Maiyahan, Sebagai Kosakata Baru

AWAL MULA saya mengenal Maiyahan adalah ketika pertama kali saya datang ke Forum Mocopat Syafaat. Ketika sedang asyik berbincang tentang Cak Nun, sosok yang belum lama saya memberi perhatian padanya kala itu —seorang kawan memberitahuku bahwa Cak Nun punya forum rutinan di sebuah kampung di Bantul, Yogya sana.

Bermodal ancer-ancer dari kawanku, tanggal tujuh belas bulan sepuluh sepulang mengirim bantuan pada korban Merapi di Muntilan, Magelang. Mengendarai bak terbuka, saya mengajak dua kawan menjajal meluncur ke Tamantirto, di daerah Kasihan. Beberapa kali tersasar-sasar, akhirnya sampailah jua di halaman TKIT Alhamdulillah, tempat gelaran Mocopat Syafaat berlangsung.

Saya terpukau terperangah, ini forum luar biasa, di tengah perkampungan warga yang bersahaja, riuh berkumpul ribuan orang melingkari panggung rendah dengan beberapa orang berbicara diatasnya dan tatanan alat-alat musik gamelan. Anti mainstream, begitu mungkin orang menyebutnya. Pengajian tapi konser. Konser tapi pengajian. Forum rakyat tapi bahasannya ilmiah. Forum ilmiah tapi yang berkumpul kok rakyat biasa.

Lalu setiap bulan hanya dengan satu atau dua kali absen saja saya selalu tidak ingin meninggalkan forum itu. Mbah Kakung yang sudah sepuh pun sampai hafal ‘ritual’ tujuh belasan cucunya ini. Ada kerinduan tersendiri untuk selalu dan selalu ingin datang Maiyahan. Entahlah, yang jelas nama, bentuk dan suasana yang saya dapati di Maiyahan adalah sebuah kosakata baru yang belum pernah saya jumpai dalam kawruh hidupku. Ah, tidak usah melebih-lebihkan, mungkin saya saja yang kuper, kurang pergaulan atau terlalu monoton hidupnya sehingga kosakata hidupku sempit dan sedikit.

Kalau pengajian, itu ada dalam kosakataku. Ketika ada selebaran pengajian, saya sudah bisa mengira-ira jika nanti saya datang disana akan ada orang berbicara sementara lainnya menyimak, kecuali yang tertidur. Kalau tema yang dibahas itu-itu saja, itu bukan tidak sengaja tapi memang karena dalam rangka ‘mengingatkan’. Tiap tahun diulang-ulang terus tak mengapa, karena agama itu ritual. Kalau pembicaranya menyalah-nyalahkan para pendengar juga tak boleh diprotes, karena kodratnya manusia itu banyak salah, banyak dosa. Jadi tidak dosa menyalah-nyalahkan.

Seminar ilmiah juga ada dalam kosakata saya. Kalau ada undangan seminar ilmiah maka peserta yang hadir akan duduk rapi di bangku dengan terlebih dahulu ditawari mengambil snack dan kopi. Lalu mendengarkan orang membaca slide presentasi. Kalau slide-nya susah dipahami itu bukan karena font nya yang terlalu kecil atau tulisannya terlalu banyak, tapi karena memang itu ilmiah. Saya harus sadar kalau saya saja yang kurang ilmiah. Lalu di forum itu juga tidak penting apakah teorinya bisa diimplementasikan atau tidak. Dapat menjadi pemecah masalah atas realitas sosial terdekat atau tidak.

Format acara konser juga ada dalam kosakataku. Sebisa-bisa yang dipanggung memukau. Agar semakin memukau kalau bisa yang datang adalah orang-orang yang memiliki masalah dalam dirinya atau minimal sedang suntuk yang sedang membutuhkan hiburan. Sehingga ia bisa menjadi konsumen industri hiburan yang baik. Diminta tepuk tangan yang banyak mau, dimintai tiket yang mahal juga tak masalah. Asal terhibur.

Itu semua semakin membuktikan betapa sempitnya kosakata-kosakata yang saya miliki dalam hidupku. Bukan bermaksud membanding-bandingkan antar forum-forum itu. Itu hanya pengalaman pribadi semata. Bahwa pengenalan saya pada Maiyahan menjadi oase ditengah gurun kegersangan naluriku. Ditengah ketika saya hanya menjumpai pengajian yang semakin saya ikuti justru semakin membuat bola salju guilty feeling yang harus saya kompensasi dengan mem-booster ibadah, ibadah dan ibadah tanpa sempat mengilmuinya. Padahal ibadah tanpa mengilmuinya, Tuhan tidak menjanjikan ibadah jenis itu akan berguna.

Pun demikian forum-forum ilmiah yang saya sambangi tak lebih dari seremoni-seremoni penyabetan gelar demi gelar. Atau kalau ada motif forum yang lebih maju, ia tidak lebih dari ajang adu argumentasi, jotos-jotosan idu.

Tiket konser apalagi, angkanya tak terbeli. Cukuplah menghibur diri dengan suguhan-suguhan yang bisa dinikmati gratis ketika kondangan. Toh, hiburan bukanlah kebutuhan primer yang harus dikonsumsi setiap hari. Kalau saban hari sudah happy, apa pula alasanku harus menjadi pelanggan industri hiburan. Jadi pecandu hiburan, repot nanti.

Saya bersyukur dalam hidup, dikenalkan dengan kosakata baru Maiyahan. Dan saya bersyukur hati ini diberi kompatibilitas untuk merasakan kegembiraan di Maiyahan, kelegaan untuk membangun cara berpikir di dalamnya dan kesyukuran dipersaudarakan dengan banyak orang. Meski masih panjang jalan yang harus saya tempuh untuk menyelesaikan study di universitas Maiyah yang demikian universal ini. Study tentang hidup dan kehidupan. Agar bisa menjadi penduduk bumi yang baik, sekaligus menjadi penduduk langit yang baik pula.