PRESIDEN SEJATI PUJANGGA ABADI

Reportase Kenduri Cinta Juli 2019

Pada saat tema Kenduri Cinta edisi Juli 2019 dirilis, banyak yang menyangka acara akan diseret pada tema politik. Apalagi, tema muncul tak lama setelah Pilpres dilangsungkan. Sangkaan itu tak terbukti, di Kenduri Cinta edisi Juli 2019 kita bergembira dengan mengapresiasi karya-karya tiga pujangga: Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, dan Iman Budhi Santosa. Ijazah Maiyah dipersembahkan kepada mereka bertiga. Bersama-sama kita sinau bareng dari mereka. Juga dari Pak Indra Sjafri, Syeikh Nursamad Kamba, Kyai Muzammil dan tentunya Cak Nun.

Tema besar Kenduri Cinta edisi Juli 2019 sebenarnya bukan pada kalimat Presiden Sejati, Pujangga Abadi, tema yang diangkat adalah Ijazah Maiyah. Apa itu Ijazah Maiyah? Ijazah Maiyah pertama kali diserahkan pada tahun 2011 di Surabaya. Saat itu, Ijazah Maiyah diberikan kepada 9 orang dan Syahadah Maiyah diserahkan kepada 3 orang. Tentang siapa dan apa kriteria orang yang menerima Ijazah Maiyah, Cak Nun secara khusus mengulasnya dalam tajuk tulisan Ijazah Maiyah Kepada Tiga Pujangga.

Ijazah Maiyah kembali dirilis pada tahun 2019. Masyarakat Maiyah mempersembahkan Ijazah Maiyah kepada Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Iman Budhi Santosa dan Umbu Landu Paranggi. 3 orang telah menerima Ijazah Maiyah di Jakarta pada Kenduri Cinta edisi Juli 2019 ini. Umbu Landu Paranggi direncanakan akan menerima Ijazah Maiyah di Bali, pada acara Masuisani, forum serupa Kenduri Cinta di Bali pada awal Agustus 2019.

Format forum Kenduri Cinta edisi Juli 2019 ini pun dirancang berbeda dari biasanya. Tidak ada sesi prolog atau mukadimah. Setelah beberapa penggiat melantunkan sholawat dan wirid bersama jamaah, forum kemudian switch menjadi acara semi resmi. 3 MC naik ke panggung memandu acara menuju prosesi penyerahan Ijazah Maiyah.

Sebagai pengantar menuju prosesi Ijazah Maiyah, beberapa seniman mengapresiasi karya-karya tiga pujangga yang menerima Ijazah Maiyah. Berurutan, Wahyu dan Anjar membawakan musik puisi, kemudian Panji Sakti, lalu komunitas Emperan Pamulang, ada pula Palupi yang membacakan puisi secara deklamasi, ada Musisi Jalanan Center yang merupakan salah satu anggota Komunitas Jazz Kemayoran, dan ada Wakijo Lan Sedulur dari Gambang Syafaat, Semarang yang kesemuanya mengaransemen, mengkreatifi dan mengapresiasi karya-karya sastra dari Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail dan Iman Budhi Santosa.

Nomor-nomor apik mereka tampilkan. Jamaah tidak menyadari bahwa Kenduri Cinta malam itu adalah event penyerahan Ijazah Maiyah kepada tiga pujangga tersebut. Mungkin, karena memang mereka terbiasa mendapati suasana sinau bareng di Kenduri Cinta dalam format yang tidak resmi, mengalir secara alami, maka ketika acara sedikit berbeda formatnya, jamaah terlihat kebingungan. Namun, sebentar saja suasana canggung itu terjadi, jamaah tampak menikmati.

Tiga pujangga penerima Ijazah Maiyah pun tampak bahagia saat karya-karya mereka diapresiasi oleh para seniman muda di panggung Kenduri Cinta. Mungkin, di benak mereka terbayang bagaimana dahulu Taman Ismail Marzuki menjadi tempat yang sangat prestisius bagi para penyair di Indonesia. Dahulu, tidak sembarangan penyair yang bisa tampil membacakan puisi di Taman Ismail Marzuki, seperti juga tidak mudah seorang penyair menembus meja redaksi majalah Horison. Bisa dikatakan, muncul di Taman Ismail Marzuki dan Majalah Horison adalah sebuah prestasi tersendiri bagi penyair ketika itu.

Setelah persembahan demi persembahan ditampilkan, Cak Nun lantas mengajak Syeikh Nursamad Kamba, Indra Sjafri dan Uki Bayu Sedjati duduk di bagian depan panggung. Sementara Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri dan Iman Budhi Santosa tetap duduk di kursi. Cak Nun kemudian mbeber kloso, menjelaskan tentang Ijazah Maiyah, memberi pengantar sebelum prosesi penyerahan Ijazah Maiyah.

“Kalau muncul di cakrawala ‘aqliyah dan ruhiyah kata insan kamil, atau manusia sejati, atau pendekar nilai – wajah beliau bertiga membayang sangat kuat.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

Universitas Malioboro

Selanjutnya, Syeikh Nursamad Kamba memimpin doa, dikhususkan kepada tiga pujangga penerima Ijazah Maiyah. Setelah doa bersama, Cak Nun mengajak jamaah untuk ber-sholawat, sholawat alfu salam. Selanjutnya, prosesi penyerahan Ijazah Maiyah dilaksanakan. Indra Sjafri menyerahkan Ijazah Maiyah kepada Taufiq Ismail, kemudian Syeikh Nursamad Kamba menyerahkan Ijazah Maiyah kepada Sutardji Calzoum Bachri dan Uki Bayu Sedjati menyerahkan Ijazah Maiyah kepada Pak Iman Budhi Santosa.

Setelah Ijazah Maiyah diserahkan, Cak Nun meminta kepada tiga pujangga tersebut untuk tampil di podium utama, membawakan karya-karya mereka.

Taufiq Ismail didaulat untuk tampil pertama. Dengan gaya dan pembawaan khas, serta suara yang sangat lembut, Beliau membaca beberapa syair karyanya. “Saya menyampaikan rasa terima kasih yang sangat tinggi kepada Cak Nun, kepada Masyarakat Maiyah atas penghargaan ini. Saya sama sekali tidak menyangka akan dapat penghargaan. Saya mengatakan setuju diundang ke acara Kenduri Cinta, kemudian saya siapakan puisi-puisi saya untuk saya bacakan. Eh, ternyata malah dapat penghargaan. Alhamdulillah,” ungkap Taufiq Ismail.

“Langsung saya teringat kepada cucu-cucu saya. Kalau saya tahu sebelumnya, saya akan bawa cucu-cucu saya kesini. Mereka suka sekali baca puisi. Saya bawa mereka baca puisi berkali-kali,” Taufiq Ismail bercerita tentang cucu-cucunya yang suka membaca puisi dalam bahasa Inggris dan Arab. Taufiq Ismail kemudian membacakan puisi berjudul 11 Wasiat Baik Untuk Cucu-Cucuku yang berisi penuh nilai-nilai tauhid dan nafas keislaman. Untaian kata yang terangkai, sangat khas dengan puisi-puisi karya Taufiq Ismail yang kental dengan nuansa Islam.

Puisi kedua yang dibacakan beliau berjudul Sesudah El Maut Disembelih. Syair puisi yang rencananya akan dinyanyikan oleh Bimbo dalam album barunya. Beberapa syair karya Taufiq Ismail diaransemen oleh Bimbo menjadi lagu. Sajadah Panjang adalah salah satu yang melegenda.
Cak Nun kemudian mempersilakan Iman Budhi Santosa untuk menyapa jamaah serta berkenan mambacakan puisi-puisinya. “Sejak Cak Nun mengajak saya ke Jakarta, nyaris saya ndak bisa tidur malam. Apa yang harus saya sampaikan? Karena saya merasa Jakarta jauh berbeda dengan rumah saya di bawah pohon sawo, di Yogyakarta,” Pak Iman menyapa jamaah Kenduri Cinta.

Puisi pertama Iman Budhi Santosa berjudul Karena Cinta. Puisi kedua, Setangkai Bunga Buat Ibu Guru TK, sebuah puisi yang secara khusus ditulis sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para guru TK. Puisi ketiga yang beliau bacakan adalah Sajadah Ibu, lalu diakhiri dengan Orang-orang Malioboro, puisi yang menggambarkan kehidupan “menggelandang” para penyair di Malioboro, yang ketika itu diasuh oleh Umbu Landu Paranggi. Cak Nun yang ketika itu masih berumur muda juga ikut bergabung dalam kampus universitas Malioboro.

SAJADAH IBU

Masih tersisa wangi doa dan zikirmu, Ibu
pada sajadah tua yang kau wariskan padaku.
Ada sunyi tahajud, kelitik bunyi tasbih
merajut detik demi detik
ketika malam larut
hati dan mulut mengajarkan syahadat shalawat
pada bayi dalam kandunganmu

Kali ini, memang hanya selembar kenangan
yang terselip pada kubah masjid dalam gambar.
Tapi, kamar, lantai dan tikar
terus menguji, menagih janji
ribuan amalan yang belum kupenuhi

Pada sajadahmu, Ibu, aku bersimpuh
mengarungi usia enam satu. Melafalkan kembali
doa masa kanak-kanak yang tergelar
lepas belajar hingga meringkuk semalaman
di sudut langgar

Malam itu, ada bunyi jengkerik di halaman
dan seperti terngiang kembali engkau mengingatkan
“Anakku, jengkerik itu juga mengaji
sajadahnya tanah basah penuh bekas telapak kaki.
Jadi, mengapa engkau memilih tidur serupa patung arca
ketika kerut wajah mulai tampak pada kaca?”

Di atas sajadahmu, Ibu
kutulis buku demi buku
menemani sujudku kepadamu

“Anda akan selalu ditempa oleh kebudayaan Anda. Tidak ada orang yang menulis sendirian.”
Sutardji Calzoum Bachri, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

LAST but not least, Sutardji Calzoum Bachri. Malam itu beliau tampil memukau. Bagi yang mengenal Bang Tardji, begitu ia disapa, pastilah telah hapal gaya panggungnya. Pada usia yang sudah terbilang sepuh, 77 tahun, beliau masih piawai memainkan harmonika kesayangannya. Dengan harmonika itu, puisi Aku karya Chairil Anwar dibawakan. Ia berdiri, berjoget, menggerak-gerakkan badannya, seperti ingin meloncat-loncat, seolah lupa bahwa usianya sudah tak lagi muda. Wakijo Lan Sedulur spontan mengiringi. Setelahnya, dibacakan puisi Tapi. Sebuah karya puisi yang menjadi trademark Sutardji Calzoum Bachri.

TAPI
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah !

Yang mengejutkan, Bang Tardji hafal sebuah lagu yang dipopulerkan Nisa Sabyan, Deen Assalam, yang beliau tulis ulang tanpa harakat, alias arab gundul. Tidak ketinggalan, lagu Summer Time yang juga menjadi ciri khas Bang Tardji ketika tampil membaca puisi, malam itu pun beliau nyanyikan.

Beliau juga membacakan puisi Menulis Kata Kerja. Pada puisi ini, Bang Tardji begitu mendalam berpesan, bahwa puisi-puisi yang ditulisnya bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan, kata-kata yang terangkai diatas pondasi puisi-puisi sebelumnya. Puisi-puisi yang ditulisnya adalah berdasarkan kalam-kalam Allah di Alquran. Sebagai penutup, puisi Laila Seribu Purnama dibacakan Bang Tardji.

Jose Rizal Manua malam itu juga hadir. Beliau membacakan puisi berjudul Biarin, Manusia Kepingin Kalau Bisa, dan Taipan. Puisi-puisi yang sarat pesan kritik sosial politik dan kehidupan masyarakat.
Setelahnya, Cak Nun kemudian mengajak Sutardji Calzoum Bachri, Iman Budhi Santosa, Syeikh Nursamad Kamba, Indra Sjafri, Uki Bayu Sedjati dan Jose Rizal Manua untuk duduk bersama. Taufiq Ismail sudah berpamitan terlebih dahulu.

Beberapa jamaah kemudian merespon juga mengajukan pertanyaan. Pertanyaan pertama, tentang puisi, ditujukan kepada Sutardji yang langsung direspon beliau.

“Tulisan di atas tulisan, itulah karya puisi. Tulisan tidak hanya hampa atau kosong, tapi sudah tertulis sebelumnya. Apa maksudnya? Ya itulah ayat-ayat Allah, sunnah-sunnah Allah, hukum-hukum, tradisi, kebudayaan, norma-norma dan sebagainya. Di atas itu semua kita menulis,” Bang Tardji menjelaskan kejadian yang ada di sekitar kita akan sangat mempengaruhi apa yang akan kita tulis, maka tulisan yang ditulis menurut Bang Tardji adalah rangkaian kata-kata yang sudah tertulis sebelumnya.

“Anda akan selalu ditempa oleh kebudayaan Anda. Tidak ada orang yang menulis sendirian. Tulisan yang ada adalah tulisan di atas tulisan. Maka di salah satu sajak, saya menulis, saya menulis sajak di atas sajak sumpah pemuda, di atas sajak proklamasi, karena itulah yang mempengaruhi kita,” lanjut Bang Tardji.

“Tidak ada yang namanya kebebasan, ketika kita mengungkapkan kebebasan, sebenarnya hanya karena kita belum menemukan keterkaitan antara titik-titik yang belum tersambung, sehingga kita merasa tidak ada batas dalam ruang,” Sutardji menambahkan, “Nanti kau akan tahu bahwa ada kaitannya, ada batasnya. Nanti kau akan menyadari ada polisi jiwa, polisi kata, polisi puitika yang akan mengarahkan kau. Dan itu sebenarnya untuk kemanfaatan kamu, untuk kemaslahatan kamu, bukan untuk mengerem kebebasan kamu.”

“Keyakinan itu juga harus membangun kepercayaan diri.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

KEBEBASAN TAKDIR

“Tidak ada konteks fakultatif, yang ada adalah konteks universal,” Cak Nun menyambung paparan Bang Tardji. Keterkaitan fakultas dengan fakultas yang lain dalam universitas adalah sebuah keniscayaan. Logika sunnah Allah berlaku dalam setiap jengkal kehidupan manusia. Tidak ada satu celah pun yang tidak terkait dengan Allah.

Syeikh Nursamad Kamba turut menambahkan, bahwa benar adanya manusia tidak memiliki kebebasan yang benar-benar bebas sebebas-bebasnya. Ada takdir yang diciptakan Allah untuk mengikat kita, namun bukan berarti kita tidak memiliki kebebasan dalam ikatan itu, justru dalam batasan takdir itu manusia memiliki kebebasan untuk melangkah ke mana saja yang ingin ia tuju, yang pada akhirnya berakhir pada muara yang sudah ditentukan-Nya.

“Seorang Sutardji Calzoum Bachri, di seluruh sel tubuhnya sudah tertulis apa yang akan terjadi pada dirinya. Maka ada istilah lauhul mahfudz, dalam agama, oleh Tuhan kita didorong untuk meninggalkan diri kita yang kasat mata ini untuk mengasah diri agar mampu menangkap informasi yang ada pada lauhul mahfudz, yang merupakan tulisan Tuhan di alam semesta,” Syeikh Kamba menambahkan. Proses peniadaan diri manusia merupakan metode yang mengantarkan manusia agar terlatih untuk mampu menangkap informasi yang ada di lauhul mahfudz itu.

Syeikh Kamba menambahkan, dalam puisi-puisi Bang Tardji sangat kental suasana fana’, yaitu suasana yang mencerminkan kemampuan meniadakan diri manusia untuk menyatukan diri dengan Tuhan.

Cak Nun menambahkan, bahwa sejarah dan asal-usul kehidupan kita sangat mempengaruhi diri kita. Maka, benar apa yang disampaikan oleh Bang Tardji, kita menulis di atas tulisan. Sudah ada tulisan sebelumnya yang melandasi tulisan kita. Begitu pun dengan puisi.

“Ini bukan urusan ekslusif linier puisi saja. Tapi ini urusan sangat tauhid. Ini urusan sangat agama,” Cak Nun sampaikan. Ibarat dalam sepakbola, terjadinya sebuah gol justru lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan-pergerakan pemain tanpa bola daripada bola itu sendiri. Maka sudah seharusnya kita mulai melatih kepekaan untuk melihat hal-hal yang tidak diinformasikan. Cak Nun mengingatkan kita untuk melatih kepekaan diri agar mampu membaca ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan.

Cak Nun melakukan tadabbur surat Al Qashas ayat 77: wabtaghiy fiima ataakallahu daaro-l-akhiroh walaa tansa nashiibaka mina-d-dunyaa. Kata “nashib” yang dimaksud bukan tentang nasib kita, melainkan tentang apa yang dikhususkan oleh Allah kepada kita, yang ada dalam diri kita. Kita yang menggali potensi dalam diri sehingga kita menemukan keistimewaan dalam diri kita. Disitulah letak walaa tansa nashiibaka mina-d-dunyaa.

“Jadi, nashiiba mina-d-dunya adalah who you are according to Allah, siapa engkau menurut Allah yang bikin kamu,” Cak Nun melanjutkan. Seharusnya sekolah mengantarkan murid-murid untuk menemukan dirinya sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Sementara hari ini, pendidikan mencetak generasi yang mengejar cita-cita yang dikondisikan kepadanya bukan karena penemuan bakat dalam dirinya.

Menurut Syeikh Kamba, manusia ibarat perangkat teknologi. Masing-masing memiliki nomor seri. Menukil Surat Al Isra’ ayat 14: iqra’ kitaabaka kafaa binafsika-l-yauma ‘alaika hasiibaa, bahwa kita sendiri yang menghitung, membaca, mengidentifikasi diri kita, bukan orang lain. Maka, nashiibaka mina-d-dunya itu adalah citramu sendiri yang sejak awal diciptakan oleh Tuhan kepadamu. Syeikh mengingatkan jangan sampai kita lalai, melupakan citra diri kita sehingga tidak menjadi seperti yang Tuhan inginkan.

“Menulis adalah pekerjaan ruh, pekerjaan persaksian.”
Sutardji Calzoum Bachri, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

“MAKA temukan siapa dirimu, karena jika engkau tidak menemukan dirimu, engkau tidak akan menemukan Tuhanmu,” Cak Nun melengkapi. Seperti disampaikan Bang Tardji, Cak Nun ingatkan agar kita menemukan diri sesuai dengan apa yang dituliskan Allah dalam dirinya. Sehingga, potensi yang ada dalam diri kita maksimal diaktualisasikan.

Ditambahkan Cak Nun, menukil surat Ali Imran ayat 191, bahwa tidak ada syarat apapun untuk mengingat Allah. Kita diperbolehkan mengingat Allah dalam keadaan marah sekalipun, tidak hanya pada saat bahagia. Semakin sering mengingat Allah, semakin kita dimudahkan menemukan diri kita sesuai yang dikehendaki-Nya.

Sementara hari ini, manusia banyak terjebak untuk menjadi yang tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Manusia berjuang menjadi kaya, menjadi populer, berkuasa. Padahal seharusnya, menjadi kaya, populer, dan berkuasa adalah efek dari proses menemukan diri yang sejati.
Ada yang bertanya kepada Bang Sutardji, apakah saat menulis puisi perlu ritual tertentu terlebih dulu? Sebelumnya, juga ada jamaah yang mengungkapkan kekagumannya, memberi label “Hero” pada Bang Tardji, karena puisi-puisinya turut membangun mentalnya.

Bang Tardji menanggapi, inspirasi itu datang dari mana saja. Satu hal yang sering dilakukannya adalah melihat suasana alam. Dari alam inspirasi bisa datang, dengan kesadaran ilahiyah, kata-kata sudah dituliskan oleh Allah. Bang Tardji menemukan inspirasi dari pohon, dari tumbuhan, dari angin, dari alam. Dari situlah puisi dikaryakan.

“Islam itu harus disampaikan dengan keindahan. Islam itu indah, akan lebih indah jika disampaikan dengan keindahan,” Kyai Muzammil menambahkan. Cak Nun mempersilakan Kyai Muzammil untuk turut mewarnai wacana keislaman malam itu. Dijelaskan Kyai Muzammil, Alquran sangat puitis, bagaimana Allah memilih kata-kata di Alquran, menandakan betapa puitisnya Allah dalam menjabarkan Islam.

Di tengah diskusi, Bang Tardji berbisik kepada Cak Nun, menanyakan tentang Surat Yaasin ayat ke-69, dimana dijelaskan bahwa Allah tidak mengajarkan Nabi Muhammad Saw untuk bersyair. Salah satu mengapa dakwah Islam dulu ditentang di Mekkah, karena banyak dianggap Alquran adalah syair-syair yang dibuat Nabi Muhammad Saw, kaum musyrikin menganggap itu bukan wahyu Allah.
Kyai Muzammil menjelaskan bahwa dalam Islam ada wahyu, kemudian ada hadits. Hadits sendiri ada hadits qudsi, yaitu hadits yang materinya merupakan wahyu dari Allah, kemudian Nabi Muhammad Saw merangkai narasinya untuk disampaikan kepada umat manusia. Kemudian ada hadits yang merupakan perkataan dan perilaku Nabi Muhammad Saw, itu pun gradasinya luas karena pengaruh pada perawinya.

Cak Nun menambahkan, Alquran diturunkan untuk membuktikan bahwa Nabi Muhammad Saw bukan penyair. Untuk kriteria keamanan tekstual, wahyu Alquran ada pada posisi paling aman, kemudian hadits qudsi. Sedangan hadits yang bersumber perkataan atau perilaku Rasulullah Saw, Cak Nun mengingatkan agar lebih detail lagi memverifikasinya, karena jumlah perawi yang banyak dapat memungkinkan bias.

“Kalau kita hanya memahami Sutardji sebagai seorang penyair, maka kita hanya memahami Sutardji secara fakultatif. Bang Tardji banyak mendapat penghargaan, dan malam ini yang kita beri penghargaan bukan hanya kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, tetapi lebih dari itu, yang kita saksikan adalah manusia Sutardji Calzoum Bachri,” ungkap Cak Nun.

Syeikh Kamba turut menambahkan, Alquran menggunakan kata-kata yang bersifat sinonim, tetapi artinya berbeda-beda. Kata ahad pada surat Al Ikhlas ada dua, tetapi berbeda maknanya. Kata ahad yang pertama adalah asma Allah yang ahad mutlak, dan ahad yang kedua adalah kata yang mempersonifikasikan sosok.

“Saya belajar sabar, belajar kasih sayang, belajar ikhlas di sepakbola. Saya belajar sebenar-benar iman di sepakbola.”
Indra Sjafri, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

Menulis adalah pekerjaan ruh

BANG Tardji sampaikan, tugas penyair adalah menulis bukan membaca. Tetapi, konteks adalah orang tidak mungkin menulis tanpa membaca. Ada pesan yang tersimpan setelah Iqra’, yaitu uktub. Dan penyair adalah yang mendapat perintah itu, menulis apa yang harus ditulis. Bang Tardji memiliki pijakan bahwa menulis bukanlah menulis di atas kertas kosong, “Menulis adalah pekerjaan ruh, pekerjaan persaksian.”

“Kalau kita lihat, dunia ini adalah tempat yang melelahkan. Kita harus mencari makna, kita harus mencari keindahan yang mendalam, bukan keindahan yang sementara. Salah satu tugas penyair adalah mencari keindahan yang mendalam itu. Pertemuan-pertemuan puisi adalah pertemuan persaksian kepada Tuhan. Dunia adalah kata-kata, dan penyair mencari yang tersimpan dari kata-kata,” pesan Bang Tardji sebelum berpamitan.

Mengiringi Sutardji berpamitan, Wakijo Lan Sedulur membawakan lagu Hilang yang syairnya karya Sutardji Calzoum Bachri dan Apa Ada Angin di Jakarta, yang syair puisinya karya Umbu Landu Paranggi.

Melanjutkan forum, Indra Sjafri kemudian diberi waktu untuk menceritakan persentuhannya dengan Maiyah dan juga tentang kisah-kisah sepakbola yang ia alami.

“Sangat terhormat sekali bisa hadir malam ini di Kenduri Cinta. Sulit sekali memahami puisi-puisi tadi, Cak Nun. Di 45 menit pertama saya ndak paham, kemudian di 45 menit kedua tambah saya ndak paham, tetapi setelah perpanjangan waktu dan diberi penjelasan-penjelasan, alhamdulillah saya menjadi paham,” Indra Sjafri mengawali.

“Saya banyak belajar agama, implementasinya di sepakbola. Saya belajar sabar di sepakbola. Saya belajar kasih sayang di sepakbola, saya belajar ikhlas di sepakbola. Saya belajar sebenar-benar iman di sepakbola,” lanjut Indra Sjafri yang bercerita pengalamannya menangani tim nasional U-19, bahkan 17 bulan sempat menunggak gajinya.

Ketika itu, Indra tidak mengadu ke siapapun, termasuk tidak mem-blow up di media massa, tidak mengadu ke tokoh-tokoh nasional, bahkan ke pengurus PSSI. Indra Sjafri terus bekerja, karena ia yakin bahwa Allah akan melihat perjuangan yang dilakukannya.

Dengan keyakinan itu, pada akhirnya gaji selama 17 bulan dibayar tunai oleh federasi. Indra Sjafri mendapat bonus-bonus yang sebelumnya tidak terbayangkan. Beliau juga diminta kembali menangani tim nasional U-19, dan kini menangani tim nasional U-23. Atas perjuangan panjang itu, Indra Sjafri adalah satu-satunya pelatih tim nasional Indonesia yang telah mempersembahkan 2 trofi AFF Cup kepada Indonesia; AFF Cup U-19 tahun 2013 dan AFF Cup U-22 pada tahun 2019.

Menyambung apa yang disampaikan Cak Nun sebelumnya, tentang nashiibaka mina-d-dunyaa, Indra Sjafri menjelaskan bahwa salah satu ikhtiar yang ia lakukan adalah memaksimalkan potensi sepakbola dalam dirinya, siapa tau memang menjadi pelatih sepakbola adalah “nashiibaka mina-d-dunyaa” yang diberikan Allah kepadanya.

Indra Sjafri mengajak jamaah untuk flash back pada pertandingan final AFF U-19 tahun 2013, dimana seorang Ilham Udin Armaiyn, pemain yang tidak menjadi penendang pilihan utama dalam tendangan pinalti, namun justru menjadi pemain yang menentukan karena tendangan pinaltinya memastikan Indonesia menjadi juara saat itu.

Jamaah sangat menikmati buah perjalanan Indra Sjafri. Setelahnya, Cak Nun mempersilakan Iman Budhi Santosa untuk bercerita tentang penelitiannya mengenai nilai-nilai luhur kehidupan manusia Jawa. Cak Nun melambari, sebelumnya Iman Budhi Santosa pernah meneliti nama-nama desa di seluruh pulau Jawa, yang kebanyakan menggunakan nama-nama pohon.

“Mas Iman ini murid nomor satu Umbu Landu Paranggi di Maliboro,” Cak Nun memperkenalkan. Pada masa-masa berkumpul bersama di Malioboro, tahun 1969, Cak Nun masih muda dan menjadi murid paling muda di Malioboro, sementara Pak Iman adalah murid senior dari Umbu Landu Paranggi.

“Kami belajar kepada rumput, kepada angin, kepada suara burung, belajar pada perjalanan semalam suntuk.”
Iman Budhi Santosa, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

IMAN Budhi Santosa sedang meneliti pitutur orang tua, terutama Ibu kepada anak-anaknya di berbagai daerah di Indonesia. “Semakin kita modern, semakin kita mempertimbangkan ekspektasi seseorang, baru kemudian kita mendengarkan apa yang disampaikan oleh orang tersebut,” Cak Nun memberi pengantar.

Lalu apa kaitannya dengan penelitian Pak Iman? Cak Nun sampaikan, orang pertama yang seharusnya kita dengarkan adalah Ibu kita. Ibu kita memiliki keahlian yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sejalan dengan itu, maka salah satu pesan Rasulullah Saw adalah bahwa orang yang harus kita hormati adalah Ibu kita, bahkan Rasulullah Saw mengulangi kata ibu sebanyak 3 kali, baru kemudian kata bapak 1 kali. Hal ini menandakan bahwa keutamaan mendengarkan pesan Ibu adalah hal yang utama.

Cak Nun menceritakan sebuah kisah, suatu hari Cak Nun sedang mengendarai mobil Jeep di Malioboro, Cak Nun melewati seorang gelandangan. Dalam benaknya masih terbayang sosok gelandangan itu, Cak Nun meyakini bahwa itu adalah Pak Iman. Beberapa hari kemudian, Cak Nun kembali mendapati sosok gelandangan itu, dan benar bahwa itu adalah Pak Iman. Tanpa berpikir lagi, ia mengajak Pak Iman naik ke mobil, kemudian diajaknya ke rumah Patangpuluhan. Cak Nun meminta Pak Iman menceritakan peristiwa “menggelandang” itu.

“Saya saat itu keluar dari pegawai negeri Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah,” Pak Iman mengawali. “Saya punya NIP, 080340547, saya masih ingat. 080 adalah NIP dari Departemen Pertanian waktu itu,” lanjut Pak Iman. “Yang saya lakukan saat menggelandang itu adalah mencari. Anda di Maiyah ini menemukan hal-hal yang tidak akan ditemukan di pendidikan formal. Maiyah ini belajar bersama. Pertanyaannya, Anda belajar kepada teman-teman di samping Anda, nggak?” lanjut Pak Iman.

“Jadi belajar yang kami lakukan dulu di Malioboro bukan hanya belajar pada satu fokus saja. Kami belajar kepada rumput, kepada angin, kepada suara burung, belajar pada perjalanan semalam suntuk. Sampai suatu saat, Umbu Landu Paranggi bilang, Eh, kita sudah malam begini, pulanglah. Ayo kita pulang,” Pak Iman lanjut bercerita. Ada seorang teman, Rosandi Rudatan menyahut; “Saya itu ndak punya kos-kosan, Mas. Terus pulang kemana?” Pak Iman mengakui, bahwa jawaban yang muncul dari Umbu Landu Paranggi saat itu adalah momentum puitik dari pertanyaan yang dilontarkan Umbu. Umbu kemudian menjawab; “Pulanglah ke diri kalian masing-masing.”

Pak Iman melanjutkan pengalaman pribadi yang kental nilai-nilai luhur dan budi pekerti. Suatu hari, ia berdebat dengan Kang Mahbub Junaedi, yang ketika itu baru selesai menerjemahkan buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Kritik Pak Iman adalah, apakah tokoh itu hanya terbatas sebanyak 100 saja? Secara tidak langsung, buku itu mendorong anak-anak yang membacanya untuk bercita-cita menjadi seorang tokoh. Pak Iman kemudian menuangkan kritiknya itu dalam sebuah buku yang berjudul Profesi Orang Cilik.

Le, sekolah itu laku prihatin, seperti orang berpuasa,” Pak Iman menceritakan kisahnya saat masih kecil, saat sekolah tidak diberi uang jajan. Rutinitas sekolah saat itu sepenuhnya pendidikan. Nilai luhur dari orang tua seperti itulah yang sedang diteliti oleh Pak Iman saat ini. Nilai-nilai luhur yang sudah luntur, bahkan hilang di masyarakat. “Mari, kumpulkan lagi dhawuh-dhawuh orang tua,” lanjut Pak Iman. Dhawuhdhawuh dari orang tua itulah yang dimaksud sebagai momentum puitik sebagaimana Umbu berpesan di Malioboro.

“Yang dilawan Rasulullah Saw adalah perilaku keberagamaan yang berlaku dholim dengan mengatasnamakan Tuhan.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

NASHIB MAKHLUK

Iman selalu melihat sesuatu dari alam dengan menggunakan cara pandang yang berbeda dengan orang kebanyakan. Satu contoh lain, Pak Iman sangat tidak setuju jika harimau dianggap sebagai binatang buas hanya karena harimau memakan binatang yang lebih lemah untuk dimakan. Dalam pandangannya, itu merupakan hukum alam, sebuah rantai makanan. Harimau memakan daging karena memang ia diciptakan oleh Allah untuk memakan daging, bukan tumbuh-tumbuhan. Jadi, apa yang dilakukan harimau dengan menerkam binatang lain kemudian dimakan dagingnya itu bukan peristiwa kebuasan, karena memang begitulah cara harimau melanjutkan regenerasi.

Ada pepatah Bugis yang memberi pesan bahwa seorang pria yang akan menikah hendaknya mampu mengelilingi dapur sebanyak 7 kali. Pesan yang didapatkan oleh Pak Iman adalah bahwa seorang pria yang hendak menjadi kepala rumah tangga harus mampu menjaga ketersediaan logistik pangan di dapur keluarganya selama 7 hari, artinya setiap hari keamanan pangan keluarga menjadi tanggung jawab kepala keluarga.

Tentang sujud syukur, Pak Iman menambahkan, bahwa jika anak asuh Indra Sjafri melakukan sujud syukur setiap mencetak gol, ada tradisi yang dijaga oleh para penggali sumur di desa-desa, yaitu setiap kali mereka berhasil menggali sumur dan menemukan mata air di kedalaman sumur itu, mereka sujud syukur.

Mensyukuri bahwa Tuhan telah menganugerahi air untuk keberlangsungan hidup. Pak Iman berpesan kepada jamaah untuk menggali lebih dalam lagi nilai-nilai luhur dan budi pekerti yang diwariskan oleh orang-orang tua terdahulu, karena dari pesan-pesan mereka, ada banyak nilai yang tersimpan untuk dijadikan bekal hidup.

“Indonesia punya banyak kultur, budaya, bahasa. Seperti yang kami alami di tim nasional, dari Sabang sampai Merauke ada semua wakilnya,” Pak Indra mengungkapkan, dari anak-anak asuh di tim nasional ia juga belajar tentang budaya-budaya di Indonesia. Sebagai pelatih, Indra dituntut untuk mampu memahami semua watak dan budaya anak asuhnya.

Indra bercerita bagaimana ia menangani Marinus Warewar, pemain U-22 yang berasal dari Papua. Marinus adalah pemain temperamental, di tangan Indra Sjafri dan tim pelatih Timnas U-22, Marinus diubah menjadi pemain yang lebih mampu mengontrol emosi, sehingga saat di lapangan Marinus tidak lagi mengedepankan emosinya. Dalam beberapa pertandingan, ketika ia dipancing pemain lawan dengan tekel-tekel keras, Marinus hanya tersenyum. Senyuman khas Marinus beberapa kali tertangkap kamera pada saat gelaran Piala AFF U-22 bulan Februari lalu.

“Indonesia ini memang sudah tidak percaya pada dirinya sendiri, sehingga ia terseret dengan arus global,” Cak Nun menambahkan. Hal-hal yang materialistik justru menjadi cita-cita dan tujuan hidup, tidak ada lagi orang yang tidak mengeluh tentang materi. Cak Nun menulis Etnotalentologi pada buku Slilit Sang Kiai. Dalam tulisan itu, Cak Nun menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan berjenis-jenis, syu’uuban wa qobaaila. Cita-cita burung adalah terbang tinggi, cita-cita katak adalah melompat. Begitu juga dengan manusia, ia harus menyelaraskan potensinya dengan cita-citanya.

“Kita musti meng-Indonesia kembali, menggali budaya kita sendiri. Karena selama ini kita sudah semakin tidak percaya diri, apalagi kepada hikmah, kepada kebijaksanaan orang tua leluhur kita.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

CAK NUN melanjutkan, “Setiap makhluk Allah sudah punya ‘nasib’, sudah ada ramuannya sendiri-sendiri, sehingga dia mencapai berdasarkan ramuannya itu.” Peradaban hari ini adalah peradaban adopsi, bukan peradaban kontinuasi. Indra Sjafri pernah melakukan hal yang dimaksudkan Cak Nun ketika menangani tim nasional U-19 pada tahun 2013 Gaya bermain Evan Dimas cs saat itu adalah gaya bermain yang disesuaikan dengan kemampuan mereka masing-masing, bukan karena meniru gaya sepakbola Spanyol. Menurut Cak Nun, memang begitulah seharusnya kita hidup. Kehebatan kelapa adalah kalau ia menjadi kelapa, dan kehebatan semangka adalah kalau ia menjadi semangka.

“Jadi, teman-teman Maiyah, kalau boleh saya mohon, anda nanti akan memimpin Indonesia, 5-10 tahun ke atas nanti anda yang akan memimpin. Anda 5 tahun ini harus belajar beneran, anda tidak harus terlalu peduli dengan Indonesia, karena anda tidak diberi tugas untuk mengurusi Republik Indonesia. Anda membangun diri anda sendiri, anda memimpin minimum rumah tanggamu atau di lingkungan sekitarmu. Saya mohon dengan sangat untuk membangun kembali Indonesia,” Cak Nun berpesan kepada jamaah untuk menginisiasi membangun kembali peradaban Indonesia yang tidak hanya mengedepankan pembangunan fisik infrastruktur saja, tetapi juga membangun peradaban manusia, seperti yang dahulu dibangun leluhur kita.

Karena, kemajuan cacing tidak sama dengan kemajuan bebek. Kemajuan bebek juga tidak sama dengan kemajuan harimau. Begitu juga dengan kemajuan Indonesia, tidak sama dengan kemajuan Jepang dan negara yang lain. Indonesia harus menjadi dirinya sendiri.

“Saya yakin, kalau Imam Al Ghazali hadir di maiyahan pasti akan sangat bahagia. Karena di maiyahan, kita terlatih menggunakan 3 hal: ‘ilmu-l-yaqin, ‘ainu-l-yaqin, dan haqqu-l-yaqin,” Syeikh Kamba menyambung Cak Nun. Syeikh Kamba menjelaskan bahwa sebuah kepercayaan akan mengantarkan pada sebuah keyakinan. Tetapi, keyakinan itu juga harus membangun kepercayaan diri. Keyakinan, bukan sekadar prasangka kolektif, tetapi dia harus membangun kepercayaan diri.
Kepercayaan informatif (‘ilmu-l-yaqiin) tidak bisa berdiri sendiri di dalam kehidupan beragama, karena ‘ilmu-l-yaqin harus dibarengi dengan ‘ainu-l-yaqin dan haqqu-l-yaqin. Apa yang dilakukan oleh Indra Sjafri pada pertandingan final itu dijelaskan oleh Syeikh Kamba merupakan bentuk haqqu-l-yaqiin dari seorang Indra Sjafri terhadap kekuasaan Allah Swt. Meskipun secara ‘ilmu-l-yaqiin sudah yakin dengan kemampuan para pemainnya, tetap saja Pak Indra membutuhkan bantuan Allah untuk menuntaskan pertandingan sehingga berhasil menjadi juara.

Sejalan itu, Syeikh Kamba meyakini bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di Madinah dalam 10 tahun membangun Madinah adalah menginternalisasi nilai-nilai dalam diri manusia, sehingga kehidupan masyarakat di Madinah berlangsung dengan baik. Begitu juga dengan Maiyah, Syeikh Kamba menemukan sebuah konsep bahwa keyakinan di Maiyah adalah keyakinan yang menginternalisasi, bukan hanya sekadar informatif saja sifatnya. Karena sejatinya agama adalah tentang akhlak.

Syeikh Kamba menjelaskan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw memerangi perilaku syirik ketika masih di Mekkah, tekanannya adalah bahwa perilaku dholim yang dilakukan oleh masyarakat Mekah adalah perilaku yang dianggap mewakili kehendak Tuhan. Orang-orang Quraisy jahiliyah meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang memang dikehendaki oleh Tuhan. Sementara, bagi Rasulullah Saw yang utama adalah membangun akhlak manusia, bukan mengajak sebanyak-banyak orang untuk memeluk Islam. “Yang dilawan oleh Rasulullah Saw adalah perilaku keberagamaan yang berlaku dholim dengan mengatasnamakan Tuhan,” pungkas Syeikh Kamba.

Ridhlo-lah kepada Indonesia, dan carilah pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juli, 2019)

CAK NUN menambahkan, yang harus dilakukan dalam beragama adalah berkomunikasi dengan Allah melalui cara-cara yang mesra. Justru Allah akan merasa bahagia jika kita mesrai dengan cara yang manusiawi. Dijelaskan Cak Nun bahwa yang membutuhkan wahyu dari Allah adalah kita, bukan Rasulullah Saw. Justru karena Rasulullah Saw sudah lulus menjadi manusia, kemudian Allah menunjuknya menjadi Rasul, maka Rasulullah Saw menjadi perantara dari Allah untuk menyampaikan wahyu kepada kita.

Menjelang pukul 3 dinihari, Cak Nun kemudian mempersilakan Musisi Jalanan Center dan juga Wakijo Lan Sedulur untuk kembali memainkan beberapa nomor lagu untuk menyegarkan suasana Kenduri Cinta yang sebelumnya hampir 3 jam jamaah diajak untuk sinau bareng.

Ada satu pertanyaan di sesi tanya jawab awal yang belum direspon oleh Cak Nun, yaitu kegelisahan seorang alumni perguruan tinggi luar negeri yang merasa tidak dihargai kemampuannya di dalam negeri, sehingga ia mengalami pergolakan batin, apakah untuk bertahan hidup lebih baik bekerja di negara lain saja, sementara ia ingin mengabdi pada negara. Cak Nun menyampaikan agar tetap memiliki rasa cinta terhadap Indonesia, tidak harus memikirkan apakah kita dihargai oleh Indonesia atau tidak. Cak Nun mencontohkan Maiyah dan semua hal yang selama ini beliau lakukan, sepenuhnya adalah usaha untuk mengungkapkan rasa cinta yang mendalam kepada Indonesia, meski tidak dilirik oleh banyak orang di Indonesia.

“Jadi kalau ngomong ghuroba’, kita ini ghuroba’. Maksudnya adalah kita terasing di negeri sendiri,” lanjut Cak Nun. Ada beribu-ribu sarjana yang tidak diakui kemampuannya oleh Indonesia, ada banyak anak-anak bangsa yang memiliki kualitas namun tidak mendapatkan ruang untuk berkarya di Indonesia. “Kita ini tidak usah sibuk mencari ridhlo Allah, apalagi sibuk mencari ridhlo dari yang bukan Allah. Yang harus kita lakukan adalah kita sibuk ridhlo kepada Allah dan tidak usah sibuk mencari ridhlo Allah, karena ridhlo Allah adalah dampak logis dari ridhlo kita terhadap ketentuan Allah. Maka ridhlo-lah kepada Republik Indonesia, ridhlo-lah kepada posisimu di sini, ridhlo-lah bahwa anda tidak dipakai di sini. Ridhlo-lah kepada Indonesia, dan carilah pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah,” tutur Cak Nun.

Maiyah selalu melakukan upaya untuk ridhlo terhadap ketetapan Allah menempatkan Maiyah di wilayah manapun di Indonesia bahkan dunia. Maiyah menjadi pusaran yang semakin besar, tantangan rahasia Maiyah hari ini adalah dengan siapa Maiyah akan dinikahkan oleh Allah kelak. Sudah banyak kita belajar bersama di Maiyah, menemukan kembali nilai-nilai kehidupan, melakukan banyak hal yang tidak wajib kita lakukan.

Ijazah Maiyah misalnya, bukan dalam rangka gagah-gagahan, melainkan metode Maiyah untuk mensyukuri karena telah dipertemukan dengan sosok-sosok manusia murni yang tetap menjadi dirinya meskipun dihadapkan dengan arus globalisasi zaman.

Syeikh Nursamad Kamba melakukan tadabbur surat Al Kahfi ayat 14. Bagi Syeikh Kamba, surat Al Kahfi ayat ke-14 itu relevan dengan Maiyah. Hadirnya kita di Maiyah, duduk berjam-jam, sinau bareng, merasa betah, fokus, semua hal itu terjadi karena Allah yang mengikatkan hati kita. Allah yang menuntun kita datang ke Maiyah, menjadikan Maiyah sebagai rumah kita bersama.