Mukadimah: NEGARA TA’LIH

Yang bukan tuhan dituhankan
Yang tuhan tak dijadikan sesembahan
Orang mabuk di putaran gelombang
Terseret dari salah paham ke salah paham 

Kekuasaan dan kemegahan
Uang dan segala bentuk kekerdilan
Berfungsi tuhan
Karena dinomor satukan

DUA BAIT puisi di atas adalah puisi karya Cak Nun yang merupakan bagian ke-7 dalam puisi “Tuhan sudah sangat populer”. Puisi tersebut ketika ditulis pada tahun 1987 seolah-olah sedang mewanti-wanti masa depan. Apa yang kita alami hari ini justru sudah digambarkan tiga dekade silam dalam puisi tersebut. Peradaban kita hari ini adalah peradaban yang menomor satukan yang bukan tuhan.

Syeikh Nursamad Kamba memberi sedikit clue, bahwa salah satu asma Allah adalah Al-Mudlill; Yang Maha Menyesatkan. Maka Maha Sempurna, selain Allah adalah Yang Maha Memberi Petunjuk, Al-Hadi, Allah juga memiliki Kemaha Kuasaan untuk menyesatkan. Siapakah orang yang disesatkan oleh Allah itu? Menurut Syeikh Kamba, mereka adalah orang yang lupa diri atau abai akan pengenalan dirinya, sehingga tidak menemukan jati dirinya.

Setiap manusia lahir dengan otentisitasnya masing-masing. Dalam proses perjalanan hidupnya, ia akan bertemu manusia yang lainnya untuk saling mengenal, berbagi pengalaman dan membuat pengalaman bersama-sama. Proses bertemu dengan manusia yang lain inilah yang sangat mungkin kemudian membiaskan atau bahkan mengaburkan dirinya dari dirinya yang sejati, dari dirinya yang otentik. Ia terpapar oleh cakrawala semu kapitalisme, tidak sadar dan pada akhirnya ia lupa untuk mencari serta menemukan siapa dirinya di tengah kebersamaan. Realitas dirinya larut oleh keinginan untuk mengungguli dan melemahkan lian.

Dalam dua dekade terakhir, paska Reformasi, bangsa ini merasa bebas dari cengkraman rezim yang berkuasa selama 32 tahun setelah menggantikan orde sebelumnya. Rezim Orde Baru dirayakan keruntuhannya pada Mei 1998. Di era baru Reformasi yang digadang-gadang supaya kehadiran Negara lebih mampu dalam mencerdaskan kehidupan bangsa; mempercepat dalam Negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum; hingga harapan atas cita-cita keadian sosial dapat segera dicapai oleh Negara. Tetapi faktanya, anasir-anasir Orde Baru sampai hari ini masih ada di lingkaran-lingkaran segelintir elit negara. Jadi, apakah benar-benar kita sudah lepas dari Orde Baru? Ataukah memang kita telah sepakat untuk sekedar kecele dalam mengulang-ulang sejarah. Biaya mahal sejarah yang berdarah-darah malah hanya mengganti istilah Orde Baru dengan Orang Baik? Sama-sama rezim Or-Ba, bukan?

Kalau ada perempuan yang mengaku-aku dirinya cantik, justru sebenarnya dia tidak percaya diri dengan kecantikannya. Dalam khasanah jawa orang yang mengaku dirinya cantik itu disebut kemayu. Ada juga istilah keminter untuk orang yang merasa dirinya paling pintar. Padahal, orang yang benar-benar pintar tidak akan mengaku dirinya pintar. Karena sejatinya, semakin orang berilmu, semakin ia menyadari bahwa masih banyak hal yang tidak diketahui oleh dirinya. Begitupun semestinya orang baik, tidaklah akan mengaku dirinya baik.

Era Reformasi sering disebut sebagai era kebebasan berpendapat, padahal lebih dari itu yang sebenarnya terjadi. Dibalik jargon kebebasan berpendapat, eksistensi Negara sedang ditenggelamkan oleh gelombang besar bernama globalisasi. Arus informasi dibuka lebar-lebar. Dari yang dulunya hanya bisa diakses melalui televisi, radio dan surat kabar, hari ini informasi bisa diakses dan dipublikasikan kapan saja dan dimana saja lewat internet melalui gadget kecil yang kita genggam dan dapat dibawa kemana pun pergi. Siapapun dapat dengan mudah mendapatkan dan menyebarkan informasi, bahkan secara langsung. Dan itu bisa terjadi tanpa validasi atas informasi.

Deras arus informasi dapat membentuk pusaran-pusaran opini yang dapat memicu reaksi masyarakat yang sangat dinamis. Arah arus masyarakat yang tidak dapat diduga-duga berupa reaksi masa. Bisa saja seketika deras dan berubah arah hanya karena dipantik oleh informasi sepele yang belum terverifikasi kebenarannya, namun lantas menjadi viral.

Fatal. Ketika arus informasi membanjiri tetapi tidak diimbangi dengan daya filter informasi dan kontrol reaksi oleh masyarakat. Tidak mengherankan jika kemudian hoax begitu mudah tersebar dan diyakini sebagai kebenaran yang mampu memicu reaksi masa. Terlalu banyak konflik horizontal yang bersumber dari informasi yang belum jelas kebenarannya. Di sisi lain para pemangku kepentingan bermain-main untuk menggiring emosi masa.

Panggung permainan ini bukan hanya soal dinamika politik Negara, tetapi juga mengenai gaya hidup masyarakat, mengenai urusan-urusan bisnis dalam aktifitas dan rutinitas sehari-harinya, soal ketakutan-ketakutan yang diciptakan dan dibasar-besarkan, serta angan-angan harapan kemapanan berupa kesenangan dan kemewahan yang seolah harus diperjuangkan. Puncaknya, era ini menghasilkan peradaban masyarakat yang menuhankan tuhan-tuhan yang diciptakan mereka sendiri, masyarakat yang berlarian menjauhi neraka-neraka berupa ketakutan-ketakutan yang dibuat-buat oleh diri mereka sendiri, masyarakat yang berlarian menggebu memburu nafsu atas surga-surga semu.

Mainstream. Banyak orang menganggap situasi seperti ini adalah mainstream. Tidak menyadari, bahwa situasi mainstream ini adalah situasi yang telah dibentuk dan diatur oleh segelintir kelompok yang merasa berkuasa atas masyarakat. Seperti yang diulas oleh Syeikh Kamba, mereka yang sedang berkuasa merasa mampu menggiring masyarakat pada satu kesepakatan yang sama. Mereka menanggalkan keniscayaan bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk kemungkinan yang tidaklah mungkin dapat diatur-atur, digiring, diarahkan dan dipermainkan dengan pasal-pasal perundang-udangan dan kekuasaan. Ibarat ikan di akuarium, manusia sejatinya memiliki kedaulatan untuk memilih akuariumnya sendiri, kapanpun saja.

Hari ini, memang tidak ada orang yang berani mengaku dirinya Tuhan. Tetapi diam-diam, ada banyak orang yang sedang merasa bahwa dirinya paling berkuasa. Ada orang-orang yang diam-diam tidak mengakui eksistensi Tuhan tetapi berlindung di balik kekuasaan yang dipinjamnya melalui negara. Hakikat eksistensi Negara sebagai kesepakatan kita agar supaya Rahmat Tuhan berupa sumber daya alam terhadap Bangsa ini dapat terdistribusi seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat justru dimanipulasi oleh mereka untuk dimonopoli. Kekuasaan politik semu malah menjadikan mereka sebagai hamba-hamba budak kekuasaan.

Negara Ta’lih adalah Negara yang sedang mempersiapkan penduduknya untuk secara terang-terangan berani menomor satukan yang bukan Tuhan. Menihilkan peran Tuhan, mengesampingkan kekuasaan Tuhan atas dirinya. Seolah-olah belum cukup pelajaran dari Fir’aun. Padahal, se-setan setannya setan, tidak ada satupun setan yang berani mengaku dirinya Tuhan.

Wamakaruu wamakarallah wallahu khoirul maakirin. Dan mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.

Tuhanku,
aku berguru kepadaMu
ajarilah bagaimana mendengarkan batu
membaca suara
menggenggam angin yang bisu

Tuhanku,
kedunguan memberiku pengertian
buta mata menganugerahi penglihatan
kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan

—Emha Ainun Nadjib, Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu (1980).