Mukadimah: KOORDINAT MAIYAH

MUKADIMAH KENDURI CINTA desember 2016

SUDAH TERLALU lama Ummat Islam di Indonesia mendambakan terwujudnya Ummat Islam dalam satu wujud yang utuh. Namun, Ummat Islam lebih disibukkan dalam benturan persoalan internal sehingga terpecah belah. Lemparan-lemparan isu seperti; Sunni-Syi’ah, Ahmadiyah, Bid’ah, LGBT, dan sekian isu lainnya dikemas dalam satu bingkai kamuflase toleransi. Sekian tahun lamanya, para ulama, kaum cerdas, cerdik dan cedekia Islam menikmati asyiknya benturan-benturan itu; perbedaan adalah Rahmat. Padahal sebenarnya, mereka masing-masing sedang memaksakan kebenarannya sendiri untuk diakui sebagai kebenaran bagi orang yang lainnya.

Ummatan Wahidah. Itulah cita-cita Ummat Islam di Indonesia yang sudah sejak lama dimimpikan. Kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia hingga hari ini, semakin menjauhkan terwujudnya mimpi tersebut menjadi kenyataan. Sementara pada saat yang sama, sumber daya alam Indonesia, harta simpanan masa depan yang seharusnya diwariskan kepada generasi mendatang justru menjadi barang rebutan bagi sebagian kelompok untuk kepentingan mereka sendiri, sembari berlindung dalam kedok Demokrasi dengan jargon memperjuangkan hak-hak rakyat. Lebih parah lagi, sebagian Ummat Islam sendiri ikut terlibat dalam perebutan aset-aset Bangsa Indonesia itu, pesta demokrasi lima tahunan tidak ubahnya sebuah event job fair. Sekian banyak orang melamar untuk dijadikan pekerja oleh partai politik untuk duduk menjadi anggota dewan di kursi parlemen, menjadi wakil rakyat. Sementara yang tidak kesampaian untuk menikmati kursi parlemen, berusaha semaksimal mungkin untuk menikmati rampasan-rampasan dari sumber daya alam Indonesia yang dilegalkan melalui undang-undang. Bahkan pada taraf yang sangat hina, mereka mengemis-ngemis jabatan di sebuah Badan Usaha Milik Negara demi mendapatkan sebagian recehan-recehan dari rampasan-rampasan hasil merampok kekayaan bangsa.

Sekian bulan yang lalu, Cak Nun pernah melemparkan sebuah pertanyaan kepada Jamaah Maiyah; “Anda ini dititipi Maiyah untuk Indonesia atau anda dititipi Indonesia untuk Maiyah?”. Pertanyaan ini di beberapa Maiyahan dilontarkan oleh Cak Nun, mungkin ada frasa yang berbeda dalam pemilihan kata, namun struktur pertanyaannya sama. Pertanyaan ini merupakan satu patrap, satu kuda-kuda agar Jamaah Maiyah memahami dimana posisi Maiyah di Indonesia dan bagaimana memposisikan Indonesia dalam bermaiyah. Jamaah Maiyah memahami bahwa Organisme Maiyah yang begitu cair ini sedang berkembang jumlahnya. Lahirnya Simpul-Simpul dan Lingkar-Lingkar Maiyah hari ini semakin menguatkan betapa luasnya sebaran Jamaah Maiyah.

Penegasan-penegasan bahwa Maiyah tidak berada di jalur mainstream, berulang kali disampaikan. Harapan agar Maiyah untuk muncul di permukaan semakin besar, hingga akhirnya muncul sebuah pertanyaan; mengapa Maiyah tidak turut serta dalam aksi massa Ummat Islam yang terjadi akhir-akhir ini? Memang dilematis, jika melihat dengan kacamata mainstream, maka Maiyah akan dianggap sebagai sebuah gerakan yang dipimpin oleh seorang Panglima yang dengan segala kemungkinannya akan menginisiasi sebuah Komando untuk bergerak. Padahal Maiyah tidak seperti itu.

Cak Nun berkali-kali menegaskan bahwa Maiyah bukan karya beliau, Orang Maiyah bukan anak buah beliau, bukan makmum beliau, bukan jamaah beliau, bukan ummat beliau. Karena di Maiyah, Cak Nun selalu melandasi pemikiran semua yang hadir bahwa seluruh Hamba Allah memiliki hak pribadinya masing-masing untuk berhadapan dengan Tuhannya, tanpa harus dicampuri oleh orang lain, tanpa harus digurui, tanpa harus diperintah, tanpa harus diganggu oleh orang lain. Dalam setiap aktivitas kehidupan, setiap perbuatan akan di pertanggung jawabkan langusng terhadap Tuhannya.Jikapun harus ada orang lain yang ada dalam hubungan kemesraan dirinya dengan Tuhannya, maka sosok itu adalah Rasulullah SAW.

Landasan pemikiran ini selanjutnya mendasari setiap aktivitas hidup orang-orang Maiyah. Sebagai rangkaian panjang pengalaman personal yang utuh dalam kehidupan sehari-hari dan berlangsung kontinyu. Maiyah kehidupan adalah sebuah ruangan besar dengan berbagai pintu-pintu masuk. Maiyah dapat dimasuki dari pintu masuk pendidikan, pintu masuk pertanian, pintu masuk ekonomi, pintu masuk spiritual, pintu masuk budaya lewat berkesenian dan berbagai pintu masuk menuju sebuah ruangan besar bernama kehidupan. Jika dimasuki lewat pintu pendidikan akademis, Maiyah tidaklah terdiri dari bangunan-bangunan fakultas, namun Maiyah adalah sebuah universitas.

Tidak semua komponen yang terpasang dalam sebuah konstruksi bangunan harus terlihat secara kasat mata. Pondasi bangunan yang terdiri dari rakitan besi dan campuran antara semen, pasir dan batu tidak akan terlihat ketika bangunan itu selesai dibangun. Yang terlihat oleh manusia adalah indahnya warna cat yang menempel pada tembok bangunan itu, indahnya jendela, pintu, genteng, lantai, teras, halaman, atap, taman dan pagar yang menghiasi bangunan itu. Tidak akan terlihat bentuk pondasi bangunan tersebut pada saat bangunan itu sudah berwujud sempurna. Padahal, pondasi merupakan salah satu bagian yang paling penting ketika kita ingin mendirikan sebuah bangunan. Seperti halnya chassis dalam sebuah kendaraan, seperti halnya aliran darah dalam tubuh manusia. Maiyah mencoba meneguhkan diri untuk berada pada koordinat itu.

Karena di Maiyah, setiap orang memiliki kedaulatannya masing-masing untuk melakukan mencari dan menemukan ketepatan posisi dan keadilan hubungannya dengan Tuhan, sesama makhluk, alam semesta dan dirinya sendiri. Pencarian tersebut bisa dilakukan  didalam kesendiriannya, berkumpul bersama banyak orang dalam ijtihad ilmu yang berlangsung secara dinamis, mandiri, tidak ada batas ruangnya, tidak ada tenggat waktunya, sehingga pada saatnya nanti Orang Maiyah akan menyadari bahwa benar adanya garis nilai antara dirinya dengan Tuhan, dengan semua struktur Sunnah-Nya, dengan sesama manusia dan makhluk dengan semua tatanan dan regulasinya, serta dengan seluruh semesta alam.

Maka, jikalau Bangsa dan Negara Indonesia tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan nilai Maiyah, perilaku Maiyah, gelombang Maiyah dan Orang Maiyah, Orang Maiyah tidak terbebas dari nilai Maiyah dari kewajiban Maiyah untuk memperhatikan Bangsa dan Negara Indonesia. Dan seandainya Orang Maiyah tidak diandalkan oleh Bangsa dan Negara Indonesia, Orang Maiyah akan selalu senantiasa menggali dari setiap jengkal potensi Bangsa dan Negara Indonesia yang masih bisa diandalkan. Bahkan jika Orang Maiyah, dalam perilaku, sikap, nilai dan gelombangnya tidak dihitung sama sekali oleh Bangsa dan Negara Indonesia, maka Orang Maiyah tidak akan kehilangan tempatnya dalam sejarah. Karena Maiyah tetap diandalkan untuk pembangunan kesejahteraan masa depan dirinya sendiri, keluarganya dan saudara-saudara yang ada di sekitarnya.

Pada akhirnya, Orang Maiyah akan selalu dan senantiasa mengupayakan dan mendoakan Bangsa dan Negara Indonesia agar dituntun oleh Allah dalam menuju terwujudnya sebuah Bangsa dan Negara yang tidak hanya Titi, Toto, Tentrem tetapi juga benar-benar Kerta Raharja, bahkan bukan hanya Baldatun Thoyyibatun saja, tetapi yang tidak juga kalah pentingnya adalah ketepatan posisi Wa Robbun Ghoffur.