Antara Fakta, Nyata, dan Makna

MARI SEJENAK kita belajar tentang fakta, nyata, dan makna. Al Qur’an tidak mempresentasikan fakta, melainkan makna. Begitu kira-kira yang diungkapkan oleh Sabrang di Kenduri Cinta edisi Februari 2019 (15/2) lalu. Secara fakta, Al Qur’an sama sekali tidak berubah sejak awal mula diwahyukan kepada Rasulullah Saw hingga hari ini. Teks-nya tidak berubah, ayatnya tidak berubah. Tetapi secara makna, tentu mengalami perkembangan, dan juga setiap individu manusia yang memaknai Al Qur’an akan menemukan makna masing-masing, yang sudah pasti berbeda. Tentu saja yang berbeda adalah bagaimana manusia memaknai Al Qur’an. Dalam wilayah pemaknaan saja bisa sangat berbeda antara manusia, apalagi jika kita memasuki ranah tafsir. Maka tidak mengherankan jika tafsir Al Qur’an pun terdapat banyak versi.

Satu ayat ditafsirkan, kemudian dijadikan pembelajaran, kemudian dimaknai. Tidak menutup kemungkinan, makna yang tersirat hari ini akan menjadi makna yang usang di kemudian hari. Perjalana hidup seseorang yang kemudian mengantarkannya menemukan makna yang baru dari setiap ayat yang ia tadabburi. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa Cak Nun merekomendasikan kita untuk menjalani proses tadabbur dalam memaknai Al Qur’an. Tidak ada kemungkinan revisi baru tentang Al Qur’an secara teks, yang terus mengalami perubahan adalah pemahaman Al Qur’an secara tekstual dan kontekstual.

Pada setiap pengalaman hidup, kita mengalami sebuah fakta. Kita melihat orang patah hati, itu adalah fakta. Kita melihat orang bahagia karena mendapat hadiah, itu fakta. Suatu kali kita menolong orang yang kesusahan, itu adalah fakta. Ketika seorang pria mencintai seorang wanita, kemudian ia mengajak kencan si wanita, membelikan banyak barang, itulah fakta yang ia rasakan. Memaknai fakta tersebut, ia begitu bahagia karena membuat wanita pujaan hatinya riang gembira.

Bagaimana kemudian makan dari fakta itu berubah? Ketika suatu hari kedua sejoli itu putus cinta, maka pemaknaannya dari fakta-fakta yang telah terjadi menjadi berubah. Ketika masih berpacaran, makna dari fakta membelikan barang kepada sang kekasih adalah sesuatu yang membahagiakan, membanggakan, menggembirakan. Ketika sudah putus cinta, disaat mengingat fakta-fakat kemesraan semasa berpacaran, betapa makna itu berubah. Apalagi jika sejoli itu putus cinta karena salah satu diantara mereka berkhianat dan selingkuh. Betapa makna yang tersirat kemudian adalah rasa penyesalan yang luar biasa, menyadari betapa bodoh dirinya menghabiskan uang untuk kekasih yang ternyata berkhianat.

Begitulah adanya kita dalam kehidupan sehari-hari. Pemaknaan terhadap fakta-fakta yang kita alami setiap hari akan sangat mungkin berubah di kemudian hari. Fakta itu bersifat statis, sementara makna berisfat dinamis. Apa yang kita ungkapkan ketika menerima fakta dan kemudian menemukan makna adalah nyata. Kenyataan tidak akan mengubah fakta, sementara makna yang tersirat akan dapat berubah berdasarkan pengalaman hidup di kemudian hari. Berapa banyak pengalaman di masa lalu yang kemudian hari ini kita akui sebagai sebuah kebodohan? Sementara ada juga pengalaman di masa lalu yang kita kenang sebagai sebuah peristiwa yang membahagiakan? Begitulah adanya hidup. Dinamis.

Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq pernah menyesali karena tidak melakukan beberapa hal yang seharusnya ia lakukan. Ia juga menyesali karena melakukan beberaa hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Secara nyata Khalifah Abu Bakar mengajarkan kepada kita bahwa sudah sepantasnya setiap kali kita hendak melakukan sesuatu, kita memiliki presisi perhitungan yang matang, apakah yang akan dilakukan itu memang pantas kita lakukan, atau sebaiknya tidak kita lakukan.

Kita hidup di dunia berhadapan dengan pilihan-pilihan. Dari pilihan-pilihan itu kemudian ada pilihan yang kita pilih, sebagian pilihan itu tidak membuat kita menyesal di kemudian hari karena telah memilih pilihan itu, sebagian pilihan yang lain sangat mungkin membuat kita menyesali mengapa pilihan itu yang kita pilih. Namun tentu saja, penyesalan itu berdasarkan atas pengalaman yang kita alami di kemudian hari.

Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, beranikah kita mengakui kesalahan ketika ternyata pilihan yang kita pilih sebelumnya adalah sesuatu yang salah? Seringkali ego dalam diri kita lebih besar dari sikap rendah hati yang kita miliki. Seringkali kita lebih mementingkan ego dalam diri kita, sehingga kita merasa gengsi untuk mengakui bahwa pilihan yang sudah kita pilih di masa lalu adalah pilihan yang salah.

Melalui pengembaraan fakta dan makna, menjadi kunci tadabbur yang baru dalam hidup kita. Seharusnya kita menjadi semakin tersadar bahwa kita sama sekali tidak punya hak untuk menjustifikasi orang lain atas apa yang dilakukan. Menjadi manusia yang bijak memang sesuatu yang sulit, namun melalui pengembaraan fakta dan makna, mungkin menjadi media pembelajaran bagi kita hari ini untuk semakin melatih keluasan diri, sehingga semakin mudah menerima perbedaan, melapangkan dada untuk memperluas permakluman-permakluman kepada orang lain.

Nabi Adam AS mengucapkan doa; Robbana dzholamna anfusana wa in lam taghfir lanaa lanakuunannaa mina-l-khosiriin. Sebuah doa pengakuan atas kesalahan dalam diri, namun nilai yang juga hendak disampaikan oleh Nabi Adam AS kepada kita adalah, jangan pernah malu untuk mengakui kesalahan dalam diri. Siapapun kita, apapun jabatan kita, dimanapun kita berpijak, bagaimanapun keadaan hidup kita hari ini, mengakui kesalahan yang sudah kita perbuat adalah sebuah perilaku ksatria.