Kembali Ke Kampung Realitas, Ibukota

Ado kasian yeng mama
Jauh-jauh merantau
mancari hidup mama
nasib tidak beruntung

Siang dan malam yeng mama
Jalan kesana kemari
Sanak saudara mama
semua tidak peduli

Sapa suru datang Jakarta
Sapa suru datang Jakarta
Sandiri suka, sandiri rasa
Eh doe sayang
…..
(Melky Goeslaw)

BERDUYUN-DUYUN JUTAAN orang menggunakan berbagai moda transportasi, ingin bergegas sesegera mungkin dapat kembali ke Ibukota setelah sepekan mereka di kampung halaman untuk berlebaran. Luapan keinginan yang muncul bersamaan tumpah menjadi arus balik lebaran yang membanjiri pelabuhan, bandara dan menimbulkan kemacetan di jalanan menuju Jakarta. Antrian panjang kendaraan bermotor sarat penumpang, mengular merayap. Tak jarang di tengah kemacetan dijumpai kendaraan angkutan barang yang dijadikan angkutan penumpang. Mesin-mesin kendaraan berderu, setiap pengemudi siap-siap tancap gas, salip kanan-kiri kalau ada celah kemungkinan, berusaha menghindari kemacetan yang tak terhindarkan.

Di tengah kemacetan panjang, kendaraan yang nyaman sekalipun serasa jeruji penjara yang mengurung kemerdekaan. Tidak peduli itu kendaraan made in Jepang, China, Eropa, Amerika atau buatan mana pun yang digunakan, yang pasti tidak banyak yang dapat dilakukan pengemudi maupun penumpang yang terjebak kemacetan. Ketika volume kendaraan sudah tidak lagi tertampung oleh kapasitas jalan, kemacetan pasti terjadi dan petugas pengatur lalulintas akan kewalahan mengurai kemacetan. Pengemudi akan memilih mematikan mesin dan penumpangnya dipaksa untuk menerima keadaan. Sedikit orang yang mampu menikmati kemacetan dan lebih banyak yang tersiksa, apalagi mereka yang di tengah kemacetan sedang menahan kencing maupun buang air besar.

Prosesi arus mudik-balik lebaran menjadi ritual tahunan warga Jakarta sejak urbanisasi besar-besaran ke Ibukota terjadi. Jakarta sampai sekarang masih menjanjikan masa depan karier-profesi, jabatan dan kesuksesan usaha bagi para perantau dari penjuru Nusantara. Para perantau meninggalkan kampung halaman dan pindah menjadi warga Jakarta dengan harapan dapat meraih cita-cita. Di Jakarta mereka berusaha mewujudkan cita-cita dengan berbagai macam cara, bahkan tidak jarang menggunakan cara-cara yang tidak sehat dalam persaingan usaha. Ada yang sikut kanan-kiri demi kemajuan karier, sogok sana-sini demi mendapatkan jabatan, gali-tutup lubang demi menumpuk kekayaan.

Tiba setiap akhir bulan Ramadlan, mereka jauh-jauh hari mempersiapkan lebaran di kampung halaman. Mudik untuk bertemu dengan orang-tua, keluarga, sanak-saudara, kerabat dan kawan-kawan lama yang setahun sekali bertemu untuk saling maaf-memaafkan kesalahan. Sementara rekan-rekan kerja yang berinteraksi setiap hari kerja di Jakarta dilupakan. Sebenarnya janggal, kesalahan perbuatan di Ibukota namun meminta maaf-nya di kampung dan ditujukan kepada orang-orang yang tidak terkait dengan kesalahan yang diperbuatnya di Ibukota. Setelah meninggalkan kampung tanah-kelahiran demi meraih cita-cita, para perantau akan mengalami kerinduan akan kampung halaman dan dilampiaskan kerinduan itu pada saat momen lebaran. Keakraban suasana kebersamaan di kampung halaman tidaklah bertahan lama, pada beberapa hari kemudian mereka mengharuskan dirinya untuk segera kembali balik ke Jakarta meninggalkan kampung kelahiran.

Kampung kelahiran sudah pasti suci, murni, tempat awal mula sejarah masing-masing perantau dibangun. Keakraban kebersamaan suasana kampung mereka tinggalkan untuk merantau ke Jakarta yang sangat-sangat individualis. Kerasnya Ibukota tidak jarang memaksa para perantau untuk menanggalkan naluri kemanusiaan yang awal mulanya murni mereka bawa dari kampung kelahirannya masing-masing. Kompetisi karier, jabatan dan persaingan usaha mengharuskan setiap perantau untuk bertahan hidup di Jakarta dan individualisme menjadi subur pada kondisi semacam ini. Suasana keakraban kebersamaan memudar ditengah tuntutan manusia-manusia modern yang mengutamakan efisiensi dan profesionalisme.

Manusia modern mengharuskan untuk setiap orang beraktifitas secara efisien dan profesional sesuai dengan profesinya masing-masing. Peran identitasnya sedemikian prosedural sehingga apa-apa yang dilakukannya hanya sekedar mengikuti deskripsi pekerjaannya semata. Improvisasi dan inisiatif individu dalam melakukan pekerjaan menjadi sebuah kesalahan, meskipun yang dilakukan itu suatu yang benar namun jika tidak sesuai dengan prosedur itu menjadi salah. Standar pelaksanaan operasional pekerjaan disusun oleh para programmer masyarakat modern secara detail, bahkan sampai dengan tata-cara menyapa orang lain sudah terprogram sedemikian rupa sehingga pemerannya sudah menyerupai sebuah robot.

Mayoritas warga Jakarta adalah pendatang yang sudah menjadi anggota masyarakat modern. Rutinitas tahunan mudik-balik kampung nampak jelas merupakan bagian dari aktivitas masyarakat yang sudah terprogram. Jakarta menyambut kedatangan kembali para pemudik setelah sepekan berada di kampung kelahiran. Jakarta angkuh dan sangat percaya diri, bahwa mereka para perantau yang pulang kampung hanya akan pergi meninggalkan sementara saja dan pasti mereka akan kembali ke Jakarta. Jakarta segera kembali ke aktivitas dan rutinitasnya. Karena sang Ibukota telah berhasil membuai warganya dengan kamuflase, manipulasi kesejatian atau pun hakekat warga masyarakat dari kemanusiaanyang sesungguhnya. Jakarta adalah kampung halaman tempat kembali para pengejar mimpi yang saat ini semakin terlelap oleh buaian sang Ibukota.[AS]