Menepi Dari Keramaian, Menemukan Kembali Kesejatian Diri

HARI-HARI ini kita sedang berada di zaman yang polarisasinya semakin rumit. Benarlah ada ungkapan bahwa kebenaran hari ini sangat mungkin tidak menjadi kebenaran di kemudian hari. Ada banyak contoh bagaimana orang-orang di sekitar kita tidak mampu mempertahankan kebenaran yang mereka yakini sebelumnya. Nyatanya memang begitulah realitanya, kebenaran yang sejati hanyalah milik Tuhan. Manusia hanya mendapat cipratan kebenaran itu yang tidak seberapa, namun begitu bangga dan besar hati menampakkannya di hadapan orang.

Dahulu, kita di Indonesia begitu terkurung dengan batasan-batasan. Untuk mengekspresikan pendapat saja kita tidak bisa mengungkapkan dengan bebas. Setelah gerbang kebebasan itu dibuka 2 dekade silam, yang terjadi kemudian adalah kegupuhan kita untuk menyadari betapa arus informasi yang begitu deras memerlukan filter yang sangat kuat. Yang terjadi kemudian, kebebasan mengakses informasi dan menyebarluaskan informasi menjadikan kita terjerembab ke dalam ruang yang bernama “merasa benar sendiri”.

Saat ini, informasi yang kita terima mayoritas hanya berdasarkan atas apa yang kita sukai. Kemudahan mengakses informasi melalui internet yang sangat mudah kita jangkau melalui jari-jemari kita belum sepenuhnya melatih kita menjadi dewasa dalam menyaring informasi. Pijakan yang kita gunakan adalah informasi yang “enak” bagi kita, bukan informasi yang “baik” bagi kita. Sehingga, informasi yang kita akses hanya berdasarkan apa yang kita suka, bukan apa yang kita butuhkan. Ditambah lagi, begitu gandrungnya kita dengan media sosial hari ini, arus informasi mayoritas berasal dari media sosial, sementara kita sama sekali tidak memiliki kekuasaan atas informasi yang beredar itu. Kita semakin enggan pula untuk mencari informasi lebih detail dari setiap informasi yang kita dapatkan.

Dalam sebuah pagelaran wayang, seorang dalang bebas bereksplorasi memainkan adegan demi adegan, asalkan tidak keluar dari pakem yang ada. Improvisasi cerita memang dimungkinkan, namun tidak untuk melanggar pakem cerita wayang itu sendiri. Sebebas-bebasnya seorang dalang, pada akhirnya ia tidak memiliki kebebasan penuh untuk mengarang cerita, ia harus patuh kepada pakem yang sudah disepakati.

Nabi Adam AS pernah berdoa; Robbana dzholamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa lanakuunanna mina-l-khosiriin. Bahkan seorang Nabi memiliki kesadaran untuk mengakui bahwa dirinya berlaku dhzolim. Bagaimana dengan kita?

Kenduri Cinta edisi Februari 2019 mengangkat tema yang bagi sebagian orang akan mengernyitkan dahi; “Nabi Dholim”. Bagaimana mungkin, Nabi kok dholim? Bukankah Nabi adalah manusia yang ma’shum, yang sudah dijamin sorga oleh Allah. Kenapa ada Nabi Dholim? Tema ini adalah tema reflektif sebagai media pengembaraan ke dalam diri masing-masing individu jamaah Maiyah.

“Kita perlu untuk menepi sejenak dari keramaian zaman hari ini”, begitu ungkap Adi Pudjo. Memang demikian, adakalanya kita membutuhkan waktu sejenak untuk menepi dari keramaian zaman. Sejenak mengambil jeda untuk berkontemplasi, untuk merenung, untuk muhasabah. Adakah setiap dari diri kita ini sudah melakukan hal-hal yang seharusnya sudah kita lakukan. Atau jangan-jangan lebih banyak hal yang seharusnya kita lakukan namun tidak kita lakukan? Adakah kaki kita melangkah, telinga kita mendengar, mata kita memandang sesuai dengan apa yang diingkan oleh Dia yang telah menciptakan kita?

Suasana diskusi Kenduri Cinta edisi Februari 2019 lalu (15/2) begitu menggembirakan. Bahkan sejak awal, jamaah sudah berdatangan. Pelataran Taman Ismail Marzuki sudah penuh sesak, padahal jam menunjukkan masih pukul 9 malam. Cuaca Jakarta sejak siang hari cukup bersahabat, tidak terlalu panas, langit juga tidak mendung. Mungkin ini pula salah satu alasan jamaah datang lebih awal. Ada jamaah yang menyumbangkan puisinya dibacakan di Kenduri Cinta malam itu, sejenak kemudian petikan gitar akustik yang dimainkan oleh Ranu untuk mengiringi Raras yang bersuara merdu mengalun indah malam itu. Semakin spesial, malam itu salah satu vokalis KiaiKanjeng; Donny Saputro hadir di Kenduri Cinta, lagu “We’re In Heaven” dan “More Than Words” dimainkan oleh Donny, berduet dengan Raras. Lagu-lagu lawas mengantarkan jamaah memasuki diskusi sesi selanjutnya.

“Manusia itu makhluk kemungkinan” Ali Hasbullah mengelaborasi mengapa manusia memiliki kecenderungan lebih mengutamakan ego dalam dirinya. Manusia memang memiliki hak untuk menentukan pilihan, tidak seperti malaikat atau iblis, yang hanya memiliki kepastian. Fahmi Agustian menambahkan, bahwa manusia diberi mandat sebagai khalifah di muka bumi. Allah sendiri yang menentukan mandat itu sehingga manusia memiliki sedikit hak untuk menentukan pilihan.

“Salah satu hal yang hilang dari dalam diri manusia hari ini adalah kesadaran untuk mengakui kesalahan”, Fahmi melanjutkan. Kecenderungan manusia hari ini adalah menjustifikasi orang lain, tetapi saat harus berkaca ke dalam diri sendiri, ia enggan. Jangankan untuk meminta maaf, untuk mengaku salah saja enggan. Lebih tepatnya manusia hari ini sangat gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah ia lakukan. Padahal, Nabi Adam AS saja sudah mengajarkan kita untuk mengakui kesalahan di hadapan Allah melalui doa yang ia ucapkan.

“Apakah mungkin manusia membicarakan Tuhan?”, sebuah pertanyaan muncul dari jamaah. Ada sebuah hadits Rasulullah Saw; Tafakkaru ‘ani-l-kholqi walaa tafakkaruu ‘ani-l-kholiq. Kurang lebih artinya; pikirkanlah ciptaan Allah, namun jangan memikirkan tentang dzat Allah. Karena akal manusia tidak akan pernah mampu menjangkau dzat Allah. Ditengah diskusi, Cak Nun, Ibu Via dan Sabrang bergabung di forum Kenduri Cinta. Mengambil tempat di sisi panggung, turut menyimak berlangsungnya forum, sembari menikmati sajian kudapan yang dihidangkan oleh penggiat.

SETELAH JEDA musik yang ditampilkan oleh Duo Bimantoro dan dilanjutkan duet Krist dan Donny, Cak Nun dan Sabrang bergabung di atas panggung memulai diskusi selanjutnya. Cak Nun mengungkapkan kebahagiaannya malam itu karena Ibu Via turut menemani hadir di Kenduri Cinta. Di awal-awal, kemesaraan Cak Nun dan Ibu Via semakin mencairkan suasana diskusi malam itu. Forum pun berlangsung begitu hangat, mengalir alami, egaliter.

“Saya khawatir bahwa Anda terlalu berlebihan memiliki ekpektasi terhadap saya”, Cak Nun mengawali diskusi dengan menyampaikan sebuah pesan yang cukup jelas. Menegaskan bahwa di Maiyah tidak ada satu pun orang yang patut untuk dikultuskan, apalagi dibebani ekspektasi yang berlebihan. Cak Nun menekankan bahwa yang seharusnya kita teladani dan kita ikuti adalah Rasulullah Saw. Kita harus setengah mati mengikuti Rasulullah Saw. Karena hanya Rasulullah Saw yang sanggup mengamankan kita di hadapan Allah kelak.

Maka dari itu, yang dilakukan oleh Cak Nun melalui Maiyahan adalah menyentuh rakyat-rakyat kecil di level terbawah dari strata sosial di Indonesia. Karena hanya dengan itulah Cak Nun bisa mendekatkan diri dengan masyarakat, menggelorakan sinau bareng, melalui forum yang membuka lebar-lebar siapapun saja untuk berbicara dan saling bertukar wawasan. Begitu Maiyah bersentuhan dengan birokrasi pemerintahan, seperti ada jarak yang membentang sehingga Maiyah tidak kompatibel dengan mereka.

Begitu juga dengan dunia pers di Indonesia. Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini sama sekali tidak dikenal oleh dunia pers di Indonesia. Maiyahan yang embrionya dari Padhangmbulan dan sudah beralangsung dua dekade lebih, Kenduri Cinta sendiri tahun ini menapaki tahun ke-19, sama sekali tidak dikenal oleh media massa. Bahkan pernah suatu kali di sebuah media massa menulis; “…acara Kenduri Cinta yang dihadiri oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib”.

Cak Nun mengelaborasi tentang komunikasi, yang jika diterjemahkan lebih detail artinya adalah jalinan. Komunikasi yang baik akan melahirkan jalinan ketersambungan yang baik, maka dalam Islam terdapat metode sIlaturahmi. Silah sendiri merupakan sebuah kata dari bahasa arab yang artinya persambungan. Rahmi berasal dari kata rahiim. Jika ingin terjadi sebuah komunikasi, sehingga semua terjalin dengan baik, maka yang harus dilakukan adalah silaturahmi. Apakah yang terjadi di medsos adalah silaturahmi? Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Cak Nun.

Di tahun 70-an, Cak Nun pernah menulis dalam sebuah tulisan bahwa bangsa Indonesia sedang menuju puncak pembusukan. Ternyata sampai hari ini kita bahkan belum pernah merasakan puncak pembusukan itu. Yang dikhawatirkan oleh Cak Nun adalah karena kita sudah menjadi belatung di dunia yang sudah semakin busuk ini. Mayoritas orang-orang hari ini sangat memuja materialisme. Seperti yang terjadi dalam kampanye PILPRES hari ini, capaian yang menjadi ukuran adalah pembangunan infrastruktur, baik itu jalan tol, bandara, pelabuhan, bendungan, jalan raya dan lain sebagainya.

“Anda lihat semua komunikasi sosial yang terjadi. Kita semua bisa hidup di dalam bangkai, dan kita punya cita-cita untuk mem-bangkai-kan orang lain, bahkan kita seneng sekali kalau ada orang lain hancur”, Cak Nun melanjutkan. Dan yang terjadi di kontestasi PILPRES adalah memfokuskan diri bagaimana caranya agar kandidat yang menjadi lawan kontestasi mengalami kehancuran. Sehingga kemenangan PILPRES adalah kemenangan yang dibumbui dengan kehancuran pihak yang kalah. Hari ini kita sudah tidak memiliki parameter yang jelas tentang mana yang baik mana yang buruk, mana yang mulia mana yang hina. Kecenderungan kita hari ini adalah melihat sesuatu yang kita sukai, bukan yang kita butuhkan, bukan yang menurut kita baik.

Cak Nun kemudian meminta Sabrang untuk menceritakan beberapa penelitian tentang monyet. Dari beberapa penelitian tentang monyet ada banyak ilmu yang bisa dipetik hikmahnya. Selanjutnya, diskusi interaktif antara Cak Nun dengan Sabrang berlangsung sangat menarik. Pantikan-pantikan yang disampaikan oleh Cak Nun direspons oleh Sabrang dengan penjelasan yang lugas.

Sabrang menjelaskan, ada sebuah penelitian tentang monyet. Dalam sebuah kandang monyet terdapat 5 ekor monyet, kemudian ada sebuah tangga yang di puncak tangga tersebut terdapat pisang. Setiap ada satu ekor monyet yang menaiki tangga untuk mengambil pisang, monyet yang lain akan disemprot air es yang dingin. Setiap ada satu ekor monyet yang menaiki tangga, monyet-monyet lain di dalam kandang akan disemprot air es dingin. Semakin hari, berdasarkan pengalaman itu, yang terjadi kemudian adalah setiap ada satu monyet yang mencoba menaiki tangga, ia akan ditarik oleh monyet lainnya, kemudian dipukuli. Monyet-monyet itu sadar bahwa jika ada yang menaiki tangga, maka akibatnya adalah monyet yang lainnya yang menerima hukuman disemprot air es.

Kemudian, secara bergiliran, satu per satu monyet di dalam kandang dikeluarkan dan digantikan oleh monyet yang baru. Monyet yang baru masuk tidak mengetahui aturan main di dalam kandang, dia bingung ketika dia menaiki tangga kenapa ditarik oleh monyet lainnya kemudian dipukuli. Hingga akhirnya tertanam dalam alam bawah sadarnya bahwa menaiki tangga itu adalah sebuah pelanggaran. Hukum rimba sudah berlaku, tanpa ada hukuman disemprot dengan air dingin, monyet-monyet itu sudah menyadari bahwa menaiki tangga untuk mengambil pisang adalah sebuah pelanggaran.

Hingga akhirnya 5 monyet generasi awal yang merasakan hukuman semprot air dingin sudah tergantikan dengan monyet-monyet yang baru. Tetapi, karena hukum sudah berjalan dengan baik, monyet-monyet yang baru itu sudah memiliki kesadaran untuk tidak berani menaiki tangga untuk mengambil pisang. Mereka tidak mengetahui ada sejarah hukuman semprot air dingin, yang mereka ketahui adalah mereka tidak boleh menaiki tangga apalagi sampai mengambil pisang di puncak tangga itu.

Penelitian tentang monyet yang lain, yang membedakan mengapa manusia mampu lebih berkembang jauh dari monyet padahal organ tubuh yang dimiliki monyet hanya berbed sedikit dengan yang dimiliki oleh manusia, Sabrang menjelaskan bahwa dalam sebuah penelitian ditemukan yang membedakan adalah monyet betina dalam memilih pasangan hidup yang akan mengawininya tanpa memilih seperti halnya manusia memilih pasangannya dengan penuh pertimbangan. Manusia (perempuan) tidak akan sembarangan memilih pasangan hidup yang akan menikahinya, tetapi monyet tidak memiliki pertimbangan yang banyak dan rumit. Hal inilah yang kemudian menyebabkan mengapa peradaban manusia jauh lebih berkembang dibandingkan dengan peradaban monyet.

Penelitian ketiga, jari-jemari monyet itu ternyata fungsinya sangat berbeda dengan apa yang dimiliki oleh manusia. Jika manusia, jempol mampu bersentuhan dengan jari yang lainnya, sehingga manusia memiliki kemampuan presisi yang lebih baik daripada monyet. Ketika orang menulis, melukis, mengetik membutuhkan presisi jari-jemari. Sementara monyet, hanya bisa mendayagunakan tangannya dan jari-jemarinya untuk menggenggam. Sabrang menyebutnya sebagai power grip. Sesuatu yang digenggam seluruh tangan dan yang hanya dipegang oleh dua jari, memiliki fungsi yang berbeda. Misalnya, ada palu, cangkul, tongkat dan alat-alat yang lain yang harus digenggam untuk memaksimalkan fungsinya. Namun juga ada kuas, bolpoint, gitar dan beberapa alat lainnya yang hanya bisa difungsikan dengan jari-jemari.

Dari 3 penelitian tentang monyet itu, Sabrang mengambil benang merah dengan apa yang terjadi di Indonesia hari ini. Kita tidak memiliki referensi yang jelas sehingga kita melakukan sesuatu yang kita tidak mengetahui sebab-musababnya. Seperti monyet yang disiram air es tadi, ketika generasi monyet berganti, tanpa mereka mengetahui mengapa yang naik tangga dipukuli. Sementara ada sejarah yang terjadi bahwa monyet-monyet yang tidak menaiki tangga dihukum denganc ara disiram air es. Itulah fakta kita hari ini, kita tidak tau sejarah dan asal-usul apa yang terjadi di masa lampau, kita hanya taqlid terhadap orang tua kita. Ada banyak contoh bagaimana kita hanya meneruskan apa yang dilakukan oleh orang tua kita tanpa kita mau mencari sejarahnya.

Penelitian tentang monyet yang sangat mudah pertimbangannya dalam mencari pasangan dibanding manusia dan bagaimana manusia lebih memiliki presisi dalam menggunakan jari-jemarinya, ini yang dialami oleh masyarakat Indonesia hari ini. Memilih Presiden dengan hanya ada 2 pilihan, dan diharuskan memilih dengan menggunakan jari. Hal yang mudah dilakukan, namun menuju hari pemilihan masyarakat Indonesia diharuskan berfikir untuk menentuan pilihan. Jika salah memilih, maka sangat mungkin akan menyesali apa yang dipilih pada PILPRES kali ini.

Kecenderungan masyarakat kita hari ini, memilih dengan menggunakan pijakan emosi dalam diri. Sabrang mengingatkan bahwa jika kita memilih dengan emosi, maka di kemudian hari yang akan kita alami adalah penyesalan. Dari sekian edisi Pemilihan Umum yang sudah kita alami saja, kita sudah mengalami penyesalan demi penyesalan. Namun, hebatnya orang Indonesia adalah akan segera melupakan penyesalan yang ia rasakan hari ini.

MENJELANG pukul 2 dinihari, angin berhembus cukup kencang, perlahan hujan pun turun. Jamaah pun merapat ke panggung, suasana diskusi semakin akrab. Sebagian lainnya berteduh di teras-teras gedung di Taman Ismail Marzuki. Bahkan tidak sedikit pula yang bertahan berbasah-basahan diguyur hujan. Tidak ada niatan untuk segera menyudahi, memilih untuk pulang ke rumah. Kegembiraan berkumpul di majelis ilmu ini adalah kegembiraan yang harus dituntaskan. Meskipun bulan depan akan berjumpa lagi, kerinduan ini harus dituntaskan saat ini. Donny dan Krist membawakan lagi beberapa nomor akustik, memberi jeda agar jamaah tidak terlalu berat berpikir menyimak paparan-paparan Cak Nun dan Sabrang malam itu.

Di sesi akhir diskusi, ditengah hujan turun dengan intensitas yang cukup deras, Cak Nun meminta Dadang dan Fahmi untuk terlibat dalam diskusi interaktif, untuk membahas tema “NABI DHOLIM” lebih mendalam. Dari hikmah Nabi Adam AS yang mengucapkan doa; Robbanaa dzholamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa lanakuunannaa mina-l-khosiriin, Cak Nun mengajak jamaah untuk berkontemplasi, bahwa yang dibituhkan kita hari ini adalah kesadaran untuk mengakui bahwa diri kita masih banyak kekurangan.

Beberapa tahun yang lalu, di Kenduri Cinta Cak Nun pernah menyampaikan; “Untuk mengakui diri saya muslim saja saya tidak berani”, yang dimaksudkan oleh Cak Nun adalah bahwa tataran muslim atau kafir seseorang merupakan wilayah yang sangat rahasia dan privat. Posisi kita sebagai manusia adalah berusaha semoga menjadi manusia yang lulus menjadi muslim di hadapan Allah. Muslim dan kafir kaitannya adalah dengan kulitas, bukan kuantitas. Karena muslim atau kafirnya seseorang bukanlah identitas. Apa yang tertulis di KTP bukan merupakan hakikat dari Islam atau tidaknya seseorang, itu hanya sebagai identitas semata. Sementara secara kualitas, tidak ada satupun manusia yang bisa memberikan penilaian.

Dalam doa ifititah, terdapat kalimat wa ana mina-l-muslimin. Kalimat ini bukan dalam rangka menunjukkan apalagi menegaskan bahwa kita adalah orang muslim, namun kalimat ini merupakan salah satu rangkaian doa, sebuah pengharapan kita sebagai manusia, sebagai kalimat peneguhan diri kita, semoga kita menjadi manusia yang tergolong dalam orang-orang muslim. Apalagi jika kita berbicara kualitas, ada orang yang secara identitas adalah muslim tetapi perilakunya tidak mencerminkan kemusliman dirinya, sementara ada juga orang yang secara identitas tidak beragama Islam, namun perilakunya justru mencerminkan perilaku yang penuh dengan akhlaq yang mulia. Siapakah yang kelak diterima oleh Allah? Tentu bukan kita yang menentukan.

Di puncak diskusi, Cak Nun mengajak jamaah untuk mentadabburi surat Al Kafiruun, yang ditadabburi oleh Cak Nun adalah bahwa melalui surat tersebut bukan kemudian dijadikan sebagai surat yang kemudian kita membacanya kepada orang kafir secara langsung. Namun, makna-makna dari surat tersebut cukup menjadi bahan kontemplasi dalam diri kita ketika berhadapan dengan orang-orang kafir. Karena untuk menyebut orang lain sebagai orang kafir, kita seharusnya lebih mengutamakan pertimbangan akhlaq, kasih sayang, moral, budaya, tasammuh, sehingga apa yang kita ucapkan jangan sampai menyakiti orang lain.

Memungkasi Kenduri Cinta, ditengah hujan yang masih turun cukup deras, Cak Nun mengajak seluruh jamaah untuk memejamkan mata, kemudian mengucapkan hajatnya masing-masing di dalam hati. Kenduri Cinta diakhiri dengan ‘indal qiyam, kemudian jamaah bersama-sama membersihkan area pelataran Taman Ismail Marzuki, dan melipat terpal yang sebelumnya digunakan menjadi alas duduk.