Mukadimah DECODING INDONESIA

IBARATKAN SAJA, negeri ini adalah sebuah perangkat lunak komputer, software. Dibangun oleh tenaga-tenaga terampil yang sinambung, dari waktu ke waktu. Dalam logika perancangan software ada beberapa langkah yang umum dilalui. Hingga dicapainya racikan terbaik hingga diluncurkan untuk dimanfaatkan maksimal, sesuai fungsi, oleh para penggunanya.Fase yang pertama adalah versi alpha. Ini adalah tahap ketika perangkat lunak itu pertama kali jadi dan dikeluarkan. Peramunya, menggunakan interpretasi dan daya ciptanya secara subyektif, dalam merancang kaidah berfungsinya kode-kode pemrograman untuk diaplikasikan sesuai dengan tujuan kebutuhan. Bila diterapkan pada konteks Indonesia, anggaplah ini berada pada tahap, ketika wacana tentang Nusantara itu mulai ada. Entah itu akan dibaca mulai masa Salakanagara, Tarumanegara, Kutai, Sriwijaya, Mataram kuno ataupun Majapahit. Biarlah catatan sejarah yang mengonfirmasinya. Sebab konsepsi historis tentang istilah ini masih belum ditemukan sandaran akarnya. Ada pada masa siapa, jajaran kepulauan ini, diyakini permulaan keberadaannya. Bukan ingin berepot-repot dengan hikayat yang silang sengkarut. Antara klaim sejarah tercatat, mitologi-mitologi dan tuturan kebesaran masa silam. Tapi lebih kepada orientasi pengenalan jati diri, mencari benih dari sebuah organisme bernama Indonesia. Bukankah mustahil mengerti arah tujuan, tanpa pengetahuan tentang asal-usul? Bukankah tak mungkin memahami kemana akan pergi, bila tak pernah tahu dimana rumah berada?Langkah kedua, dalam peluncuran instrumen fungsional pada komputer itu ialah versi beta. Sebut saja tahapan ini adalah kurun waktu perbaikan. Untuk menuju sempurna, sebuah karya perlu mendapatkan imbuhan maupun pengurangan. Strukturnya dilengkapi lewat pengumpulan pendapat dari para pengguna, pihak yang bergaul secara langsung dalam memanfaatkan fungsi perangkat tersebut. Berada pada tenggak beta merupakan saat yang kritis bagi sebuah software. Opini-opini berseliweran, kotak saran bisa penuh dan dialektika berkemungkinan ramai. Semuanya ditujukan demi tercapainya kemapanan guna, perangkat tersebut. Persis dengan rembug kampung untuk menentukan bagaimana membangun masjid baru, di lokasi yang sama dengan masjid lama. Apakah bangunan anyar itu akan berdiri sendiri dengan merobohkan bangun lama seluruhnya. Atau selain itu, bangunan lama dimasukkan pada satu lingkungan dengan masjid baru, hanya mengubah bagian-bagian tertuntu, agar kedua gedung itu tampak serasi lalu tampil seakan-akan berada dalam satu keutuhan.

Kemerdekaan pasca revolusi fisik hingga masa setelah reformasi, sekarang ini, dimetaforakan dalam versi beta tersebut. Seluruh proyek kekuasaan, baik orde lama, baru maupun yang sedang berjalan adalah proses revisi yang tidak berhenti. Perbaikan-perbaikan atas bug —dalam istilah komputer— atau percik kesalahan operasional maupun konseptual dalam membangun negara. Termasuk didalamnya mengenai demokrasi. Bentuk kekuasaan politik yang kemudian dipilih menjadi kerangka tata hidup bersama itu, bukanlah sesuatu yang selesai. Pada tiap jengkal persentuhannya, dia terus dikoreksi, mencari kesesuaian dengan cara berpikir penghuni negara tersebut. Pertanyaan-pertanyaan fundamental muncul di masa ini. Apakah benar, rakyat sebagai pemegang kedaulatan, telah memiliki hak itu sepenuhnya? Atau hanya jargon belaka? Karena nyatanya, rakyat hanya menjadi penonton pada opera politik melalui metode perwakilan. Mereka yang konon disebut sebagai representasi orang banyak dan duduk di DPR, malah memlihatkan perilaku yang kontrakdiktif dengan konsep-konsep tentang aplikasi kedaulatan.

Penyakit-penyakit politik juga dicarikan obatnya pada jengkal waktu ini. Korupsi, pencurian harta rakyat dan penghinaan martabat bangsa dikoreksi lewat pergumulan gaduh. Yang tak kalah penting adalah penelusuran definisi ulang atas diri “Indonesia” itu. Siapa sebenarnya indonesia, bagaimana berindonesia itu, lantas alasan-alasan apa yang membuat negeri ini harus tetap ada.

Ini bukan jalan yang mulus. Periode berat dengan jalur berliku dan dipenuhi benturan. Sisi-sisi gelap diungkap, makna-makna tentang kebangsaan dibedah kembali, untuk mencari tahu bagian-bagian mana yang rawan hingga perlu perbaikan. Masa dimana keabsahan sebuah negara dipertanyakan habis-habisan. Apakah akan diteruskan atau dibongkar total. Sebagaimana software, kode-kode yang bertebaran dalam perutnya diteliti tuntas. Bila ada yang janggal, maka perubahan harus dilakukan. Aktifitas decoding mesti diselenggarakan. Bagaimana tidak? Negara tidak bisa dihilangkan begitu saja. Jika mesti ganti istilah, silahkan saja. Kehidupan bersama, tetap membutuhkan sebentuk identifikasi. Terserah apa namanya, tinggal penghuninya yang melakukan kesepakatan-kesepakatan. Ada jejak-jejak ikhtiar panjang yang jangan sampai dilupakan. Bahwa dalam perintisannya, konsep hidup bersama itu telah mengucurkan milyaran liter keringat. Usaha-usaha manusia guna menjadi pengelola bumi dan kehidupannya akan terus dititi, hingga mandatnya dicabut Sang Maha Pencipta. Dan tak ada yang tahu, kapan itu terjadi.

Indonesia adalah piranti lunak berversi beta yang sekarang ini tengah digodok kembali. Hingar bingar panggung politik, turun naik gelombang ekonomi, kebimbangan budaya dan jatidiri, kegamangan kendali sosial merupakan bug-bug yang menuntut rekonstruksi. Memerlukan decoding agar pada langkah selanjutnya, yaitu fase Release Candidate (RC), atau calon resep sempurna, diluncurkan dalam kemasan final version, edisi paripurna.

Pepatah “seperti mengurai benang yang kusut” sudah tak cocok lagi untuk menggambarkan kondisi Indonesia. Tumpukan-tumpukan persoalan yang buram awal dan akhirnya, saling berpaut satu sama lain tidak kompatibel lagi jika dideskripsikan serupa adagium itu. Indonesia adalah barisan ironi pada festival kegaduhan. Sibuk dengan keruwetan yang berlapis-lapis. Tak ada padanan yang mampu melukiskan ini.

Hitung saja, dalam sehari berapa kecurangan-kecurangan kekuasaan yang dipertontonkan lewat media. Berita-berita korupsi dan kejahatan politik lain, dipampang jelas-jelas. Lalu rakyat yang mengunyahnya, makin terbiasa dengan kepahitan itu. Adegan-adegan penangkapan koruptor, siasat perampokan dan jurus-jurus apalogi penguasa atas hingar-bingar itu, menjadi hidangan rutin. Sensitifitas kian tak terasah, sehingga peristiwa yang tadinya menggerus perasaan berbangsa tersebut, jadi asupan yang biasa-biasa saja. Orang tak mudah terkejut. Seakan telah tertanam di benak masing-masing, bahwa drama politik indonesia adalah alur cerita tentang siapa memangsa siapa. Masing-masing adalah makhluk buas di rimba indonesia. Tinggal tunggu giliran, cerita yang mengehebohkan akan dipentaskan, dengan tema yang sama, tokoh berbeda, tanpa kejelasan kapan berakhirnya.

Sesungguhnya, segala yang terlintas dalam pikiran banyak orang, hari-hari ini, bila dikaitkan dengan suasana bernegara, adalah hasil asupan informasi yang disuguhkan media. Telah sukar untuk melihat negeri ini secara komprehensif. Indonesia yang luas dan kaya warna kehidupan, telah menciut dalam konklusi layar media: negeri prahara. Sukar untuk menelisik sisi-sisi baik antero negeri, jika standar informasinya hanya diarahkan pada kata media. Sebab media punya batas-batas jangkauan dan parameter khusus, kenapa mereka memilih warta itu. Informasi yang seksi dan layak disebarluaskan adalah apapun yang sejalan dengan misi dagang mereka. Maka, hal-hal lain diluar ukuran itu, jangan harap bisa ikut meramaikan pesta-pora kabar mengenai bumi pertiwi.

Bila perspektifnya ditarik lebih zoom out lagi, indonesia akan lebih tampak sebagai kepingan-kepingan yang sibuk sendiri-sendiri. Warga kampung A akan berbeda masalahnya dengan desa B. Kecamatan C mempunyai dinamika yang bisa sangat bertolak belakang dengan kecamatan D. Begitu seterusnya, sambung menyambung beserta dinamika langkah solusinya. Yang akhirnya pemandangan bahwa penguasa sedang gaduh dengan persoalannya sendiri, disisi lain, rakyatpun ramai dengan kegiatannya mempertahankan hidup akan terpotret. Tak ada benang merah yang kentara antar masing-masingnya, selain pada ranah administratif kenegaraan saja. Selebihnya adalah keterpisahan. Rakyat Indonesia telah melakukan kemandirian yang sebenar-benarnya. Hidup dalam situasi, dimana negara tak memberi kontribusi spesifik atas pribadi masing-masing penghuni. Politisi ribut korupsi, rakyat sibuk mencari nafkah untuk mencukupi tanggung jawab masing-masing. Negara hanya tampil sebagai selimut maya yang seakan-akan melindungi semuanya. Ilusi yang sangat berbeda dengan kenyataannya.

Rakyat yang sejatinya adalah pemegang kedaulatan, hanya berlaku ketika pemilu. Selebihnya, pada sistem perwakilan melalui DPR, kedaulatan itu seperti mandul. Kekuatan besar yang hanya dikardus sebagai potensi saja. Tidak merintis perubahan-perubahan besar dan signifikan. Kesimpang-siuran nasib bangsa terus berlarut. Cita-cita tentang kemakmuran dan keadilan adalah mimpi-mimpi dalam penantian, dari pemilu ke pemilu.

Indonesia layaknya lembaran besar yang beranggotakan perca-perca terjahit. Hanya saja, saat ini, sambungan benang pengaitnya sudah rapuh. Negara sebagai rumah bersama, sudah tidak menampilkan perannya sebagai pengayom. Melindungi jiwa rakyatnya, harta juga martabatnya. Hingga patut saja, apabila muncul pertanyaan “Lantas apa gunanya ada negara jika tujuannya tidak jelas lagi?.

Bangsa ini tengah kehilangan kepercayaan dirinya. Mereka yang disebut sebagai perintah, pun bermain dalam ranah sendiri. Tidak ada gelagat hendak merevolusi diri dan keadaan menjadi lebih baik. Kebersatuan yang saat ini ada, tak lebih pada ikatan-ikatan sejarah yang makin terkoreksi. Apa itu indonesia, bagaimana berindonesia, dan siapa indonesia mandeg hanya pada konsep-konsep textbook, makin terjauh dari diri masing-masing penghuninya.

Negeri ini serupa deretan kode-kode unik yang satu sama lainnya sudah tak mempedulikan lagi. Aktif sendiri-sendiri, tercecer pada tugas terbatas untuk dirinya saja. Masing-masingnya berpotensi tabrakan fungsi, dan bisa memunculkan kerusakan-kerusakan yang terus-menerus. Perlu tilikan yang lebih telaten dan terpadu, agar tabrakan tidak membesar, dan bola salju masalah urung meraksasa, hingga menggilas segala yang ada. Indonesia membutuhkan racikan ulang. Lewat kesadaran-kesadaran baru akan sejarah dirinya, keberagaman, dan daya yang tersimpan dalam jasmani serta rohani. Semuanya demi kelangsungan hidup bersama. Meramu tujuan yang lebih jelas dengan aplikasi yang sungguh-sungguh. Tentang Indonesia yang mengerti dirinya siapa, untuk apa, dan mau kemana.

Usaha dan penantian hari-hari ini adalah menempuh persoalan-persoalan yang membelit. Meneliti kembali segala referensi mengenai keindonesiaan. Indonesia seperti apa yang hendak disajikan kedepan. Sebab cacat produksi sudah dibuktikan oleh beragam sistem pemerintahan. Mereka berlalu, dengan meninggalkan pelajaran-pelajaran serius. Hantaman demi hantaman menghunjam wajah tiap generasi. Tinggal bergulat dengan waktu, siapa yang akan bertahan. Apakah indonesia yang sekarang? yang diliputi oleh kecurangan-kecurangan. Atau indonesia baru, yang berwadah lain, terkoreksi oleh hasil belajar tak henti dari penderitaan-penderitaan. Indonesia tanah air beta, cepat atau lambat akan sampai pada masa peluncurannya. Menata ulang kode-kode, jejak-jejak sejarah serta konsepsi. Menuju final version. Negeri yang disukai Tuhan.

Sudah saatnya menata ulang pecahan-pecahan. Mengaitkan apa yang terpisah, menyerasikan kode-kode keindonesiaan. Decoding Indonesia. Atau keringat yang tercecer di masa lalu, darah yang tumpah demi sebuah mimpi besar tentang nusantara akan menguap begitu saja? Tinggal pilih : bersorak-sorai dalam kegelapan atau bersama merekaulang bangunan negeri merapat pada cahaya? Itu saja.

Jakarta 5 Pebruari 2013 — Dapoer Kenduri Cinta