Kemaluan Ibukota

DESENTRALISASI SEBAGAI satu diantara harapan utama diadakannya reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 belum terwujud hingga sekarang ini. Isu nasional masih saja terpusat di ibukota. Bahkan yang terjadi sebaliknya, isu-isu politik dan kekuasan yang bersifat lokal di DKI malahan menjadi isu nasional.  Sebagai contoh, media masa lokal di daerah dan nasional akhir-akhir ini terus dibanjiri berita mengenai reklamasi teluk Jakarta dan menjadi mayoritas headline pemberitaan. Berita mengenai 17 pulau rekayasa hasil reklamasi yang belum karuan jadi itu nyaris menenggelamkan berita dari 17.000 pulau lebih kepulauan Nusantara yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Seolah tidak ada yang sedang dilakukan oleh keluarga besar bangsa Indonesia, selain adegan-adegan yang sedang dipertontonkan oleh Ibukota Negara Indonesia, Jakarta.

Ibukota Jakarta meskipun sudah berkali-kali menjanda, namun kemolekannya masih saja mempesona siapa saja yang haus kekuasaan. Raksasa-raksasa pengusaha dan kekuatan asing berulang-ulang memperkosanya dengan berbagai gaya, namun sang ibukota malahan seolah menikmatinya. Anak-anak tiri ibukota justru semakin bangga mempertontonkan kegagahannya diatas kemaluan Ibukota. Dihadapan media massa, ibukota hanya menggeliat-geliat setiap kali dinakali anak-anak tirinya. Berbagai reaksi bermunculan dari warga ibukota dan keluarga besar bangsa Indonesia. Ada yang memaklumi perlakuan mereka, ada yang tidak mempedulikan kejadian itu, ada pula yang bereaksi keras atas perlakuan kurang ajar yang telah mereka lakukan.

Pada dasarnya, keluarga besar bangsa Indonesia tidak membeda-bedakan apakah seseorang itu anak tiri, anak kandung ataupun anak keturunan campuran. Selama aktifitas hidupnya sebagai anggota keluarga masih setia kepada keutuhan bangsa Indonesia tidak menjadi permasalahan. Lain halnya jika yang  terjadi  adalah perselingkuhan, persekongkolan diam-diam atau bahkan terang-terangan memecah belah kesatuan keluarga, memunculkan arogansi individu ditengah kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara, ini yang perlu untuk dievaluasi.

Ditengah zaman edan, ibukota sibuk terus berdandan. Mempercantik wajah dengan polesan-polesan rekayasa. Jakarta tak mau ketinggalan zaman edan, ikut-ikutan arisan kemegahan emansipasi ibu-ibukota negara manca yang keranjingan kemewahan namun abai pada keadilan dan kesejahteraan. Pakaian-pakaian pinjaman, modal-modal pembangunan penuh muslihat berkedok investasi menjadikan Jakarta sebagai barang dagangan. Jakarta kehilangan keanggunan, kebijaksanaan sang ibukota negara Indonesia hanya tinggal kenangan masa silam. Ibukota saat ini semakin asik menikmati dirinya sendiri menjadi pusat perhatian, sementara urusan keluarga besar bangsa Indonesia seolah dikesampingkan.

Keluarga besar bangsa Indonesia adalah kesatuan nasional yang dibangun bersama oleh bangsa-bangsa se-Nusantara. Dari Bangsa Aceh hingga Bangsa Papua dengan beraneka ragam karakteristik kebudayaan bersama-sama melahirkan Indonesia sebagai negara guna mengantarkan rakyat ke depan pintu gerbang kemerdekaan supaya merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sudah semestinya, pemerintahan negara Indonesia dengan kepemimpinan nasionalnya berjuang melindungi segenap bangsa dan berusaha memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Arah, tujuan dan cita-cita gerakan bangsa Indonesia jelas berbeda dengan orientasi yang ada pada era pasar bebas dunia saat ini.  Persaingan-persaingan ekonomi dan jebakan-jebakan konsumerisme global jelas bertentangan dengan keadilan sosial yang telah menjadi tujuan bangsa Indonesia.  Hal ini akan sangat menyakiti rakyat Indonesia jika kenyataanya justru ibukota Jakarta yang membuka keran kebudayaan konsumtif lebar-lebar. Namun, wahai para antek-antek asing yang masih sibuk menggagahi dan memperkosa ibukota Jakarta, ketahuilah bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta.  Ketahuilah arogansi yang sedang kalian pertontonkan tidak ada apa-apanya dibandingkan berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dorongan keinginan luhur masa silam.

Semilir angin malam menghantarkan sayup-sayup alunan musik gambang kromong. Sesosok putri Pangeran Jayakarta mendendangkan Sirih Kuning dari tepian sungai Ciliwung yang tak berbeton. Kebaya dan selendang yang dikenakannnya begitu serasi memancarkan kecantikan seorang gadis Betawi. Pelita yang ada digengamannya terpantul pada jernih aliran Ciliwung yang merekahkan cahaya terang bulan. “Bang, saye menantikan Abang. Keluarlah Abang dari persembunyian. Ape Abang tega membiarkan saye jadi bahan rebutan?” [AS]