WARO’ KAPRAWIRAN

waro kaprawiran
Mukadimah Waro Kaprawiran September 2015

Krisis bisa dipahami sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah SWT. la tidak perlu disesali, apalagi dikutuk. Bahkan hal itu bisa jadi pelajaran bagi kita akan sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu. Tapi pada kelangkaan pahlawan saat krisis itu terjadi. Dengan tanpa bermaksud berlebihan, inilah yang menjadi landasan awal kelahiran Majelis Maiyah Waro’ Kaprawiran yang diharapkan menjadi pawon kasatriyan yang menginspirasi jiwa-jiwa kepahlawanan/kesatriya bagi bangsa ini.

Sudah sepantasnya kita belajar kembali mengenali perjalanan sejarah bangsa kita, untuk menemukan kembali apa yang sudah hilang atau dihilangkan pada diri bangsa kita terutama di Bumi Pawitan Candirogo ini yang membentang dari Pacitan hingga Ngawi, banyak kisah kepahlawanan serta keshalihan lahir, mulai dari kisah heroik Kerajaan Glangglang di Ngurawan, Ki Ageng Besari di Tegal Sari, Ki Ageng Rekso Gati, Perjuangan dari Ronggo Prawirodirjo III, beserta putranya Sentot Ali Basya hingga Bapak bangsa Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto di era kemerdekaan.

Perjalanan proses sejarah itu sesungguhnya merupakan pawon kasatriyan: yang melahirkan para kesatriya. Bahkan dalam skala peradaban setiap bangsa bergiliran merebut kepahlawanannya. Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja Allah lahirkan mereka di tengah situasi yang sulit. Jiwa kaprawiran ini adalah fitrah yang tertanam pada diri seseorang, bisa juga diperoleh melalui latihan, atau buah tempaan perjalanan hidup. Ketiganya ini berpijak kuat pada keyakinan dan cinta terhadap prinsip dan jalan hidup yang Waro’.

Ibnul Qayyim Al Jauziyyah menjelaskan, Rasulullah SAW telah menghimpun makna waro’ dalam satu kalimat, yaitu dalam sabda Beliau: Di antara tanda kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat. Hadits ini dimaksudkan untuk meninggalkan hal yang tidak bermanfaat mulai dari perkataan, pandangan, mendengar, bertindak anarkis, berjalan, berpikir, dan aktivitas lainnya baik lahir maupun batin. Hadits tersebut sekiranya mencukupi untuk kita memahami arti waro’.

Bisa disimpulkan Waro’ Kaprawiran ini merupakan rangkaian dasar lima makna dan sifat: semangat waro’, cinta, welas asih, keberanian, dan kesabaran.

Dorongannya adalah semangat waro’. Sebuah semangat untuk menebar kebermanfaatan. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Hakikatnya adalah keikhlasan dan cinta kepada sesama ciptaan, buah dari rasa cinta kepada Allah. Tabiat perjalanannya welas asih, rela, jiwa ksatria yang melindungi saudara-saudaranya. Perisainya keberanian, sebuah keberanian yang berakar dari fitrah dan iman. Dengarlah sabda Rasulullah SAW: “Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang.”

Dengar lagi sabdanya: “Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah.” Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Juga keberanian iman. Maka, dengarlah nasehat Umar bin Khattab: “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.” Namun, nafas panjang dari jalan keperwiraan ini adalah kesabaran menjalani setiap prosesnya.

Sebuah kehidupan yang terhormat dan berwibawa yang dilandasi keadilan dan dipenuhi kemakmuran masih mungkin dibangun di negeri ini. Untaian zamrud khatulistiwa ini masih mungkin dirajut menjadi kalung sejarah yang indah. Tidak peduli seberapa berat krisis yang menimpa kita saat ini. Tidak peduli seberapa banyak kekuatan asing yang menginginkan kehancuran bangsa ini. Masih mungkin! Dengan satu kata: para kesatriya. Tapi jangan menanti kedatangannya atau menggodanya untuk hadir kesini. Sekali lagi, jangan pernah menunggu kedatangannya. Mereka tidak akan pemah datang.

Karena mereka bahkan sudah ada di sini. Mereka lahir dan besar di negeri ini. Mereka adalah kita semua. Mereka bukan orang lain. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perIu berjanji untuk merebut takdir kaprawiran mereka. Bagi kita, penggiat Maiyah, kesatriya bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Kesatriya adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah atau di makamkan di taman makam pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kaprawiran adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama. Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat krisis. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang ingin dihidupkan dan dibagikan dalam Majelis Maiyah Waro’ Kaprawiran.

Akhirnya mari kita mengenang saat-saat yang paling mengharu biru dari kehidupan Umar Bin Abdul Aziz, beberapa saat menjelang hembusan nafasnya yang terakhir, pahlawan besar itu membaca firman Allah SWT, “Dan itulah negeri akhirat, yang Kami sediakan untuk orang-orang yang tidak menginginkan keangkuhan di muka bumi, juga tidak menginginkan kerusakan dan syurga adalah balasan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.Al-Qashash: 83). …‘bi hadzal balad!

Pawon Waro’ Kaprawiran