Jika Kamu Otentik, Kamu Tidak Butuh Sanad

DI KENDURI CINTA edisi Mei 2023 ini, Cak Nun kembali menegaskan bahwa sejatinya manusia itu tidak mengerti semua hal. Manusia hanya mengerti apa yang memang ia mengerti saja. Dan itu hanya sedikit dari samudera ilmunya Allah yang terhampar luas di alam semesta. “Manusia itu kebanyakan kemeruh, sok tahu. Jadi manusia itu hanya memahami batasan apa yang ia pahami, bukan memahami keseluruhan ilmunya”, tegas Cak Nun.

Dicontohkan oleh Cak Nun, Stephen Hawking hanya mampu memahami bahwa black hole adalah ujung dari sumber kehidupan manusia. Sementara kita di Islam memahami bahwa ujung dari sumber kehidupan kita adalah Allah Swt. Ada perbedaan batas yang jelas diantara keduanya. Sama halnya saat kita diminta untuk membuktikan secara objektif apakah Allah itu ada atau tidak, karena itu semua bergantung pada sampai mana batas pemahaman kita mengenai Allah. “Kita saja tidak bisa membayangkan batas dari sebuah ruang”, Cak Nun melanjutkan, sembari menjelaskan bahwa alam semesta adalah ruang yang sangat luas, dan kita tidak bisa memahami dimana batas dari ruang alam semesta ini. Ibaratnya, jika kita membikin ruangan 3×4, maka kita tahu ada batasnya dan ada ruang lain selain ruangan tersebut. Sementara alam semesta, kita tidak memahami sampai mana batasnya dan apakah masih ada lagi ruang di luar alam semesta ini, kita tidak mengetahuinya. “Itulah keterbatasan kita, jangan sok tahu, sudah pasti kita itu tidak tahu. Allahu ya’lam wa anta la ta’lam. Itu rumus dasar orang Maiyah, jadi anda itu jangan sok tahu!”, tegas Cak Nun.

Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa sanad itu dibutuhkan sebagai referensi saja. Dan lazim ilmu sanad ini digunakan dalam ilmu hadits. Maka dalam khasanah keilmuan di Islam, jika kita mengutip sebuah hadits Rasulullah SAW, kita harus mengetahui sanad dari hadits tersebut. Tidak lantas kemudian istilah sanad ini kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, lalu setiap orang yang berbicara atau menyampaikan ide, gagasan, wacana dan lain sebagainya, kemudian kita tanya dari mana sanadnya? “Tapi kalau anda ngomong langsung dengan otentisitas dan kemurnian hatimu, kamu tidak perlu sanad. Sanad itu diperlukan jika kamu menginformasikan sesuatu dari masa silam”, lanjut Cak Nun.

Lalu Cak Nun memberi penjelasn mengenai Sunnah dan Qudroh. Jika kita menanam benih pohon, kemudian pohon itu tumbuh besar dan kemudian berbuah, itu adalah Sunnah-nya Allah. Tapi, pada saat kita menanam benih pohon itu, bukan kita yang memastikan pohon itu tumbuh, karena kepastian tumbuhnya itu adalah Qudroh-nya Allah. Terkadang kita putus asa, karena doa dan harapan yang sudah kita panjatkan kepada Allah tidak kunjung terkabul. Cak Nun mengingatkan bahwa proses manusia berdoa kepada Allah adalah proses Sunnah, atau kita sering mendengar istilah sunnatullah. Sementara terkabul dan terwujudnya doa kita adalah wilayah Qudroh-nya Allah, atau disebut juga Qudrotullah.

Cak Nun kemudian melanjutkan eksplorasi mengenai aktivasi An’amta ‘Ala Maiyah. Melalui sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Cak Nun; “Apa yang menurut Anda di Maiyah yang paling nikmat?”. Ada banyak jawaban yang muncul secara spontan; aman, damai, murni, otentik, jujur, gembira dan lain sebagainya. Selain itu ada kata kerja seperti belajar, srawung, bergaul, saling mencintai.

Satu pertanyaan lanjutan dilempar oleh Cak Nun; “Kalau menurut pendapat Anda dalam kehidupan ini yang paling nikmat itu apa?”. Ada yang nyeletuk menjawab “Beribadah, Cak!”, yang langsung direspons oleh Cak Nun; “Temenan ta? Gayamu! Wong kate jemuahan ae aras-arasen kok!”, tentu saja respons Cak Nun ini hanya dalam konteks bercanda, yang kemudian disambut gelak tawa jamaah yang lain. Inilah salah satu kegembiraan di Maiyah, bahwa ada celetukan-celetukan yang selalu menyegarkan kita, sehingga diskusi yang berlangsung tidak spaneng, dan kita bisa tetap rileks di Maiyahan, meskipun juga tetap fokus menyimak narasumber.

Jawaban dari pertanyaan itu pun bermacam-macam, ada yang menjawab bahwa yang nikmat dalam kehidupan kita adalah bersyukur. Dan tentu saja, masing-masing dari kita akan menemukan jawabannya yang berbeda. Kemerdekaan kita di Maiyah salah satunya adalah kemerdekaan dalam berfikir. Sehingga apa yang disampaikan oleh Cak Nun di satu sesi saat kita hadir di Kenduri Cinta, tidak serta-merta kita telan mentah-mentah, lalu kita jadikan pedoman yang baku. Ada kebebasan yang kita miliki untuk memilah, mana yang memang layak kita pegang, mana yang kemudian hanya kita anggap angin lalu saja.

Cak Nun kemudian mentadabburi surat Al Fatihah, sejalan dengan tulisan-tulisan terbaru Cak Nun dalam seri “Tadabbur Hari Ini”. Dalam Al Fatihah ada ayat; iyyaka na’budu wa iyyaka nas’taiin. “Menyembah dengan bersujud, sama atau tidak?”, Cak Nun kembali melempar pertanyaan, yang kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan kedua; “Menyembah dengan mengadi, sama atau tidak?”, yang serentak dijawab “Tidak”, oleh jamaah malam itu.

Ada perbedaan yang sangat jelas antara menyembah dengan mengabdi. Cak Nun menarik garis ke belakang saat peristiwa Allah memerintahkan Iblis untuk bersujud kepada Adam AS. Bagi Cak Nun perintah Allah itu bukan dalam rangka Iblis diperintah Allah untuk menyembah kepada Adam, melainkan Iblis diminta bersujud kepada Adam AS dalam rangka mengabdi, bukan menyembah. Seperti halnya kita bersujud kepada Ibunda kita saat meminta doa restu, itu bukan peristiwa kita menyembah Ibu kita, melainkan peristiwa pengabdian kita kepada Ibu kita yang hendak memberi restu kepada kita.

Jadi, peristiwa sujud kepada Adam yang diperintahkan oleh Allah kepada malaikat dan iblis adalah untuk membuktikan komitmen dan intregitasnya kepada Adam AS yang menjadi bukti validitas penghambaan mereka kepada Allah Swt. Dan saat Iblis menolak untuk bersujud kepada Adam, Allah Swt langsung memberi hukuman kepada Iblis. “Karena Iblis saat itu belum ikut Maiyahan, maka tidak bisa membedakan antara bersujud dengan menyembah”, celoteh Cak Nun disambut gelak tawa jamaah.

Sama halnya dengan ayat Iyyaka nasta’iin, Cak Nun mengingatkan ada variabel dimana kita juga boleh meminta pertolongan kepada selain Allah. Bukankah dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering meminta pertolangan kepada tetangga kita saat kita mendapat sebuah persoalan? Bahkan tak jarang pula kita juga meminta pertolongan orang lain dalam rangka kita akan meminta pertolongan kepada Allah. Dan kita harus tetap ingat, ada peristiwa yang membuat kita melanggar ayat tersebut, misalnya saat kita datang ke dukun untuk meminta sesuatu yang seharusnya kita lakukan hanya kepada Allah. Itu adalah pasal yang memang bersifat absolut dalam Islam.

“Jadi meminta pertolongan kepada yang selain Allah itu boleh, asalkan dalam koridor integritas kita kepada Allah”, tegas Cak Nun.

Cak Nun kemudian melemparkan dimensi yang lain, cabang dari pertolongan atau meminta tolong. Ada sebuah pepatah, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi lebih baik dari pada diberi. Pada konsep ini Cak Nun mengajak kepada jamaah Maiyah untuk memasuki satu pemahaman, bahwa yang lebih baik adalah bahwa kita memberi sebelum orang meminta. Kita memberi bantuan karena kita mengetahui orang yang akan kita beri pertolongan atau bantuan memang sedang membutuhkan bantuan. Jadi, kita tidak menunggu orang lain meminta bantuan kepada kita, justru karena kita sudah mengetahui dia membutuhkan bantuan, maka kita beri pertolongan.