Lengangnya Ibukota Menyambut Hari “Kemenangan”

WAJAH YUDISTIRA nampak pucat mengenakan Mahkota Kerajaan. Senyumnya nampak dipaksakan untuk sekedar membalas sambutan Rakyat Astina dalam pesta kemenangan yang terasa hambar. Saat duduk di singgasana, dalam batin Sang Karimataya  bertanya pada dirinya sendiri. “Hari kemenangan? kemenangan atas apa? dari siapa?” Raut muka Yudistira dan keempat Pandawa lainnya memancarkan rupa yang sama. Penyesalan, kelegaan dan kehampaan tercampur aduk pada hari kemenangan atas perang saudara Pandawa-Kurawa, Baratayuda. Perang Baratayuda antara Pandawa-Kurawa selesai dan Pendawa dinyatakan sebagai pemenang. Seratus Kurawa tewas-habis dalam peperangan itu, namun kemenangan Pandawa tidak menghadirkan kegembiraan. Pasalnya yang mereka kalahkan adalah saudara mereka sendiri, dan anak-anak Pandawa berguguran satu-persatu selama berlangsungnya perang hingga tak bersisa.

Kemenangan dapat diraih dengan cara termudahnya yaitu dengan mengalahkan. Perjuangan setiap orang didasari dengan semangat mengalahkan lawan dalam peperangan, pertandingan, pertarungan ataupun perlombaan. Dogma kemenangan digambarkan sebagai puncak sebuah piramida-kompetisi yang dibangun berdasarkan sportifitas dalam mengalahkan lawan. Masyarakat modern menuntut setiap individu untuk memasuki arena kompetisi ini. Dipacu untuk meningkatkan kemampuan bertahan dan bertarung dalam menghadapi setiap persoalan kehidupan. Masalahnya tidak semua kemenangan dapat diraih dengan cara persaingan. Justru yang paling dibutuhkan dalam keluarga dan masyarakat adalah kemenangan dalam mewujudkan kebersamaan.

Selama bulan Ramadlan kita dipaksa untuk berlatih menahan nafsu, setidaknya untuk menahan diri dari lapar dan dahaga.  Rutinitas selama bulan puasa seperti makan sahur, berbuka puasa bersama keluarga dan shalat tarawih di masjid seringkali mengingatkan kita pada momen-momen kebersamaan pada masa lalu bersama keluarga di kampung halaman. Kerinduan kita untuk menghadirkan suasana itu kembali menjadikan keinginan untuk dapat berkumpul bersama keluarga besar di kampung. Berkumpul bersama Ayah, Ibu, Kakek, Nenek, PakDe, BuDe, Om, Tante, Kakak, Adik dan sesama sanak-keluarga. Momen ini dapat menghadirkan kegembiraan kebersamaan keluarga setelah sekian lampa terpisah jarak.

Warga Ibukota yang mayoritas pendatang berbondong-bondong kembali ke kampung halaman menjelang lebaran. Berangsur dalam hitungan hari, Jakarta semakin terasa sepi. Rutinitas masyarakat Ibukota berubah drastis. Jalanan yang biasanya macet pada jam berangkat dan pulang kantor berubah menjadi lancar. Pabrik-pabrik, ruang-ruang kantor, kios, toko, mall yang biasanya ramai aktifitas berubah menjadi senyap. Kegiatan belajar di kelas-kelas sekolah dan kampus diliburkan. Ibukota menjadi lengang menjelang hari “kemenangan”, dan situasi ini akan segera kembali seperti semula setelah arus balik ke Ibukota.

Tigapuluh hari latihan berpuasa selama bulan Ramadlan baru akan teruji efektifitasnya pada sebelas bulan berikutnya. Ibadah puasa melatih kesabaran setiap pelakunya supaya mampu mengendalikan nafsu dalam dirinya. Ibadah puasa bersifat personal dihadapan Tuhan. Hakikat puasa tidak sekedar menahan lapar dan haus pada siang hari selama bulan Ramadlan saja. Aktifitas puasa justru perlu dilangsungkan di setiap perbuatan  sepanjang tahun dalam mengendalikan diri supaya terus setia dengan yang diimani. Karena setiap saat ujian terhadap keimanan berlangsung pada setiap aktifitas keseharian.

Tidak sedikit orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan lapar dan dahaga selama bulan Ramadlan saja. Begitu bulan Ramadlan telah usai, nafsu setan yang selama satu bulan dibelenggu lantas dibebaskan pada sebelas bulan berikutnya. Peperangan terberat melawan nafsu setan yang ada di tiap-tiap diri baru dimulai kembali. Maka dari itu, setelah hari “kemenangan” nanti, hari-hari pengendalian diri selama bulan Ramadlan jangan sampai tergantikan dengan hari-hari pelampiasan. [AS]