Kenduri Puisi Dalam Ijazah Maiyah

MEMBERIKAN penghormatan untuk seseorang yang memang pantas dihormati adalah sebuah kewajiban. Memberikan penghargaan kepada seseorang yang memang pantas dihargai adalah sebuah kewajiban. Dan tugas manusia pada hakikatnya adalah melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan. Melalui Ijazah Maiyah, masyarakat Maiyah tidak hanya mengungkapkan rasa syukur namun juga mengungkapkan rasa cinta yang mendalam kepada sosok-sosok yang pantas untuk menjadi teladan kehidupan.

Adalah Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail dan Iman Budhi Santosa. 3 sosok yang mendapat kehormatan menerima Ijazah Maiyah di Kenduri Cinta 12 Juli 2019. Rencananya, Umbu Landu Paranggi juga akan didaulat menerima Ijazah Maiyah pada 5 Agustus 2019 di Bali. Jika kita memakai kacamata pandang mainstream, maka yang kita temukan dari 4 sosok tersebut adalah bahwa mereka merupakan tokoh sastra di Indonesia, dengan kaliberny masing-masing. Tidak bisa disamakan diantara keempatnya, karena empat tokoh itu telah setia untuk menjadi dirinya masing-masing.

12 Juli 2019 yang lalu, Kenduri Cinta telah menjadi tuan rumah untuk menghormati 3 pujangga; Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail dan Iman Budhi Santosa. Karya-karya mereka diapresiasi, dikreatifi, kemudian dipentaskan di panggung Kenduri Cinta. Melalui bait demi bait puisi, jamaah memasuki labirin ilmu malam itu. Tentu saja itu bukan tontonan, meskipun pada setiap karya yang telah dipentaskan, tepuk tangan jamaah riuh membahana. Tapi, sekali lagi itu bukan tontonan.

Tiga pujangga; Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail dan Iman Budhi Santosa menyaksikan karya-karyanya dipentaskan, dikreatifi, diaransemen, dideklamasikan dengan indah. Malam itu di Kenduri Cinta menjadi malam Kenduri Puisi. Bahkan angin yang berhembus malam itu pun seakan-akan adalah puisi alam yang menyambut kehadiran masyarakat yang berdatangan.

Ada Anjar bersama Wahyu yang membawakan musik puisi, juga Panji sakti dan Emperan Pamulang yang mengaransemen syair-syair karya Sutardji Calzoum Bachri menjadi sebuah nomor lagu. Ada Palupi yang dengan lantang mendeklamasikan puisi karya Iman Budhi Santosa, lalu Musisi Jalanan Center dan terakhir Wakijo yang mengaransemen puisi karya Taufiq Ismail.

Setelah penampilan mereka, Cak Nun mengajak Syeikh Nursamad Kamba, Pak Indra Sjafri dan Bang Uki Bayu Sedjati untuk duduk di panggung utama. Cak Nun menyapa jamaah, kemudian menyampaikan beberapa hal mengenai Ijazah Maiyah. Sebuah naskah yang ditulis oleh Cak Nun pagi hari sebelumnya kemudian dibacakan sendiri oleh Cak Nun sebagai pengantar Ijazah Maiyah di Kenduri Cinta malam itu.

IJAZAH Maiyah ini bukan anugerah, melainkan persembahan. Bukan pemberian penghargaan, melainkan permohonan untuk diperkenankan menghargai, menghormati dan mentakdzimi sebagai sesama hamba Allah, kepada Presiden Abadi, Pujangga Abadi. Ini adalah penghormatan kepada manusia yang lebih memiliki kehormatan dibanding yang mempersembahkan. Beliau berempat, dengan idiom dari kebudayaan lain, adalah Begawan, Panembahan, Masyayikh, bahkan Mawali, yang cahayanya memancar sebagai “uswatun hasanah”, teladan kemanusiaan, bagi semua makhluk manusia lainnya. – Emha Ainun Nadjib

Dan muatan utama yang sebenarnya hendak disampaikan oleh Cak Nun melalui Ijazah Maiyah ini bukan berupa lembaran kertas atau plakat yang diserahkan kepada tiga pujangga itu. Justru lebih luas dari itu semua. Ijazah Maiyah muatan utamanya adalah nilai kehidupan, bahwa melalui Sutardji Calzoum, Taufiq Ismail dan Iman Budhi Santosa kita meneladani kesetiaan mereka dalam menjalani hidup sebagaimana yang Allah perintahkan kepada mereka.

Ditekankan oleh Cak Nun, Ijazah Maiyah tidak hanya dikhususkan oleh orang-orang yang besar, tokoh terkemuka atau orang yang terkenal. Tidak. Ijazah Maiyah diperuntukan kepada siapapun saja, manusia-manusia murni yang penuh dengan keteladanan untuk menjadi insan kamil, menjadi manusia yang sejati. Di tengah arus besar globalisasi asfala safilin sosok tiga pujangga itu menjadi teladan Ahsanu Taqwim sebagaimana yang Allah maksudkan.

Ijazah Maiyah pun kemudian diserahkan. Berurutan, Pak Indra Sjafri menyerahkan Ijazah Maiyah kepada Pak Taufiq Ismail, kemudian Syeikh Nursamad Kamba menyerahkan Ijazah Maiyah kepada Sutardji Calzoum Bachri, dan Bang Uki Bayu Sedjati menyerahkan Ijazah Maiyah kepada Pak Iman Budhi Santosa.

Setelahnya, Cak Nun mempersilakan satu persatu para pujangga itu untuk menyampaikan ungkapan syukur, membacakan puisi yang mana saja yang mereka ingin bacakan. Pak Taufiq Ismail mendapat kesempatan pertama. Dengan pembawaan yang lembut, Pak Taufiq Ismail membacakan “11 pesan untuk cucu-cucuku”, kemudian membacakan puisi Ketika El Maut Disembelih. Suara Pak Taufiq yang lembut dan santun, membaca bait demi bait puisi. Di usianya yang sudah mencapai 84 tahun, namun Pak Taufiq masih cukup sehat, masih kuat berdiri agak lama membaca karya-karya puisinya.

Pak Iman Budhi Santosa kemudian bercerita sedikit tentang kisah perjalanan spiritual bersama Presiden Maliobor, Umbu Landu Paranggi yang merupakan mentor utama di Universitas Malioboro. Kemudian, puisi-puisi yang penuh falsafah hidup masyarakat jawa pun ia bacakan. Hampir mirip dengan Pak Taufiq, Pak Iman membaca puisinya dengan tenang, tanpa hentakan suara yang keras, namun bait demi bait yang ia bacakan mengantarkan nilai-nilai kehidupan yang penuh makna.

Dan terakhir, Sang Presiden Penyair, Pak Sutardji Calzoum Bachri pun tampil. Di usia 77 tahun, Pak Sutardji tampil cukup prima. Meskipun harus duduk di atas kursi, namun sesekali ia berdiri, kemudian berjoget, sangat enerjik layaknya Sutardji yang masih muda. Puisi “Aku” karya Chairil Anwar ia bawakan dengan apik. Satu lagi, Pak Sutardji masih piawai memainkan harmonica kesayangannya. Wakijo Lan Sedulur pun mengimbangi penampilan Pak Sutardji ini dengan improvisasi musik mereka.

Malam puisi itu kemudian dilengkapi dengan kehadiran Mas Jose Rizal Manua yang juga turut membawakan puisi karyanya sendiri.

Jika yang datang ke Kenduri Cinta adalah masyarakat yang awam, maka malam itu akan dianggap sebagai malam puisi saja. Tetapi, masyarakat Maiyah tidak sesempit itu memandang apa yang mereka saksikan di panggung. Ketika Cak Nun memberi kesempatan bagi jamaah untuk sekadar bertanya atau merespons Ijazah Maiyah, ada seorang pemuda yang bertanya kepada Pak Sutardji bagaima kiat-kiat menulis puisi yang baik.

Pak Sutardji pun menjawab bahwa tidak perlu ritual khusus untuk menulis puisi. Bahwa sebenarnya, kata-kata itu sudah ada, kita hanya bertugas untuk merangkainya, bukan kita yang menciptakan kata-kata itu. “Menulis di atas tulisan, begitulah menulis puisi. Tidak ada menulis di atas kertas kosong. Tulisan itu sudah ada, kita merangkainya jadi puisi. Tulisan tersebut adalah ayat-ayat Allah”, ungkap Pak Sutardji Calzoum Bachri. Bagi Pak Sutardji, dalam menulis puisi sebenarnya ada aturan mainnya, Pak Sutardji menyebutnya sebagai Polisi Puitika, namun itu bukan dalam rangka mengekang kebebasan penulis puisi, justru dengan adanya aturan main itu, penulis puisi bisa lebih bebas dalam berkarya.

Pak Taufiq Ismail sudah terlebih dahulu berpamitan karena tidak bisa sampai selesai di Kenduri Cinta. Menjelang tengah malam, Pak Sutardji pun juga berpamitan.

ADA Pak Indra Sjafri yang kemudian diminta oleh Cak Nun untuk menceritakan pengalaman spiritual ketika menangani Tim U-19 Indonesia. Pak Indra berkisah, pada final AFF U-19 tahun 2013 silam, Pak Indra sudah mengusahakan secara teknis selama 90 menit dan babak perpanjangan waktu, namun skor masih imbang. Bahkan hingga 5 kesempatan awal tenadangan adu pinalti, skor pun masih imbang. Adalah Ilham Udin Armaiyn, pemain yang sama sekali tidak menajdi pilihan utama untuk mengeksekusi tendangan pinalti justru menjadi pemain yang menentukan Tim U-19 menjadi juara saat itu. “Saya belajar agama kemudian mengimplementasinya di sepakbola. Saya belajar sabra di sepakbola, saya belajar ikhlas di sepakbola”, ungkap Pak Indra.

Cak Nun pun menyampaikan, bahwa tidak ada satu jengkal pun dalam sepakbola yang tidak ada hubungannya dengan Allah. Apa unsur yang sama sekali tidak terkait dengan Allah? Apa yang bukan milik Allah di lapangan sepakbola? Beberapa pertanyaan dilempar oleh Cak Nun untuk memantik diskusi. Salah satu masalah mengapa sepakbola di Indonesia tidak berkembang, menurut Cak Nun adalah karena Bangsa Indonesia tidak berpijak pada potensi yang ada pada dirinya. Selama ini, Indonesia lebih sering mengadopsi dari bangsa lain, untuk kemudian diimplementasikan.

Beralih ke Pak Iman, Cak Nun kemudian bercerita pengalaman bersama Pak Iman Budhi Santosa di Malioboro ketika masih berkumpul di Persada Studi Klub dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi. Pernah suatu hari, Pak Iman menggelandang, benar-benar menjadi gelandangan, dan kemudian ditemui oleh Cak Nun, lalu diajak pulang. Dan meskipun menjadi gelandangan, dikisahkan oleh Cak Nun bahwa tidak ada satupun yang berubah dari Pak Iman Budhi Santosa, baik secara fisik maupun secara mental. “Dia orang yang tidak terpengaruh oleh angin yang lewat”, ungkap Cak Nun. Puisi-puisinya sangat sublime, sangat stabil, tidak akan terpengaruh oleh apapun di sekitarnya.

Pak Iman kemudian menceritakan asal muasal ketika ia menulis “Profesi Wong CIlik”, buku yang ia tulis setelah berdebat dengan Kang Mahbub Junaedi yang saat itu baru menerjemahkan buku 100 tokoh paing berpengaruh sepanjang masa. Bagi Pak Iman, buku tersebut hanya mendorong anak-anak untuk menjadi tokoh. Kekhawatiran Pak Iman adalah, bagaimana jika ada anak yang tidak berhasil menjadi tokoh? Maka kemudian Kang Mahbub menyarankan Pak Iman untuk menulis buku, lahirlah buku “Profesi Wong Cilik”.

“Orang sekarang itu lebih mementingkan ibadah daripada akhlak”, Syeikh Kamba merespons paparan-paparan narasumber sebelumnya. Syeikh Kamba kemudian mengajak jamaah untuk melihat kembali ke belakang, ketika Rasulullah Saw masih di Mekkah. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika berdakwah di Mekkah adalah pendekatan yang berpijak pada moral, akhlak, dan sopan santun yang penuh dengan keluhuran budi pekerti. Sekian abad kemudian, kita hanya mendengar bahwa yang diperangi oleh Rasulullah Saw di Mekkah adalah persoalan ibadah.

Dahulu, Abu Jahal melakukan penindasan, menyiksa budak-budak, melakukan kekejaman di Mekkah karena merasa bahwa apa yang ia lakukan sesuai dengan perintah Tuhan yang ia yakini. Apa bedanya dengan hari ini, orang dengan mudah melakukan sesuatu dengan mengatasnamakan Tuhan dan Agama? Yang ditentang oleh Rasulullah Saw adalah perilaku keberagamaan para pemeluk agama yang menindas manusia yang lainnya dengan mengatasnamakan Tuhan.

Sebelumnya, Cak Nun melandasi bahwa yang menjadi fokus utama manusia seharusnya adalah mencari jati dirinya, mencari siapa dirnya dan seperti apa Allah menajadikan dirinya. Cak Nun mentadabburi ayat; walaa tansa nashiibaka mina-d-dunya, yang dimaksud dengan nasib pada ayat tersebut adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah kepada diri kita. Kita harus mencari kemudian menemukan siapa diri kita, dan harus menjadi apa diri kita di dunia ini.

Menjelang pukul 4 dinihari, Kenduri Cinta edisi khusus Ijazah Maiyah dipuncaki dengan berdoa bersama yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.