Bukan Kebenaran, Melainkan Kebijaksanaan

YANG kita lihat hari-hari ini adalah bagaimana setiap orang masing-masing mempertontonkan kebenaran yang mereka yakini, bahkan tidak hanya mempertahankan kebenaran itu, melainkan sampai pada titik dimana kebenaran itu dipaksakan kepada orang lain agar juga meyakini kebenaran yang diyakini itu.

Padahal, setiap manusia berhak menemukan sendiri kebenarannya masing-masing tanpa harus terpengaruh pada kebenaran yang diyakini oleh orang lain. Walaupun mungkin saja dalam menemukan kebenaran itu ada sedikit nuansa cipratan dari kebenaran yang diyakini oleh orang lain.

Itulah mengapa dalam Islam ditekankan bahwa ajakan untuk menempuh jalan kepada Tuhan harus disampaikan dengan kebijaksanaan bukan kebenaran. Ud’u ilaa sabiili robbika bi-l-hikmah. Bahkan pada sebuah hal yang sangat esensial pun, Islam memberikan opsi bahwa cara, metode, dan konsep yang diusung untuk menuju kesejatian adalah dengan kebijaksanaan.

Syeikh Nursamad Kamba pada Kenduri Cinta edisi Oktober lalu (12/10) mengungkapkan bahwa sepertinya ada something wrong dengan cara kita memahami Al Qur`an seteleh sekian abad kitab suci itu diturunkan. Pada awalnya, Rasulullah Saw hanya membutuhkan kurang lebih 23 tahun untuk membentuk masyarkat yang baik. Bahkan di Madinah, Rasulullah Saw hanya membutuhkan waktu sekitar 10 tahun saja untuk mewujudkan masyarakat madani. Padahal saat itu, ummat Islam di Madinah adalah minoritas, namun dengan panduan Al Qur’an, Rasulullah Saw mampu mempersatukan masyarakat Madinah, sehingga kemudian melahirkan sebuah nomenkelatur konstitusi yang bernama Piagam Madinah, yang disepakati oleh seluruh masyarakat di Madinah saat itu.

Sekitar 14 abad kemudian, kita seolah-olah gagap memaknai Al Qur’an, sehingga kemudian yang terjadi justru antara kita saling memamerkan kebenaran demi kebenaran yang kita yakini. Pemaknaan Al Qur’an yang kita fahami kemudian kita paksakan kepada orang lain agar juga meyakini pemaknaan itu sebagai sebuah kebenaran yang absolut. Sehingga kemudian kita memproduksi kegaduhan demi kegaduhan yang tak kunjung henti.

Apa yang kita alami hari ini adalah sebuah kultur sosial budaya dimana identitas manusia adalah sesuatu hal yang sangat di-primer-kan oleh manusia. Setiap orang justru kebanyakan lebih memperlihatkan siapa dirinya, apa profesinya, apa agamanya, apa titel akademisnya daripada kebijaksanaan yang muncul dari dirinya dari segala bekal latar belakang yang ia miliki.

Sehingga, dalam masyarakat kita hari ini pun akan lebih mempertimbangkan sebuah informasi yang diperkuat dengan latar belakang siapa yang memberikan informasi. Dan kecenderungan pertimbangan itu semakin hari semakin tidak berada pada titik keseimbangan yang tepat, karena yang menjadi bahan pertimbangan utama selanjutnya adalah; apakah pemikiran dan pendapat itu sejalan dengan apa yang kita yakini atau tidak?

Pada Kenduri Cinta jumat lalu, Cak Nun kembali memancing jamaah dengan sebuah pertanyaan; mana yang lebih utama, identitasmu atau perilakumu di hadapan manusia? Bahkan di hadapan Allah sekalipun, yang utama adalah atqookum. Sementara kita di dunia masih lebih mementingkan apa identitas kita, padahal yang dibutuhkan oleh orang lain dari diri kita adalah perilaku kita, perbuatan baik kita, cinta dan kasih sayang kita, sehingga perilaku kita melahirkan manfaat untuk sesama makhluk hidup.

Jika kita bersandar pada nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Undhur maa qoola walaa tandhur man qoola. Lihatlah, perhatikan apa yang disampaikan, bukan melihat siapa yang menyampaikan. Nasihat bijak ini pada satu kasus memang sangat mujarab dalam mengolah informasi yang masuk kepada kita. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa situasi dan kondisi masyarakat pada saat Sayyidina Ali menyampaikan nasihat itu tentu jauh berbeda dengan situasi dan kondisi masyarakat kita hari ini.

Sehingga, pada kasus yang berbeda, bisa saja yang berlaku kemudian adalah; Undhur maa qoola wa kadzalika undhur man qoola. Ada tahap dimana kita tidak saja memperhatikan apa yang disampaikan, namun juga kita akan memperhatikan siapa yang menyampaikan. Cita-cita mewujdukan kesejahteraan rakyat tentu cita-cita yang mulia, sehingga seorang calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, atau juga Calon Anggota Legislatif akan mengumbar janji-janji kampanye denga jargon-jargon yang bernada kerakyatan. Namun, apakah kita akan percaya begitu saja ketika kita mendapati bahwa yang menyampaikan janji-janji kampanye itu ternyata pernah melakukan korupsi?

Sementara, ada juga klausul; Undhur man qoola, walaa tandhur maa qoola. Tidak peduli informasi apa yang disampaikan, karena kita sudah sangat percaya kepada subjek informasinya. Klausul ini paling tepat kita aplikasikan pada Al Qur’an. Sebagai informasi dari Allah, kita sama sekali tidak memiliki hak untuk menggugat kebenaran yang disampaikan Allah dalam AL Qur’an. Pada satu tahap, mungkin juga kita akan menemukan seseorang yang sudah teruji kualitasnya, sehingga kita tidak perlu repot-repot mengunyah informasi yang ia sampaikan. Apapun yang disampaikan, kita telan. Dengan risiko yang tentunya sudah kita pertimbangkan masak-masak.

Juga, ada situasi dimana Laa tandhur maa qoola, walaa tandhur man qoola. Pada satu kondisi yang sudah sangat jelas dan terang benderang, kita justru bisa saja mengaplikasikan untuk abai terhadap sebuah informasi. Karena, ada jenis manusia yang memang tidak perlu kita dengar informasinya apalagi didiskusikan bahkan diperdebatkan. Sayangnya, itulah yang menjadi sumber keributan dan kegaduhan kita di media sosial hari ini. Kita lebih sering gaduh atas informasi yang disampaikan oleh orang yang seharusnya kita sudah mengetahui bahwa orang tersebut sama sekali tidak pantas dan tidak layak dijadikan sumber referensi dari sebuah informasi.

Maka, yang seharusnya kita tampilkan di hadapan publik adalah kebijaksanaan kita, bukan kebenaran yang kita yakini.