Mengasah Kecerdasan Dengan Berpikir Keras

JUM’AT (11/10), seperti biasanya, sejak siang hari beberapa penggiat sudah mulai bergegas menuju lokasi penyelenggaraan Kenduri Cinta. Selepas Jum’at, tenda sudah berdiri di Plaza Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Beberapa hari sebelumnya, baliho sudah terpampang di etalase reklame Taman Ismail Marzuki. Para penggiat sangat serius mempersiapkan helatan Kenduri Cinta setiap bulannya. Begitu juga dengan pihak-pihak terkait; Pengelola Taman Ismail Marzuki, DISHUB, petugas keamanan hingga kebersihan pun terlibat dalam kelancaran terselenggaranya Maiyahan di Jakarta setiap bulannya ini.

Kenduri Cinta bukanlah forum yang terselenggara hanya satu-dua kali di Taman Ismail Marzuki. Hingga bulan Oktober 2019 ini sudah 206 gelaran berlangsung. Dan ketika 2 bulan lalu Kenduri Cinta harus angkat kaki dari Taman Ismail Marzuki, semua pihak yang terlibat selama ini duduk bersama. Kolaborasi, koordinasi, komunikasi menjadi poin penting di Kenduri Cinta. Penggiat Kenduri Cinta duduk bersama dengan Pimpinan UP PKJ Taman Ismail Marzuki, dengan Kepala Staf urusan acara, Dinas Perhubungan, bahkan petugas Keamanan dan Kebersihan juga diajak untuk runding bersama. Begitu juga dengan penyewa sound system dan tenda, tak ketinggalan juga pedagang yang rutin menggelar lapaknya ketika Kenduri Cinta berlangsung.

Pada akhirnya, Taman Ismail Marzuki pun berat hati untuk melepaskan Kenduri Cinta. Begitulah indahnya Kenduri Cinta, bahkan urusan teknis di belakang layar pun penuh dinamika, gesekan, dan problem yang tidak ringan. Namun, karena semua yang terlibat dalam gelaran ini sudah sepakat bahwa Kenduri Cinta ini adalah kebaikan yang harus dikolaborasikan dengan keindahan, semua itu dapat dilewati dengan baik. Dan memang beginilah Maiyah seharusnya, hidup sesrawungan dengan semua pihak di sekitar kita. Ketika menghadapi masalah, dicari solusi untuk kebaikan bersama.

Penggiat Kenduri Cinta, yang menjadi motor utama terselenggaranya majelis ilmu ini, sejak beberapa hari yang lalu sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari pembuatan poster, penyusunan naskah mukadimah, hingga rapat technical meeting dengan pihak pengelola Taman Ismail Marzuki dilakukan. Kesemuanya itu dilakukan ditengah kesibukan mereka yang sehari-hari adalah pekerja di Jakarta. Tidak mudah tentunya, mengingat Jakarta adalah kota metropolitan dengan segala dinamika dan problematika yang ada. Para penggiat Kenduri Cinta adalah jamaah yang kemudian memiliki kesadaran bahwa memang harus ada pengorbanan agar Maiyahan di Jakarta ini terselenggara dengan baik.

Tepat pukul 8 malam, Afif Amrullah, Imam, Nashir, Midah dan beberapa penggiat Kenduri Cinta memimpin pembacaan Wirid Tahlukah. Ritual yang sudah rutin dilakukan sejak tahun 2016. Sebuah wirid yang disusun oleh Marja’ Maiyah, sebagai langkah awal di setiap Maiyahan untuk meneguhkan pijakan tauhid dan juga rindu kepada Rasulullah SAW. Melalui wirid dan sholawat, semua yang hadir diajak untuk menyapa Allah dan Rasulullah.

Setelah pembacaan wirid Tahlukah, sesi prolog dimoderasi oleh Tri Mulyana dan Wisnu. Adi Pudjo, Pramono dan Imam secara bergantian memberi alas diskusi Kenduri Cinta malam itu. Jamaah mulai memenuhi area Plaza Teater Besar, pada pedagang pun kebagian berkah dari Kenduri Cinta, dagangan yang mereka jual banyak diserbu oleh jamaah. Atmosfer kebersamaan selalu dibangun di setiap Maiyahan, secara alami, tanpa harus ada aturan main yang baku. Semua pihak mengalir, menjalankan perannya masing-masing, dengan satu kunci; saling mengamankan satu sama lain. Maka, tidak ada kecurangan, tidak ada kedengkian, tidak ada kebencian apalagi merasa tidak diberi ruang. Semua mendapat porsinya masing-masing.

KYAI MUZAMMIL malam itu menyampaikan bahwa hidup kita harus sesuai dengan proporsinya masing-masing, agar seimbang. Segala sesuatu ada tempatnya, ada konteksnya, ada momentumnya. Tidak perlu membuat gaduh sesuatu yang memang tidak perlu dibuat gaduh. Tidak perlu membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya adalah hal yang remeh. “Kalau anda orang Islam, anda harus berada di tengah-tengah, dalam keadaan apapun”, Kyai Muzzammil berpesan.

Pada setiap konstelasi yang terjadi, Kyai Muzzammil mengingatkan agar kita tidak terlalu condong ke salah satu pihak. Sudah terlalu banyak contoh bagaimana orang kecelik akibat terlalu fanatic terhadap salah satu pihak. Maka, malam itu Kyai Muzzammil ces pleng saja, memberikan pesan 3 poin penting kepada jamaah Kenduri Cinta; Tawasuth, Toleran, dan Adil.

Tawasuth. Maksudnya adalah harus mampu bersikap untuk tetap berada di tengah-tengah. Tidak terlalu mencintai dan juga tidak terlalu membenci kepada yang selain Allah. Toleran. Tidak perlu kita mengkampanyekan tentang toleransi. Kyai Muzzammil mengingatkan bahwa setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, sehingga pada akhirnya pun setiap langkah yang diambil bisa saja berbeda perhitungannya, karena masing-masing memiliki pertimbangannya sendiri. “Kenapa sekarang orang banyak tidak bisa toleran, karena sudah tidak di tengah lagi”, ungkap Kyai Muzzammil. Seimbang. Ketika kita sudah mampu bersikap toleran, maka kita akan bersikap adil. Proses untuk bersikap adil memang tidak instan, karena dalam setiap individu manusia harus mampu mengolah dan juga menyeimbangkan yang ada dalam dirinya.

Syeikh Kamba kemudian mulai menjabarkan secara perlahan apa yang ditulis di rubrik Tajuk. “Manusia memperoleh kecerdasan tinggi jika akal dan pikiranya digunakan untuk berpikir keras. Hanya dengan berpikir keras, sel-sel dan jaringan syaraf di kepala kita bertambah luas”, Syeikh Kamba mengawali. Syeikh Kamba mengajak jamaah untuk memasuki penjelajahan ilmu melalui Surat Al Kahfi103-106, ketika Allah menjelaskan bahwa ada sekelompok orang yang kelak di hari kiamat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi, yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatan dalam hidupnya, sementara mereka mengira telah berbuat kebaikan. Jika kita berbuat baik namun terdorong oleh hawa nafsu, maka itu akan menjadi hal yang sia-sia.

Dicontohkan oleh Syeikh Kamba, bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw bersama para sahabat ketika hijrah ke Madinah, bukan hanya mempersatukan Kaum Muhajirin dengan Anshor, tetapi lebih mendalam dari itu, dua dimensi dalam diri manusia dipersatukan oleh Rasulullah Saw; dimensi ilahiah dan dimensi manusiawi. Penyatuan dua dimensi inilah yang menjadi makna tauhid yang selalu didengungkan sebagai intisari ajaran Rasulullah Saw.

SYEIKH KAMBA menambahkan, bahwa Tauhid sama sekali bukan konsepsi teologi tentang keesaan Allah sebab Allah tidak bisa dikonsepsikan apalagi dipersepsikan. Baginda Nabi amat jelas dalam hal ini. Akibat kesalahpahaman ini, kita sering membicarakan tentang agama, bahkan sampai berdebat tetapi perilaku kita sendiri sangat minim manifestasi dari agama itu sendiri. Padahal, inti dari ajaran agama adalah akhlaq.

“Semua yang terbetik pada benakmu tentang Tuhan bukanlah Tuhan. Karena Tuhan itu hanya bisa dimanifestasikan pada laku kebaikanmu” lanjut Syeikh Kamba. Maka, ketika Rasulullah Saw menegaskan bahwa agama adalah akhlaq, pernyataan ini bukan sekadar pernyataan moralitas semata, justru menjadi penegasan bahwa gagasan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak, yang tidak bisa dipersepsikan apalagi dikonsepsikan. Lebih jauh, Syeikh Kamba menegaskan bahwa Tuhan hanya bisa direfleksikan dalam laku kebaikan dan cinta kasih.

“Jangan menjadi seperti anak kecil yang masih perlu iming-iming untuk melakukan sesuatu”, Syeikh Kamba melanjutkan. Pada prinsip terakhir, tentang cinta kasih, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa inti hubungan manusia dengan Tuhan adalah cinta. “Maka sebenarnya, cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta yang sejati”, lanjut Syeikh Kamba dan jamaah pun tampak banyak yang mengernyitkan dahi. Syeikh Kamba menjelaskan, cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta yang sejati, karena ia tidak peduli apakah cintanya akan berbalas atau tidak, ia akan terus berbuat baik kepada yang ia cintai. Bagaimana Allah menerbitkan matahari setiap pagi, menghembuskan angin, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan pepohonan, tanpa memperhitungkan apakah manusia beriman seluruhnya atau tidak. Itulah cinta yang sejati. Maka, tidak ada transaksi dalam cinta.

Cak Nun kemudian menyapa jamaah, seraya bersyukur karena berkesempatan untuk hadir di Kenduri Cinta kali ini. “Anda semua berkumpul di sini karena anda sudah memenuhi lima prinsip yang disampaikan oleh Syeikh Nursamad Kamba tadi”, Cak Nun mengawali.

Dijelaskan oleh Cak Nun karena kita semua di Maiyah berposisi sama, sebagai pembelajar. Kita semua saling belajar, tidak ada konsep guru dan murid di Maiyah. Dengan konse sinau bareng, secara alami tercipta suasana kebersamaan yang didasari cinta kasih.

Perlahan, Cak Nun mengajak jamaah untuk mentadabburi ayat Wa wadlo’na ‘anka wizrok. Cak Nun meminta kepada jamaah untuk menentukan proporsi beban hidup yang memang harus diemban oleh masing-masing individu. Ada banyak hal yang sebenarnya tidak menjadi beban hidup tetapi terlalu dipikirkan, sehingga kemudian menjadi beban. Padahal tidak semestinya hal itu menjadi beban. Cak Nun mensimulasikan, misalnya, apakah konstelasi politik di Indonesia ini menjadi beban hidup kita dan kita yang wajib untuk membereskannya?

Cak Nun kembali mengulas dimensi wajib dan sunnah. Sunnah adalah sebuah laku yang sebenarnya tidak harus kita lakukan, tetapi kita mau melakukannya. Sementara wajib adalah laku yang memang kita harus melakukannya. Cak Nun mensimulasikan, sesuatu yang diwajibkan oleh Allah pada mulanya adalah karena memang secara naluriah manusia tidak mau melakukannya. Sudah sering disimulasikan oleh Cak Nun, bahwa sebenarnya manusia itu nggak suka puasa, nggak suka sholat, maka Allah mewajibkan itu dalam rangka untuk menyeimbangkan hidup. Contoh lain; menikah. Kenapa tidak diwajibkan di dalam Al Qur`an? Karena manusia pasti akan mau menikah. Jadi, tanpa diwajibkan, manusia pasti akan melaksanakannya.

Lewat tengah malam, Cak Nun mengantarkan jamaah Maiyah Kenduri Cinta untuk melaksanakan prosesi pembacaan Wirid Akhir Zaman yang panduannya dirilis pada siang hari sebelum Kenduri Cinta diselenggarakan. Dipandu oleh Fahmi Agustian dan Afif Amrullah, seluruh jamaah Maiyah Kenduri Cinta malam itu bermunajat, khusyuk berdzikir dan bersholawat, melantunkan ayat demi ayat yang sudah dipilihkan oleh Cak Nun dari Al Qur`an. Tak lebih dari 10 menit, prosesi Wirid Akhir Zaman ini berlangsung. Cak Nun menyampaikan bahwa Wirid Akhir Zaman ini bisa dilaksanakan secara sendiri-sendiri maupun berjamaah di rumah masing-masing. Selanjutnya, Wirid Akhir Zaman ini akan menjadi ritual pembuka di setiap Maiyahan berlangsung di seluruh Simpul Maiyah.