Ajar, Ajur, Ajer Pandhawa dan Kurawa

YANG NAMPAK dari sebuah pertunjukan wayang kulit tidaklah semata-mata berkat ketrampilan dalang dalam memainkan wayang-wayang. Peran Waranggana dan Nayaga sebagai pengiring dan penabuh gamelan selama pertunjukan wayang, juga berperan dalam suksesi gelaran itu. Bahkan lebih dari itu, suksesnya gelaran wayang selain sebagai tontonan juga sebagai tuntunan bagi para penonton. Itu semua jelas membutuhkan proses panjang dari penempaan diri dari Dalang, Nayaga dan Waranggana selama latihan. Dan tidak pula melulu hanya soal latihan untuk memainkan wayang atau-pun menabuh peralatan gamelan, tetapi keseharian mereka berinteraksi sosial, mengasah sensitifitas personal terhadap sesama sehingga terjadi harmonisasi pada saat gelaran karawitan. Dalang sebagai sentral pertunjukan juga dalam menjalankan perannya akan melatih sensitivitas dalam menentukan lakon yang akan ditampilkan. Sensitivitas Dalang tidak hanya persoalan alur cerita wayang-nya saja, namun juga merangkai ketersambungan antar persoalan sosial lingkungan masyarakat dengan lakon-lakon cerita yang akan ditampilkan.

Hingga pada suatu waktu, Pak Lurah nanggap Wayang Kulit untuk menghibur warga desa dan pedagang pasar tradisional yang hendak digusur. Meskipun dengan istilah relokasi, padahal sama saja. Pak Lurah meminta Dalang untuk mengadakan gelaran wayang dengan lakon Basukarna Gugur. Meskipun Pak Lurah tidak menyebutkan tujuan gelaran wayang itu, namun sensitivitas Dalang mampu merasakan maksud diselenggarakan gelaran wayang untuk memecah konsentrasi perlawanan warga yang masih tetap menolak penggusuran pasar tradisional yang akan dijadikan Mall.

Awalnya perlawanan warga massif, namun berangsur kondusif. Pak Lurah yang pada awalnya bersama pedagang pasar menentang pembangunan Mall oleh Pak Camat, justru kini menjadi orang nomer satu yang bahu-membahu dengan para Pengembang mendirikan Mall-mall. Bahkan, aksi heroik Pak Lurah yang menolak Pak Camat telah membuat citra Pak Lurah sebagai pemimpin yang pro-rakyat. Dan setelahnya pencitraan heroik itu membekas di hati sebagian warga desa. Padahal sudah jelas-jelas pasar-tradisional itu pada akhirnya tetap digusur dan dijadikan Mall, justru oleh Pak Lurah sendiri.

Wayang-wayang sudah dijejerkan, gamelan ditata sedemikian rupa. Warga berbondong-bondong hendak menonton gelaran wayang yang akan dipentaskan Dalang. Pak Lurah, Bos-bos pengembang dan warga bersukaria menyambut digelarnya lakon Basukarno Gugur. Tidak sedikit diantara penonton larut dalam perdebatan pro-kontra terhadap sosok Basukarno. Dan yang terpenting tidak ada lagi perlawanan warga dan pedagang pasar, strategi Pak Lurah dan Para Pengembang Mall berhasil dengan lancar melipur warga dan pedagang pasar dari masalah penggusuran pasar.

Termenung Dalang dalam ruang sebelum menuju panggung pagelaran. “Augh, apa yang dapat aku lakukan untuk menghentikan penghancuran sistemis desa ini? Duh Gusti, aku hanya mampu menggembirakan warga desa yang sedang disakiti oleh pemimpinnya. Meskipun aku mampu menggelar Perang Baratayudha di panggung dan memenangkan Pandawa atas Kurawa, namun aku tak berdaya menghentikan Pak Lurah yang sedang menggusur pasar. Ya Allah, Wa makaru wamakarallah Wallahu khoirul makirin. Ya Allah, aku tak mampu melawan tipu daya makar yang sedang mereka mainkan, dan aku bersaksi hanya Engkaulah pelaku makar terbaik.”

Cabut kayon gunungan, cerita wayang dimulai dengan alunan gamelan mengiringi. Beda setting tempat tapi masih tepat dihadapan Dalang. Nampak Wisanggeni berdiri disamping Ki Lurah Petruk yang mengenakan pakaian raja sedang duduk bersimpuh di hadapan Yamawidura. Paduan iringan gamelan mereda dan berhenti setelah Dalang mengetok kotak menandai dialog akan dimulai.”Loh, ini cucuku Wisanggeni dan Lurah Petruk kenapa menemuiku? Bukannya kalian ikut perang Baratayudha atau setidaknya turut nonton lakon Karna Tanding?”

“Wah, Wong Mulya si mBah Yamawidura tentu jawaban yang sama untuk pertanyaan yang sama. Kenapa si MBah tidak memihak salah satu Kurawa atau Pandawa? Kenapa si mBah tidak mengambil Tahta Astina? Toh, selain Pandu dan Destarasta, bukanya Yamawidura juga anak Abiyasa.” Dengan nadanya yang tinggi namun tanpa mengintimidasi, Wisanggeni balik bertanya.

“Hahaha, cucuku Wisanggeni kecerdasanmu dan kewaskitaanmu-pun tentu tidak membutuhkan jawabanku atas pertanyaanmu itu. Tapi tak apalah, baik Kurawa atau Pandawa adalah keponakanku. Bisa saja aku mengenakan mahkota raja Astina, tapi apalah gunanya jika Kurawa-Pandawa masih saja bermanufer politik menghimpun kekuatan untuk perang saudara. Buat apa kekuasaan jika persaudaraan hilang, buat apa kemakmuran jika keadilan dimanipulasi, buat apa jadi raja penguasa jika Tuhan dikhianati dan rakyat dikorbankan dan ditipu dengan kepalsuan-kepalsuan?” Yamawidura berusaha menjawab pertanyaan Wisanggeni tanpa memperhatikan Lurah Petruk yang duduk bersimpuh dihadapannya.

Meski jawaban Yamawidura tidak ditujukan padanya, namun Lurah Petruk merasa ditusuk-tusuk perasaannya. Hingga akhirnya meledak tangis-nya, jebol pertahanan penyesalannnya. “Duh Yamawidura pepundenku maafkan atas segala kesalahannku bernafsu ingin menjadi raja. Aku selama ini sok tahu, bahwa aku merasa tahu mengenai urusan menjadi raja yang sebenarnya aku tak mampu. Padahal aku menjadi raja karena Kurawa mendukungku dalam melancarkan tipu-tipu. Aku menjadi raja sementara karena mengaku-aku sebagai kepanjangan tangan Pandwa Lima. Kini semuanya jadi berantakan, meski pembangunan ini-itu aku lakukan, itu sebenarnya bukan kepentingan rakyat, tapi karena desakan Kurawa dengan berbagai kepentingan. Aku selama ini korupsi pamornya Sri Bathara besanku sekedar untuk melancarkan proyek-proyekku. Kini Baratayudha berlangsung lakon Karna Tanding-pun sedang digelar, itu semua kesalahanku.” Riasan muka Lurah Petruk belepotan dibanjiri air mata penyesalan. Mahkota palsu di kepalanya sekedar nempel miring begitu saja tinggal menunggu jatuh. Compang-camping pakaiannya tanpa wibawa meski Lurah Petruk berusaha memantas-pantaskannya.

Wisanggeni bukannya iba, malah tertawa. “Walah.. Petruk Petruk, ini kamu kenapa ribut sendiri? Ya kamu itu hanya raja-rajaan itu-pun bukan raja Astina. Truk, kamu itu orang baik sebenarnya, tapi terlampau GR sehingga dipermainkan oleh Kurawa. Tapi tak apalah, sebenarnya Baratayudha yang sedang berlangsung itu tidak 100% kesalahanmu. ” Wisanggeni berusaha memproporsikan permasalahan yang dihadapi Lurah Petruk. “Duh si mBah Yamawidura, selalu saja giliran tidak enaknya jadi bagianmu. Mungkin tidak ada salahnya lantaran Lurah Petruk ini Astina dapat menyelesaikan Baratayudha-nya dengan caranya tersendiri. Yang terpenting kalaupun Baratayudha digelar, Rakyat jangan sampai di korbankan. Ekonomi, Pendidikan, Kebudayaan dan Peribadatan Rakyat jangan sampai terganggu oleh manufer politik elit-elitnya. Si mBah yang selama ini menemani Rakyat saat tidak dipedulikan oleh pemimpin-pemimpinnya tentunya bersedia menerima mereka.”

“Wisanggeni, silahkan saja engkau undang Kresna, Durna, Bisma, Salya, Sengkuni, Gendari, Kurawa dan Pandawa untuk berkumpul dan duduk bersama bermusyawarah demi keadilan, kedaulatan dan kebaikan rakyat dan bangsa ini. Segala niat baik, semestinya Allah memfasilitasi.”