Mallalang Manannungan, Papperandang Ate

TIGA DEKADE silam, Cak Nun “babat alas” di sebuah kecamatan yang sunyi, yang tak tersentuh oleh pembangunan, di pelosok Sulawesi, di Mandar. Adalah alm Alisjahbana yang memperkenalkan sosok Cak Nun kepada para pemuda di Tinambung ini. Anak-anak muda yang seharusnya menjadi motor penggerak peradaban masa depan, saat itu kehilangan arah. Mereka bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Alisjahbana melihat celah potensi anak-anak muda ini untuk berkembang dan berubah menjadi lebih baik.

Seakan baru memulai kembali peradaban, anak-anak muda itu seperti lahir kembali setelah bersentuhan dengan Cak Nun dalam beberapa malam saja. Jangan dibayangkan kemudahan informasi seperti hari ini, di tahun 80-an, di Tinambung akses informasi sangat sulit, bahkan telepon umum belum menjangkau daerah ini. Alisjahbana hanya menceritakan bahwa ia memiliki seorang sahabat di Yogyakarta. Dari cerita-cerita, berkembang kemudian memperkenalkan sosok sang sahabat itu melalui tulisan-tulisan yang terpublikasi di “Panji Masyarakat”. Selain dari cerita dan tulisan, Alisjahbana juga sempat memperdengarkan kepada anak-anak muda itu rekaman orasi Cak Nun di sebuah acara dari sebuah pita kaset yang diputar. Proses itu membuat mereka sangat kepincut kepada sosok Emha Ainun Nadjib.

Tak ayal, dalam bayangan mereka, Emha Ainun Nadjib adalah seorang tokoh besar, penuh gelar akademis, memiliki pengaruh di kancah nasional, atau setidaknya Emha adalah seorang ulama besar, karena di tulisan-tulisan yang mereka baca saat itu, sosok Emha menyentuh batin mereka dengan nilai-nilai Islam tanpa menggurui. Terperanjatlah mereka ketika Cak Nun benar-benar hadir di bumi Mandar. Ternyata, sosok yang mereka kagumi itu masih sangat muda, bahkan usia Cak Nun saat itu hanya terpaut beberapa tahun saja dengan mereka. Kaget, serasa tak percaya, namun rasa cinta mereka sudah sangat mendalam. Kesan mendalam persentuhan pertama Cak Nun dengan anak-anak muda itu tertulis dalam salah satu tulisan Cak Nun yang berjudul “Hujan Menangis”, tulisan ini terkumpul dalam buku Slilit Sang Kiai.

Satu dekade berlalu, persambungan Cak Nun dengan pemuda-pemuda di Mandar ini terus berlanjut. Para pemuda ini akhirnya mengetahui bahwa ada majelis ilmu Padhangmbulan di Jombang, tepatnya di Menturo. Di tahun 1997, sebanyak 20 orang rombongan berangkat menuju Jombang. Dari Mandar, mereka menempuh perjalanan darat menuju Makassar. Kala itu, perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 12 jam. Sesampainya di Makassar, mereka menuju pelabuhan untuk melanjutkan perjalanan menggunakan kapal laut menuju Surabaya. Perjalanan laut mereka tempuh selama 1 hari 1 malam. Sesampainya di Surabaya, mereka menuju Menturo.

Pengalaman pertama mereka mengikuti Padhangmbulan sangat membekas. Terbesit dalam hati mereka untuk melahirkan majelis ilmu serupa. Bagi mereka, majelis ilmu seperti Padahangmbulan ini sangat dibutuhkan kehadirannya di Mandar. Bagaimana masyarakat berkumpul dalam sebuah majelis, menyimak paparan dari orang yang mereka anggap sebagai guru, semua duduk bersama, melingkar, tidak ada doktrin sehingga setiap orang memiliki kemerdekaan untuk menentukan nilai mana yang akan mereka ambil.

Maka lahirlah Papperandang Ate, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah menjernihkan hati. Tentu ada benang merahnya dengan lagu “Tombo Ati” yang pada medio pertengahan 90’an dipopulerkan oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng. Dari forum ini, mereka berharap agar Papperandang Ate menjadi sebuah forum yang menjernihkan hati setiap orang yang datang dan berkumpul.

Setelah mereka melakukan perjalanan silaturahmi di pulau Jawa, mereka kembali ke Mandar. Diputuskanlah majelis ilmu Papperandang Ate diselenggarakan dalam kurun waktu rutinan 3 bulan sekali. Di era awal-awal Papperandang Ate, Cak Nun hadir bersama KiaiKanjeng. Beberapa bulan kemudian, Cak Nun mengajak Hadad Alwi dan Cici Paramida untuk juga hadir di Papperandang Ate. Di forum ini pula Cak Nun berkenalan dengan Bunda Cammana. Sosok istimewa yang dimiliki oleh masyarakat Mandar, dengan keistiqomahannya melestarikan tradisi kesenian Parrabana Tobaire, dengan dipadukan sholawatan.

Hari ini, tepat 21 tahun Papperandang Ate berproses. Menjalani proses perjalanan yang penuh dinamika. Seperti halnya dengan simpul Maiyah lainnya di berbagai daerah, Papperandang Ate memiliki keunikan ciri khas dan potensinya. Berakar dari para penggiat Komunitas Teater Flamboyan, generasi muda Papperandang Ate hari ini juga adalah para pelaku kesenian yang terus mengikuti zaman, namun tetap memegang nilai-nilai luhur kebudayaan Mandar.

Perjalanan ini belum berakhir. Papperandang Ate masih akan terus melangkah setapak demi setapak untuk menjernihkan hati masyarakat Mandar. Teruslah berproses dan Papperandang Ate. Mallalang manannungan!