Mukadimah MELUKIS MASA DEPAN

“Setiap Orang Maiyah memiliki hak sementara dan bersifat pinjaman dari Sang Pemilik Sejati untuk berhenti di suatu koordinat sejarah dan membangun Maiyah sebagai ‘kata benda’, tetapi kata benda itu tetap merupakan titik beku dari ‘kata kerja’ kehidupan yang sesungguhnya tak pernah ada ‘waqaf’nya.”

“Setiap Orang Maiyah menghimpun warisan nilai dan perilaku Maiyah kepada para akselerator hidupnya hingga anak cucu keseribu, namun sesungguhnya para akselerator bukanlah pihak yang secara pasif mewarisi, karena sampai kapanpun setiap Orang Maiyah adalah pewaris yang mewarisi, sebagaimana setiap mereka adalah yang mewarisi dan kemudian mewariskan.”

(Orang Maiyah dan Gerbang Ghaib, Muhammad Ainun Nadjib)

Melukis masa depan, sepertinya tidak dapat langsung dimaknai begitu saja dengan membayangkan masa depan sebagai sebuah objek kemudian objek tersebut dilukiskan pada kanvas. Jadi bukan semacam lukisan ramalan masa depan, justru, boleh jadi masa depan adalah kanvas/media yang sedang dilukis, dan setiap diri kita berperan sebagai ‘pelukis-pelukis’ yang saling terkait, dan sedang ‘melukis’ di masa kini menuju masa depan dengan lelaku kita dalam kehidupan keseharian kita. Karenanya lukisan masa depan bukanlah suatu ‘kata benda’, ia-nya saja dinamis, saling kait terkait, menerus terus dan lanjut berlanjut.

Menjadilah sejarah, apapun itu hasil lukisan kita, lelaku kita. Meskipun tidak dicatat, tertutupi, tersembunyi, dilupakan bahkan kemudian dibuang-buang. Rancang bangun sebuah gedung dibuat sedemikian rupa secara teliti supaya kelak bangunan gedung fungsional sesuai dengan yang diharapkan. Perancanganya memperhatikan berbagai detail konstruksi, denah ruang, sirkulasi udara, pencahayaan dan sebagainya. Merancang bangunan juga ‘melukis’ masa depan. Hal yang lumprah jika terjadi ‘salah-salah’ dalam merancang, dan sebuah rancang bangun mungkin saja perlu diperbaiki, perlu dilukis lagi saat proses pembangunan, meskipun perbaikan-perbaikan itu pastinya akan menambah biaya pembangunan. Rancangan awal sangat mungkin dibuang, dan rancangan baru menggantikan. Dan rancang bangun tersebut akan terkait dengan ‘pelukis-pelukis’ lainnya, tukang batu, kuli, mandor, pekerja bangunan yang melanjutkannya dan orang-orang yang kelak menggunakan gedung itu.

Untuk dapat melukis, perlu ada alat, bahan, media dan objek yang hendak dilukis. Pada melukis masa depan, boleh saja kita mengaku sekedar menjadi ‘kuas-kuas’ yang kaku atau yang lembut, kuas yang lebar atau yang sempit, kuas yang tajam atau-pun tumpul. Kuas yang pasif, kuas yang tak berdaya, kuas yang hanya akan bergerak jika ada Daya dari luar dirinya yang menggerakan. Boleh saja kita mengaku sebagai kuas semacam itu atau mengaku sebatas menjadi warna-warninya saja. Namun, jika daya melukis/membentuk pada diri kita yang merupakan pinjaman dari Sang Maha Pelukis/Pembentuk (Al-Musawwir) disia-siakan oleh diri kita, ya… menurut saya, kita menjadi dzolim pada diri kita sendiri dan kepada Yang Meminjami, bahkan boleh jadi kita jadi dzolim kepada orang-orang dan makhluk disekitar kita yang semestinya dapat menikmati hasil lukisanNya kita.

Setiap kita diberikan luas wilayah untuk melukis yang berbeda. Semakin luas wilayah yang kita lukis, semakin kita terkait dengan pelukis-pelukis lainnya. Bidang melukisnya pun beragam; ekonomi, politik, kebudayaan dan lainnya. Dan perlu diingat bahwa, dalam kanvas masa depan pada kehidupan sosial ada pelukis-pelukis lainya, sudah ada guratan-guratan hasil karya pelukis-pelukis sebelumnya. Pelukis birokrasi, pelukis undang-undang, sudah ada guratan yang men-swasta-kan yang semestinya negeri, sudah ada menumpahkan cat liberalisme pasar, sudah bebasnya media, sudah ada guratan konstitusi, dan sebagainya — dan sebagainya yang kini menjadi lukisan Indonesia yang masih terus menerus dilukis. Maka pasti akan bersinggunganlah kita dengan pelukis-pelukis lain.

…….“Sampai batas tertentu yang dinamis dan relatif, perikehidupan masyarakat dan Bangsanya bisa juga termasuk lingkup tanggungjawab eksistensi kemakhlukannya. Akan tetapi Orang Maiyah tidak bertinggi hati untuk meletakkan diri sebagai penyelamat Bangsa dan Negaranya, melainkan berendah hati dan sangat menahan diri untuk berbuat di skala luas itu sejauh ada kepatutan bersama dan keridlaan satu sama lain.”

“Orang Maiyah selalu mengupayakan dan mendoakan Bangsa dan Negaranya agar dituntun Allah dalam menapakkan kaki menyongsong Gerbang Ghaib yang sangat dekat di depan mata kehidupan mereka. Semoga doa Orang Maiyah bagi sangat banyak orang yang belum tentu mencintai mereka dan belum tentu memerlukan upaya dan doa mereka, diperkenankan oleh Allah menjadi perahu ‘izzatullah penampung dan pengayom keluarga-keluarga Maiyah setelah tiba di Gerbang Ghaib iradah Allah itu.”

“ Innallaha Balighu amri-Hi, qad ja’alallahu likulli syai-in Qadra”…..

(Orang Maiyah dan Gerbang Ghaib, Muhammad Ainun Nadjib)

Maiyah dapat diumpamakan kanvas yang istimewa, kanvas masa depan, ia-nya adalah bidang lukis yang berada pada cinta Allah, Rasulullah bersama orang-orang maiyah yang mencintai Allah, Rasulullah dan sesama makhluk-Nya. Pada kanvas ini, guratan lelaku yang kaku-kaku dapat menjadi lembut, warna-warna yang suram menjadi cerah dan yang samar menjadi jelas. Sebuah bidang lukis yang dapat menampung apa-pun itu, dari manapun itu bahkan dengan niat apapun, dari goresan lelaku keseharian pribadi kita, lelaku dalam berrumah tangga, lelaku bertetangga dan lingkungan kerja bahkan jika ada yang berniat menggoreskan lukisan Negara dan Bangsa Indonesia ke dalam kanvas Maiyah, sebenarnya Maiyah dapat menampungnya.

Jakarta, 6 Juni 2012 — Dapoer Kenduri Cinta