Mukadimah: KIAIKANJENG OF THE UNHIDDEN HAND

Lebih dari 3.600 pementasan sudah dilalui oleh Gamelan KiaiKanjeng. Pencapaian angka tersebut tentu bukanlah soal memecahkan rekor untuk kemudian dicatat dalam sebuah piagam. Awal munculnya Gamelan KiaiKanjeng pada pertengahan dekade 90-an juga bukan dalam rangka untuk menggebrak industri musik nasional pada umumnya. Mengaransemen ulang Tombo Ati agar kembali dikenal oleh masyarakat luas bisa dikatakan sebagai batu pijakan awal perkenalan Gamelan KiaiKanjeng kepada masyarakat luas.

Tidak banyak yang mengenal siapa itu Novi Budianto, Joko Kamto atau Bobiet Santoso pada awal kemunculan Gamelan KiaiKanjeng. Tidak bisa dipungkiri, sosok Cak Nun memang menjadi tokoh sentral dalam Gamelan KiaiKanjeng. Embrio Gamelan KiaiKanjeng sendiri tidak lain adalah Kelompok Musik Karawitan Dinasti yang muncul pada awal dekade 80-an. Pada prosesnya tokoh-tokoh yang pernah tergabung dalam Kelompok Musik Karawitan Dinasti, atas inisiatif Toto Rahardjo dikumpulkan kembali, kemudian melakukan pementasan Monolog Pak Kanjeng yang naskahnya ditulis oleh Cak Nun sebagai bentuk perlawanan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah terkait pembangunan waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah.

Komunitas Pak Kanjeng sendiri mengalami pencekalan berkali-kali, hingga akhirnya diputuskan untuk tidak dipentaskan lagi. Episode berikutnya kemudian adalah lahirnya kelompok kesenian yang menamakan dirinya sebagai Komunitas Pak Kanjeng. Selain Novi Budianto, Toto Rahardjo, dan Joko Kamto, Butet Kertarejasa dan Djadug Ferianto juga tergabung dalam Komunitas Pak Kanjeng ini.

Pada tahun 1994, Komunitas Pak Kanjeng mengalami metamorfosa dimana Djadug dan Butet memilih untuk membentuk kelompok musik yang baru; Kua Etnika. Novi Budianto, Toto Rahardjo, dan Joko Kamto memantapkan diri untuk tetap bersama dengan Cak Nun, hingga kemudian lahirlah Gamelan KiaiKanjeng.

Perjalanan Gamelan KiaiKanjeng yang tidak lepas dari sejarah Karawitan Dinasti pada awalnya juga menggarap Musik Puisi dengan mengaransir instrumen untuk mengiringi puisi-puisi karya Cak Nun. Selain itu, Gamelan KiaiKanjeng juga mengaransemen puisi-puisi Cak Nun untuk kemudian dilagukan. Beberapa puisi Cak Nun yang kemudian dilagukan oleh Gamelan KiaiKanjeng: Engkau Menjelang, Tuhan Aku Berguru Kepadamu, Semau-maumu, dan Ya Ampun. Tidak jarang juga Cak Nun yang kemudian mengisi syair-syair untuk instrumen-instrumen hasil aransemen Gamelan KiaiKanjeng, entah itu berupa lagu atau musik puisi.

Gamelan KiaiKanjeng sendiri tidak berada pada wilayah slendro atau pelog seperti Gamelan Jawa pada umunya. Novi Budianto menemukan caranya sendiri untuk menyusun susunan tangga nada Gamelan KiaiKanjeng. Metode Sense of Ngeng yang digunakan oleh Novi Budianto sendiri ternyata berhasil mengakomodir semua genre musik yang ada, mulai dari qasidah, dangdut, rock progressif hingga jazz.

Pementasan Gamelan KiaiKanjeng sendiri bahkan tidak hanya lintas desa atau kota di Indonesia saja, bahkan sudah lintas negara bahkan lintas benua. Gamelan KiaiKanjeng sudah diperjalankan mulai dari pelosok desa yang terpencil di Indonesia, hingga benua Afrika. Pada medio November-Desember 2004 misalnya, Gamelan KiaiKanjeng mendapat undangan untuk hadir di Inggris setelah pada tahun 2003 mereka juga sudah melakukan perjalanan ke Australia dan Mesir. Kemudian pada tahun 2005, Gamelan KiaiKanjeng kembali diundang ke Eropa, tidak hanya di Inggris saja, mereka juga singgah di Skotlandia, Jerman, Roma dan Vatikan. Negara-negara Asia sendiri juga tidak luput dari kunjungan Gamelan KiaiKanjeng; Malaysia, Hongkong, Macau, Korea Selatan dan Taiwan contohnya.

Perjalanan Gamelan KiaiKanjeng sejauh ini mampu menjamah seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya kalangan menengah keatas, masyarakat menengah kebawah justru adalah masayrakat yang paling sering ditemani oleh Gamelan KiaiKanjeng. Tidak jarang, Gamelan KiaiKanjeng terlibat dalam proses pencarian solusi dalam sebuah permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Gamelan KiaiKanjeng juga kerap menjadi penyambung antara rakyat dengan pemimpin mereka. Ketika rakyat mengeluh atas kinerja seorang bupati misalnya, Gamelan KiaiKanjeng hadir sebagai media yang menjembatani komunikasi antara pemimpin dengan rakyatnya.

Fokus utama yang dilakukan oleh Gamelan KiaiKanjeng bukanlah industri musik seperti kelompok musik pada umumnya, melainkan membangun proses komunikasi sosial yang komprehensif. Gamelan KiaiKanjeng berkeliling ke seluruh penjuru nusantara, di pelosok desa, di alun-alun, di pasar, di pelataran masjid bahkan di gang-gang buntu sebuah perkampungan, dalam dan luar negeri bukan dalam rangka mencari keuntungan dari industri musik, tetapi fokus utamanya adalah pelayanan terhadap masyarakat.

Pasca peristiwa Reformasi 1998, Cak Nun bersama Mini KiaiKanjeng berkeliling di kampung-kampung Jakarta dan sekitarnya untuk kembali memasyarakatkan sholawat, gerakan sholawat saat itu kemudian dikenal sebagai Hammas. Jauh sebelum Hamas (Himpunan Masyarakat Shalawat) muncul, Gamelan KiaiKanjeng mempopulerkan kembali Tombo Ati, sebuah lagu Jawa yang diciptakan oleh Sunan Bonang.

Kemudian pada akhir 90-an, gamelan KiaiKanjeng mempopulerkan kembali Ilir-ilir. Mungkin, jika Gamelan KiaiKanjeng tidak mengaransemen ulang dan mempopulerkan kembali Tombo Ati dan Ilir-ilir, kita dan generasi setelah kita tidak mengenal dua lagu yang memberi kita pelajaran yang sangat dalam tentang kehidupan ini. Pada prosesnya, tidak jarang Gamelan KiaiKanjeng juga membawakan lagu-lagu daerah dan mengaransemen ulang untuk memperkenalkan kembali khasanah budaya bangsa ini kepada generasi-generasi muda.

Yang dilakukan oleh Gamelan KiaiKanjeng pada setiap pementasan bukan hanya bernilai kesenian dan kebudayaan saja, tetapi juga meneliti serta memperbaharui bersama-sama ilmu dan pengetahuan agar tidak ada alasan untuk putus harapan ditengah keadaan bangsa yang tidak menentu ini. Pada dimensi yang lain, Gamelan KiaiKanjeng juga menemani masyarakat dalam membangun dan mentradisikan pencerdasan fikiran masing-masing individu, sosok Cak Nun yang juga sangat sentral dalam setiap perjumpaan Gamelan KiaiKanjeng dengan masyarakat juga memberikan pendidikan politik murni, kesadaran hak-hak dan kewajiban sebagai manusia dan warga negara. Pada setiap perjumpaannya dengan masyarakat, Gamelan KiaiKanjeng bertemu dengan berbagai segmen masyarakat yang tidak terbatas pada suku, ras, bahkan agama.

Gamelan KiaiKanjeng juga menumbuhkan rasa kemandirian hidup dalam diri masyarakat, menghormati kekayaan budaya sendiri, bangga menyanyikan lagu kampungnya sendiri namun dalam saat yang bersamaan tetap menumbuhkan untuk tidak puritan terhadap arus perkembangan dunia global.

Jika anda sudah mengenal Gamelan KiaiKanjeng pada pertengahan 90-an, maka anda tidak akan asing dengan album-album: Tombo Ati, Raja Diraja, Wirid Padang mBulan, Jaman Wis Akhir, Menyorong Rembulan, Perahu Nuh, Allah Merasa Heran, Cinta Sepanjang Jaman, KepadaMu Kekasihku, dan Maiyah Nusantara.

Kenduri Cinta kali ini mengangkat tema KIAIKANJENG OF THE UNHIDDEN HAND mengajak para Jamaah Maiyah secara luas untuk bersama-sama mengeksplorasi pengetahuan masing-masing terhadap Gamelan KiaiKanjeng. Jamaah Maiyah tentu tidak bisa melepaskan begitu saja pengaruh Gamelan KiaiKanjeng dalam kehidupan bermaiyah. Kesempatan hadirnya Gamelan KiaiKanjeng di Kenduri Cinta bulan ini tidak bisa kita lewatkan begitu saja bukan hanya untuk menikmati persembahan nomor-nomor aransmen Gamelan KiaiKanjeng, namun juga untuk menggali lebih dalam sejarah dan romantisme perjalanan Gamelan KiaiKanjeng yang sudah berusia lebih dari 20 tahun ini.

Jakarta, 1 Mei 2015
Dapur Kenduri Cinta