Bukan, Sutardji Bukan Sekadar Presiden Penyair

ANDAIKAN Sutardji Calzoum Bachri mencapai puncak kepenyairannya pada era ini, mungkin hari ini kita akan melihat seorang Sutardji Calzoum Bachri adalah seorang penyair dengan jutaan followers di Instagram, Twitter dan Facebook. Bait demi bait syair yang ia tulis pasti menjadi sumber inspirasi anak-anak muda hari ini untuk dijadikan quotes yang mereka pajang di etalase akun media sosial mereka. Kanal Youtube milik Sutardji Calzoum Bachri juga mungkin memiliki jutaan subscriber.

Tetapi Allah memang menyiapkan Sutardji Calzoum Bachri bukan untuk anak-anak millennial. Allah menyembunyikan Sutardji Calzoum Bachri dari generasi millennial. Anak-anak millennial hari ini sangat sedikit yang mengenal siapa itu Sutardji Calzoum Bachri. Jangankan puisinya, sosoknya saja mungkin tidak pernah terbayangkan.

Padahal, puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri adalah puisi-puisi yang memiliki ciri khas tersendiri. Kata-kata yang digunakan oleh Sutardji dalam puisi-puisinya adalah kata-kata yang konkret, blak-blakan, meskipun makna yang ia pilih adalah denotasi. Sutardji dalam puisi-puisinya mampu menghilangkan eksistensi kata-kata itu sendiri.

Puisi Sutardji Calzoum Bachri adalah puisi yang mendobrak pakem yang ada saat itu. Puisi-puisi dengan kata-kata konkret menjadi media ekspresi Sutardji untuk menumpahkan keresahan-keresahan yang ia rasakan. Yang juga unik dari puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri adalah seringkali ia menggabungkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah. Bagi sebagian orang tentu saja akan mempersulit dalam memahami kata-kata yang ada di puisi tersebut, namun secara tidak langsung pada akhirnya justru memperkenalkan kata-kata itu sendiri kepada khalayak penikmat puisi-puisinya.

Bagi yang baru pertama kali membaca puisi karya Sutardji Calzoum Bachri, akan sulit memahami maknanya. Bait puisi yang ia susun dipenuhi kata-kata dan majas yang rumit dan penuh intrik. Bahkan, puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri banyak yang cocok untuk digunakan sebagai media gombalan para lelaki untuk memikat hati wanita.

Cobalah simak puisi “Tapi” ini;

aku bawakan bunga padamu 
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah !

Jika kita memahami kata-kata dalam puisi tersebut dengan pemahaman puisi yang paling awam, maka kita akan memahami bahwa puisi tersebut adalah gambaran orang yang sedang kasmaran. Seorang lelaki yang telah berjuang membahagiakan perempuan pujaan hatinya, namun tak kunjung juga si perempuan memberikan apresiasi dan mengungkapkan kepuasannya.

Tapi, jika kita menggunakan cara pandang relijius, maka puisi ini adalah ungkapan kemesraan antara hamba dengan Tuhan. Sejauh-jauh seorang hamba berusaha mempersembahkan apapun saja kepada Tuhannya, maka apa yang ia persembahkan sesungguhnya hanyalah bagian kecil dari kekuasan Tuhan itu sendiri.

Maka, Sutardji Calzoum Bachri bukan hanya seorang Presiden Penyair. Ia lebih dari hanya sekadar Presiden. Melalui kata-kata yang ia tuliskan, Sutardji adalah seorang Presiden Nurani. Ia begitu blak-blakan mengungkapkan kegelisahannya pada bait-bait puisi.

Bait-bait puisi dan syair karya Sutardji Calzoum Bachri bukan sekadar untaian kata-kata seorang pujangga. Sutardji berhak menyandang lebih dari sekadar Presiden Penyair.