Mukadimah: TUHAN PUN BERLARI

“BARANGSIAPA mendekat kepada-Ku satu jengkal, Aku mendekat kepadanya satu hasta. Siapa yang mendekati-Ku satu hasta, Aku mendekatinya satu depa. Jika ia datang menghadap sambil berjalan, Aku datang kepadanya sambil berlari”, satu diantara hadits qudsi riwayat Muslim ini menarik untuk ditadabburi. Setiap orang yang membacanya akan memaknai hadits ini bisa berbeda-beda. Sebabnya adalah setiap orang akan langsung mengkonfirmasinya dengan pengalaman dirinya yang sangat personal, yang tentunya berbeda pada setiap orang. Para pelaku tasawuf akan mengaitkan dengan pengalaman praktik spiritual, sedangkan para pelaku ojek online mungkin akan mengkonfirmasi dengan transformasi perolehan order menjadi rezeki. Berbeda lagi dengan para penghobi debat mungkin akan berkomentar katanya Tuhan lebih dekat dari urat nadi kok berlari?

Evolusi peradaban manusia bergulir. Manusia adalah makhluk kemungkinan, bukan makhluk kepastian. Manusia sebagia khalifah memiliki hak untuk menentukan sikap hidupnya. Tidak sebagaimana Iblis dan Malaikat, yang merupakan makhluk kepastian. Kepastian Iblis dan Malaikat adalah; ya’malu maa yu’maruun. Melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Lho, apakah Iblis melakukan yang diperintahkan oleh Allah SWT selama ini? Ah, sudahlah, pembahasan itu sudah selesai dalam “Tikungan Iblis”.

Manusia, sejak awal diciptakan memiliki kebebasan untuk memilih. Tidak perlu kita menggugat kenapa Nabi Adam AS melanggar aturan saat masih di Surga, yang akibatnya kita saat ini hidup di bumi. Nabi Adam AS sebagai manusia pertama justru membuktikan bahwa memang manusia adalah makhluk kemungkinan, sehingga bisa memilih terhadap berbagai pilihan yang tersedia. Sekian abad berlalu, Allah kemudian menyempurnakan Ad-diin-Nya dengan kerasulan Rasulullah Muhammad SAW.

Syeikh Nursamad Kamba dalam bukunya “Mencintai Allah Secara Merdeka” menyiratkan bahwa Perang Badar adalah tonggak sejarah penting peradaban Islam. Sebuah peperangan yang dimenangkan oleh umat Islam dengan mengalahkan satu hegemoni kekuatan yang lebih besar yang didominasi kebatilan oleh Bangsa Quraisy di Mekkah dan sekitarnya saat itu. Tapi, secara tidak langsung, kemenangan umat Islam saat itu membawa problematika ideologis bagi keberlangsungan ajaran-ajaran murni Islam. Banyak orang kemudian memeluk Islam paska Perang Badar itu bukan karena kemurnian panggilan hatinya, melainkan karena melihat potensi kekuatan dan keperkasaan Islam, setelah mereka melihatnya sendiri dalam Perang Badar. Dan sejarah membuktikan bagaimana kekuatan Islam akhirnya memang digunakan untuk menaklukan bangsa-bangsa lain.

Sekian abad berlalu, kita menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana Islam secara general berkembang pesat secara kuantitas, namun secara kualitas, kita masih terus memperdebatkannya. Perpecahan demi perpecahan, mulai dari perpecahan madzhab hingga perpecahan golongan dan komunitas, terus berlangsung hingga hari ini. Yang digaungkan adalah kebenaran menurut dirinya sendiri, bukan mencari kebenaran yang sejati bersama-sama.

Bersyukurnya kita di Maiyah, kita memiliki Marja’ Maiyah yang selalu menjadi sandaran kita untuk mencari sumber ilmu. Dua diantara Marja’Maiyah yaitu Syeikh Nur Samad Kamba dan Ustadz Ahmad Fuad Effendy telah kembali ke sang Khaliq. Momen berpulangnya Syeikh Kamba dan Cak Fuad justru terjadi pada masa jalinan kemesraan kita sebagai Jamaah Maiyah dengan beliau-berdua sedang tumbuh-tumbuhnya. Syeikh Kamba berpulang tepat setelah naskah buku Mencintai Allah Secara Merdeka rampung disusun, sedangkan Mbah Fuad dipundut paska konsep pembelajaran Bahasa Arab dan Al-Quran dengan metode Al Manhal mulai dikenalkan kepada publik. Cak Fuad sendiri merupakan salah satu tokoh sentral dari awal lahirnya embrio Maiyah pada medio awal 1990 dengan lahirnya Majelis Padhangmbulan di Menturo, Jombang.

Salah satu yang dihikmahi bersama di Maiyah adalah bagaimana Cak Nun mengajak kita untuk menghidupkan kembali suasana “Islam Madinah”, Islam yang menampilkan wajah egaliter, tanpa sekat, mengakomodir semua kalangan, tanpa melihat latar belakang apapun. Piagam Madinah adalah bukti nyata bagaimana Rasulullah SAW berhasil mempersatukan masyarakat di Madinah, mengelola seluruh sumber daya yang ada untuk kepentingan bersama, agar manfaatnya dirasakan oleh semua kalangan. Dan adanya Cak Fuad bersama Syeikh Nursamad Kamba di Maiyah mempertegas apa yang diperjuangkan oleh Cak Nun itu.

Sebagaimana kekasih yang sementara waktu berpisah, Maiyah tentu berusaha memelihara rindu yang belum tuntas ini dengan meneruskan dan menghidupkan warisan ilmu yang ditinggalkan. Lima jalan kenabian tidak sekedar metode teoritis yang dirumuskan oleh Syeikh Kamba untuk orang-orang Maiyah dalam menjalani peran kehidupan sehari-hari di muka bumi, melainkan tarekat aplikatif yang siapa saja dapat menempuhnya. Kedaulatan dan kemandirian; pembebasan diri dari ego; kebijaksanaan dan kearifan; kejujuran; serta cinta kasih. Dengan ini, siapa saja yang berusaha me-Muhammad-kan dirinya untuk menjadi kekasih Allah menjadi sesuatu yang sangat mungkin. Syeikh menghadirkan tasawuf yang membumi, yang relevandengan segala zaman. Tarekat yang bukan sekadar aliran-aliran, melainkan samudra.

Begitu pula dengan Cak Fuad yang telah mengembangkan konsep pembelajaran Bahasa Arab Al Qur`an dengan metode Al Manhal sebagai metode pembelajaran Al-Quran yang menggembirakan. Cak Fuad yang secara keilmuan tata bahasa Arab sangat mumpuni, mewariskan ilmu yang mempermudah bagi siapa saja dapat menerima pesan, petunjuk bahkan solusi atas berbagai permasalahan kehidupan melalui tadabbur Al-Quran. Melihat sepak terjang Cak Fuad itu, tak berlebihan kiranya jika Cak Fuad pernah menyatakan bahwa kita di Maiyah adalah persaudaraan yang tersambung dalam bingkai Al Mutahabbiina Fillah.

Sangatlah layak bagi kita jamaah Maiyah di Kenduri Cinta untuk melanjutkan kerinduan kepada beliau-beliau dengan cara menghidupkan warisan ilmu para Marja’ dalam menebar kebaikan, berdakwah kebaikan dengan melakukan pengajaran-pengajaran keilmuan di tengah masyarakat. Benar adanya Cak Fuad dan Syeikh Kamba telah tiada secara jasad, namun secara ruh akan senantiasa hidup bersama para orang-orang yang membaca tulisan-tulisan beliau, akan senantiasa tumbuh bersama orang-orang yang mengaplikasikan dan menjalankan pengajaran-pengajaran  yang telah beliau wariskan.

Dalam khasanah Maiyah, terdapat empat pilihan kemungkinan pada setiap peristiwa yang dialami oleh manusia; diperintah oleh Allah, diizinkan oleh Allah, dibiarkan oleh Allah atau justru dihukum oleh Allah. Tema Kenduri Cinta kali ini mengajak kita semua untuk berkaca pada diri kita masing-masing dan juga pada kondisi di sekitar kita, dari 4 kemungkinan itu, yang manakah yang paling mendekati dengan situasi kita saat ini? Tentu saja, kita tidak berharap agar Tuhan berlari meninggalkan kita.

Sebagaimana aliran air yang ternyata supaya mendapatkan alirannya tidak bisa dengan menciduk airnya, begitupun dengan cahaya yang juga mengalir. Ide, ilmu, pengajaran dan berbagai pelajaran akan mati jika tidak diamalkan. Nyaris mustahil kita bisa melihat langsung sumber cahaya, namun dari pantulannya kita dapat menyaksikan berbagai wujud dan warna semesta.

Zaman berganti, sebagian tidak mengambil pelajaran dengan terus sombong membangun peradaban dengan menuhankan akalnya, sementara sebagian ada yang membangun kemesraan, kemanusiaan dan berbagi kasih sayang antar sesama. Kenduri Cinta edisi Maret 2023 mengusung tema Tuhan Pun Berlari, semoga bukan meninggalkan dalam gelap melainkan membersamai dengan cahaya.