Atlas Walisongo

Acara Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU) yang bertema Atlas Wali Songo dimulai sekitar pukul 8 malam, dibuka oleh Ketua Umum PBNU Bapak Said Agil Siraj. Dalam pembukaannya, Said Agil menyampaikan tentang impiannya mendirikan 10 Universitas NU di seluruh Indonesia, yang mana sekarang sudah berdiri 3 universitas.

Acara Harlah NU ini sekaligus sebagai ajang memperkenalkan buku Atlas Wali Songo yang ditulis oleh Agus Sunyoto. Cak Nun dan Kiai Kanjeng yang didapuk sebagai pengisi acara, mengawal jalannya acara dengan begitu komunikatif. “Buku ini ujung tonggak, komprehensif tentang dakwah Walisongo,” kalimat pembuka Cak Nun, “Dalam dakwahnya Walisongo, tidak ada satu dimensi kehidupan manusia yang dia abaikan. Dakwah kelengkapan seluruh kemanusiaan. Dalam hidup itu ada 3 dimensi: benar-salah, baik-buruk, dan indah-jorok. Seluruh institusi, terminologi nilai, seluruh filosofi, dan apapun saja sampai terapan politik dan kebudayaan, harus senantiasa mengharmonikan 3 dimensi ini.

“Misal: salat. Kita mau salat itu sebuah kebaikan, yang juga bernilai kebenaran, tapi belum tentu bernilai keindahan. Begitu memenuhi syarat hukum Islam, berarti sudah memenuhi kebenaran. Di dalam aturan salat, tidak ada aturan khusuk. Analoginya, misal saya salaman sama Kyai Said Agil tapi wajah saya tidak menghadap beliau, sorot mata saya tidak berhadapan dengan sorot mata beliau, beliau merasa tidak kalau saya berkomunikasi sama dia? Kira-kira bagaimana? Kalau kita salat tapi tidak fokus hatinya, menurut logika kita, diterima atau tidak? Salat bukan? Yang salat jasadnya, namun hatinya, fikirannya, budayanya tidak salat, ibadahnya pincang. Kalau anda fokus kepada Allah, berarti anda khusyuk. Pertanyaannya, kekhusyukan itu termasuk kebenaran, kebaikan, atau keindahan? Jadi baiknya orang berniat salat, dan benarnya orang menjalankan syariat rukun salat, tapi kalau tanpa kekhusyukan, logically dia belum salat. Artinya keindahan itu bisa lebih penting dari kebaikan dan kebenaran.”

Barang siapa mendengarkan seni dengan sungguh-sungguh, dia mencapai hakekat, tapi barang siapa mendengarkan dengan syahwat, akan menjadi zindiq.

Menurut term itu, Walisongo dalam dakwahnya memakai musik, wayang, tidak mengaksesoriskan keindahan, tapi menomorsatukan keindahan bersama-sama dengan kebaikan dan kebenaran. Itu ciri Walisongo. Walisongo merupakan negarawan yang luar biasa.

“Orang-orang Islam di Merapi punya pedoman: Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat. Arab harus digarap, Islam harus dibumikan di Indonesia, Barat harus diruwat, semua yang datang dari Barat harus didetoksifikasi, disaring, dibuang racun-racunnya, tapi tidak ditolak.

“Indonesia sekarang ini sedang gamang terhadap formula konstitusi dan bentuk kenegaraannya. Semula saya menyangka Majapahit itu negara persatuan sama seperti NKRI, ternyata menurut Pak Agus Sunyoto ini ternyata Majapahit itu negara persemakmuran. Sehingga negara dan pemerintah berbeda, dan daerah-daerah tidak mengirim upeti kepada Majapahit, karena negara persemakmuran. Dari para wali ada ekperimentasi, diperlukan adanya satu kekuasaan/kedaulatan pemerintahan yang lebih kuat. Dalam kasus Majapahit, dikala ada bencana yang mengancam kondisi infrastruktur ekonominya yang akan mengakibatkan hilangnya negara Majapahit, maka eksperimentasi Sunan Kalijogo dibantu Sunan Kudus adalah merubah keprabon Majapahit menjadi Kesultanan Demak. Kesultanan ini karena mengandalkan Al-Quran dan Walisongo maka tidak memakai presiden dan perdana menteri. Dari persemakmuran menjadi kesultanan. Setelah itu pindah ke Mataram karena terjadi konflik sunni syiah. Ada konflik yang tidak selesai karena diwarnai dengan perebutan kekuasaan.

“Sekarang tiba-tiba Indonesia bikin negara persatuan? Relevansi sejarahnya bagaimana? Sebab kita ini bikin NKRI tahun 40-an kan copy paste saja? Padahal sebenarnya kita telah melakukan eksperimentasi bentuk negara sudah yang baik sejak dahulu kala, sejak jaman Majapahit dan Walisongo, tapi kenapa malah memilih copy paste? Tiba-tiba mencolot jadi orang modern tapi tidak jelas yang ditiru apa.”

Cak Nun kemudian sedikit memaparkan tentang filosofi dari lagu Gundul-gundul Pacul. “Gundul itu suatu idiomatik untuk menunjukkan bahwa anak masih kecil, masih kanak-kanak. You can play around. Tapi kalau sudah nyunggi wakul, kamu tidak boleh gembelengan. Nyunggi wakul itu artinya bakul itu kesejahteraan rakyat, letaknya berada di atas kepala presidennya. Bakulnya saja di atas kepala presidennya. Maka rakyat lebih tinggi di atas presidennya dua tingkat. Presiden harus mengolah sawah, bikin nasi, taruh di bakul, dan antarkan bakul itu ke pintu rumah rakyat.”


Agus Sunyoto, sebagai penulis dari buku Atlas Walisongo, memulai paparannya dengan mengatakan bahwa tujuan buku itu ditulis karena ingin menjaga sejarah Walisongo, dimana menurutnya terdapat indikasi adanya usaha sistematis untuk menghilangkan keberadaan Walisongo. Padahal menurut kalangan sejarawan —termasuk yang ditulis dalam buku sejarah Indonesia modern— menyebutkan bahwa islamisasi yang terjadi pasca Walisongo terjadi begitu cepat dan tidak masuk akal. Apa proses yang menyebabkan demikian? Hal itu masih menjadi misteri bagi sebagian besar sejarawan.

Menurut catatan dinasti Tang di Cina, Islam pertama kali datang dan disebarkan oleh saudagar-saudagar dari Timur Tengah, itu diawal abad ke-6 Masehi, tahun 670, masa Kerajaan Kalingga. Tetapi sampai ratusan tahun kemudian Islam tidak berkembang secara masif. Islam hanya diikuti oleh orang-orang asing. Dinasti Tang mencatat tahun 670 sudah ada saudagar Islam yang datang ke Jawa. Tahun 1292  —600 tahun kemudian— Marcopolo pulang dari Cina lewat lautan ke teluk Persia, dia singgah ke tempat yang bernama Perlak. Marcopolo menyebutkan di Perlak itu penduduknya terdiri dari 3 kelompok masyarakat. Pertama, orang-orang Cina, semua beragama Islam. Yang kedua, orang-orang Barat yaitu Arab dan Persia, juga beragama Islam. Yang ketiga, pribumi, yang menyembah batu-batu, kayu, dan ruh yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Seratus tahun kemudian, ketika Laksamana Cheng Ho (Zheng He) datang pertama, tahun 1405 —dicatat oleh juru tulisnya, ketika singgah di Tuban— mereka menemukan seribu keluarga Cina, semuanya muslim, kemudian singgah lagi ke Gresik, menemukan seribu keluarga Cina semuanya muslim, begitu pula di Surabaya.

Hal sebelumnya menunjukkan bahwa Islam belum berkembang secara masal. Bahkan ketika Cheng Ho terakhir datang ke Nusantara tahun 1533 —perjalanan ketujuhnya— ia mengajak juru tulis bernama Mahwan, seorang haji. Mahwan mencatat penduduk pulau Jawa di sepanjang pantai utara terdiri dari 3 kelompok: penduduk Cina semua beragama Islam, kemudian orang-orang Barat yang juga Islam, terakhir penduduk pribumi yang rata-rata masih ‘kafir’ semua. Tahun 1433. Jadi delapan ratus tahun —dari 670 s.d 1433— Islam tidak berkembang, tidak bisa diterima di Indonesia. Itu fakta sejarah.

Lalu 7 tahun kemudian, dari Campa (Vietnam), datanglah rombongan Sunan Ampel, itulah pertama kali Walisongo datang. Ketika Sunan Ampel datang ke Majapahit, diangkat menjadi imam di Surabaya, kakaknya Ali Murtado diangkat menjadi imam di Gresik. Setelah itu puteranya Sunan Ampel yaitu Sunan Drajat berdakwah dengan generasi yang kemudian dikenal dengan nama Walisongo. Terbentuk tahun 1470, itu era Walisongo.

Agus Sunyoto menambahkan, “Dengan pendekatan kultural kepada masyarakat, kira-kira 50 tahun kemudian setelah Walisongo ‘lahir’, yaitu tahun 1515, seorang Portugis bernama Tome Pires datang ke Jawa. Saat itu masih ada Sunan Kalijogo, Sunan Giri ke-2 juga masih ada. Tome Pires mencatat sepanjang pantai utara pulau Jawa penguasanya adalah adipati-adipati muslim. Ada kerajaan Jawa ‘kafir’ di pedalaman, nama rajanya Wijaya, yaitu Majapahit. Jadi, setelah adanya Walisongo, sepanjang Pantura penduduknya muslim semua. Itu hasil dakwah Walisongo yang begitu cepat dan meluas. Jadi itulah yang oleh sejarawan anggap tidak masuk akal, ada dakwah begitu cepat hanya butuh waktu 50 tahun, dimana kondisi infrastruktur transportasi dan komunikasi saat itu tidak memungkinkan. Bahkan dakwah meluas sampai ke daerah Maluku. Artinya, betapa Walisongo sangat ‘sakti’. Tahun 1522, ada orang Italia bernama Antonio Pigafetta, datang ke Jawa. Dia masih melihat ada orang Majapahit, tapi sepanjang Pantura dan pedalaman sebagian besar sudah menjadi muslim. Artinya itu memang dakwah Walisongo. Tidak masuk akal bisa begitu cepatnya dakwah secara massif pasca Walisongo, para sejarawan belum mampu menjelaskan fenomena itu.”


Menurut Agus Sunyoto, ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam tidak dapat diterima oleh masyarakat di Nusantara secara masal sebelumnya. Kita dapat mengambil contoh ketika Islam masa awal yang dikembangkan oleh Rasulullah, Rasulullah sempat mengirim surat kepada Raja Persia untuk memeluk Islam, tetapi Raja Persia menolak, bahkan dengan marah-marah merobek surat itu. Raja Persia merasa bangsanya sudah maju/beradab, tidak mungkin mengikuti bangsa dari padang pasir yang belum punya peradaban. Ketika surat dikirim lagi oleh Rasulullah ke Kaisar Romawi, rakyat Romawi pun juga menolak, karena mereka sudah menjadi bangsa maju. Rupanya kasus ini juga terjadi di Indonesia. ketika saudagar-saudagar Islam menyiarkan Islam kepada masyarakat Indonesia, penduduk Indonesia saat itu sudah maju, teknologinya sudah tinggi.

Contoh yang membuktikan bahwa peradaban Indonesia sudah tinggi saat itu adalah pada abad ke-3 tahun 270, ketika ada seorang pegawai bea cukai dari pelabuhan Guangzhou, namanya Wan Shen. Dia menulis, kapal dagang dari selatan (Jawa) dagang ke Cina, ukuran kapalnya tiga kali lebih besar dari kapal ukuran Cina. Bisa dinaiki 700 orang awak kapal dan mampu memuat 10.000 ton barang. Yang mana saat itu bangsa Cina belum mampu membuat kapal sebesar itu. Belum lagi kemampuan membikin bangunan-bangunan (candi) yang besar. Itu semua tercatat. Bahkan sejak tahun 648 (sama dengan masa khalifah Usman), Indonesia sudah memiliki kitab undang-udang hukum pidana dan perdata, namanya kitab Kalingga Darma Sastra. Disusun oleh Raja Kalingga, Kartisea Singa, bersama istrinya yang terkenal bernama Ratu Sima. Ini merupakan KUHP pertama, terdiri dari 119 pasal.

Di masa itu, sistem pemerintahan pun sudah maju. Raja hanya berperan sebagai kepala negara. Raja yang membawahi para hakim dan jaksa, mempunyai kewenangan menegakkan hukum. Yang mengatur pemerintahan namanya Patih, raja tidak ikut-ikutan memerintah. Sistem demokrasi saat itu untuk melindungi rakyat, yaitu: raja punya kewenangan untuk menerima langsung keluhan masyarakat atas jalannya pemerintahan. Mekanismenya, makin banyak rakyat yang mengeluh, raja akan menggunakan kewenangan untuk mencopot pejabat pemerintahan saat itu.

Kemudian, aturan pada saat itu, raja dan pejabat pemerintahan harus berasal dari kalangan ksatria. Di dalam kitab aturan tentang ketatanegaraan disebutkan bahwa kalangan ksatria adalah kalangan yang tidak punya kekayaan pribadi, semua milik negara. Jadi korupsi itu tidak ada, karena tidak boleh punya kekayaan pribadi. Kalau punya kekayaan pribadi, artinya status sosialnya turun, menjadi golongan waisya (petani). Nanti kalau kekayaannya makin besar lagi, status sosialnya turun lagi, menjadi golongan sudra (saudagar, renternir, tuan tanah). Semakin besar kepemilikian materi, semakin rendah status sosialnya. Itu aturan sosial masyarakat ketika itu. Saat itu, jika seseorang punya kekayaan berlimpah dianggap rendah. Karena asumsinya kepunyaan terhadap harta benda duniawi dianggap rendah secara status sosial. Di bawah golongan sudra, ada golongan kandala dan maleca, yaitu golongan orang asing. Itulah yang di dalam Prasasti Wurudu Kidul disebut golongan kilaran (pelayan). Jadi sejak zaman Mataram Kuno sampai dengan zaman Sriwijaya dan Majapahit, penduduk pribumi tidak boleh bekerja sebagai pelayan. Statusnya orang mulia. Derajatnya lebih tinggi dari orang asing. Karena itu yang harus jadi pelayan harus orang asing.

Agus Sunyoto: “Maka dari itu, ketika saudagar-saudagar Arab datang ke Indonesia untuk menyebarkan Islam, mereka langsung termasuk golongan orang asing (kandala dan maleca), orang pribumi tidak mau mengikuti ajaran saudagar-saudagar itu, karena dianggap sebagai golongan lebih rendah. Itulah yang menghambat ajaran Islam berkembang di Indonesia. Ketika Walisongo datang ke Indonesia, Walisongo bukan saudagar, namun golongan brahmana, guru-guru. Apalagi kemudian mereka menjadi bangsawan-bangsawan. Itulah salah satu faktor kenapa Islam bisa diterima di zaman Walisongo, karena adanya penyesuaian struktur sosial.

“Proses ini baru mengalami perubahan pada tanggal 1 Mei 1848, ketika Belanda menerapkan struktur sosial baru, yaitu menempatkan orang-orang kulit putih sebagai warga kelas satu, Timur Tengah, Cina, Arab dan India sebagai warga kelas dua, sedangkan warga pribumi dijadikan warga kelas tiga. Dibalik itulah kenapa orang pesantren kemudian melakukan perlawanan terhadap Belanda. Selama tahun 1800 s.d 1900 dalam tempo seratus tahun, terjadi 112 kali pemberontakan yang dipimpin oleh guru tarekat dari pesantren. Itulah cikal bakal NU berdiri. Tidak mau orang pesantren direndahkan oleh aturan pemerintah Belanda. Proses kolonialisasi yang dilakukan pemerintah Belanda begitu sistematis, menanamkan hegemoni pikiran melalui sistem pendidikan sekolah. Penundukan masyarakat untuk mengikuti aturannya kolonial. Karena itu, pesantren tidak diakui sebagai lembaga pendidikan. Dan masih berlangsung hingga saat ini.”


Agus Sunyoto dalam paparannya kemudian menyampaikan beberapa fakta sejarah tentang hegemoni pemikiran Barat yang menguasai Indonesia, antara lain:

Tahun 2012, Monash University bekerjasama dengan UIN Malang meneliti tentang pesantren. Sebuah kajian tentang bagaimana mungkin pesantren masih bisa berjalan di era globalisasi sekarang, dimana sekolah-sekolah sudah bertaraf Internasional. Ngaji di pondok masih menggunakan bahasa lokal, padahal sudah era bahasa Inggris. Era globalisasi merubah semua, termasuk kearifan lokal. Kalau dahulu nama-nama anak masih bermuatan lokal, seperti: Sumaji, Marsono, Choirul, Joko, Siti, Marpuah, dst. Begitu reformasi, tahun 1999, nama-nama di Indonesia berubah menjadi nama kebarat-baratan, seperti: Kevin, Clara, dll. Nama-nama Barat pelan-pelan menjadi juara di Nusantara, bahkan kita malu jika nama kita nama lokal, terdengar kampungan. Ternyata di kalangan pesantren masih kuat lokalitasnya.

Kyai-kyai zaman Hasyim Ansari menolak bersekolah, karena mereka tahu itu merupakan bagian dari hegemoni pemikiran Barat. Penundukkan terhadap mindset berpikir. Sampai kemudian, Belanda menetapkan semua pejabat pemerintah harus mempunyai ijazah sekolah. Zaman Jepang, ketika pemerintah Jepang membentuk tentara sukarela PETA, terbentuklah 65 batalyon. Dari 65 batalyon, 20 batalyon diantaranya komandannya adalah seorang kyai. Ketika tahun 1948 Bung Hatta menjadi perdana menteri, baru terjadi rekrutmen tentara, yang mana tentara yang profesional, harus ditunjukkan dengan kepemilikan ijazah.

Waktu menunjukkan pukul 11 malam, acara sudah harus berakhir. Sebelum menutup acara, Cak Nun bertanya kepada audiens untuk disudahi atau dilanjut. Dengan lantang seluruh audiens yang memenuhi pelataran gedung PBNU meminta acara untuk dilanjut. Acara kemudian dilanjut dengan lantunan-lantunan khas Kiai Kanjeng, diselingi guyon khas Cak Nun. Juga bershalawat bersama. Acara berjalan begitu sangat khidmatnya sampai tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari, acara kemudian ditutup dengan indal qiyam.

[Teks: Ega Julaeha – Foto: Agus Setiawan]