Mukadimah: FUNDAMENTALISME KHANDAQ

MUKADIMAH KENDURI CINTA februari 2017

SALAH SATU filosofi perang dari Sun Tzu adalah: “Kenali dirimu, kenali musuhmu, dan kenali medan tempurmu. Dan kau akan memenangi seribu pertempuran”. Dalam Islam kita mengenal metode Puasa sebagai salah satu cara untuk nengenali diri kita. Dengan berpuasa, kita melatih daya tahan tubuh kita, dengan berpuasa kita mampu mengukur sejauh mana kekuatan kita. Seperti sebuah ungkapan;  man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu. Manusia hari ini banyak yang tidak mengenali jati dirinya, manusia tidak memahami sangkan paran kehidupan yang ada dalam dirinya.

Sebuah perjuangan panjang, memerlukan pemahaman atas dirinya sendiri. Sebuah perjuangan panjang diperlukan pengenalan atas potensi diri. Begitulah Maiyah berlaku hari ini. Setiap individu yang menggabungkan dirinya kedalam Maiyah, harus menumbuhkan kesadaran akan hal tersebut. Di Maiyah, kita belajar tentang keseimbangan dan ketepatan berfikir. Di Maiyah, kita belajar melalui Al Qur’an bahwa perjuangan tidak berhenti pada; inna ma’a-l-‘usri yusro saja, melainkan perjuangan itu terus menerus, kontinyu dan harus Istiqomah.

Ummat Islam di Indonesia hari ini berada dalam persimpangan jalan kehidupannya. Ummat Islam di Indonesia hari ini dihadapkan pada peristiwa-peristiwa yang akan sangat menentukan masa depan mereka dan generasi sesudah mereka hari ini. Ummat Islam di Indonesia hari ini sedang berhadapan dengan musuh-musuh yang sangat lihai, cerdik dan licik. Yang selalu berhasil memancing reaksi Ummat Islam sendiri untuk bergerak. Sayangnya, akibat sebagian oknum Ummat Islam sendiri yang berlaku oportunis, Ummat Islam di Indonesia hari ini berjuang bukan hanya melawan musuh yang berasal dari luar diri mereka, melainkan juga mereka harus saling sikut, saling jegal, saling pukul antar sesama mereka sendiri. Padahal, Ukhuwah Islamiyah adalah hal yang mutlak diperlukan bagi Umnat Islam saat ini.

Bahwa keutuhan dan keteguhan hati setiap orang yang tergabung dalam sebuah barisan mutlak diperlukan jika ingin meraih kejayaan dalam sebuah pertempuran. Lebih dari itu, kesabaran dan kekuatan diri dalam melakukan tirakat juga tidak kalah penting harus ada dalam setiap hati masing-masing individu. Setiap pasukan harus mampu membedakan antara peluang dan nafsu. Ketepatan berfikir dalam memetakan mana yang benar-benar peluang untuk menyerang dan mana celah yang ternyata sebuah jebakkan atas nafsu yang menguasai diri, sangat diperlukan. Banyak sekali contoh kegagalan manusia dalam membedakan mana peluang dan mana jebakkan musuh.

Dalam Daur edisi 276 Cak Nun menuliskan; “Ada perjuangan sesekali. Ada perjuangan jangka panjang dan tidak kelihatan. Ada perjuangan yang tidak ekspresif. Menjadi orang baik saja sudah sebuah perjuangan. Ada berbagai ukuran. Dan lagi tidak semua Pasukan berada di satu Barisan.”. Maiyah mengambil langkah yang berbeda dari kebanyakan orang saat ini. Maiyah tidak melibatkan diri dalam situasi geo-sosio-politik yang berlaku saat ini. Maiyah secara teguh, istiqomah melakukan penggalian-penggalian kembali nilai-nilai kehidupan yang sudah hilang. Maiyah kemudian menyemai benih-benih nilai kehidupan itu kembali, untuk generasi mendatang, sebagai wujud tanggung jawab atas amanah sebagai Khalifatullah fil Ardhli. Maiyah memilih sebuah perjuangan yang berlangsung tidak sebentar. Sehingga Maiyah secara menyeluruh harus memahami kapan harus melangkah, kapan harus diam dan kapan harus mengayunkan pedang. Dan Maiyah bukanlah sebuah pergerakan yang pasukannya bergerak setelah ada komando. Di Maiyah, semua belajar tentang keseimbangan berfikir, berusaha sabar dan ketepatan dalam mengambil keputusan.

Menggali parit sebagaimana strategi pada perang Khandaq memiliki keunikan tersendiri. Berbeda dengan Great Wall (Tembok Besar China) sebagai tembok pertahanan dimana dari ketinggian, pasukan dapat leluasa memantau pergerakan musuh dibalik tembok yang akan menyerang. Parit yang digali pada perang Khandaq justru sebaliknya, pasukan bertahan yang berada dalam parit sangat terbatas dalam gerak dan butuh kesabaran ekstra menghadapi serangan dari pasukan musuh.

Pada puncak pertempuran ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib berduel dengan Amru bin Abdu Wadd. Sayyidina Ali yang berbadan kecil melawan Amru yang memiliki postur tubuh lebih besar. Dengan pedang Dzulfikar, Sayyidina Ali berhasil mengalahkan Amru bin Abdu Wid. Hingga pada momen  Amru bin Abdu Wadd sudah jatuh dan terjerembab, ia meludahi wajah Sayyidina Ali, pedang Dzulfikar sudah siap menghunusnya, tapi Sayyidina Ali urung membunuh Amru bin Abdu Wadd saat itu. Sayyidina Ali beralasan bahwa beliau tidak ingin membunuh karena masih ada amarah dan kebencian dalam hatinya terhadap Amru bin Abdu Wadd. Meskipun kemudian, setelah situasi hati Sayyidina Ali sudah reda, beliau tetap membunuh Amru bin Abdu Wadd.

Cak Nun pernah menjelaskan bahwa dalam kehidupan ada proses dialetika sebab-akibat. Jika sebab sebuah perbuatan itu baik maka akan menghasilkan akibat yang juga baik. Begitu pula sebaliknya. Dalam berjuang, manusia harus mampu menemukan ketepatan langkah yang diambil dan juga memiliki alasan yang tepat saat mengayunkan pedangnya.

Hari ini, Bangsa Indonesia menghadapi sebuah tantangan yang sangat besar dan sangat menentukan kemana masa depan Bangsa Indonesia akan diarahkan. Bangsa Indonesia sudah tidak memiliki waktu lagi untuk terus menyibukkan diri dalam pertengkaran-pertengkaran dalam lingkup internal mereka. Yang terjadi hari ini; Kesadaran manusia dijadikan serpihan-serpihan. Kumpulan-kumpulan manusia dibungkus dalam institusionalisasi aliran-aliran, baik yang madzhabiyah dalam Islam sampai sub dan sub-subnya, maupun label-label seperti Liberalisme, Radikalisme, Fundamentalisme, Pluralisme, dan macam-macam lagi. Keutuhan manusia diredusir, dipersempit, dikurangi, diiris-iris, dipangkas, dibonsai, dijadikan suatu jenis makhluk yang tidak memiliki keutuhan. Manusia bukan khalifah ideologi, melainkan disandera di dalam kotak-kotak ideologi, aliran, kelompok. (Daur 268).

Kehancuran Indonesia ada didepan mata manakala Bangsa Indonesia terus menerus melestarikan perpecahan dalam diri mereka. Tahlukah Bangsa Indonesia akan semakin sempurna, jika Bangsa Indonesia tidak segera menyadarkan dirinya bahwa Tanah Air Indonesia yang dianugerahkan oleh Allah ini harus dikelola dengan baik, bukan hanya untuk generasi saat ini tetapi juga untuk generasi yang akan datang.