Idul Fitri: “Sungkem” Ke Pangkuan “Ibu Quran”

IDUL FITRI. Inilah momentum anugerah tertinggi. Inilah kondisi kebahagiaan teragung. Inilah situasi karamah, kemuliaan, yang paling menggiurkan.

Hamba-hamba-Mu tergetar menggemakan takbir, musik yang paling musik dari segala musik. Yang terpendam didalamnya puisi tersunyi dari segaral aras keheningan yang hanya mungkin diwakili oleh dua kata: Allah dan Akbar. Allah, satu-satunya nama yang orisinil, satu-satunya yang benar nama.

Dan, Akbar, bukan Kabir. Kabir itu mahabesar, maha-agung, maha-unggul. Akbar adalah Maha lebih besar, Maha lebih agung, Maha lebih unggul.

“Lebih“, karena hamba-hambalah yang mengucapkan kata itu: di dalam kesadaran para hamba, di dalam penghayatan dan cinta para hamba Allah  senantiasa terasa lebih besar, lebih agung, dan lebih unggul. Memuai. Akbar.

Para hamba meninggikan tangan dan ketakjuban total. Para hamba tersujud-sujud di hamparan Shirath mustaqim, jalan yang ditegakkan. Jalan an’amta ‘alaihim, jalan di mana Sang Maha-Engkau menyiapkan setinggi-tinggi nikmat: suatu kondisi kosmologis, yang diraih dengan teologi Ramadan dan Idul Fitri, serta melalui pergulatan filosofis ilaihi roji’un. Menempuh perjalanan kembali. Kembali ke hadiratNya. Kembali fitri. Kembali sejati. Betapakah wajah para hamba yang Engkau beri nikmat, ya Akbar? Menjadi siapakah  mereka?

An-Nabiyyin. Para Nabi yang Engkau nobatkan serta para pewaris tongkat mereka. Para pembawa kabar gembira. Para wartawan segala peradaban. Penabur kebenaran, basyir wa nadzir, yang membangun, mengontrol, dan memperbaiki.

Oleh karena itu, merekalah as-shiddiqin, orang-orang yang kepada mereka kita sandarkan kepecayaan. Orang-orang  yang jujur. Yang utuh dan memelihara kejujurannya dengan terus-menerus bertahan menjadi Syuhada, pejuang. Syuhada itu jamak dari syahid. Saksi. Orang-orang yang menyaksikan, bersaksi, dan memperjuangkan kesaksiannya atas kebenaran Allah, haqqullah dengan pena dan kata-kata, dengan badan dan keringat, dan akhirnya dengan kematian—karena kebenaran sebisa mungkin harus tersertakan di sisi mautnya, agar kematiannya pun menyaksikan dan bersaksi atas kebenaran itu.

Tak heranlah bila Allah menyebut mereka As-Shalih-in. Orang-orang saleh. Pelaku-pelaku Ishlah, yang setiap kali siap dan bersedia memperbaiki zaman, merombak dan membenahi sejarah, merevisi, mereformasi, merestrukturisasi, mensistematisasi, mengubah, dan melahirkannya kembali.

Ya Allah, semoga itulah kami. Semoga karena itulah tak ragu kaki kami melangkah ke aras agung Idul fitri-Mu dan menggemakan Akbar-Mu.

TOTALITAS TANGIS BAYI

ADAPUN DENGAN common sense, barangkali kita bisa mengasosiasikan arti Idul Fitri secara sederhana. Id itu ‘kembali’. Fitri itu ‘fitrah’. Asli. Orisinil. Bayi. Bayi itu “telanjang”, tidak banyak embel-embel. Tidak rewel dan penuh pamrih oleh tetek bengek sebagaimana orang dewasa.

Bayi itu masih alam, belum budaya. Mengidulfitri, kembali mengalami. Tidak lantas berarti “undur-budaya“, melainkan menanggalkan—minimal pada level kesadaran dan sikap—setiap anasir budaya yang tidak relevan atau terutama yang destruktif terhadap kemurnian alam.

Idul fitri itu retrospeksi total. Kalau bayi tertawa, nature-nya, keasliannya yang tertawa, sehingga seakan-akan Tuhan itu sendiri yang tertawa. Sebab, siapa lagi, selain Dia, yang asli sejati dalam arti yang sebenar-benarnya?

Kalau ia menangis, yang menangis bukan naluri untuung ruginya, bukan kemabukan hayawani seperti bila orang dewasa berdagang, berpolitik, dan berkarier.

Tangis bayi adalah ekspresi batas alam dan budaya, dimana dimensi keindahan, kebaikan, dan kebenaran masih menyatu, total dan masih bisa ‘’dijamin’’. Tangis bayi itu haq (kebenaran) Allah, sekaligus hub (cinta)-Nya yang baik dan indah. Tangis bayi itu suci. Tanpa Pamrih.

Mungkin juga bayi menangis karena awal rasa sakit dan penderitaan: salah satu ‘’tema’’ gagasan penciptaan atas makhluk. Namun, tangis bayi masih berupa ‘’derita alam’’, yang merupakan bagian dari keindahan orkestrasi nilai ciptaan Tuhan. Bukan tangis oleh stres, oleh kesengsaraan artifisial sebagaimana kelak terjadi pada kehidupan orang-orang dewasa—sesuatu yang sebenarnya bisa tak perlu terjadi.

Tangis bayi itu total, utuh, karena antara Khalik dengan makhluk belum dijaraki oleh kebudayaan atau rekayasa manusia (iradatunnas). Padanya masih bersatu tiga unsur: asal usul alam (amrullah), sebab alam (iradatullah) dan disiplin untuk kembali kepada-Nya (ilaihi roji’un)—yang pada orang dewasa, pada realitas sosial, kebudayaan, dan peradaban: unsur ketiga itu ditempuh melalui sejumlah jarak, yakni hisab atau perhitungan dosa dan pahala, rugi dan untung, perohanian, neraka, dan surga.

MANAJEMEN LIMA SIFAT ALLAH

KALAU KITA ngomong tentang bayi, pasti teringat Ibu. Dan, untuk menemukan rujukan-rujukan orisinil tentang bayi dan kefitrian, ada kemungkinan kita lantas ingat juga “Ibu Quran” (Ummul Quran), yakni Al-Fatihah, sebagaimana kita temukan hikmah as-shirath al-mustaqim dan an’amta ‘alaihim di atas.

Kemudian kalau di gua garba Ibu Quran itu kita bertapa rohani dan bertafakur intelektual, tampaklah anasir-anasir inti sang Ibu. Apa gerangan? Ialah cikal bakal ajaran cinta, kasih sayang, kepengasuhan, dan pengelolaan, yakni rahman (pecinta, pengasih), rahim (penyayang), rab (pengasuh), dan malik (maharaja).

Maka, bagi setiap dan semua manusia Idul fitri bermakna memposisikan dirinya kembali pada titik paling sehat ditengah mizan (perimbangan) manajemen empat sifat Allah yang terkandung dalam Ummul Quran, sebagai nucleus dari ragam dan kesempurnaan asma-Nya.

Ini berlaku baik dalam kedudukan manusia sebagai bagian dari hamparan al’amiin (alam semesta, universalitas) maupun sebagai titik-titik relative di tengah realitas sosial (komunitas, negara, kebudayaan, peradaban).

Manusia tidak dapat mengambil hanya salah satu dari al-asmaul al-a’dham—nama-nama teragung—itu. Seseorang, sebagai produk inisiatif ciptaan Allah (iradatullah), tidak relevan untuk hanya mentransfer—umpamanya—sifat maharaja-Nya belaka, tanpa persenyawaan dengan sifat cinta, kasih sayang, dan kepenyantunan serta pengasuhan-Nya.

Segala macam praktik otoritarianisme, ketidakadilan, pengisapan manusia atas manusia, tak lain merupakan akibat dari pengambilan secara parsial atas sifat Allah yang terjemahkan pada diri manusia. Gejala yang sama juga terjadi tatkala kelengkapan acuan dalam Quran diambil hanya berdasarkan dan untuk melegitimasikan subjektivitas kepentingan, pamrih kelompok, atau egosentrisme. Itulah sumber permasalahan kenapa agama sering disalahpahamkan, dimanifestasikan secara pincang atau manipulatif.

Mari kita pakai kiasan bersahaja lagi: ibaratkan buah mangga. “Daging” isinya adalah rahman, cinta individual. Rasa manisnya adalah rahim, kasih sayang universal. Kulitnya adalah rabb, pengasuh yang menyantuni dan melindungi. Kerekatan antara isi dengan kulit mangga adalah malik, otoritas yang dipelihara.

Apa biji yang terletak di pusat buah mangga itu? Ia lebih tersembunyi, pahit rasanya, tapi dialah yang menyangga mandat regenerasi, pertumbuhan, kelestarian dan pengabdian.

Ketika Allah melemparkan skema pokok asma-Nya di berbagai surah Quran, nama rahman dan rahim selalu didahului oleh ‘alimul ghaib: (Khalik) yang mengetahui segala yang tak terketahui (oleh segala makhluk).

Bertumbuh dan memuaikan pengetahuan kita tentang kandungan sifat itu? Tentulah substansi ‘alimul ghaib itu ilmu pengetahuan, sebagaimana kesengajaan Allah sendiri untuk menuturkan iqra‘—bacalah!—sebagai kata firman yang pertama. Sebab, Dia Maha Mengetahui, Dia mencinta kita, menyayangi kita, dan mengasuh kita. Ilmu pengetahuan adalah sumber atau sebab alami dan sekaligus perangkat pokok dari cinta dan kesantunan. Maka, padanya pulalah mata air dan muara (makrifah) perimbangan pengelolaan cinta, kasih sayang, kepengasuhan, dan otoritas.

Bayangkanlah orang mencintai dan menyayangi tanpa ilmu: dekat dengan kemungkinan keterjerumusan. Bayangkanlah orang-orang mengasuh tanpa ilmu: destruksi sangat mungkin terjadi. Bayangkanlah orang menyantuni tanpa ilmu: kemanjaan hasilnya. Dan, bayangkanlah orang berkuasa tanpa ilmu, apalagi tanpa cinta, kasih sayang, dan kesadaran kepengasuhan dan kesantunan: Fir’aunisme yang dibangunnya.

Allah juga menyebut diri-Nya tidak sekadar ‘Alim, tapi juga ’Alimul Ghaib. Bukan sekadar Maha Mengetahui, tetapi juga Maha Mengetahui Segala Yang Gaib. Gaib itu simbol dari ketakterhinggaan. Cerminan dari kenyataan relativitas dan keterbatasan ilmu yang dipinjamkan-Nya kepada manusia. Jadi, jabaran keilmuwan kata gaib ialah keterbatasan terhadap ketakterhingaan. Efek moralnya bagi manusia, tentunya adalah kerendahhatian. Tawadlu. Yang diasah terus-menerus dengan tradisi sujud.

Bayangkanlah perilaku manusia yang tanpa kerendahatian. Bayangkanlah ideologi, teknokrasi kehidupan masyarakat dan negara, institusi ilmu, partai politik, kritik sosial, atau langkah-langkah adab-budaya masyarakat manusia yang tidak berhikmah dari kerendahatian. Produknya mungkin keterjebakan berabad-abad, bumerang peradaban yang terlalu mahal ongkosnya, artifisialisasi kebudayaan, perang, stres, mabuk dan bunuh diri.

Oleh karena itu, puasa adalah media autokritik bagi manusia, komunitas, kebudayaan, dan peradaban. Juga, peluang untuk proses pengambilan jarak dari diri sendiri—baik ‘’diri personal’’ maupun ‘’diri sosial’’, diri dalam arti ‘‘masing-masing‘‘ maupun ‘‘bersama‘‘, diri pada segala konteks dan skala. Kemudian, mengevaluasinya dan melahirkan pembaruan yang memungkinkan kondisi Idul fitri bisa diperoleh.

MUTHAHRAR, TERCERAHKAN

DENGAN DEMIKIAN, prinsip utama realitas idul fitri ialah bahwa ia merupakan titik paling sublime dari kejiwaan manusia yang dihasilkan oleh proses laku puasa. Situasi dan kondisi sublime itu memiliki kemungkinan untuk berlaku pada level personal-psikologis maupun sosial-empiris. Seseorang yang sudah tarekat puasa sebulan penuh berhasil menyublimasikan dirinya, tetap dihadang kemungkinan untuk ‘’terguncang’’ atau ‘’terpecah’’ kembali karena atmosfer sosial atau sistem-sistem lingkungan yang mengikatnya—sesudah Lebaran—membuatnya terapuhkan dan terhanyutkan kembali.

Bahasa sederhananya, sesudah ber-Idul fitri dan bersih diri, ia bisa “kotor” kembali. Mungkin karena itu, sesudah setahun, ia dipuaskan dan memuaskan diri kembali. Allah bukan saja Maha mafhum terhadap kemungkinan “gelombang” dan “pasang surut” situasi hamba-hamba-Nya. Lebih dari itu, Dia juga “taktis”. Bahkan, Dia sediakan juga metode yang “radikal“: mulai sehari sesudah Idul fitri, kita disunahkan untuk berpuasa enam hai—ibadah “frontal“ dihadapan pesta pora Lebaran—dengan janji pahala dan kemuliaan yang beribu kali lipat.

Term dalam Quran, yang agaknya paling tepat untuk menggambarkan situasi sublime itu, adalah muthahhar. Artinya, manusia yang tersucikan. Terjenihkan. Tercerahkan.

Di kulit luar kitab Quran, Anda selalu bisa menemukan kalimat Allah itu: la yamassuhu illal-muthahharun. Arti tekstualnya: “Tidak menyentuh Kitab ini, kecuali dalam keadaan suci“. Makna kontekstualnya, sejauh yang saya coba pahami: “Seseorang tidak akan tuning in iklim Qurani, kecuali ia tercerahkan, baik secara spiritual, intelektual, mental, dan moral“.

Dengan demikian, gambaran situasi sublim kehidupan seseorang mempersyaratkan dan kejujuran intelektual, kesehatan spiritual, kejernihan dan kejujuran intelektual, kesehatan mental dan kelayakan moral. Tingkat dan kualitas pencapaian empat dimensi itu menentukan seberapa rekat seseorang berada dalam persenyawaan dan rohani Quran dan Ilmu Quran, serta dengan mentalitas dan moralitas Qurani—yang pada akhirnya tercermin dalam eprilaku sosialnya.

Bukanlah visibilitas Idul fitri mempersyaratkan keadaan kejiwaan dan realitas perilaku sosial sedemikian rupa sehingga relevan (berhak secara hukum dan ilmiah sebagai kenyataan) untuk mengalami dan memperoleh Idul fitri?.

Bukankah “Ibu Quran“ memperbandingkan antara manusia an’amta ’alaihim dengan manusia maghdlub dan manusia dhollin?

Maghdlub, orang yang Allah marah kepadanya. Orang yang “tahu tapi tak mau“. Orang-orang yang menyerap ilmu, tapi tak menerjemahkannya menjadi realitas kehidupan. Orang-orang yang menumpuk pemahaman, tapi tidak memperjuangkan dan menegakkannya karena kecil hati dan ciut nyali di hadapan kekuatan yang bukan Tuhan. Orang-orang yang membanggakan kepandaian akal, tapi memanjakan kehidupan dan menghinakan kematian, sehingga hidupnya membuih dan mengambang.

Orang-orang yang dalam shalat formalnya mengucapkan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in [hanya kepada-Mu aku mengabdi dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan] ternyata untuk memperolok-olokkan Allah, sebab realitas kehidupan tidak sungguh-sungguh ia letakkan dalam ikrar, konteks, dan iklim sikap yang semacam itu. Orang-orang yang selalu mengemis Ihdinasshiratal-mustaqim [tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan yang ditegakkan] dan Allah telah sejak dulu kala memberikannya, tapi mereka tidak benar-benar bersedia melalui dan menggunakannya. Orang-orang yang meminta, diberi, tak menerimanya, tapi meminta lagi, diberi dan tak menerimanya, dan meminta lagi.

Mungkin karena itu Rasulullah SAW mengajarkan agar sesudah shalat, hendaknya para hamba Allah berwirid astaghfirullah, astaghfirullah [ampun ya Allah! Ampun ya Allah!!!] dan siallah kalau ternyata kata-kata ini pun bercanda belaka.

Masih mending adhdholin, orang-orang yang “mau, tapi tak tahu“. Orang yang kurang maksimal ber-iqra‘, tapi tulus hati pengabdiannya. Orang yang tak pintar, tapi berani bekerja keras, penuh tekad, dan mengandalkan kesembodoan. Tidak mereka capai kesempurnaan an’amta ‘alaihim karena akal budi dan kecerdasan—indikator utama kemakhlukan manusia—kurang mereka asah dan olah, tapi mereka berada di “antrean” kedua menghadapi ghadlabullah, murka Allah.

Kita yang maghdlub dianjurkan oleh “Ibu Quran” untuk mengacu dan menghayati poros malik-rahim: perjuangan otoritas dan cinta kasih sosial. Adapun kita yang dhollin disarankan untuk memedomani lajur rab-rahman: bahwa untuk mengasuh dan menyantuni zaman, diperlukan pendalaman atau internalisasi cinta kasih, yakni cinta yang “tidak buta”, cinta yang “kawin”, dengan kebenaran—melalui ilmu. Itulah jalan pencerahan.

REESENSIALISASI

TIDAK ADA keadaan yang lebih menawarkan kecerahan melebihi pertemuan antara ketulusan Ibu dengan kerinduan tulus kita sendiri atasnya. Dan, Firman “Ibu Quran” adalah pintu gerbang intelektualitas, kemudian spiritualitas, untuk memasuki “gelombang Allah”: “Maha-Ibu” dari kehidupan.

Proses pendidikan, pergaulan, tetangga, komunitas, negara, kebudayaan, dan sejarah menyuguhkan kepada kita makanan ketela, serta “merakit” kita menjadi—mungkin benar-benar—“ketela”. Namun, sesudah melalui mulut, kerongkongan, dan usus, ketela itu kehilangan ketelaannya: ia menajdi unsur inti. Saripati. Mungkin semacam Idul fitri.

Ketela, getuk, keripik, atau kolak adalah produk budaya. Kita pedagang, kita penyair, kita direktur, kita presiden, kita ilmuwan, dan segala macam “kita” yang menajdi kebanggaan sehari-hari—adalah “getuk” budaya belaka. Padahal, kita menyangka itulah “jati diri”. Betapa term dan pemahaman tentang jati diri ini telah mendangkalkan kedalaman kemanusiaan dan memiskinkan hakikat rohani kita sendiri. Maka, perolehan Idul fitri adalah kesanggupan menarik jarak antara getuk dengan saripati. Antara “aku sosial”, “aku budaya”, atau “aku status” dan “aku identitas”—yang semu dan temporer—dengan “aku sejati”, “aku pribadi”, “aku diri”, kemudian akhirnya “aku Diri”, yakni “aku Sejati”.

Atmosfer kejiwaan sosial Idul fitri adalah merebut kembali hakikat kemanusiaan dari hubungan professional, hubungan fungsional, hubungan politik, hubungan kepentingan, dan berbagai jenis hubungan budaya lain yang sesungguhnya bersifat sekunder dan instrumental—untuk memposisikan diri kembali pada hablun, pertalian, yang lebih hakiki dan esensial: hubungan kemanusiaan, universalitas, hubungan hati nruani, hubungan cinta dan kebenaran.

Bersungguh-sungguhkah kita—yang esok ber-lebaran dengan gebyar warna-warni—memperjuangkan esensialisasi kejiwaan internal kita masing-masing, dan kemudian mencoba menerjemahkan dan memformulasikannya menjadi upaya-upaya pembaruan sosial?

Telah kita lalui Ramadan, satu bulan “proses peragian jiwa”. Mencairkan kebekuan dan kekakuan egosentrisme, nafsu berkuasa, nafsu memiliki, nafsu mempertahankan, sesuatu yang kita sangka kekuasaan dan kemenangan—yang esok hari akan menjerembabkan. Dengan puasa telah kita upayakan transformasi dan transubstansi diri: dari kesadaran jisim(konsentrasi untuk mencapai segala eksistensi kewadangan), menuju manusia quwwah (aksentuasi kepenuhan budaya dan kekuasaan), dan akhirnya menjadi manusia “nur” (keberpihakan terhadap pengintipan dan penyejatian langkah-langkah hidup).

Bersungguh-sungguhkah kita dengan proses peragian jiwa ini? Sebab, orang-orang yang terlambat menghentikan tradisi bohong kepada diri sendiri akan harus mempertahankannya dengan bohong kepada yang lain: kebohongan yang akan berakhir hanya kalamhin bilbashar—dalam sekejapan mata Allah. Orang-orang yang mengisi hidupnya dengan tradisi menjatuhkan, memonopoli, dan mengingkari sunah distribusi (sedangkan Allah pun menyuelenggarakan power sharing antara diri-Nya dengan para khalifah-Nya) akan tidak bisa menghindari kejatuhan. Orang-orang yang tidak meragikan kesadaran hidupnya, yang menggumpalkan ego dan penguasaan, yang memberhalakan dirinya sendiri di rumah, di kampong, dan di negeri, tidak bisa menghindarkan diri untuk tumbang oleh ikhtilafillaili wannahar—oleh tradisi alam pergantian siang dan malam segala zaman.

Akan tetapi, insya Allah kita bukanlah orang-orang semacam itu. Insya Allah kita adalah hamba-hamba Allah yang hari-hari ini sedang sungkem ke “telapak kaki ibu”: menundukkan muka di jalanan kesejatian kembali. Mendito, insya Allah kita adalah hamba-hamba Allah yang satu sama lain saling mengucapkan minal ‘aidin wal faizin, fi kulli ‘aamin wa antum bi khoir wa ‘afiyah: kita adalah hamba-hamba yang kembali kepada-Nya, yang beruntung karena dianugerahiNya sejati, yang memasuki tahun-tahun yang baik, sehat, dan selamat.