NEGARA TA’LIH

Reportase Kenduri Cinta Oktober 2019

Pada hakikatnya, pencarian spiritual manusia tak akan pernah berhenti berproses di sepanjang hidupnya. Allah telah memberi berbagai instrumen dalam membantu manusia menemukan diri-Nya. Evolusi pencapaian manusia dalam mengenal Allah pun terus bertunbuh dari masa ke masa, dari zaman ke zaman. Hingga Allah mewahyukan Alquran, sebuah shortcut untuk memudahkan manusia dalam pencariannya.

Adalah nur Muhammad yang dimanifestasikan pada diri Muhammad bin Abdullah, mengemban amanat untuk menyampaikan wahyu itu kepada umat manusia. Setelah Alquran diwahyukan pun tidak serta merta selesai proses pencariannya. Madzhab, organisasi, lembaga, aliran, dan padatan-padatan lain justru tercipta dan mempersempit ruang manusia itu sendiri dalam mencari kesejatian Tuhan. Manusia lantas banyak terjebak pada konsepsi-konsepsi yang mereka ciptakan sendiri.

Kenduri Cinta edisi Oktober 2019 mengangkat tema Negara Ta’lih, berupaya mundur sejenak, menajamkan kembali pemahaman akan Tuhan. Ta’lih, diambil dari kata ilaahun. Dalam ilmu bahasa Arab, ta’lih berarti menuhankan. Persoalannya lantas siapa yang dituhankan? Dalam arus deras globalisasi, Maiyah dan Kenduri Cinta terus ber-ijtihad meneguhkan tauhid. Kepada siapapun yang datang ke Maiyah, ke Kenduri Cinta, yang mungkin hanya tersentuh gelombangnya saja, semoga pesan inti dari tema Kenduri Cinta kali ini bisa tersampaikan.

Jumat (11/10), sejak siang hari para penggiat sudah bergegas menuju lokasi penyelenggaraan Kenduri Cinta. Selepas ibadah Jumat, tenda telah terpasang di plasa Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Beberapa hari sebelumnya, baliho terpampang di etalase reklame pada lokasi yang sama. Para penggiat sangat serius mempersiapkan helatan Kenduri Cinta setiap bulannya. Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti Pengelola Taman Ismail Marzuki, Dinas Perhubungan, petugas keamanan hingga kebersihan, semua ikut terlibat dalam kelancaran terselenggaranya maiyahan yang dilaksanakan setiap bulan itu.

Kenduri Cinta sudah menjadi oase bagi masyarakat Jakarta. Tidak ada alasan untuk tidak menuntaskan kerinduan di majelis ilmu ini. Masyarakat datang atas kesadaran pribadi atau berombongan. Ada juga yang memanfaatkan momen Kenduri Cinta untuk dijadikan titik temu, menjalin ukhuwah ikatan persaudaraan antar sesama pembelajar. Banyak jamaah yang saling mengenal di media sosial lantas bertemu dan sudah langsung akrab, seolah sudah mengenal sejak lama. Saling menjaga keamanan harta, martabat dan nyawa antar sesama telah menjadi panduan. Tak ada kekhawatiran, tak ada ancaman. Mereka datang melingkar di majelis ilmu Kenduri Cinta punya tujuan sama, belajar dan bersaudara.

Kenduri Cinta bukan forum yang baru terselenggara satu atau dua kali. Hingga bulan Oktober 2019, tercatat 206 kali gelaran Kenduri Cinta telah dilangsungkan. Kolaborasi, koordinasi, komunikasi menjadi poin penting. Para penggiat duduk bersama dengan jajaran pimpinan UP PKJ Taman Ismail Marzuki, dengan Kepala Staf urusan acara, Dinas Perhubungan. Petugas keamanan dan kebersihan pun ikut diajak runding bersama. Begitu juga dengan penyedia tata suara dan tenda, tak ketinggalan juga para pedagang yang ikut mengais rejeki. Semua diajak serta.

Semua pihak itu sepakat bahwa Kenduri Cinta adalah kebaikan yang harus terus dikolaborasikan dengan keindahan. Seperti itulah Maiyah seharusnya, hidup sesrawungan dengan semua pihak di sekitar kita. Ketika menghadapi masalah, dicari solusi untuk kebaikan bersama.

Para penggiat merupakan motor terselenggaranya acara Kenduri Cinta. Sejak beberapa hari sebelumnya, mereka menyiapkan berbagai keperluan, dari hal yang bersifat teknis hingga substantif berupa materi diskusi. Pembuatan desain poster, penyusunan naskah mukadimah, hingga rapat technical meeting dengan pihak pengelola Taman Ismail Marzuki. Kesemuanya dilakukan di tengah kesibukan mereka yang sehari-hari adalah pekerja di Jakarta. Tidak mudah tentu, mengingat Jakarta adalah kota yang padat akan dinamika dan problematika. Para penggiat adalah jamaah yang memiliki kesadaran jami’iyah.

“Jika kita mampu bersikap adil, maka kita mampu bersikap seimbang.”
Kyai Muzammil, Kenduri Cinta (Oktober, 2019)

Tepat pukul delapan malam, Afif Amrullah, Imam, Nashir, Midah dan beberapa penggiat membacakan Wirid Tahlukah tanda dimulainya acara. Ritual itu rutin dilakukan sejak 2016. Sebuah wirid yang disusun oleh Marja’ Maiyah, sebagai langkah awal maiyahan untuk meneguhkan pijakan tauhid, juga penyataan rindu kepada Rasulullah SAW. Melalui wirid dan sholawat, jamaah diajak ikut serta menyapa Allah dan Rasulullah.

Setelah wirid, diskusi langsung dibuka oleh Tri Mulyana dan Wisnu. Adi Pudjo, Pramono dan Imam bergantian mengalasi diskusi. Jamaah tampak mulai memenuhi area plasa Teater Besar. Pedagang pun ikut kebagian berkah dari Kenduri Cinta, dagangan mereka laris manis diserbu jamaah. Atmosfer kebersamaan terbangun alami. Tak ada aturan yang baku. Semua pihak mengalir, menjalankan perannya masing-masing, dengan satu kunci: saling mengamankan satu sama lain. Semua mendapat porsinya masing-masing.

Diskusi berpijak pada mukadimah yang telah dirilis sebelumya. Beberapa tahun lalu, pada acara sama dengan tema Atheisme Agama, Cak Nun menyampaikan bahwa sedetik saja kita tidak melibatkan Allah, pada saat itulah kita menjadi atheis. Maka, tekanan tema kali ini lebih kepada peneguhan tauhid, bahwa hanya Allah, Tuhan satu-satunya yang memang paling pantas untuk dituhankan.

Diskusi berlangsung interaktif, jamaah turut aktif tanpa segan merespon dan menyampaikan perspektif mereka. Maiyahan adalah panggung dengan seribu podium. Siapa saja punya hak berbicara. Tentu disertai dengan tanggung jawab, bahwa apa yang disampaikan tidak hanya sekadar disampaikan, namun dengan dasar-dasar penalaran. Selesai diskusi, tampil Wahyu ke forum membacakan puisi, dilanjutkan dengan Bobby yang malam itu berduet dengan Elishya membawakan lagu.

Mengantar Kenduri Cinta edisi Oktober kali ini, Syeikh Kamba secara khusus menulis Maiyah dan Jalan Peradaban Islam yang dirilis di situs caknun.com pada Jumat pagi. Malam itu, beliau ditemani Kyai Muzzammil. Syeikh Kamba hadir lebih awal.
Kyai Muzzammil malam itu mendapat ruang lebih dulu untuk meyampaikan paparannya. Beliau sampaikan bahwa hidup harus seimbang, sesuai dengan proporsi. Segala sesuatu ada tempatnya, ada konteksnya, ada momentumnya. Beliau berpesan untuk tidak perlu membuat gaduh terhadap sesuatu yang memang tidak perlu dibuat gaduh. Tidak perlu membesar-besarkan hal yang remeh.

“Kalau anda orang Islam, anda harus berada di tengah-tengah, dalam keadaan apapun,” Kyai Muzzammil berpesan, mengingatkan agar kita tidak terlalu condong ke salah satu pihak. Sudah banyak contoh bagaimana orang kecelik akibat terlalu fanatik terhadap salah satu pihak. Malam itu Kyai Muzzammil menyampaikan poin-poin secara ces pleng. Tiga poin ia tanamkan pada jamaah Kenduri Cinta, yaitu tawasuth, toleran, dan adil.

Tawasuth, yaitu kemampuan bersikap untuk tetap berada di tengah. Tidak terlalu mencintai dan juga tidak terlalu membenci kepada yang selain Allah. Banyak orang yang terlalu berlebihan ketika mencintai dan terlalu berlebihan ketika membenci.

Toleran, kita pun tidak perlu mengkampanyekan tentang toleransi. Kyai Muzzammil mengingatkan bahwa setiap orang memiliki latar belakang berbeda, sehingga setiap langkah yang diambil bisa saja berbeda perhitungannya, karena masing-masing memiliki pertimbangannya sendiri. “Kenapa sekarang banyak orang tidak bisa toleran, karena sudah tidak di tengah lagi,” ungkap Kyai Muzzammil.

Seimbang; ketika kita sudah mampu bersikap toleran, maka kita akan bersikap adil. Proses untuk bersikap adil memang tidak instan, karena dalam setiap individu manusia harus mampu mengolah dan juga menyeimbangkan yang ada dalam dirinya. Ada nafsu, ada hati, ada akal pikiran. Tugas manusia adalah menyeimbangkan itu semua agar mampu bersikap adil. Jika kita mampu bersikap adil, maka kita mampu bersikap seimbang.

“Tuhan hanya bisa direfleksikan dalam laku kebaikan dan cinta kasih.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Oktober, 2019)

Syeikh Kamba malam itu menjabarkan secara perlahan tentang apa yang ditulisnya pada rubrik Tajuk. Beliau mengawali, “Manusia memperoleh kecerdasan yang tinggi jika akal dan pikirannya digunakan untuk berpikir dengan keras. Hanya dengan berpikir keras, sel-sel dan jaringan syaraf di kepala kita bertambah luas.” Syeikh Kamba mengajak jamaah untuk memasuki penjelajahan ilmu melalui Surat Al Kahfi 103-106, dimana Allah menjelaskan tentang sekelompok orang yang karena dorongan hawa nafsunya kelak di hari kiamat akan termasuk golongan orang-orang yang merugi, yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatan dalam hidupnya, sementara mereka mengira telah berbuat kebaikan.

Syeikh Kamba mengisahkan apa yang dilakukan Rasulullah Saw bersama para sahabat saat hijrah ke Madinah. Hijrah yang tidak hanya mempersatukan kaum Muhajirin dengan Anshor, tetapi lebih mendalam dari itu, dua dimensi dalam diri manusia dipersatukan oleh Rasulullah Saw yaitu dimensi ilahiah dan dimensi manusiawi. Penyatuan dua dimensi inilah yang menjadi makna tauhid yang selalu didengungkan sebagai intisari ajaran Rasulullah Saw.

Dijelaskan Syeikh Kamba, tauhid sama sekali bukan konsepsi teologi tentang keesaan Allah, sebab Allah tidak bisa dikonsepsikan apalagi dipersepsikan. Baginda Nabi amat jelas dalam hal ini. Akibat kesalahpahaman ini, kita sering membicarakan tentang agama, bahkan sampai berdebat tetapi perilaku kita sendiri sangat minim manifestasi agama. Padahal, inti dari ajaran agama adalah akhlak.

“Semua yang terbetik pada benakmu tentang Tuhan bukanlah Tuhan. Karena Tuhan itu hanya bisa dimanifestasikan pada laku kebaikanmu,” lanjut Syeikh Kamba. Maka, ketika Rasulullah Saw menegaskan bahwa agama adalah akhlak, pernyataan ini bukan sekadar pernyataan moralitas semata, justru menjadi penegasan bahwa gagasan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak, yang tidak bisa dipersepsikan apalagi dikonsepsikan. Lebih jauh, Syeikh Kamba menegaskan bahwa Tuhan hanya bisa direfleksikan dalam laku kebaikan dan cinta kasih.

Ditegaskan Syeikh Kamba bahwa agama bukanlah sebuah sistem aturan keimanan dan peribadatan, melainkan situasi keilahian yang menuntun kepada kebaikan. Wad’un ilahiyyun syaaiqun lidawil ‘uquli salimah lisa’adatid daraini. Maka, agama akan menuntun kepada Allah, yang ber-tajalli dalam kebaikan dan cinta kasih.

“Saat ini, kita bagaikan ikan yang berada di dalam akuarium yang sering terjebak dalam konsep-konsep mainstream,” ungkap Syeikh Kamba menyoroti fenomena beragama saat ini. Syeikh Kamba menekankan bahwa dalam kehidupan beragama kita harus berani bersikap skeptis, tidak bisa dengan mudah mempercayakan pemahaman beragama hanya berdasarkan kesepakatan ulama. Pada titik ini, Syeikh Kamba menegaskan bahwa pentingnya kita bersyukur karena kita dipertemukan dengan Maiyah. Mengapa demikian?

Syeikh Kamba menjelaskan bahwa Maiyah memiliki lima prinsip jalan kenabian. Syeikh Kamba juga menyarankan untuk mendalami Piagam Madinah untuk lebih memahami lima prinsip jalan kenabian. Lima prinsip jalan kenabian itu adalah: independensi, penyucian jiwa, kearifan dan kebijaksanaan, amanah-kejujuran dan tanggung jawab, dan cinta kasih.
Di tengah tuturan Syeikh Kamba, Cak Nun tampak bergabung di forum. Syeikh Kamba menyambut Cak Nun. Jamaah pun tampak sumringah, karena kerinduan untuk bertemu dengan Cak Nun malam itu tertunaikan. Syeikh Kamba lantas melanjutkan paparannya.

“Jangan menjadi seperti anak kecil yang masih perlu iming-iming untuk melakukan sesuatu,” Syeikh Kamba melanjutkan. Pada prinsip terakhir, tentang cinta kasih, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa inti hubungan manusia dengan Tuhan adalah cinta, “Maka sebenarnya, cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta yang sejati.” Jamaah tampak banyak yang mengernyitkan dahi. Syeikh Kamba menjelaskan, cinta yang bertepuk sebelah tangan adalah cinta yang sejati, karena ia tidak peduli apakah cintanya akan berbalas atau tidak, ia akan terus berbuat baik kepada yang ia cintai. Bagaimana Allah menerbitkan matahari setiap pagi, menghembuskan angin, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan pepohonan, tanpa memperhitungkan apakah manusia beriman atau tidak. Itulah cinta sejati. Tidak ada transaksi dalam cinta.

Terakhir, Syeikh Kamba berpesan kepada jamaah untuk terus berproses dan berperan aktif dalam menanam, menyebar, dan menyemai serta menyuburkan prinsip-prinsip nilai kebaikan yang tercermin dari lima prinsip jalan kenabian.

“Di Maiyah kita mencari kejernihan jiwa. Kita tidak mau disentuh oleh apa-apa yang tidak jernih.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2019)

Menjelang tengah malam, Cak Nun tampil menyapa jamaah seraya bersyukur karena berkesempatan hadir di Kenduri Cinta malam itu. “Anda semua berkumpul di sini karena anda sudah memenuhi lima prinsip yang disampaikan oleh Syeikh Nursamad Kamba tadi,” Cak Nun mengawali. Suasana maiyahan yang terbangun alami sudah cukup menjadi alasan mengapa kita semua betah duduk berlama-lama, bahkan diajak berpikir keras oleh Cak Nun, dan semua menikmati.

Dijelaskan Cak Nun, di Maiyah semua berposisi sama yaitu sebagai pembelajar. Semua saling belajar, tidak ada konsep guru dan murid di Maiyah. Dengan konsep sinau bareng, maka secara alami tercipta suasana kebersamaan yang didasari cinta kasih. Cak Nun menambahkan agar kita tidak perlu resah jika masih ada pihak yang tidak mengenal Maiyah apalagi belum bisa menerima Maiyah. Toh pada prinsipnya Maiyah juga bukan sebuah organisasi, dan juga sering disampaikan Cak Nun, jika suatu hari Maiyah tidak ada juga kita tidak masalah. Karena yang paling substansial adalah nilai-nilai Maiyah. Syukur alhamdulillah jika kemudian setiap individu bisa menjadi duta untuk menyebarluaskan nilai-nilai itu.

Kepada yang sedang bersedih, Cak Nun menyampaikan agar tidak terjebak pada kesedihan yang dialami, sembari mendoakan semoga dengan kesedihan itu menjadi jalan yang efektif untuk menuju kebahagiaan. Pada dasarnya kita hidup di malam hari yang penuh dengan ketidakpastian, kalaupun ada hal yang pasti maka satu-satunya yang pasti dalam hidup ini adalah kematian. Maka, persiapkan diri untuk menerima apapun hasil yang kita dapatkan dalam hidup ini.

Cak Nun menyampaikan, bisa jadi apa yang kita jalani belum tentu adalah yang kita sukai. Ditekankan Cak Nun, apapun itu, meskipun tidak kita sukai asalkan itu baik, maka lakukan saja. Sebaliknya, Cak Nun juga mengingatkan agar jangan sampai melakukan sesuatu yang berakibat buruk pada diri kita, meskipun itu hal itu sangat kita sukai. Seperti salah satu prinsip yang dimiliki oleh Rasulullah Saw: In lam takun ‘alayya ghodlobun fa laa ubaalii, asalkan Engkau tidak marah kepadaku Ya Allah, maka aku tidak peduli dengan semua yang ada di dunia. “Maka di Maiyah kita mencari kejernihan jiwa. Kita tidak mau disentuh oleh apa-apa yang tidak jernih, apa itu pikiranmu, niatmu, hatimu, langkahmu, semua kita sucikan bersama,” lanjut Cak Nun.

Perlahan, Cak Nun mengajak jamaah melakukan tadabbur ayat Wa wadlo’na ‘anka wizrok. Cak Nun meminta jamaah menentukan proporsi beban hidup yang memang harus diemban. Ada banyak hal yang sebenarnya tidak menjadi beban hidup tetapi terlalu dipikirkan sehingga kemudian menjadi beban. Cak Nun mensimulasikan, misalnya, apakah konstelasi politik di Indonesia menjadi beban hidup kita dan kita yang wajib membereskannya?

Lebih luas, Cak Nun juga menjelaskan bahwa posisi Maiyah terhadap Indonesia adalah sunnah, maka yang dilakukan Maiyah kepada Indonesia adalah sedekah. Hal itu berkebalikan dengan pemerintah yang memiliki mandat dan menerima semua fasilitas untuk mengurus Indonesia, mereka berposisi wajib. Maka, jangan sampai kita terbebani dengan sesuatu yang bukan menjadi tugas kita untuk menyelesaikannya. Apapun yang kita lakukan untuk Indonesia adalah atas dasar cinta bukan kewajiban.

Cak Nun kembali mengulas dimensi wajib dan sunnah. Sunnah adalah sebuah laku yang tidak harus kita lakukan, tetapi kita mau melakukannya. Sementara wajib adalah laku yang memang kita harus melakukannya. Cak Nun mensimulasikan, sesuatu yang diwajibkan Allah pada mulanya adalah karena memang secara naluriah manusia tidak mau melakukannya. Contoh menikah. Kenapa tidak diwajibkan di dalam Alquran? Karena manusia pasti mau menikah. Jadi, tanpa diwajibkan, manusia pasti akan melaksanakannya.

Cara pandang Maiyah pada konstelasi Indonesia, baik itu persepsi tentang negara, pemerintahan, politik, hukum dan sebagainya tak hanya berbeda, bahkan seringkali terbalik dengan pandangan kebanyakan. Ibarat pasien yang sedang ditangani dokter tetapi merasa dirinya tidak sakit.

“Kreatif lah dalam menemukan kebahagiaan. Sekalipun engkau berada dalam kesedihan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2019)

Kembali pada lima prinsip jalan kenabian, Cak Nun menuturkan bahwa mungkin orang Maiyah memiliki prosentase berbeda dari setiap poinnya, ada yang baru 10-20 persen, ada yang sudah 50% bahkan mungkin sudah 100%, tetapi lima prinsip itu telah menjadi modal, sesuai kadarnya masing-masing.

Salah satu sumbu kenapa kita bisa betah di maiyahan adalah karena rasa bahagia. Setiap yang hadir pastinya memiliki persoalan hidup, entah di kantor, di rumah, di pasar, di mana saja, tetapi saat datang ke maiyahan, semua masalah bisa disisihkan. Mereka menemukan oase yang nyata di Maiyah. Masalah sejenak diendapkan, berbahagia bersama sinau bareng. Maiyah memberi bekal untuk menghadapi masalah, mendapat energi yang baru dari maiyahan. Masalah adalah sebuah keniscayaan hidup. “Maka, kreatif lah dalam menemukan kebahagiaan. Sekalipun engkau berada dalam kesedihan,” pesan Cak Nun.

Ibarat sungai yang mengalir, Cak Nun mengingatkan kita agar jangan sampai terbawa arus dalam sungai itu. Sebisa mungkin kita harus kreatif untuk bertahan agar tidak terbawa arus, lebih baik lagi jika kemudian kita mampu mengendalikan arus. Sudah banyak ilmu-ilmu kunci di Maiyah yang dapat diaplikasikan untuk menjalani hidup.

Misalnya, ada ungkapan yang mengatakan bahwa Dajjal tidak akan masuk ke Mekkah dan Madinah. Lantas, apakah kita harus berbondong-bondong menuju kota Mekkah dan Madinah? Dalam ilmu Maiyah, kita tidak perlu melakukan itu. Yang harus kita lakukan adalah menjadikan Mekkah dan Madinah ada dalam diri kita. “Madinah-kan pikiranmu, Mekkah-kan hatimu,” pesan Cak Nun.

Lewat tengah malam, Cak Nun mengantar jamaah melaksanakan prosesi pembacaan Wirid Akhir Zaman yang panduannya dirilis pada siang hari sebelum Kenduri Cinta diselenggarakan. Dipandu Fahmi Agustian dan Afif Amrullah, seluruh jamaah bermunajat, khusyuk berdzikir dan ber-sholawat, melantunkan ayat demi ayat yang sudah dipilihkan oleh Cak Nun dari Alquran.
Cak Nun menyampaikan bahwa Wirid Akhir Zaman ini bisa dilaksanakan secara sendiri-sendiri maupun berjamaah di rumah masing-masing. Selanjutnya, Wirid Akhir Zaman ini akan menjadi ritual pembuka di setiap maiyahan berlangsung di seluruh simpul Maiyah.

Setelah khusyuk melantunkan Wirid Akhir Zaman bersama-sama, tampil di panggung kelompok Lahila Band dari Lombok membawakan beberapa nomor-nomor lagu sekadar menyegarkan suasana di tengah malam. Lagu karya Farid Harja, Ini Rindu diaransemen ulang secara akustik, jamaah ikut bernyanyi bersama.

Selanjutnya lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki, yang dipungkasi dengan lagu Layang Kangen milik Didi Kempot. Salah satu jamaah di linimasa Twitter mengatakan bahwa lagu terakhir itu ibarat kita jamaah Maiyah yang sedang pergi jauh dari Indonesia dan kelak akan kembali ke Indonesia, berucap, “Indonesia, enteneono tekanku…

“Salah satu bentuk kegembiraan orang Maiyah adalah mampu memaknai setiap apapun yang ia simak.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Oktober, 2019)

Tiga lagu beraransemen akustik dimainkan cukup panjang. Cak Nun pun turut menikmati lagu demi lagu itu. Setelah selesai penampilan, Cak Nun berbincang dengan personel Lahila Band dan melakukan workshop dengan jamaah. Pertanyaan dari Cak Nun: Apa saja hal-hal yang baru saja anda alami sekarang ini (di Kenduri Cinta) yang sebelumnya belum pernah anda alami? Salah satu personel Lahila Band menyampaikan bahwa malam itu adalah pengalaman yang sangat berharga. Selama 9 tahun berdirinya Lahila Band, baru malam itu di Kenduri Cinta mereka merasakan atmosfer jamaah yang menyambut mereka dengan antusias yang luar biasa.

Di maiyahan, ibaratnya kita mau membawakan musik apa saja, akan diterima oleh audien. Dan dengan genre yang dibawakan, tidak membuat jamaah berjoget atau membuat suasana gaduh. Semua asyik menikmati sajian musik yang dibawakan oleh penampil musik di panggung. Seluruh audien hatinya menyatu, gembira bernyanyi bersama tanpa kegaduhan.

Mengutip kalimat Bethoven Aku tidak bermain musik untuk babi-babi, malam itu Kenduri Cinta membuktikan bahwa Lahila Band memperdengarkan musik kepada manusia-manusia yang murni dan gembira hatinya. Diakui sendiri oleh Lahila Banda bahwa hanya di Kenduri Cinta mereka manggung jam dua dinihari, dengan penonton yang antusias, menikmati alunan musik, bernyanyi bersama tanpa ada kegaduhan.

Cak Nun menyampaikan bahwa inilah salah satu kegembiraan Maiyah. Orang Maiyah akan mampu memaknai setiap apapun yang ia simak. “Maka bulan depan, tema kita adalah Kegembiraan Jiwa Maiyah,” Cak Nun malam itu langsung memberi tema Kenduri Cinta edisi November 2019. “Gembira itu tidak tergantung benda dan pemilikannya. Anda punya uang 1 triliun belum tentu anda gembira, anda punya uang 500 ribu anda juga tetap bisa gembira,” lanjut Cak Nun.

“Orang Maiyah itu kita didik bersama-sama, supaya suatu hari, kalau anda mengalami time travelling, suatu hari anda lahir di zaman Fir’aun anda siap, suatu hari anda lahir di zaman Muhammad anda siap, lahir di Etiophia anda siap, lahir di Amerika anda siap, anda hidup di mana saja. Orang Maiyah adalah Man of all season,” ungkap Cak Nun.

Kenduri Cinta edisi Oktober 2019 dipuncaki dengan bersama-sama kembali melantunkan Wirid Akhir Zaman dan ‘Indal Qiyam yang dipimpin oleh Cak Nun.