Memaknai Revolusi dalam Maiyah

Hujan cukup deras yang mengguyur tanah Jogja pada pertengahan bulan pembuka tahun 2013 tidak juga menyurutkan kehadiran jamaah Mocopat Syafaat. Malam Jumat tanggal 17 Januari, meskipun agak terlambat daripada biasanya, lantunan ayat-ayat Alquran menghiasi pelataran TKIT Alhamdulillah. Setelah diputarkan video orasi Cak Nun dua hari sebelumnya di Taman Ismail Marzuki dengan tema Merajut Kembali Nusantara, jamaah dikawal memasuki sesi pertama diskusi oleh Helmi dan Eko Nuryono.

Sudah berkali-kali Cak Nun memaparkan dalam berbagai macam forum bahwa manusia Indonesia adalah manusia yang revolusioner. Mereka memiliki kemampuan mengubah karakter perilaku dari yang bersifat malaikat ke yang bersifat iblis dalam kurun waktu yang sangat singkat. Kenekatannya juga luar biasa: berani menikah tanpa harus terlebih dulu memiliki pekerjaan tetap; berani duduk manis di atas gerbong kereta tanpa meributkan ada atau tidaknya pengaman, dan banyak lagi.

Melihat fakta bahwa rakyat kelas menengah Indonesia memiliki watak radikal revolusioner, kemungkinan terjadinya revolusi di negeri ini sangat besar. Revolusi yang bagaimana? Cak Nun lantas memaparkan lima jalan revolusi:

1. Mahkamah Konstitusi menganulir sejumlah pasal konstitusi dan undang-undang yang anti rakyat, mengkhianati nasionalisme, dan membatalkan keabsahan pemerintah.

2. Presiden SBY melakukan tindakan revolusioner dengan mengacu pada Hayam Wuruk yang membatasi diri sebagai kepala kerajaan dan menyerahkan sepenuhnya urusan pemerintahan kepada Perdana Menteri Gadjahmada. Untuk ini, SBY bisa bikin dewan negara.

3. Sesungguhnya alat produksi sejarah yang primer berada di genggaman tangan media massa, karena mereka-lah yang menentukan ‘nasib’ setiap langkah pelaku dan peristiwa sejarah. Di langit ada lauhul mahfudz, di bumi ada media massa. Rakyat Indonesia bisa memasrahkan nasib mereka pada media massa untuk direvolusi seradikal mungkin menuju Indonesia Baru yang adil, makmur, dan disukai Tuhan.

4. Mengumpulkan petisi berupa tanda tangan rakyat dari beragam gerakan dari berbagai lapisan dan wilayah untuk menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah dan sejumlah hal lain tentang NKRI. Boikot total Pemilu 2014.

5. Santet massal atau bunuh diri nasional.

Rakyat Indonesia saat ini sudah tidak lagi memliliki kedaulatan apapun di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Demokrasi yang dianut oleh Indonesia justru menjadi sistem pemerintahan demokrasi yang terkontaminasi pemerintahan otoriter. Bahkan diktator yang ada di Indonesia jumlahnya lebih dari satu.


Diskusi sesi pertama membahas diskriminasi media massa terhadap semua yang dilakukan Cak Nun selama ini. Untuk menyebut sedikit contoh: Maiyah KPK tahun 2011 di Pendopo Taman Siswa Jogja, dan juga orasi Cak Nun di TIM beberapa hari berselang. Orasi panjang dan berisi yang disampaikan di depan banyak media dan aktivis itu hanya diambil secuil, kalimat selingan berupa sindiran terhadap penunjukan Roy Suryo jadilah sebuah judul berita. Atas hal tersebut, seorang dari jamaah memberikan respon bahwa agar terlepas dari diskriminasi-diskriminasi tersebut, Cak Nun agar memiliki media massa sendiri—meskipun hampir semua jamaah memahami bahwa Cak Nun sangat tidak ambil pusing terhadap peniadaan-peniadaan semacam itu.

Untuk mengawali sesi kedua diskusi, Cak Nun mengajak jamaah membaca Al-Fatihah untuk saudara-saudara di Jakarta yang sedang dilanda banjir, yang kali ini lebih besar daripada yang sudah-sudah. “Orang Indonesia adalah orang yang mampu hidup dalam ketidakjelasan dan ketidakpastian.”

Cak Nun juga bercerita bahwa beberapa saat sebelumnya beliau menerima sebuah SMS yang berisi: Di belahan bumi manapun ketinggian banjir diukur dalam skala meter atau centimeter, hanya di Indonesia ketinggian banjir diukur dalam skala mata kaki, pinggang, perut, atau leher. Klasifikasi ketinggian banjir ini jelas berada dalam lingkup ketidakjelasan yang sangat nyata, karena tinggi mata kaki manusia tentu berbeda satu sama lain.

Di zaman ini, ilmu-ilmu modern yang ada tidak mampu menerima bahwa kejadian alam sangat erat hubungannya dengan tingkah laku manusia. Satu pertanyaan: apakah banjir Jakarta kali ini memang tidak ada hubungannya dengan terpilihnya Jokowi menjadi Gubernur Jakarta? Seringkali di pedesaan terjadi sebuah diskusi, jika si A yang menjadi kepala desa (lurah), maka rakyat akan sejahtera, alam akan subur dan seterusnya. Berbeda jika B yang menjadi kepala desa, maka kesejahteraan dan kesuburan alam akan jauh dari kehidupan rakyatnya. Hal seperti ini sudah tidak bisa diterima oleh ilmu-ilmu modern.

Arif dari Nahdlatul Muhammadiyin sedikit mengomentari sejumlah tokoh partai yang tersandera oleh masalahnya masing-masing: Aburizal Bakrie dengan kasus Lapindo, Anas Urbaningrum dengan kasus Hambalang, Prabowo dengan kasus penculikan mahasiswa pada tragedi Mei 1998, dan sebagainya.

Cak Nun merespon satu topik mengenai tersanderanya Aburizal Bakrie oleh kasus lumpur Lapindo. Selain Bakrie, ada dua pemegang saham utama Lapindo, yakni Santos (Australia) dan Arifin Panigoro (Medco). Kedua orang ini, yang merupakan pemilik saham mayoritas, sudah angkat tangan, sampai kemudian salah satu anak dari Ahmad Bakrie—yang namanya dirahasiakan oleh Cak Nun—mengeluarkan uang sejumlah hampir 7,8 Triliun Rupiah untuk membayar ganti rugi aset kepada 13.526 kepala keluarga sampai berkali-kali lipat, untuk tanah dihargai lima kali lipat dan bangunan sampai enam kali lipat. Satu lagi fakta: Aburizal Bakrie tidak membela diri dalam kasus ini. Ada dua kemungkinan untuk itu: Bakrie memang merasa bersalah, atau Bakrie sangat yakin bahwa dirinya berada dalam posisi yang benar.

Mengenai diskriminasi, Cak Nun mengatakan bahwa beliau sudah merasakan hal itu dari berbagai pihak sejak tahun 1973. Ibarat nasi yang tak pernah peduli apakah ia dianggap sebagai nasi atau tidak, diam-diam toh ia tetap dimakan. Sama halnya dengan Cak Nun, yang tidak dianggap oleh banyak pihak namun diam-diam mereka memanfaatkan apa-apa yang beliau kerjakan.

Dalam urusan diskriminasi ini Cak Nun memiliki sebuah rumusan, “Dengan adanya diskriminasi, ada kesempatan untuk memaafkan; karena seharusnya yang kita cari adalah laba akhirat. Media massa saat ini tidak ubahnya seperti warung sop buntut. Dari sapi yang sedemikian besar, hanya diambil buntutnya untuk dihidangkan.”


Kembali ke topik awal, revolusi. Revolusi atau perubahan apapun yang terjadi di Indonesia tidak akan akurat terhadap apa yang dimaksudkan kalau kita tak punya landasan pengetahuan yang tepat pada tahap sebelumnya. Dalam hal ini, Reformasi 1998. Suatu penyakit tak akan terobati tanpa diagnosis yang tepat. Untuk itu, Cak Nun mengajak para jamaah untuk mengingat kembali peristiwa Mei 1998.

Cak Nun pernah berucap, “Wallahi, saya menyesali semua yang saya lakukan pada 16-21 Mei 1998. Andaikan saya bisa, saya akan melakukan revolusi waktu.” Cak Nun melanjutkan; “Kita harus bisa memetakan, apakah Soeharto itu terpaksa turun atau ikhlas dan legowo untuk turun dari kursi kepresidenan saat itu?” Mayoritas masyarakat dunia mengenal Amien Rais sebagai tokoh utama Reformasi ’98, sampai-sampai berani melegitimasi Amien Rais sebagai tokoh utama yang membuat Soeharto turun. Padahal, Soeharto pertama kali menyatakan mundur justru kepada Cak Nun dan Cak Nur. Keputusan inilah yang kemudian diperkuat di hadapan 9 tokoh. Sebagai catatan; dalam 9 tokoh yang bertemu Soeharto di Istana saat itu, tak ada Amien Rais.

Ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya peristiwa Mei ’98, faktor kerusuhan yang meluas di kota-kota besar Indonesia kala itu, faktor melemahnya kurs Rupiah sampai mendekati sepuluh kali lipat, juga faktor politik dan gerakan mahasiswa. Melemahnya kurs mata uang kita itulah yang merupakan faktor primer. Dari sana berimbas pada kerusuhan dan penjarahan besar-besaran (kemarahan rakyat). Perlu difahami, bahwa Soeharto sangat kuat pada saat itu. Semarah apapun mahasiswa, beliau punya formula untuk meredakan kemarahan mahasiswa saat itu. Militer juga berada dalam genggamannya. Akan tetapi, jika rakyat sudah marah, Soeharto tak bisa meredakannya. Setidaknya, itulah yang Soeharto akui dihadapan Cak Nun. Oleh karena itu, jalan yang harus ditempuh untuk menghadapai kemarahan rakyat saat itu adalah mundur dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia.

Dalam sejarah, ada dua opsi yang harus dihadapi oleh pemimpin-pemimpin dunia yang dilengserkan dari kursinya: dipenjara-diadili, atau mencari suaka ke luar negeri. Yang mana yang terjadi pada Soeharto? Tidak keduanya.

Sejak tanggal 18 Mei malam, setidaknya 16 bom dipasang di beberapa titik vital di Jakarta. Soeharto saat itu berada pada posisi sangat riskan, jangan sampai satu menit pun Indonesia vakum kekuasaan. Tanggal 19, di istana negara berlangsung pertemuan antara Soeharto dengan 9 tokoh nasional. Tank-tank militer mengelilingi istana; salah satunya memonitor pertemuan dengan menggunakan kamera video sambil memegang remote pengaktifan 16 bom tadi. Bom akan diledakkan dengan 3 rumus: Soeharto memberi kode peledakan, Soeharto pingsan dalam pertemuan, atau Soeharto diam lebih dari satu menit. Pertemuan hari itu bukan merupakan negosiasi proses turunnya Soeharto.

Dalam sebuah surat yang disusun pada tanggal 16 Mei 1998 oleh Cak Nun, Cak Nur, Malik Fajar, Utomo Dananjaya, dan S. Drajad, disampaikan permintaan kepada Soeharto untuk turun dengan 4 opsi, salah satunya: turunnya Soeharto diikuti oleh mundurnya kabinet dan bubarnya MPR-DPR, kemudian dibentuk Komite Reformasi yang menjadi MPR-S untuk mengangkat kepala negara sementara selama 1 tahun setelah Soeharto turun dan merencanakan Pemilu untuk membentuk pemerintahan yang baru. Komite ini terdiri dari 45 orang, di mana 3 diantaranya—Soeharto, Harmoko, dan Akbar Tandjung—adalah tokoh Orde Baru. Komite ini pada akhirnya gagal karena dianggap sebagai skenario Soeharto.

Rakyat sudah luar biasa marah pada ketika itu. Tanggal 18 malam, setelah membaca surat tersebut, Soeharto menghubungi Cak Nun dan Cak Nur dengan menyatakan siap turun, tapi minta didampingi oleh kedua tokoh tersebut. Setelahnya, 5 tokoh ditambah dengan 4 tokoh sesepuh pada tanggal 19 bertemu dengan Soeharto. Amien Rais tidak diikutsertakan pada pertemuan tersebut, karena menurut pertimbangan Cak Nun, akan menjadi sangat tidak kondusif jika macannya reformasi diajak dalam pertemuan dengan macannya orde baru.

Selepas itu, kejadian-kejadian pasca reformasi ternyata justru mendiskriminasikan Cak Nun, bahkan diskriminasi itu juga dilakukan oleh beberapa sosok dalam 9 tokoh. Cak Nun mengatakan pada media saat itu bahwa reformasi tidak jujur. Naskah Ikrar Khusnul Khatimah yang berisi 4 butir sumpah yang disusun Cak Nun untuk Soeharto, telah ditandatangani oleh Soeharto, dan sampai saat ini masih disimpan oleh Cak Nun. Sumpah itu adalah: Soeharto bersumpah tidak akan lagi menjadi presiden, Soeharto bersumpah untuk tidak ikut campur dalam pemilihan presiden selanjutnya, siap diadili, dan siap mengembalikan harta kepada rakyat.

Setelah secara resmi Soeharto menyatakan mundur dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, kemudian Habibie menjadi presiden, 5 tokoh yang digawangi oleh Cak Nun kembali mengadakan pertemuan yang pada pokoknya menyatakan bahwa Habibie merupakan presiden transisional, tidak boleh diberi cek kosong dalam memimpin Indonesia. Cak Nun kemudian menyusun naskah tentang hasil pertemuan yang nantinya akan dibacakan Cak Nur. Ketika naskah itu sudah ditandatangani oleh ke-5 tokoh dan dibacakan, nama Amien Rais justru dimunculkan sementara 4 tokoh selain Cak Nur tidak disebut. Hingga detik ini Cak Nun tidak mengetahui apa yang sebenarnya dibicarakan antara Cak Nur dengan Amien Rais pada malam sebelum naskah tersebut dibacakan.

Jika memang rakyat Indonesia menginginkan sebuah perubahan yang signifikan, katakanlah revolusi, maka seluruh elemen bangsa ini tidak boleh buta terhadap fakta-fakta sejarah sebelumnya, pada tahap ini adalah Reformasi 1998. Bangsa ini harus berani menyatakan bahwa Reformasi 1998 tidak jujur, dan tidak ada bedanya dengan orde baru. Yang kita saksikan setelah reformasi justru kemunculan “Soeharto-Soeharto” baru.

Sekitar pukul 3 dini hari, Mocopat Syafaat edisi Januari 2013 diakhiri dengan doa bersama yang dipimpin oleh salah satu pengurus Nahdlatul Muhammadiyin.

[Teks: Fahmi Agustian]