Mukadimah: INDUSTRI NASIHAT

Rasulullah Muhammad SAW pernah bersabda bahwa agama adalah nasihat. Beberapa sahabat mempertanyakan: Bagi siapa nasihat itu; liman ya Rasulullah? Kemudian Rasulullah Muhammad SAW menjawab: Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum muslim dan bagi kaum muslim secara umum. — Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Bagi sebagian orang, nasihat merupakan sebuah pesan yang luas cakupannya, yang memiliki maksud untuk menghendaki kebaikan bagi orang yang diberi nasihat. Ada sebuah perumpamaan bahwa seseorang yang memberi nasihat kepada orang lain maka ia seperti sedang menjahit pakaian, karena pada hakikatnya orang yang memberi nasihat kepada orang lain tidak lain dalam rangka untuk memperbaiki orang yang dinasihati, bukan untuk merusaknya.

Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW diatas, tentu kedudukan agama sebagai nasihat bukan semata-mata hubungan materil, melainkan lebih kepada hubungan ruhani. Dalam konteks ‘agama adalah nasihat bagi Allah’ tentu bukan kemudian Allah yang diberi nasihat oleh agama itu sendiri, melainkan dengan menjadikan agama sebagai nasihat bagi Allah maka manusia semakin meneguhkan dirinya dalam meyakini wihdatu-l-wujud Allah. Bahwa Allah itu adalah Sang Maha Tunggal yang Maha Sempurna. Dengan pondasi ini maka kedudukan ‘agama sebagai nasihat bagi kitab Allah, Rasulullah, pemimpin dan umat muslim’ secara luas akan saling berkesinambungan satu sama lain, tidak mungkin berdiri sendiri-sendiri.

Umat muslim — dengan meyakini bahwa Alquran adalah kitab Allah sebagai penyempurna kehadiran Islam di muka bumi ini — akan tetap mampu bukan hanya dalam menjaga kesucian Alquran itu sendiri, tetapi juga kesucian Islam secara utuh. Begitu juga dengan Rasulullah SAW yang berjuang, dengan berpegang teguh kepada Islam sebagai agama yang diposisikan kemudian sebagai nasihat bagi dirinya, Rasulullah pun pada hakikatnya menjaga kesucian dirinya untuk menjadi teladan bagi umat muslim. Karena sejatinya, makna dari sebuah nasihat tidak akan lepas dari konteks kesetiaan, kepatuhan, loyalitas dan komitmen. Maka apabila manusia benar-benar setia kepada Allah, Allah akan lebih setia kepada manusia. Bukankah Allah sendiri yang menyatakan bahwa apabila kita bersyukur atas nikmat Allah, niscaya Allah akan menambahkan kenikmatan-kenikmatan yang bukan hanya berlipat, namun juga min haitsu laa yahtasib. 

Agama adalah nasihat bagi para pemimpin. Tentunya dengan adanya agama yang diposisikan sebagai nasihat, maka sudah sewajarnya para pemimpin tidak melakukan hal-hal yang menyakiti hati kaum yang ia pimpin. Segala keputusan-keputusan yang diambilnya merupakan bentuk manunggaling kawulo lan Gusti yang sudah terpatri dalam dirinya. Bahwa apabila ia menyakiti hati rakyatnya maka itu sama dengan menyakiti Allah. Begitu juga apabila ia mengkhianati agama Allah, maka Allah akan memberikan azab yang pedih, bukan hanya kepada dirinya, tetapi juga kepada umat yang dipimpinnya. Sehingga pada tahap selanjutnya, agama merupakan nasihat bagi umat Islam sendiri satu sama lain. Dengan agama, hubungan sosial kemasyarakatan antar sesama manusia, bakan dengan semua makhluk ciptaan Allah, dalam kondisi yang sangat harmonis. Apabila agama benar-benar diposisikan sebagai nasihat, maka bukan hanya toto tentrem karta raharja, tetapi juga baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur.

Ironisnya, mental manusia saat ini begitu rapuh, kosong jiwanya, lemah logika berpikirnya, bahkan pada tahap kronis, agama yang sejatinya adalah nasihat bagi dirinya lalu gagal diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan untuk mencapai kenikmatan bermesraan kepada Tuhannya pun, manusia justru berani memposisikan manusia yang lainnya dihadapannya sendiri ketika ia sedang berhadapan dengan Tuhan.

Agama terseret kemudian menjadi industri yang memikat. Apa yang ada didalam agama bahkan bukan hanya diperdagangkan, tetapi juga dijual dengan harga yang amat murah. Manusia tidak mampu lagi membedakan antara berdagang dengan beribadah ketika menghadap Tuhannya. Setiap tahunnya, Ramadan hanya berlalu begitu saja tanpa ada bekasnya. Pengelolaan zakat yang begitu liar tanpa audit, bahkan dana ibadah haji dengan entengnya dipermainkan oleh segelintir orang yang sebenarnya diberi amanah untuk menjaganya.

Dalam kasus yang lain, konteks “syariah” saat ini benar-benar menjadi salah satu merk dagang yang menjual dalam Islam ternyata juga bukan dalam rangka mewujudkan Islam yang sempurna, karena tidak lain dan tidak bukan penggunaan kata “syariah” itu sendiri juga dalam rangka memperluas pasar perdagangan bagi sebagian orang. Pada akhirnya, kita pun harusnya malu kepada Allah untuk sambat dengan kondisi kita saat ini, karena Islam ternyata gagal kita wujudkan sebagai nasihat bagi diri kita sendiri.