Mukadimah: URJA CINTA PARIVARTANA

SAAT kita memperhatikan keadaan di sekitar kita, seringkali kita menyaksikan konflik, kekerasan, dan ketidakadilan. Namun, di tengah-tengah semua itu, ada kekuatan yang kuat yang mampu membawa perubahan yang positif: energi cinta. Kekuatan cinta adalah sebuah kekuatan yang mempersatukan semua perbedaan. Cinta mampu mempersatukan keberagaman, sehingga semua berjalan dalam satu sapuan langkah yang sama.

Dinamika kehidupan manusia yang juga terkoneksi dengan kehidupan alam semesta adalah sebuah ruang yang sangat luas. Meskipun demikian, akan selalu ada batasnya. Keberagaman hidup manusia dan juga makhluk Tuhan pada akhirnya melahirkan sebuah keniscayaan: perubahan. Perubahan adalah kondisi yang lazim terjadi. Kita tidak mungkin menolak perubahan.

Ada manfaat dan kerugian yang didapatkan dalam sebuah perubahan. Perubahan yang terstruktur, terkontrol dan perlu penelitian terlebih dahulu akan berpotensi banyak mendatangkan manfaat dibandingkan kerugian. Sedangkan perubahan yang tanpa struktur, kontrol dan penelitian menjadikan sebaliknya, berpotensi lebih banyak kerugian dibandingkan manfaatnya. Seiring waktu semuanya mengalami perubahan, entah perubahan kecil atau perubahan besar, entah perubahan yang disadari atau yang tidak disadari serta perubahan disengaja ataupun tidak disengaja.

Dalam bidang engineering misalnya, ada salah satu cabang ilmu yang dinamakan “Konversi Energi”. Dimana cabang ilmu tersebut itu mempelajari faktor apa saja yang terpengaruh dan mempengaruhi dari perubahan energi. Semisal konversi energi pada Pembangkit Listrik. Diawali proses pembakaran batu bara untuk memanaskan boiler, kemudian boiler menghasilkan steam dengan tekanan yang tinggi sehingga mampu menggerakkan turbin yang telah dikoneksikan dengan perangkat generator listrik. Begitulah siklus perubahan untuk menghasilkan energi listrik. Dari tahun ke tahun para ilmuwan masih meneliti setiap faktor perubahan, dengan tujuan memberikan banyak manfaat dibanding kerugiannya.

Untuk mencapai tingkat efektif dan efisien tinggi perlu adanya penilitian betahun-tahun. Akan tetapi tidak akan ada penilitian tanpa didasari kesadaran bahwa ada hal yang tidak sesuai. Kesadaranpun tidak akan terlahir tanpa adanya pengetahuan. Jika sudah sadar pun tanpa ada kebijaksanaan untuk peduli hasilnya pun sia-sia. Sadar, Berpengetahuan, Kebijaksanaan adalah beberapa contoh sikap kedewasaan. Kedewasaan manusia yang berusia diatas 20 tahun semestinya sudah pada tahap itu, sehingga setiap perubahannya banyak memberi manfaat dibanding kerugian.

Urja Cinta Parivartana, sebuah konsep yang muncul dalam bahasa Sanskerta, mengajarkan kita tentang pentingnya mengaktifkan dan mengarahkan energi cinta ini untuk menciptakan transformasi pribadi dan perubahan dunia yang lebih baik. Pada dasarnya, Urja Cinta Parivartana mengandung dua elemen penting: urja (energi) dan cinta. Energi yang dimaksud di sini adalah energi yang melingkupi seluruh alam semesta, yang memancarkan kehidupan dan daya cipta. Energi ini dapat dirasakan dalam berbagai bentuk, termasuk energi cinta. Cinta, dalam konteks ini, bukan hanya perasaan kasih sayang antara manusia, tetapi juga rasa keterhubungan dan kepedulian terhadap semua bentuk kehidupan.

Konsep ini mengajarkan bahwa energi cinta ini memiliki potensi untuk menghasilkan transformasi yang mendalam dalam diri kita dan dunia di sekitar kita. Untuk memahami konsep ini lebih lanjut, kita perlu melihat bagaimana energi cinta ini dapat diaktifkan dan diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Menginjak Usia 23 tahun Kenduri Cinta, usia dimana ditandai dengan kebebasan dan kemandirian. Mengambil penuh tanggung jawab atas keputusan yang diambil. Sudah banyak perubahan yang dialami selama 23 tahun perjalanan ini. Konsep panggung dan tenda mungil yang setiap bulan secara default didirikan dan tema diskusi bulanan yang selalu baru adalah contoh perubahan yang memang disadari dan disengaja agar tidak mendatangkan kebosanan. Wacana keilmuan yang dihadirkan pun memberi warna tersendiri. Siapapun yang datang di Kenduri Cinta, tidak hanya mendapat asupan ilmu, tapi juga asupan silaturahmi.

Dalam falsafah jawa, beberapa tahapan usia manusia sering ditafsirkan pada maqam yang dikaitkan pada sebuah pemaknaan yang relevan sesuai dengan proses perjalanan kehidupan manusia era-era terdahulu maupun saat ini. Proses penemuan manusia tersebut, terkait pada tugas dan tanggung jawab, baik secara sosial maupun ilahiyyah. Rumusan atas makna usia tersebut mungkin sudah sering kita dengar dan ketahui.

Seorang manusia yang telah memasuki usia antara 21-29 tahun, pada budaya jawa disebut dengan selikur, rolikur, telu likur, dan seterusnya hingga berhenti di songo likur. Pada fase ini digunakan penyebutan satuan atau frasa “likur” yang merupakan kependekan dari linggih kursi. Pada fase ini, umumnya seorang manusia sudah masuk pada fase bergelut dengan dunia pekerjaan, profesi, atau karier yang akan atau sedang ditekuni dalam kehidupannya. Saat ini, bagi sebagian orang sering juga disebut dengan istilah “tempat” atau kedudukan.

Dalam filosofi jawa yang lain, dikenal juga istilah penyebutan yang menggambarkan satuan usia pada dimensi ruang maupun rentang waktu terciptanya manusia sejak di dalam kandungan, kelahiran dan tumbuh kembangnya di dunia, hingga pada proses menuju kematiannya kembali. Di tembang mocopat semisal, ada istilah maskumambang yang melambangkan kehidupan manusia saat berada di dalam kandungan ibunya. Mijil yang melambangkan ketika manusia dilahirkan di dunia. Saat seorang manusia mengalami masa kanak-kanak hingga menuju remaja dilambangkan dengan istilah sinom. Dan seterusnya hingga tahapan manusia yang menemui kematiannya yang dilambangkan dengan istilah pucung.

Kenduri Cinta telah menemani masyarakat ibukota dengan berbagai macam hiruk pikuk problematika kehidupan yang ada. Tak sedikit tema atau topik yang telah didiskusikan selama ini. Semua sudut persoalan yang menyangkut hajat hidup penduduk Jakarta, bahkan Indonesia tak lepas dari ruang diskusi di panggung terbuka setiap bulannya. Kenduri Cinta tak pernah berhenti menemani jamaah yang datang dengan berbagai macam latar belakangnya yang begitu beragam.

Diantara mereka, ada yang telah bertahun-tahun ikut hadir pada setiap gelarannya, datang silih berganti ikut mewarnai tempat duduk yang beralaskan terpal di depan panggung utama. Tak sedikit pula, sering terpotret beberapa wajah yang setia berdiri atau duduk di bawah pohon atau sudut-sudut tertentu, terutama pada era-era Kenduri Cinta saat digelar di halaman parkir depan Taman Ismail Marzuki.

Hampir dari semua yang hadir ke Kenduri Cinta memiliki maksud dan tujuannya masing-masing. Ada yang datang untuk mendengar ulasan dari para pembicara, terutama pesan dan nasihat Cak Nun yang menyangkut masalah-masalah kehidupan, baik itu dalam perspektif keluarga, lingkup lingkungan sekitar tempat tinggal atau tempat kerja, juga bahkan yang terkait dengan kondisi bangsa dan negara. Ada pula yang datang hanya untuk sekedar ingin tertawa lepas dan menemukan kegembiraan dengan mendengarkan kelakar-kelakar dari Cak Nun yang menyegarkan. Dan terkadang, ada juga dari mereka yang datang karena tak sengaja melihat poster Kenduri Cinta yang terpasang di halaman depan Taman Ismail Marzuki. Penasaran, lalu melihat orang berkumpul, dan akhirnya kerasan.

Cak Nun pernah mengatakan, bahwa Maiyah adalah aliran yang bergetar dan getaran yang mengalir. Sumber inspirasinya ialah persambungan cinta antara Allah Swt, Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan kita sendiri. Di Maiyah, tali persambungan tersebut dikenal dengan istilah segitiga cinta. Frekuensi gelombang yang dipancarkan selalu berlandaskan pada muatan cinta dan kasih sayang. Berulangkali juga Cak Nun sampaikan, bahwa di Maiyah tidak pernah mengenal kebencian. Semua pola kepengasuhan dan paseduluran di Maiyah harus berdasar pada ‘azizun ‘alaihi ma ‘anittum, tak terkecuali di forum Kenduri Cinta. Dampaknya, tak jarang ungkapan yang keluar dari jamaah yang berkesempatan untuk ikut merespon dan berbicara, mereka mengatakan bahwa seolah mereka menemukan keluarga baru di Kenduri Cinta.

Kenduri Cinta telah memasuki dekade ketiga. Hingga usianya saat ini, tak pernah ada kata berhenti untuk menebarkan sifat Memayu Hayuning Cinta di tengah ribuan jamaah yang juga senantiasa istiqomah bersama, dengan harapan akan terjadi pendaran-pendaran cahaya cinta melalui jamaah kepada lingkungan sekitar mereka. Sehingga nilai-nilai kebaikan yang selama ini lahir di Maiyah dapat terus memantul dan semakin meluas kepada semua manusia dan alam semesta.

Mengutip dari bahasa sanskerta “Urja” berarti Energi, sedangkan “Parivartana” adalah perubahan atau konversi. Urja Cinta Parivartana bisa diartikan sebagai konversi energi cinta.  Konversi secara etimologi adalah perubahan yang disadari dan disengaja. Sedangkan energi adalah kemampuan untuk melakukan usaha. “Urja Cinta Parivartana” diharapkan menumbuhkan kesadaran untuk merubah mindset dan perilaku agar lebih mendatangkan manfaat berlandaskan cinta. Menegakkan cinta membangun kehidupan yang mulia.

Tema URJA CINTA PARIVARTANA ini diangkat dalam rangka mensyukuri perjalanan 23 tahun Kenduri Cinta. 23 tahun perjalanan cinta, menyemai benih-benih kebersamaan dalam keberagaman di tanah Ibu kota. Kenduri Cinta hadir di Jakarta bukan untuk gagah-gagahan, bukan untuk merendahkan atau meninggikan. Kenduri Cinta hadir untuk merangkai nilai, merajut makna. Menyempurnakan ide gagasan; Menegakkan cinta, menuju Indonesia mulia.