JAHIL MUROKKAB

Reportase Kenduri Cinta September 2019

“Jika dilihat dari padanan katanya dalam bahasa Inggris, jahil itu ignorance, alias abai,” ucap Pramono mengawali forum Kenduri Cinta edisi September 2019 yang mengangkat tema Jahil Murokkab. Pemilihan tema acara Kenduri Cinta merupakan salah satu cara para penggiat dalam merespon berbagai fenomena situasi sosial, termasuk tema kali ini, Jahil Murokkab.

Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, dimana berbagai data dan informasi dapat dengan mudah diakses, tak serta merta melahirkan peradaban yang cerdas bijaksana. Sebagian justru mempergunakan teknologi informasi itu sebagai alat untuk mengendalikan ‘cuaca’, memanipulasi data informasi untuk tujuan penggiringan opini. Alih-alih kehidupan berbangsa menjadi tercerdaskan, justru teknologi menjadi medium untuk membodohi masyarakat.

Tema Jahil Murokkab merupakan persambungan dari tema pada bulan-bulan sebelumnya. Seri tajuk (tulisan) Cak Nun pada pertengahan Agustus 2019 menjadi pijakan temanya.

Jahil, sebuah kata yang banyak diartikan dengan bodoh atau tidak tahu, jika menggunakan istilah lebih kasar: goblok. Namun jika kita menilik keadaan saat ini yang sedemikian mudahnya mengakses informasi, mustinya tidak ada lagi manusia yang bodoh. Keadaan yang lebih tepat adalah abai. Kemampuan serta kemudahan dalam melakukan validasi informasi seringkali diabaikan, sehingga reaksi menjadi tidak tepat yang berujung menjadi yang diistilahkan pada tema, yaitu: jahil murokkab.

Kenduri Cinta edisi bulan September tahun 2019 dihelat di plasa Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Plasa itu terletak di sisi belakang komplek kesenian Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Area plasa Teater Besar ini lebih luas dibanding area plasa pelataran parkir sisi depan yang biasa digunakan. Lokasi acara Kenduri Cinta dipindah atas arahan pengelola Taman Ismail Marzuki karena lokasi tempat biasa acara dilangsungkan sedang dilakukan revitalisasi.

Sebelumnya, penggiat komunitas Kenduri Cinta sebagai panitia acara telah berkoordinasi dengan pihak UP PKJ Taman Ismail Marzuki mengenai lokasi pelaksanaan acara. Begitu juga dengan pihak Dinas Perhubungan yang bertanggungjawab atas pengelolaan parkir kendaraan.

Pada intinya, Kenduri Cinta adalah forum swadaya. Harapannya, Kenduri Cinta dirawat oleh jamaah yang hadir setiap bulannya. Bukan hanya merawat keberlangsungannya, tetapi juga ikut menjaga keamanan, ketertiban serta kebersihan lokasi. Prinsip kebersamaan itu telah berlangsung hampir dua puluh tahun penyelenggaraannya, dari mulai persiapan acara hingga akhir acara dengan secara swadaya membersihkan lokasi.

Pada diskusi sesi awal, merespon fenomena jahil murokkab, Pramono lebih menyorot tentang alat ukur yang digunakan. Ibarat hendak menimbang suatu barang, alat ukur mesti terkalibrasi dengan baik sebelum digunakan sebagai alat timbang. Proses penyeimbangan harus dilakukan terlebih dahulu agar hasil ukurnya valid. Seperti itulah bagaimana informasi-informasi itu sebaiknya diserap. Sebelum membenarkan dan menyalahkan, apalagi menyebarkannya.

“Kalau kita tidak melakukan proses kalibrasi saat menyerap suatu informasi, maka kita berpotensi menjadi pihak yang merasa paling tahu. Akibatnya adalah menyalahkan pendapat orang lain yang tidak sama dengan pendapat kita,” tambah Pramono yang malam itu didampingi oleh Adi Pudjo mewakili penggiat.

Ali, jamaah Kenduri Cinta asal Condet, ikut nimbrung berpendapat. Menurutnya, jahil murokkab tumbuh karena ketidakmampuan seseorang mengelola kesabaran dalam dirinya. Kesabaran yang tidak hanya sebatas menahan nafsu saja, tetapi berbagai hal. Ali melakukan tadabur pada Surat Al-Asr, dimana Allah menyatakan bahwa sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan melakukan kebaikan serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Ali menitikberatkan pada kesabaran sebagai sumbu dimana sikap sabar akan mampu melahirkan jiwa yang bijaksana.

“Sikap sabar mampu melahirkan jiwa yang bijaksana.”
Ali, Kenduri Cinta (September, 2019)

COWONGAN, SEBUAH PERSAPAAN

Malam itu, Kenduri Cinta gayeng, semarak sejak awal. Ratusan atau mungkin ribuan masyarakat juga tampak memadati plasa Teater Besar. Mereka hadir tanpa tahu siapa yang akan menjadi pembicara atau narasumber. Mereka telah memahami, belajar bisa dari siapa saja, dari apa saja.

Forum Kenduri Cinta dibuka dengan Yasinan dan wirid serta sholawatan. Selain spiritualitas, aspek kesenian juga ditampilkan. Bulan ini kelompok musik Komunitas Trotoar membawakan musikalisasi puisi. Donny, vokalis KiaiKanjeng, ikut menyemarakkan suasana. Patub, gitaris Letto, tampak di kerumunan. Spontan, Donny mengajak Patub melakukan jam session. Lagu-lagu dinyanyikan gembira. Kehadiran Donny dan Patub menjadi kebahagiaan tersendiri bagi jamaah.

Ki Titut Edi Purwanto, penggiat simpul Maiyah Juguran Syafaat dari Purwokerto, malam itu hadir di Kenduri Cinta. Penampilannya nyentrik. Perawakannya tinggi besar. Rambutnya gondrong. Tatapan matanya tajam. Jika belum pernah bertemu Ki Titut, akan beranggapan bahwa dia galak dan seram. Namun, anggapan itu seketika hilang saat berinteraksi dengannya.

Kulanuwun sedulur!” sapa Ki Titut Edi pada jamaah dengan logat ngapak Banyumasannya yang kental. “Diarani gemblung ya mangga, diarani kenthir ya mangga. Di zaman yang gila ini hanya orang gila yang waras,” lanjut Ki Titut disambut tawa dan tepukan tangan jamaah.

Ki Titut bukan pembicara yang mengungkapkan sesuatu dengan gaya retorika. Tidak. Ki Titut, seperti yang disampaikan oleh Hilmy (penggiat Juguran Syafaat), adalah sosok yang otentik. Ia tulus, ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling, tanpa beban. Orang Banyumas menyebut gaya demikian dengan istilah blakasuta.

Meskipun gayanya terkesan ceplas-ceplos, namun ia selalu menyelipkan pesan moral yang luhur. Seperti malam itu, Ki Titut menekankan pentingnya untuk selalu ingat Allah, mengajak jamaah untuk terus menerus melantunkan kalimat istighfar. Penampilannya mungkin tidak seperti layaknya para pemuka agama, tetapi pesan yang ia sampaikan sangat kental bermuatan agama.

Keproki….Keproki… Keproki….!!!” Ki Titut Edi juga piawai memecah kebuntuan suasana. Ketika jamaah sudah fokus dengan apa yang sedang ia sampaikan, dengan cepat Ki Titut memecah suasana agar kembali segar. Keproki, bahasa Banyumasan yang maksudnya adalah ajakan untuk bertepuk tangan.

Ki Titut juga seorang seniman. Ia pencipta lagu, tapi jangan dibayangkan syair-syair dalam lagu-lagunya syair puitis dengan bahasa sastra tinggi. Kepolosan dan gaya bahasa khasnya, menghasilkan karya yang unik, otentik, lucu, tapi penuh makna dan nilai-nilai moralitas. Ciri lagu-lagu karya Ki Titut selalu menyertakan nama-nama binatang.

Inyong sapa, rika sapa, inyong karo rika sedulur!!!” pekik Ki Titut. “Leluhur bisa mati, tetapi karya tak kan pernah mati,” Ki Titut memperlihatkan boneka yang ia buat dari batok kelapa yang ditusuk dengan sebuah kayu. Mirip boneka jailangkung. Ki Titut menyebutnya boneka cowongan. Boneka itu diwariskan oleh leluhur Ki Titut di tlatah Banyumas. Boneka itu dijadikannya media dalam ritual memanggil hujan. Kenapa bukan dengan salat istisqo? Sebentar.

Ki Titut menceritakan, dahulu masyarakat di Banyumas jangankan mengenal Islam, mengenal agama saja belum. Tetapi, mereka sudah ber-ijtihad untuk mencari Tuhan. Maka, ketika kemarau berlangsung terlalu lama, masyarakat Banyumas memiliki ritual yang disebut Cowongan. Ritual dilakukan untuk menyapa Tuhan semesta alam, bermohon agar hujan diturunkan. Seperti leluhurnya, Ki Titut Edi sehari-hari bertani di ladang miliknya, ritual Cowongan sangat ia jaga.

“Leluhur bisa mati, tetapi karya tak kan pernah mati.”
Titut Edi, Kenduri Cinta (September, 2019)

APA YANG dilakukan oleh Ki Titut adalah nguri-uri warisan leluhurnya. Daripada sibuk mempertanyakan hubungan orang lain dengan Tuhannya, namun lalai dengan hubungan kita sendiri dengan Tuhan, paling tidak, dari Cowongan, kita memiliki wawasan baru bahwa di Banyumas ada sebuah lelaku yang dilakukan masyarakat setempat selama berabad-abad untuk menyapa Tuhan.

Sulasih Sulandana, itulah syair warisan leluhur Ki Titut Edi di tlatah Banyumas. Menurut Ki Titut, dahulu ketika masyarakat Banyumas belum mengenal agama, mereka memiliki imajinasi tentang Tuhan. Jadi, meski belum mengenal agama, mereka sudah memahami bahwa ada Yang Berkuasa di alam semesta. Masyarakat Banyumas saat itu menyebut Tuhan dengan nama Sulasih. Dalam syair Sulasih Sulandana dirangkailah kata-kata yang kemudian diyakini sebagai mantra untuk menyapa Tuhan agar segera menurunkan air hujan.

Ki Titut bercerita bagaimana ia menjaga warisan Cowongan itu. Suatu kali Ki Titut meminta istrinya, lulusan ISI Yogyakarta, untuk mengkreasikan tarian khusus. Tarian itu selama tiga bulan dipersiapkan untuk penyelenggaraan pertunjukan Cowongan. Masyarakat kerap menganggap perilakunya syirik. Ki Titut tidak bergeming. Suatu waktu, karena ia dianggap memuja setan, Ki Titut memasang tulisan di depan rumahnya “Awas Disini Ada Setan”. Memang dasarnya Ki Titut ini nakal dan usil, hiasan depan rumahnya pun ia bubuhi lima pocongan yang digantung dengan warna berbeda.

Ki Titut membebaskan persepsi masyarakat tentang dirinya. Baginya, setiap manusia punya kedaulatan dan prinsipnya sendiri-sendiri. “Ngonoh sing ora seneng karo nyong. Sing penting nyong awit cilik diajari ngaji neng wong tuwa, kon ngaji ya ngaji, kon jemuahan ya jemuahan, nganti seprene anake nyong yap inter ngaji, nyong unggal dina ya esih bisa ngaji, alhamdulillah,” tegas Ki Titut. Maksudnya, sejak kecil ia diajari agama oleh orang tua, ia pun mengajarkan agama kepada anak-anaknya.

Kita melihat, Ki Titut memiliki pondasi keimanan yang sangat kuat. Dalih yang ia gunakan dalam melestarikan Cowongan adalah dalam rangka menjaga warisan leluhur yang mulai banyak dilupakan oleh generasi sekarang. Ia tak pernah mempersoalkan syirik atau bukan syirik.

Ki Titut malam itu mempersembahkan karya-karya musiknya, seperti Karang Penginyongan, Lele Dumbo Nyokot Tempe, Widadari, Pacul Gowang. Dalam mengantarkan lagu, Ki Titut selalu menyelipkan cerita serta hikmah pengalaman hidupnya yang penuh nilai keluhuran, dibalut dengan cerita-cerita lucu. Kepada anak-anaknya ia selalu berpesan untuk selalu rajin beribadah salat, selalu ngaji, sembari terus menjaga kelestarian budaya Banyumas. Salah satu cara melestarikan budaya yang ia selalu pesankan kepada anaknya adalah dengan tidak meninggalkan bahasa Banyumasan.

Ki Titut ikut mengalami pasang surut kehidupan. Baginya, hidup susah adalah dinamika kehidupan, keniscayaan yang dialami oleh siapa saja. “Mintalah kepada Allah, jangan meminta kepada selain Allah,” Ki Titut berpesan. Sangat otentik.

Pernah suatu kali, saat Ki Titut mengalami kebuntuan rizki, ia berdoa, dan melakukan berbagai ibadah, tetap saja ia mengalami kebuntuan. Dalam keputusasaannya ia pergi ke ladang, duduk di galangan sawah lalu menemukan seekor kodok disana. Seolah-olah kodok itu bisa berbicara, ia pun mengajak kodok berdoa dan ber-sholawat. Siapa sangka, setelah peristiwa itu, Ki Titut mendapat jalan keluar dari kebuntuan hidupnya, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana. Kisah Ki Titut musti dipahami tidak dengan satu atau dua sudut pandang. Tentu, saat anda mengalami kesulitan tidak lantas harus mencari kodok untuk diajak bicara.

“Betapa jahatnya perilaku korupsi, dimana yang paling merasakan dampak perilaku korupsi adalah orang miskin.”
Novel Baswedan, Kenduri Cinta (September, 2019)

SOMBONG DAN BODOH

Switch! Keunikan khas maiyahan adalah kemampuan forum dalam men-switch dialektika acara. Kemampuan itu terus dilatih, mengatur pergantian momentum yang sedemikian cepat. Setelah bergembira dan menyerap berbagai hikmah bersama Ki Titut Edi dengan gaya ngapak-nya yang atraktif dan penuh improvisasi, gentawilan blakasuta, Ust. Noorshofa Tohir lantas masuk ke forum mengajak jamaah ber-sholawat bersama. Switching dengan mudah diterima jamaah. Mereka dapat seketika khusyuk, memejamkan mata, menata hati, saat sholawat Asyghil dilantunkan.

Sholawat adalah persapaan pada Rasulullah Saw. Mengetuk pintu Allah agar malam itu sudi berkenan menurunkan hidayah-Nya. Sejatinya, sinau bareng maiyahan adalah dalam rangka mengaktivasi ilmu-ilmu yang hakikatnya sudah ada dalam diri kita. Ber-sholawat adalah salah satu cara agar Allah Swt mengizinkan kita mengaktivasi informasi itu.

Pada paparannya malam itu, Ust. Noorshofa memberikan penjelasan tentang kandungan Alquran yang mencakup masa lalu dan masa yang akan datang. Alquran turun menggantikan kitab-kitab suci sebelumnya dengan kesempurnaan misi yang utuh. “Sekarang ini banyak orang yang sombong dengan kebodohannya,” ucap Ust. Noorshofa sembari mengisahkan cerita Firaun. Firaun sombong, sebab kekuasaaannya di dunia, Firaun menganggap dirinya adalah Tuhan. “Sesetan-setannya setan, tidak ada yang mengaku dirinya Tuhan,” kata Ust. Noorshofa disambut tawa jamaah.

Iblis pada hakikatnya hanya memerankan peran dan fungsinya. Saat manusia dicipta oleh Allah, Iblis meminta kepada Allah untuk diberi kesempatan hidup sampai hari kiamat demi membuktikan bahwa pekerjaan manusia hanyalah membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Pada konteks ini, Iblis masih beriman kepada Allah, karena ia hanya meminta kepada Allah. Sementara manusia, justru banyak yang terjerumus pada jurang kemusyrikan, meminta kepada yang bukan Tuhan. Menuhankan yang bukan Tuhan.

Ust. Noorshofa selalu menyelipkan cerita-cerita lucu penyegar suasana pada setiap materi dakwahnya. Gaya tutur Betawi menjadi khasnya. Malam itu terasa lengkap, setelah ngapak Banyumasan, disambung dengan Betawian.

Ust. Noorshofa malam itu juga mengisahkan kisah Anas Bin Malik yang suatu hari ditanya Rasulullah SAW tentang apa yang paling diinginkannya. Anas Bin Malik menjawab, ia ingin tetap bersama Rasulullah SAW hingga kelak di surga. Rasululllah SAW kemudian menyampaikan kepada Anas Bin Malik untuk melakukan dua hal: memperbanyak sujud kepada Allah dan selalu menyayangi anak-anak yatim piatu.

Waktu beranjak malam, jamaah tampak makin memadati plasa Teater Besar. Tenda kecil bercahaya dilatarbelakangi gedung megah Teater Besar dan ratusan jamaah yang mengitarinya, menjadi pemandangan menarik bagi para pecinta fotografi. Linimasa Twitter pun dipenuhi dengan tagar #KCSeptember. Tagar berisi kutipan-kutipan narasumber serta foto-foto suasana acara, menjadi trending topic malam itu.

Sosok yang mendapat perhatian malam itu adalah Novel Baswedan. Ia dan kawan-kawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malam itu hadir di Kenduri Cinta. Novel Baswedan hadir bersama Nanang, Agung Praswad, Syarif Hidayat dan kawan-kawan lainnya. Novel Baswedan dan kawan-kawan KPK lainnya malam itu hadir bersilaturahmi. Ini merupakan kedua kalinya Novel datang ke maiyahan Kenduri Cinta. Forum Kenduri Cinta merupakan forum terbuka, siapa saja boleh datang menyampaikan pendapatnya.

Kehadiran para pegawai KPK tentu mendapat perhatian tersendiri, terlebih beberapa hari terakhir sedang menghangat isu revisi UU KPK yang ditengarai mengarah kepada pelemahan KPK dalam melaksanakan perannya dalam memberantas korupsi. Diskursus terjadi, masyarakat banyak bersimpati, dukungan kepada KPK pun terus mengalir dari berbagai kalangan.

“KPK sebagai lembaga ad hoc harus tetap independen.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (September, 2019)

PELEMAHAN PEMBERANTASAN

“Berbicara tentang KPK, tentu kita bicara korupsi,” ucap Novel membuka diskusi setelah sebelumnya memperkenalkan satu persatu teman-temannya yang ikut hadir. Novel malam itu kembali mempertegas komitmen bersama bahwa korupsi merupakan perilaku kejahatan luar biasa yang harus diberantas.

“Betapa jahatnya perilaku korupsi, yang paling merasakan dampaknya adalah orang miskin,” lanjut Novel. Ia menambahkan, bahkan perampok sekalipun tidak pernah merampok orang miskin, sementara perilaku korupsi justru dirasakan oleh orang-orang miskin. Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Para koruptor, tak hanya korupsi uang, mereka menggunakan uang dan kuasa dengan memanfaatkan media massa dalam menggiring persepsi dan opini publik. Novel menyatakan bahwa harapan untuk memberantas korupsi di Indonesia jangan sampai padam. Khalayak masyarakat pun telah mengetahui, KPK sudah banyak menangkap koruptor. Toh, kebocoran-kebocoran anggaran masih saja terjadi, pelaku korupsi masih banyak berkeliaran. Tapi setidaknya, kita masih memiliki harapan agar korupsi di Indonesia bisa diberantas.

Malam itu menjadi kesempatan Novel Baswedan untuk menjelaskan banyak hal yang menjadi polemik di masyarakat, terutama terkait isu pelemahan KPK. Jamaah juga diberi ruang luas untuk bertanya, berdiskusi kepada KPK yang dijawab langsung oleh pegawai KPK sendiri. Tentang isu penyadapan misalnya, Novel menyampaikan jika memang kita tidak sedang berbuat kejahatan korupsi, mustinya kita tidak perlu merasa takut. Bagi pegawai KPK, revisi UU KPK merupakan upaya sistematis untuk melemahkan KPK.

Ki Titut Edi turut merespon. “Sebenarnya saya juga turut merasakan prihatin dengan keadaan seperti ini,” ungkapnya. Ki Titut Edi menyampaikan, andaikan anak-anak sejak kecil ditanamkan nilai-nilai luhur, bersahabat dengan alam, ditemani proses tumbuh kembangnya oleh orang tua, maka saat mereka dewasa, menjadi pejabat, kemungkinan untuk korupsi akan sangat kecil.

Ki Titut mengibaratkan orang yang tidak korupsi itu seperti srengenge mlethek, matahari yang terik menyengat. Panasnya matahari itu tidak kurang dan tidak lebih, ia menjalankan tugasnya, tidak pernah terlambat ketika terbit dan tidak pernah menunda ketika harus terbenam.

“Yang terjadi sekarang itu seperti kucing-kucingan. Pejabat mencari cara apapun agar bisa menghindar tidak tertangkap oleh KPK karena korupsi,” Syeikh Kamba ikut menambahkan. 21 tahun reformasi tampaknya belum benar-benar mengantar Indonesia kepada perubahan yang sesuai dengan semangat dan cita-cita Reformasi 1998. Cita-cita pemberantasan korupsi selalu menjadi jargon kampanye para calon pemimpin, mulai dari calon presiden, calon gubernur hingga calon anggota legislatif. Anehnya ketika mereka terpilih dan menjabat, mereka seolah lupa dengan janji-janji yang dikampanyekan.

Syeikh Kamba lantas mengisahkan pengalamannya saat tinggal di Kanada. Kanada adalah negara yang tercatat paling rendah tingkat korupsinya. Salah satu sistem yang menjadikan Kanada bersih dari korupsi adalah karena kekayaan para pejabat mereka tercatat dan teraudit secara online. Aparat hukum bisa memantau kekayaan para pejabat, transaksi keuangan wajib tercatat secara online, sehingga keuangan mereka diawasi dengan sebaik-baiknya.

Persoalan korupsi memang sangat rumit. Syeikh Kamba yang pernah menjadi pegawai di sebuah kementerian ikut merasakan bagaimana korupsi telah menjadi tradisi. Hal itu tentu menjadi tantangan tersendiri di tengah perjuangan KPK yang berada di wilayah eksternal dari lingkup pemerintahan.

“Alhamdulillah ada Maiyah,” Syeikh Kamba menambahkan. Di Maiyah kita menemukan persaudaran, persahabatan yang sejati, menjaga idealisme bersama. Inilah yang dibutuhkan para pegawai KPK. Lembaga KPK membutuhkan orang-orang dengan integritas tinggi dan idealisme yang sangat kuat. “KPK sebagai lembaga ad hoc harus tetap independen,” pungkas Syeikh Kamba.

“Ibadah dirancang Tuhan sebagai katalisator agar manusia tetap waspada pada jalan yang sudah ditentukan-Nya.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (September, 2019)

PEMBELAJAR SEPANJANG HAYAT

Setelah berdiskusi panjang, forum lantas menampilkan kelompok musik Gong Pancasila, lalu dilanjutkan dengan performa Donny KiaiKanjeng. Sesi sebelumnya, forum dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Perwakilan dari diskusi kecil itu memaparkan hasil diskusinya mengenai tema Jahil Murokkab.

Kelompok diskusi menyampaikan, fenomena jahil murokkab merupakan fenomena manusia yang bodoh tetapi tidak menyadari akan kebodohan dirinya. Gampangnya: bodoh kuadrat. Dengan derasnya arus informasi, masyarakat mau tidak mau harus memiliki sistem filter yang kuat agar tidak mudah terhasut berita-berita bohong. Setidaknya, melalui maiyahan kita terlatih untuk berpikir kritis terhadap setiap informasi yang didapat. Maiyahan melatih berpikir secara luas sehingga mampu keluar dari kebodohan berpikir yang semakin laten terjadi.

Jahil Murokkab itu adalah orang yang berhenti belajar, sementara Orang Maiyah adalah pembelajar sepanjang hidup,” Syeikh Kamba mengawali paparannya. Rasulullah SAW bersabda: uthlubu-l-‘ilma mina-l-mahdi ila-l-lahdi. Menurut Syeikh Kamba, maiyahan dengan konsep sinau bareng ini adalah metode belajar sepanjang hayat, selaras dengan apa yang diwasiatkan Rasulullah SAW. Titik berat Syeikh Kamba, orang Maiyah akan terbebas dari belenggu jahil murokkab karena orang Maiyah terlatih untuk berdaulat dalam berpikir atas dirinya sendiri.

Cak Nun selalu berpesan bahwa tidak ada pengkultusan di Maiyah. Hal itu kembali ditegaskan Syeikh Kamba. Saat seseorang mengkultuskan tokoh atau guru dalam sebuah majelis, disitulah awal jahil murokkab terjadi. Ditambahkan oleh Syeikh, menurut Imam Al Ghazali, pada umumnya orang-orang beragama memiliki keyakinan yang bersifat informatif. Keyakinan yang hanya berdasarkan kepada orang-orang yang dipercaya, bukan keyakinan faktual.

Dicontohkan Syeikh Kamba, ketika ustadz atau kyai memberi informasi rajin salat maka kita akan dijamin masuk surga. Itu hanya bersifat informasi, bukan kepastian. Fatal ketika informasi tentang agama menjadi informasi yang diyakini secara mutlak. Menurut Syeikh Kamba konsep bertuhan dan beragama tidaklah demikian.

Lompatan berpikir selalu dibiasakan di Maiyah. Seperti malam itu, saat Syeikh Kamba mengupas ayat: Inna-sh-sholaata tanha ‘ani-l-fakhsyaa’I wa-l-munkar; salat adalah ibadah yang menghindarkan manusia dari perbuatan keji dan munkar. Pertanyaannya, apa benar pasti demikian, ketika seseorang melaksanakan salat apakah otomatis ia terhindar dari perbuatan keji dan munkar? Ternyata, tidak. Salat hanya salah satu media untuk membentuk manusia agar tidak berperilaku keji dan munkar. Manusia sangat dinamis. Ibadah dirancang Tuhan sebagai katalisator agar manusia tetap waspada pada jalan yang sudah ditentukan-Nya.

“Orang-orang Maiyah tidak pernah dijanjikan surga. Yang kita lakukan bersama adalah menemukan jati diri, kemudian menjalankannya berdasar identitas, otentisitas dan kedaulatan dalam diri kita,” lanjut Syeikh Kamba.

Ditambahkan, hadits Rasulullah SAW yang mewasiatkan agar kita tidak berhenti belajar tidak seolah menjadi penegasan bahwa orang yang tidak berhenti belajar selama hidup di dunia adalah orang yang kelak akan masuk surga. Orang yang terbiasa belajar maka ia terbiasa berpikir kreatif sehingga selalu mengeksplorasi informasi yang sampai pada dirinya. Ia tidak berhenti pada satu informasi untuk dijadikan keyakinan, melainkan terus berproses, sehingga tidak mudah kaget ketika menemukan informasi baru dan lebih berkembang dari sebelumnya.

Ada sebuah penelitian, apabila otak dibiasakan berpikir maka otak akan berkembang. Artinya, otak musti dilatih berpikir keras, mengeksplorasi informasi dan pengetahuan, agar kemampuan otak kita berkembang. Hal ini akan berdampak pada kemampuan diri manusia untuk berpikir luas. Ini lah yang dibiasakan dan dilatih di Maiyah.

“Kalau engkau berbuat baik maka engkau bertuhan. Kalau engkau memiliki cinta kasih, maka engkau bertuhan.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (September, 2019)

Malam makin larut, jamaah tak beranjak. Menyambung paparannya, Syeikh Kamba menyampaikan bahwa adanya madzhab, aliran, sampai hadits-hadits tidak bisa serta merta dipaksakan menjadi patokan keyakinan. Ijtihadijtihad ilmu agama itu baru muncul 2-3 abad setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ada jeda cukup panjang hingga akhirnya manusia melahirkan ijtihad pengetahuan ilmu agama pasca wafatnya Rasulullah SAW. Maka, tidak ada jaminan bahwa informasi berkembang tanpa ada distorsi atau kepentingan.

Syeikh Kamba menjelaskan kenapa orang Maiyah harus bersyukur karena oleh Cak Nun kita semua dilatih untuk berpikir dinamis. Manusia diberi akal pikiran agar difungsikan untuk berpikir dan melakukan eksplorasi. Inilah yang dimaksud oleh Syeikh Kamba dengan keyakinan yang bersifat informatif.

Ditambahkannya, dalam belajar agama memang sebaiknya kita tidak mengkultuskan ustadz atau kyai yang menjadi pembimbing kita dalam belajar agama, sebab itu bisa berakibat fatal.

Dalam kajian tasawuf, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa Tuhan tidak bisa dipersepsikan, tidak bisa dikonsepsikan, tidak bisa dipikirkan oleh manusia. Maka, jika ada manusia yang dikultuskan oleh manusia lainnya secara tidak langsung bertabrakan dengan wujud keilahian Tuhan itu sendiri. “Dia (Tuhan) hanya bisa direfleksikan dalam laku kebaikan dan laku cinta,” ungkap Syeikh Kamba.

Maka, Rasululllah SAW menyatakan: innama bu’istu liutammima makarima-l-akhlaq. Dari pesan Rasulullah SAW dapat kita pahami bahwa agama itu bukan wacana melainkan laku dari manusia itu sendiri. “Praktisnya, kalau engkau berbuat baik maka engkau bertuhan. Kalau engkau memiliki cinta kasih, maka engkau bertuhan,” lanjut Syeikh Kamba. Maka pengertian agama sebagai sebuah sistem peribadatan itu tidak relevan dalam pandangan Syeikh Kamba.

Perilaku jahil murokkab lainnya adalah mereka yang buta sejarah. Ada banyak informasi tentang Islam yang lahir sekian abad pasca wafatnya Rasululllah SAW, bahkan sirah nabawiyah sendiri ada banyak versi. Syeikh Kamba mengingatkan bahwa kita harus bijak dalam menyikapi ragam versi informasi itu, agar kita tidak terjebak dalam lubang yang bernama buta sejarah.
Satu contoh, sistem khilafah yang merupakan buah ijtihad yang ditemukan setelah Rasulullah SAW wafat, karena di masa Rasulullah SAW hidup tidak ada sistem kekuasaan atau sistem pemerintahan yang disebut dengan khilafah.

Syeikh Kamba juga meyoroti ilmu fiqih yang menjadi dasar umat dalam membangun otoritas keagamaan. Ritual ibadah sebenarnya sudah diatur di Alquran, juga ketentuan hukum-hukum Islam yang lain sudah diinformasikan dalam Alquran. “Masuklah ke Maiyah, sehingga kamu akan menjadi pembelajar sepanjang hidup,” lanjut Syeikh Kamba mengajak sebisa mungkin otak dibiasakan untuk berpikir keras.

Di sesi akhir Kenduri Cinta edisi September 2019 ini, jamaah diajak Syeikh Kamba untuk menjelajahi samudera tasawuf. Cukup panjang penjelasan Syeikh Kamba mengenai detail-detail ilmu tasawuf malam itu. Jamaah tampak tidak beranjak, justru semakin gayeng. Sesi tanya jawab pun menjadi antusias.

Seperti saat pertanyaan tentang apakah kita boleh by-pass kepada Allah dalam beribadah tanpa melalui wasilah para ulama? Syeikh Kamba sampaikan bahwa memang seharusnya kita by-pass kepada Allah. Kalaupun ada sosok yang kita libatkan, maka sosok itu adalah Rasulullah SAW. Bagaimana kemudian kita mampu menghadirkan sosok Rasulullah SAW, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa kita jangan berhenti pada sosok fisik Rasulullah SAW, tetapi harus sampai pada Nur Muhammad. Cahaya Nur Muhammad itu adalah mekanisme Allah untuk mencahayai sesuatu yang sifatnya potensial menjadi aktual.

Menjelang pukul empat dini hari, suasana Kenduri Cinta penuh dengan keakraban dan kemesraan dalam balutan kegembiraan. Tetapi, perjumpaan ini harus segera disudahi. Indal Qiyam dipimpin oleh Syeikh Kamba memuncaki maiyahan malam itu. Salam.