An’amta ‘Ala Maiyah Harus Diaktivasi

SALAH SATU obat kerinduan kita yang selalu kangen dengan Kenduri Cinta tentu saja adalah kehadiran guru kita semua; Cak Nun. Alhamdulillah, setidaknya sejak edisi Desember 2022 lalu, Cak Nun selalu hadir dalam setiap edisi Kenduri Cinta. Bagi sebagian dari Jamaah Kenduri Cinta, sekadar melihat Cak Nun secara fisik pun sudah lebih dari cukup. Hingga di usianya yang genap 70 tahun ini, sudah sangat banyak ilmu, petuah, nasihat, wejangan atau apapun saja yang sudah diberikan oleh Cak Nun kepada kita. Tapi, kita yang selalu saja merasa kurang, merasa perlu ditambahi, merasa perlu diberi lagi oleh Cak Nun.

Pada edisi Kenduri Cinta kali ini, Cak Nun memberi tema untuk Kenduri Cinta; An’amta ‘Ala Maiyah. Di awal, saat Cak Nun menjelaskan tema ini, disampaikan bahwa maksud dari tema ini adalah bahwa Maiyah diberi kenikmatan oleh Allah, dengan perjalanan Maiyah yang sudah menjejaki dekade ketiga ini, sudah sangat banyak kenikmatan yang diberikan kepada Maiyah. Namun, Cak Nun menegaskan bahwa kenikmatan yang diberikan itu masih pada kondisi Maiyah yang bersifat pasif, dan harus diaktivasi.

“Supaya Maiyah akan tetap berlaku an’amta, maka harus ada aktivasi, harus ada inisiatif dari para jamaah dan semua yang pernah terlibat di Maiyah”, Cak Nun menyampaikan. Malam itu, melalui eksplorasi singkat, Cak Nun memberi sebuah gambaran besar mengenai An’amta ‘Ala Maiyah.

Cak Nun menjelaskan bahwa terminologi An’amta adalah terminologi yang diambil dari surat Al Fatihah, dimana subjek “ta” dalam kalimat tersebut adalah Allah sendiri. Kemudian, Cak Nun menjelaskan bahwa An’amta ‘Ala Maiyah adalah bahwa Allah memberi kenikmatan kepada Maiyah dalam kondisi pasif, maka diperlukan aktivasi-aktivasi yang harus dilakukan oleh Orang Maiyah agar An’amta ‘Ala Maiyah menjadi aktif. Cak Nun menyampaikan bahwa pendaran ilmu di Maiyah yang disampaikan oleh siapa saja di forum Maiyah sifatnya adalah yuwaswisu fii shuduuri-n-naas, yang sifatnya positif. Yang sering dilakukan oleh Cak Nun di Maiyah adalah membongkar mainstream berpikir orang kebanyakan, mendobrak kebiasaan yang ada, dengan tujuan mengembalikan kepada ilmu yang sejati. Dan itu dilakukan di Maiyah selama 3 dekade terakhir ini.

Cak Nun mentadabburi surat An-Naas, surat pemungkas Al-Qur`an, dalam ayat tersebut membahas mengenai yuwaswisu fii shuduuri-n-naas, yang kemudian selanjutnya dijelaskan mina-l-jinnati wa-n-naas. Cak Nun menyampaikan bahwa selain bentuknya min syarri-l-waswasi-l-khonnas, sejatinya manusia dan jin juga mampu memproduksi cipratan-cipratan yang sifatnya positif yang juga berimbas yuwaswisu fii shuduuri-n-naas yang sifatnya positif. Termasuk fungsi malaikat yang juga bisa diproduksi oleh manusia, juga jin.

Ini sebenarnya pelajaran semester awal Maiyah, bahwa manusia dan jin adalah makhluk kemungkinan. Manusia mungkin menjadi baik dan mungkin menjadi buruk. Manusia mungkin menjadi hamba yang taat kepada Allah dan mungkin menjadi makhluk yang kufur kepada Allah. Berbeda dengan malaikat, yang merupakan makhluk kepastian. Malaikat pasti ta’at kepada Allah. Sementara iblis dan setan pasti kufur kepada Allah. Meskipun pada lipatan kesekian kita akan menemukan fakta bahwa pilihan itu yang memang sudah dipilih oleh iblis sejak awal penciptaan manusia.

“Jadi manusia bisa menciptakan malaikat. Anda bisa memproduksi ide-ide atau kesegaran-kesegaran yang mengipas-ngipas hati manusia yang bersifat malaikatiyah”, Cak Nun menegaskan.

Dari tadabbur seingkat ini, Cak Nun menyampaikan kepada kita sebagai jamaah Maiyah bahwa kita harus mengambil sikap dan posisi untuk berani mengambil peran. Apa yang kita dapatkan di Maiyah untuk kemudian kita sebarkan kembali di lingkungan sekitar kita. Tidak perlu dengan membawa label Maiyah, tetapi dari sikap dan perilaku kita yang terpancar dari keseharian kita, menjadi satu manifestasi ilmu di Maiyah yang mampu kita resonansikan kepada orang-orang di sekitar kita.