Doa dan Munajat 70 Tahun Cak Nun

KENDURI CINTA edisi Mei 2023 minggu lalu (26/5) menjadi salah satu edisi yang istimewa sepanjang 23 tahun perjalanan. Momen 70 tahun Cak Nun kali ini dirayakan di Kenduri Cinta. Biasanya, momen 27 Mei dirayakan di Padhangmbulan, Menturo, Jombang. Sebelum pandemi covid-19, Padhangmbulan edisi Mei selalu menjadi ajang pertemuan jamaah Maiyah dari berbagai daerah, termasuk para penggiat Simpul Maiyah dari berbagai titik. Setelah pandemi, momen tersebut belum kembali terlaksana di Menturo atas pertimbangan satu dan lain hal.

Pun demikian, pelaksanaan Kenduri Cinta edisi Mei 2023 tidak diselenggarakan sesuai dengan jadwal reguler setiap bulannya di Jum’at kedua. Edisi Mei ini bergeser jadwal gelarannya di Jum’at terakhir bulan Mei 2023. Tentu saja salah satu alasannya untuk menyambut momen spesial 27 Mei, momen kelahiran guru kita semua; Cak Nun.

Karena memang ini momen spesial, penggiat Kenduri Cinta pun mempersiapkan doa khusus untuk Cak Nun. Afif Amrullah, Munawir Sajali dan Hadi, tiga penggiat Kenduri Cinta yang bertanggung jawab untuk menyusun rangkain doa-doa tersebut. Diawali dengan Wirid Padhangmbulan, kemudian nukilan-nukilan beberapa ayat Al Qur’an, termasuk didalamnya Ayat Kursi, An Nuur ayat 35 dan Al Hasyr 21-24.

Pakde Mus, yang selama ini mengawal Maiyah Dualapanan di Kemiling, Bandar Lampung, malam itu turut bergabung di Kenduri Cinta dan turut memimpin prosesi doa untuk 70 Tahun Cak Nun.

2 tumpeng disiapkan oleh penggiat Kenduri Cinta yang dihidangkan di atas panggung, didoakan bersama. Kemudian ada 100 bungkus nasi yang juga disiapkan. Tentu saja tidak mampu mengakomodir untuk disebar ke seluruh jamaah Maiyah yang hadir malam itu, namun yang terpenting adalah doa kita bersama untuk Cak Nun, Mbak Via dan keluarga, agar senantiasa diberi kesehatan, keselamatan, keberkahan, kesabaran sehingga Cak Nun masih akan terus menemani kita.

https://youtu.be/BttCZVhk9Z4

“Mbah Nun menemani kita tanpa pernah berfikir mengenai untung dan rugi. Mbah Nun menemani kita dari satu daerah ke daerah yang lain denga hati yang menggembirakan, supaya kita tetap bergembira, karena kegembiraan itu sumber inspirasi yang baik untuk masa depan kita”, Pakde Mus mendoakan.

“Sebagai seorang Ulama, beliau (Cak Nun) tidak pernah mau disebut sebagai ulama. Tetapi sesungguhnya ajaran, perilaku dan semua nasihatnya mengarah kepada kebaikan yang dilandasi Islam rahmatan lil ‘alamin”, lanjut Pakde Mus.

“Selalu mengajarkan Ihdina-sh-shiroto-l-mustaqiim, supaya kita mampu membedakan antara malam dan siang, antara hitam dan putih, antara kebenaran dan kebathilan. Sebagai seorang budayawan, tidak terhitung karya dari jari-jemari beliau, selalu menetes untuk sebuah perenungan panjang perjalanan seorang Mbah Nun. Di kalangan komunitasnya, Mbah Nun dengan penuh kesengsaraan penyampaikan perjalanan hidupnya, tetapi diberikan kepada kita sebuah makanan yang lezat. Bagi kalangan politisi, Mbah Nun menjadi sandaran berdiskusi, tetapi terlalu banyak yang menyalahartikan. Bagi keluarga, Mbah Nun menjadi simbol pertautan keluarga dan kesetiaan keluarga yang tentunya kita harus ikut bagaimana birru-l-walidain kepada orang tua dan kerabatnya. Tidak cukup waktu untuk mengungkapkan semua malam hari ini, tetapi rasay syukur 70 tahun kita ditemani, semoga Mbah Nun akan bisa hadir di tempat-tempat kita. Kalaupun (Mbah Nun) tidak bisa hadri secara fisik, bisa bertemu secara batiniah”, pungkas Pakde Mus.

Sebuah kejutan malam itu untuk Cak Nun, Rampak, anak bungsu Cak Nun hadir di Kenduri Cinta. Setelah prosesi doa yang dipuncaki oleh Pakde Mus, Rampak didaulat untuk memotong tumpeng dan mempersembahkannya kepada Cak Nun, Mas Ian L. Betts dan Pakde Mus.

Dalam suasana yang sederhana, malam itu jamaah Kenduri Cinta menikmati tumpeng syukuran 70 tahun Cak Nun.

Selamat ulang tahun, Cak. Jangan pernah lelah menemani kami yang slelau merepotkan ini.