai Al Qur`an, maka kerukunan masyarakat yang begitu heterogen dapat terwujud.

Cak Nun kemudian menambahkan bahwa salah satu dakwah Rasulullah Saw adalah dalam rangka menyempurnakan akhlaq manusia, liutammima makarima-l-akhlaq. Sehingga, yang seharusnya ditekankan oleh setiap manusia adalah perilaku baiknya, kasih sayangnya, manfaat bagi sesama, bukan identitasnya. Kebanyakan manusia hari ini lebih mementingkan apa identitasnya, sehingga tidak mengherankan jika selalu saja terjadi benturan demi benturan dikarenakan perbedaan yang terjadi diakibatkan dari sumber penonjolan identitas dari setiap manusia.

Di Kenduri Cinta edisi sebelumnya, Cak Nun sempat menyampaikan bahwa agar jangan sampai setiap kita memiliki jarak dari Allah, karena salah satu akibat dari berjaraknya diri kita dari Allah, maka kita juga tidak akan menemukan diri kita yang sejati sebagai manusia. Maka, pada satu tahap berikutnya kemudian adalah manusia yang sudah tidak mengenal dirinya, maka juga tidak akan mengenal alam sebagai saudara tuanya sendiri.

Dinamika forum Kenduri Cinta yang berlangsung bak ulang-alik dimensi ilmu, meloncat kesana-kemari, berputar, maju ke depan, mundur ke belakang. Memang begitulah adanya nuansa yang terbangun di Maiyahan pada umumnya. Tidak mungkin sebuah informasi hanya dilihat dari satu sudut pandang saja. Di Maiyah, kita mempelajari dan memaknai setiap informasi dari berbagai sudut pandang ilmu pengetahuan, dan tidak ada kebenaran mutlak yang lahir dari Maiyah, setiap orang Maiyah memiliki kemerdekaan untuk menemukan sendiri hikmah dari setiap informasi yang mereka dapatkan.

Tentu saja hal ini juga yang menjadikan Kenduri Cinta dan forum Maiyahan di berbagai daerah selalu didatangi oleh banyak orang. Karena tidak ada kurungan yang dibangun, justru kemerdekaan setiap individu itu yang menjadi nilai khas Maiyah sehingga banyak orang yang merasa betah dan rindu untuk kembali datang di forum seperti Kenduri Cinta ini.

Tidak berlebihan rupanya jika Syeikh Nursamad Kamba mengungkapkan bahwa Maiyah adalah sbeuah hadiah dari Allah untuk Indonesia. Ditengah gersangnya manusia hari ini, setiap hari disibukkan dalam urusan dunia, dihimpit kapitalisme global yang semakin besar pengaruhnya, dalam tinjauan spiritual dibutuhkan sebuah penyeimbang kehidupan, bagi Syeikh Nursamad Kamba, penyeimbang itu adalah Maiyah.

Manusia hari ini semakin terbuai dengan dunia. Rasulullah Saw sudah jauh-jauh hari menyampaikan bahwa salah satu penyakit manusia adalah wahn; hubbub-d-dunya wa karohiyatu-l-maut. Manusia semakin mencintai dunia, seakan-akan dunia adalah tempat terakhir mereka. Kecintaan berlebihan manusia kepada dunia berakibat pada salah satunya hilangnya kesadaran bahwa bumi adalah saudara tua manusia. Sehingga kemudian manusia tidak peka terhadap pertanda alam yang ada.