Mukadimah: AN’AMTA ‘ALA MAIYAH

MUSTAHIL melepaskan keterkaitan antara Maiyah dengan sosok Muhammad Ainun Nadjib. Perjalanan Maiyah yang dimulai sejak awal 90’an, termasuk Kenduri Cinta yang diinisiasi di tahun 2000. Jika dihitung dari Padhangmbulan, maka perjalanan Maiyah memasuki akhir dekade ketiga.

Maiyah adalah forum yang fenomenal, gayeng, liberal, penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Kesegaran-kesegaran yang lahir di Maiyah pun bertransformasi menjadi keteduhan Maiyah, kecerdasan Maiyah, kebahagiaan Maiyah. Ijtihad ilmu di Maiyah seringkali out of the box dari fenomena mainstream dunia saat ini.

Jika kita melihat perjalanan Cak Nun, mulai dari Menturo, Gontor, Yogyakarta dan Jakarta, ada banyak hal yang bisa menjadi ibroh bagi kita. Masa-masa kecil Cak Nun di Menturo adalah proses tumbuhnya jiwa revolusioner dalam diri beliau. Mulai dari melakukan perlawanan terhadap sistem disiplin di SD, hingga kudeta kecil di rumah Menturo, dilakukan oleh Cak Nun. Pengalaman berharga angon wedhus turut membentuk kepribadiannya. Kambing yang dibeli sendiri dari hasil jerih payahnya bekerja saat masih kecil, ditaklukan sendiri dari pasar setelah membelinya dengan susah payah.

Saat berproses di Gontor pun tidak jauh berbeda. Dalam usia yang masih sangat belia, Cak Nun saat itu memiliki pandangan serta perilaku yang bisa dikatakan out of the box dari anak-anak seusianya saat itu. Saat sebelum menjadi santri di Gontor, Cak Nun pada beberapa momen diajak serta oleh Cak Fuad yang saat itu sudah menjadi santri senior di Gontor untuk ikut terlibat dalam tadarrus Al Qur`an di Masjid Jami` Gontor. Sehingga saat Cak Nun resmi menjadi santri di Gontor, Kyai Gontor sudah paham kapasitas Cak Nun dalam hal melantunkan ayat-ayat Al Qur`an.

Pasca diusir dari Gontor, Cak Nun memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta. “Menggelandang” di Malioboro, Cak Nun dibimbing Umbu Landu Paranggi. Proses kreatfitas Cak Nun dalam dunia sastra pun semakin produktif di era ini. ”Indonesia Bagian Dari Desa Saya”, sebuah buku yang ditulis 40 tahun lalu, sampai sekarang masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. ”Lautan Jilbab” sangat fenomenal mengguncang hegemoni penguasa orde baru saat itu yang melarang penggunaan jilbab bagi perempuan muslim. Dan sederet karya-karya lain yang dilahirkan oleh Cak Nun sangat membekas dalam sejarah kebudayaan di Indonesia. Pergumulan Cak Nun di Yogyakarta pun terbagi dalam beberapa fase: Kadipaten, Malioboro, Patangpuluhan hingga Kadipiro. Pada fase Kadipaten lahirlah Musik Puisi bersama Karawitan Dinasti, hingga kemudian mementaskan beberapa naskah teater. Tercatat diantaranya, selain “Lautan Jilbab”, ada “Pak Kanjeng”, “Geger Wong Ngoyak Macan”, “Santri-Santri Khidir”. Kemudian, di era Patangpuluhan, lahirlah Gamelan KiaiKanjeng yang diinisiatifi oleh Yai Toto Rahardjo dan Nevi Budiyanto.

Hingga dicetuskanlah Padhangmbulan sebagai embrio Maiyah, kemudian lahir Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Kenduri Cinta, Bangbang Wetan hingga puluhan Simpul Maiyah lainnya yang tersebar di berbagai daerah.

Maiyah is undeniable. Fenomena Maiyah adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan. Ribuan orang berkumpul, duduk menekun dalam durasi yang tidak sebentar. Menyecap ilmu, menyimak topik pembicaraan yang kerap kali menguras energi fisik dan otak, namun juga selalu diseimbangkan dengan selingan hiburan music maupun karya seni yang lain. Apa yang diperbincangkan di Maiyah tidak melulu mengenai hal-hal yang sifatnya makro, bahkan detail-detail yang spesifik yang justru lebih relate dengan kehidupan sehari-hari, tak luput dari pembicaraan.

Seperti saat kita memakan mangga, kita tidak berhenti pada irisan buah mangga yang kita kunyah dan kita telan, tetapi kita juga kita memiliki kesadaran bahwa buah mangga itu berasal dari sebuah pohon yang tumbuh dari sebuah biji mangga yang disemai dan ditanam, kemudian dirawat, sehingga pohon itu berbuah. Bahkan lebih mendasar lagi, kita memiliki kesadaran bahwa tumbuhnya pohon mangga tidak hanya pertumbuhan secara fisik, namun juga pertumbuhan yang lebih fundamental, yang oleh Allah pertumbuhan pohon itu bukan hanya diizinkan, melainkan juga diperintahkan. Sehingga berbuahlah mangga itu, mangga yang sangat manis, yang kemudian kita nikmati.

Begitulah An’amta ‘Ala Maiyah. Maiyah sebagai sebuah anugerah dari Allah, telah melalui perjalanan yang tidak sebentar, memasuki dekade ke-3. Kenduri Cinta sendiri sudah berproses di tahun ke-23. Sejalan dengan itu, Cak Nun di tahun ini akan berusia 70 tahun. Perjalanan Cak Nun melewati berbagai dinamika, mulai dari Menturo, Gontor, Yogyakarta, Jakarta. Kemudian di sela-sela perjalanan itu, Cak Nun juga mengembara ke Eropa, Australia hingga Amerika. Proses perjalanan panjang yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang lugas, pemikiran yang segar, yang kemudian diejawantahkan dalam laku Maiyah.

Sebuah kesyukuran yang luar biasa. Memaknai An’amta ‘Ala Maiyah sebagai sebuah titik pijakan untuk melangkah ke depan. Maiyah, bukan hanya menata hati dan menjernihkan fikiran. Tetapi Maiyah lebih luas dari itu. Maiyah adalah laku dan sikap hidup.