PEMIMPI KEPEMIMPINAN

REPORTASE KENDURI CINTA april 2016

TENTANG PEMIMPIN dan kepemimpinan bukan tema baru di Kenduri Cinta. Bahkan, hampir di setiap edisi Kenduri Cinta selalu ada diskusi-diskusi tentang pemimpin dan kepemimpinan. Jamaah Maiyah mungkin hanya sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang menyadari bahwa ada yang salah dengan pengertian pemimpin saat ini.

Tema “Pemimpi Kepemimpinan” muncul dalam obrolan antar penggiat, meneruskan pesan dari Cak Nun bahwa Kenduri Cinta diminta untuk mengangkat lagi tema kepemimpinan dengan marja‘ yang lebih lengkap; Alquran, khazanah budaya-budaya, ke-Muhammad-an, hingga ke teori-teori modern. Hal itu disebabkan masyarakat yang kini semakin tidak tahu apa itu pemimpin, khalifah, imam, yang membuat mereka akhirnya ‘membeli’ dan ‘menikmati’ boneka-boneka untuk disembah.

Maiyah telah berada dua langkah di depan dari cara pandang kebanyakan, konvensional-kultural, yang memperkuat ketidakmungkinan munculnya kepemimpinan sejati. Maiyah sudah melewati proses wal tandzur maa qaddamat lighoddi, mempelajari sejarah untuk bekal di masa datang.

Tahun lalu, dalam sebuah pertemuan di Kadipiro, Cak Nun pernah menyampaikan, “Kalau engkau ingin membangun kehancuran masa depan, masyarakatmu, bangsa dan negerimu serta umat kekhalifahanmu, tutuplah pintu masa silam dan simpan ia di ruang hampa kegelapan sampai ke relung ketiadaan. Toh, innallaha khobiirun bimaa ta`maluun, Allah Maha Mengabarkan segala apapun yang kita lakukan.”

Pesan tersebut menekankan betapa pentingnya belajar sejarah sebagai pijakan menuju masa depan. Sementara banyak orang terlanjur pongah dengan masa depannya. Wayang-wayang yang sebenarnya dikendalikan oleh dalang dipuja sedemikian tinggi. Parameter masyarakat terhadap pemimpin dan kepemimpinan telah berangsur hilang.

Tujuh puluh tahun merdeka, tetapi kita hanya bisa bermimpi mendapatkan pemimpin yang mampu mengantarkan bangsa ini menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

SETELAH PEMBACAAN Wirid Wabal yang dipimpin oleh Hendra Wardana dan Ibrahim, sesi prolog dimoderatori oleh Agus Susanto dan Tri Mulyana. Seperti biasa, Adi Pudjo, Hendra Wardhana dan Ali Hasbullah bergantian membuka alas diskusi Kenduri Cinta malam itu.

“Tema ini sangat relevan dengan kondisi saat ini. Tujuh puluh tahun Indonesia merdeka. Tetapi, kita masih hanya bisa bermimpi untuk mendapatkan pemimpin yang mampu mengantarkan bangsa ini menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur,” Ali mengawali.

Mengutip hadis Nabi Muhammad SAW: Kullukum raa’in, wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyyatihi; setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, Ali menjelaskan bahwa setidaknya setiap diri kita merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri. Dalam struktur lain, seorang bapak adalah pemimpin bagi keluarganya, manajer adalah pemimpin bagi bawahannya, dan seterusnya. Sebagai orang Islam maka sudah pasti Rasulullah Muhammad SAW adalah sosok pemimpin yang paling tepat untuk diteladani. Dalam diri beliau terdapat sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Keempat sifat yang seharusnya juga menjadi syarat wajib untuk menjadi pemimpin kita.

Jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat jujur, bagaimana ia bisa dipercaya memimpin kaumnya? Pemimpin juga harus amanah, bukan pengkhianat. Pemimpin harus berani menyampaikan informasi kepada kaumnya sesuai dengan fakta sebenarnya. Pemimpin mesti cerdas. tanpa menjadi sok pintar, atau dalam istilah Jawa disebut minteri.

Selain empat sifat itu, yang patut diteladani dari Rasulullah SAW adalah sikap pemaaf dan lemah lembutnya yang luar biasa, bahkan kepada para pengkhianat Islam sekalipun. Rasulullah mampu bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang berkhianat ketika terjadi perang Uhud. Selain itu, tanggungjawab pemimpin adalah tidak tahannya ia terhadap penderitaan yang dirasakan kaumnya. Saat sakaratul maut, Rasulullah bahkan masih terucap: ummatii, ummatii, ummatii.

Ali melanjutkan dengan bahasan manunggaling kawulo gusti bahwa dalam hati seorang pemimpin menyatu antara rakyat dan Tuhannya. Seorang pemimpin tidak akan berkhianat kepada rakyatnya, karena Tuhan akan marah, serta sebaliknya, seorang pemimpin tidak akan ingkar kepada Tuhannya sebab akan mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya; manunggal.

Kini, begitu pemimpin resmi terpilih — entah itu bupati, walikota, gubernur bahkan presiden — yang menjadi konsentrasi dalam diri dan tim suksesnya adalah mengumpulkan sumber daya untuk kembali berkuasa pada periode berikutnya. Padahal, pelayanan kepada rakyat seharusnya menjadi faktor utama yang seharusnya selalu ada dalam benak para pemimpin, sejak ia bangun tidur hingga saat ia tidur pada malam harinya.

Ali berpendapat, jabatan seharusnya dipahami sebagai alat untuk menunaikan amanah bukan sebagai tujuan. “Seribu empat ratus tahun yang lalu Rasulullah SAW sudah menyampaikan bahwa pemimpin adalah pelayan kalian,” ujarnya.

export11

“Dahulu para alim ulama seringkali dilibatkan dalam proses pemilihan pemimpin, sehingga resonansi gelombang hidayah Allah menjadi salah satu elemen kuat dalam menentukan layak tidaknya seseorang menjadi pemimpin.”
Tri Mulyana, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

Sebelum memberikan waktu bicara kepada Hendra Wardhana, Tri Mulyana merefleksikan kondisi bangsa yang menurutnya seperti sedang ingin melakukan thoharoh tetapi air yang ada adalah air musta’mal, bisa dikatakan sulit mendapatkan air suci, sehingga yang bisa dilakukan adalah tayammum. Tetapi, bahkan untuk tayammum pun kita kesulitan mencari debu yang benar-benar suci.

Tri menggarisbawahi, dahulu para alim ulama seringkali dilibatkan dalam proses pemilihan seorang pemimpin, sehingga resonansi gelombang hidayah Allah menjadi salah satu elemen yang begitu kuat dalam menentukan seseorang layak atau tidak menjadi pemimpin. Karena, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama seorang pemimpin dalam mengambil keputusan adalah Tuhan dan rakyatnya, bukan sponsornya, bukan koleganya, bukan kroninya.

Pada kesempatan berikutnya, Hendra melihat banyak orang berebut menjadi pemimpin karena terdapat nilai-nilai materi yang melekat, seperti fasilitas tunjangan-tunjangan, gaji dan lain sebagainya. Perebutan itu menjadikan praktik kecurangan (money politic) serta penyuapan-penyuapan menjadi lazim terjadi kepada pihak-pihak yang justru seharusnya mengawasi jalannya pemilihan.

Fenomena itu tidak saja terjadi dalam kehidupan berpolitik, banyak organisasi pergerakan kepemudaan dan kemasyarakatan pun sudah terjangkit virus itu. Demikian juga pada instansi-instansi pemerintahan, para pejabat saling sikut berebut jabatan. Hal sama juga terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, selain sesama direktur, sesama karyawan juga kerap saling jegal agar mendapatkan promosi. Berbeda dengan pemilihan Ketua RT dimana kebanyakan orang justru saling tunjuk, bukan saling jegal. Hendra berpendapat, seandainya kelak RT juga ada fasilitas dan gaji bulanannya, mungkin juga akan terjadi saling jegal.

Ditambahkannya tentang kecenderungan masyarakat yang memilih pemimpin berdasar kebutuhan. Ketika lingkungan tidak aman maka akan dicari pemimpin yang berani, kuat dan tegas. Ketika dihadapkan pada situasi pemimpin yang jauh dari rakyatnya, orang pun mendamba pemimpin yang bisa dekat dengan rakyatnya tanpa jarak. Hendra sudah cukup lama berjamaah di Maiyah, ia sampaikan bahwa tema kepemimpinan bukan tema baru, hampir setiap maiyahan tema ini selalu diangkat oleh Cak Nun.

Kenduri Cinta mencatat beberapa judul terkait kepemimpinan, Pemimpin gress dan Bangsa Indonesia Baru – Qoumun Akhor, Demokrasi Jaran Kepang, Opera Sabung; Sabung Capres-Karapan Capres, dan banyak tema lainnya, hal itu membuat Jamaah Maiyah sesungguhnya sudah khatam terhadap tema kepemimpinan. Khazanah Jawa seperti manunggaling kawulo gusti, ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, hingga khazanah-khazanah keislaman juga seringkali dibahas di Kenduri Cinta. Tentu saja semua itu dalam rangka bersama-sama terus mencari kebenaran pemahaman terhadap makna pemimpin dan kepemimpinan.

Sesaat berikutnya, Adi Pudjo melempar pertanyaan, “Tadi disampaikan, menurut Rasulullah SAW setiap kita adalah pemimpin, maka mengapa kita hingga saat ini masih mencari pemimpin?” Menurutnya, hal itu menjadi kritikan tajam bagi diri kita masing-masing, apakah kita ini ternyata tidak layak menjadi pemimpin sehingga seringkali terseret arus dukung-mendukung seperti kebanyakan orang. Yang banyak terjadi adalah orang-orang yang sebenarnya lebih pantas menjadi pemimpin justru hanya menjadi pendukung. Hal itu terjadi bukan karena orang tersebut tidak layak, tetapi karena ia tidak memiliki kendaraan serta akses politik untuk mencalonkan diri. Ada juga karena ia kalah populer berdasarkan survey maka orang ia memilih mundur dari pertandingan.

Tidak bisa dipungkiri, peran media massa begitu vital dalam menggerakkan opini. Kepopuleran kemudian menjadi parameter yang berpotensi menghancurkan kejernihan masyarakat dalam memandang kriteria seorang pemimpin. Saat ini, siapa yang terkenal di media massa akan lebih dipertimbangkan oleh masyarakat untuk dipilih menjadi pemimpin.

DSC_5039

“Kita semua mengakui Tuhan Maha Adil, tetapi tidak selalu kita mampu memahami bahwa keadilan Tuhan tidak selalu sama dengan keadilan yang dimaksudkan oleh manusia.”
Hendra K Wardhana, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

MENCARI YANG MASUK AKAL

Fokus forum kemudian diberikan kepada jamaah Kenduri Cinta. Fari, jamaah dari Matraman, Jakarta Selatan, berpendapat seharusnya sistem demokrasi tidak diaplikasikan di negara berkembang seperti Indonesia, karena demokrasi adalah sebuah sistem dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, sedang yang terjadi di Indonesia keadaan dan kondisi rakyatnya belum sepenuhnya terjamin seperti di negara-negara maju. Tidak rasional ketika masih banyak pengangguran, masih banyak kemiskinan, justru menggunakan sistem demokrasi. Fari mengusulkan, perubahan besar diawali dari perubahan kecil, perbaikan besar dimulai dari yang kecil. Ia mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk memulai dari perubahan dan perbaikan dalam diri pribadi masing-masing terlebih dahulu sebelum melakukan perubahan dan perbaikan yang sifatnya lebih besar.

Mudhoffir, jamaah dari Kebumen, melempar pertanyaan tentang bagaimana mendidik generasi-generasi muda sekarang untuk mengenali karakter keadilan dan keteladanan. Naufal, jamaah asal Cipinang Jakarta Timur, menambahkan bahwa yang harus kita lakukan adalah bagaimana menjadi masyarakat yang baik, berperilaku yang baik, sehingga apa yang kita lakukan akan berdampak positif dalam kehidupan masyarkat di sekitar kita sendiri.

Berpijak dari apa yang disampaikan oleh beberapa jamaah tersebut, Hendra merespon, seringkali kita menuntut Tuhan untuk berlaku adil, tetapi di saat yang sama kita tidak menyadari bahwa keadilan versi Tuhan belum tentu sama dengan keadilan versi manusia. Kita semua mengakui bahwa Tuhan Maha Adil, tetapi tidak selalu kita mampu memahami bahwa keadilan Tuhan itu tidak selalu sama dengan keadilan yang dimaksudkan oleh manusia. Ali Hasbullah menekankan kembali bahwa keteladanan pemimpin bagi orang Islam sudah tentu tolak ukurnya adalah Nabi Muhammad SAW.

Dengan mengutip salah satu hadits, Ibda’ binafsika, mulailah dari diri sendiri, Ali menyepakati apa yang disampaikan oleh Fari bahwa perubahan besar harus dimulai dari perubahan yang kecil, dan perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri, sebagaimana inti dari pengabdian kita kepada Allah adalah tentang cinta. Dalam sebuah ayat, Allah menyampaikan, apabila kita benar-benar mencintai Allah maka ikuti dan teladani Nabi Muhammad SAW. Meneladani Nabi Muhammad SAW tidak harus 100% meniru semua tingkah laku beliau, karena sudah pasti tidak akan mampu. Ada banyak laku spiritual Nabi yang telah membentuk karakter beliau namun kita mengabaikannya, termasuk ketika beliau masih kecil dan sudah dijuluki sebagai Al-Amin. Tentu saja julukan itu tidak datang tiba-tiba, melainkan ada banyak peristiwa yang mendasari cara pandang dari masyarakat di sekitar beliau ketika itu. Ali menambahkan, bahwa yang harus ditiru dan diteladani dari Nabi Muhammad SAW bukan hanya perilaku yang sifatnya wadag, namun justru yang sifatnya lebih ruhani.

“Perubahan struktural hanya bisa dimungkinkan jika diawali dari perubahan kultural, dan perubahan kultural hanya bisa dimungkinkan jika diawali dari perubahan individual.”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

Ali Hasbullah menggambarkan bagaimana Iran memiliki struktur kepemimpinan yang egitu kuat. “Kita bukan sedang berbicara tentang syiah atau sunni, tetapi apa yang terjadi di Iran bisa menjadi salah satu sumber pembelajaran. Di Iran, terdapat satu pemimpin yang memiliki kemampuan mengayomi rakyatnya, sehingga pemimpin tersebut benar-benar menjadi tumpuan seluruh persoalan rakyatnya. Di Indonesia, keberadaan pemimpin malah tidak diakui sepenuhnya oleh rakyat. Dengan sistem demokrasi yang kemudian mengaplikasikan pemilihan langsung ketika pemilihan presiden, masyarakat pun terbagi menjadi beberapa kubu yang tidak semuanya memiliki kesamaan pendapat karena hasil dari pemilihan presiden tidak memenangkan calon yang mereka dukung, ini menjalar hingga tataran propinsi, kotamadya hingga kabupaten dan desa.”

Menurut Ali, kultur seperti itu tidak akan mendukung terciptanya sistem kepemimpinan yang mampu mengayomi seluruh elemen masyarakat Indonesia karena terdiri dari berbagai suku, ras, agama, golongan juga profesi. Belum lagi perilaku politik transaksional yang dilakukan oleh para politisi di Indonesia, dimana setiap calon yang ingin mencalonkan diri melalui partai politik bukan hanya harus bersedia menandatangani kontrak politik bersama partai, tetapi juga harus menyetorkan sejumlah uang agar para pengurus partai menyetujui pencalonan dirinya. Sehingga mustahil sistem politik seperti itu mampu melahirkan pemimpin yang benar-benar melayani rakyat.

Tri Mulyana menarik kesimpulan dari sesi prolog diskusi, bahwa perbaikan dan perubahan individu manusia merupakan hal paling penting saat ini. Merubah cara pandang terhadap kualitas calon pemimpin adalah hal utama yang harus kita bangun kembali jika benar-benar ingin tidak hanya berhenti sebagai Pemimpi Kepemimpinan. Setiap individu harus sering melatih dan mengasah kepekaan cara berpikirnya, juga kepekaan cara pandangnya, sehingga selalu memiliki pembaharuan-pembaharuan terhadap parameter pemimpin yang layak.

Ibrahim lalu memandu diskusi yang malam itu dihadiri oleh perwakilan simpul-simpul Maiyah, Ali Fatkhan dari Gambang Syafaat Semarang, Nafisatul Wakhidah dari Maneges Qudroh Magelang, Faqih dari Jamparing Asih Bandung dan Syamsul dari Maiyah Dusun Ambengan, Metro Lampung Timur. Ibrahim menarik tema dalam situasi internal Komunitas Kenduri Cinta, dimana dalam komunitas tidak ada aturan baku untuk menduplikasi sistem kepemimpinan organisasi umumnya. Bahkan, istilah Musyawarah Lengkap hanya ada di Kenduri Cinta. Pada Musyawarah Lengkap agendanya memilih ketua umum komunitas, yang terjadi justru tidak ada satu pun yang berani mencalonkan diri.

“Mengutip apa yang disampaikan oleh Sabrang, bahwa seperti apapun sistem kepemimpinan yang dianut itu tergantung pada orang yang berada di lingkungan tersebut,” Ibrahim membuka sesi. Seperti yang selama ini berjalan di Kenduri Cinta dan simpul-simpul Maiyah lain, seperti apapun sistemnya apabila orang-orang yang berkumpul sudah tertanam nilai-nilai keikhlasan dan rasa memiliki maka forum maiyahan akan tetap berjalan.

“Sejarah mengatakan bahwa pemimpin itu diikuti oleh pengikut yang setia dan kepemimpinan itu seharusnya tidak diikuti oleh kepentingan-kepentingan tertentu”

Ibrahim, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

DI KENDURI CINTA telah tumbuh rasa memiliki dan saling mendukung satu sama lain, maka otomatis semua saling melengkapi dalam mempersiapkan forum. Tidak ada yang berani mengajukan diri untuk bertugas sebagai apa, karena semua diputuskan dalam forum Reboan. Sehingga dari proses itu tumbuh kesadaran untuk turut merasa memiliki oleh karenanya output yang dihasilkan adalah kegembiraan bermaiyah.

Menurut Ibrahim, untuk membedah wacana kepemimpinan juga seharusnya berkaca dari sejarah. Tentu saja sebagai orang Islam, acuan utama adalah sejarah nabi-nabi dulu saat memimpin umatnya. Sayangnya, kepemimpinan saat ini tidak pernah bercermin dan belajar dari sejarah para nabi dan rasul. Pemimpin sebenarnya adalah pemimpin yang tidak berdiri sendiri, ia memiliki pengikut setia yang juga tanpa kepentingan apapun. Rasulullah SAW memiliki beberapa sahabat yang sangat setia mendukung setiap keputusan. Bahkan, jika kita melihat bagaimana setianya khulafaur rasyidin bukan hanya fisik dan hartanya, bahkan berani mempertaruhkan nyawanya.

“Saya tidak mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mampu memimpin sendirian, tetapi sejarah mengatakan bahwa pemimpin itu diikuti oleh pengikut setia. Yang terjadi saat ini, apabila ada kesempatan yang lebih besar di gerbong lain, lazim terjadi “kutu loncat,” lanjut Ibrahim. Yang terjadi bukanlah kesetiaan melainkan adanya kepentingan-kepentingan. Ketika orang yang didukung sudah tidak memiliki kemungkinan untuk berkuasa lagi, maka orang-orang yang ada di belakangnya akan berpindah haluan mencari tokoh lain yang potensial untuk dimanfaatkan. Bisa dipahami bahwa pemimpin saat ini di mata masyarakat hanyalah posisi jabatan sementara, ketika periode berkuasa telah usai, maka kembali lagi perebutan-perebutan.

Moderator lalu memberi waktu kepada Nafis, salah satu penggiat Maneges Qudroh untuk bercerita sedikit tentang forum Maiyah Maneges Qudroh yang merupakan salah satu simpul Maiyah di Magelang. Nafis sendiri mengenal Maiyah ketika masih kuliah S1 di Malang, bersama Maiyah Relegi (Rebo Legi), yang kemudian beberapa kali juga menghadiri Padhangmbulan. Ia bergabung dengan Maneges Qudroh setelah menyelesaikan studi S1-nya di Malang. Maneges Qudroh adalah sebuah nama yang diberikan oleh Cak Nun, terinspirasi dari kisah Anoman. Berkenaan dengan dipilihnya nama itu, salah satu nilai yang diharapkan bisa diambil adalah Maneges Qudroh mampu mengambil pelajaran dari Anoman dalam perilaku tirakatnya. Anoman adalah salah satu tokoh dalam dunia pewayangan yang tirakatnya bisa dikatakan paling berat.

Tentang tema Kenduri Cinta, Nafis menarik benang merah ke dalam salah satu tulisan Cak Nun; Pusaka Satria, dimana dalam tulisan tersebut Cak Nun menjelaskan tujuh poin yang pada intinya berpesan kepada bangsa ini agar jangan sampai kehilangan pusaka, salah satunya adalah dengan belajar kepada sejarah masa silam, sebab pada masa silam terdapat pijakan untuk menuju masa depan.

Ali Fatkhan dari Gambang Syafaat bercerita bagaimana simpulnya saat ini sudah aktif menghidupkan gerakan ekonomi kemandirian, salah satu produknya adalah Kopi Gambang Sayafaat. Ali berpendapat, dalam setiap maiyahan, mayoritas jamaah yang hadir itu ngopi dan sebagian lagi juga merokok. Penggiat melihat peluang ekonomi sehingga mereka berinisiatif untuk memproduksi Kopi Gambang Syafaat yang tentu saja keuntungannya menjadi pemasukan bagi komunitas.

“Orang yang hadir dalam sebuah forum diskusi untuk mendengarkan pendapat orang lain, biasanya bukan dalam rangka untuk benar-benar mendengarkan, melainkan disaat yang bersamaan ia juga menyiapkan amunisi untuk membantah pendapat orang lain itu.”
Faqih, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

MAGNET MAIYAH

DARI KEHADIRAN para penggiat Maiyah di beberapa simpul, Ibrahim mencoba menggali lebih dalam uraian Ali Fatkhan, bahwa Maiyahan saat ini begitu diminati oleh masyarakat, tidak hanya di Kenduri Cinta. Simpul-simpul Maiyah telah bermunculan di beberapa daerah. Apa sebenarnya yang menjadi magnet bagi Maiyah sehingga saat ini begitu diminati oleh banyak orang untuk didatangi?

Ali Fatkhan merespon pertanyaan Ibrahim dengan bercerita bahwa di Gambang Syafaat ada salah satu jamaah asal Salatiga yang selalu duduk di shof pertama, namanya Bagus. Satu hal yang unik dari Bagus ini bahwa setiap orang yang berbicara di depan selalu saja ditimpali dan disanggahnya, tidak terkecuali Cak Nun. Ali pernah bertanya kepada Bagus, apa yang melatarbelakanginya untuk hadir di Gambang Syafaat, dan dengan enteng Bagus menjawab, “saya nggak tahu, pokoknya saya nyalain motor, saya naiki, terus saya sampai di sini.” Dari cerita ini, Ali hendak menjelaskan bahwa Maiyahan memiliki magnet yang tidak terdefiniskan, yang membuat orang mau berdatangan ke Maiyah.

Dari Jamparing Asih, Faqih yang merupakan penggiat simpul Maiyah pertama di wilayah Sunda, mengakui sejauh ini masih mencari pola-pola yang tepat. Karena, secara budaya, sosiologis dan kulturnya sangat berbeda dengan simpul-simpul Maiyah yang lainnya. Satu contoh yang ada di Jamparing Asih adalah Maiyahan yang berlangsung tidak mungkin dilakukan sampai jam 3 dinihari atau sampai menjelang subuh. Sebab, kultur yang terbangun di wilayah Sunda tidak sama dengan yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sudah terbiasa begadang sampai pagi. Pola-pola ini yang masih terus dipelajari oleh Jamparing Asih untuk menemukan pola yang tepat bagaimana mengemas Maiyahan di wilayah Sunda agar mampu merangkul semua lapisan masyarakatnya. Jamparing sendiri memiliki arti “Panah” dan “Asih”, kasih Sayang dan Cinta, sehingga nama Jamparing Asih dimaksudkan Maiyahan yang berlangsung merupakan transformasi cinta dan kasih sayang yang sangat mendalam terjadi di antara jamaah yang hadir.

Faqih juga menjelaskan keutamaan bermesraan dalam sebuah forum, dimana saat ini tampak sekali orang-orang dalam berdiskusi bukan berdasarkan semangat untuk mendengarkan satu sama lain, tetapi gengsi untuk membantah satu sama lain. Jadi, orang yang hadir dalam sebuah forum diskusi mau mendengarkan pendapat orang lain, bukan dalam rangka untuk benar-benar mendengarkan, tetapi disaat yang bersamaan ia juga menyiapkan amunisi untuk membantah pendapat orang lain itu.

Untuk hal tersebut, Faqih menekankan pentingnya tradisi literasi sebagai salah satu cara untuk menghancurkan budaya gengsi. Dengan tulisan, setidaknya orang akan memiliki waktu lebih panjang untuk menelaah apa yang ia baca, dan jika kemudian seseorang hendak membantah tulisan tersebut, itu juga akan memaksanya untuk lebih berkorban dalam menuliskan bantahannya agar diketahui oleh banyak orang.

Syamsul dari Maiyah Dusun Ambengan, sebuah simpul yang masih berusia sangat muda, 9 bulan, bercerita sedikit tentang Maiyah Ambengan. Ada satu hal yang bagi Syamsul cukup dapat dihikmahi di Maiyah, bahwa senantiasa Cak Nun mengajarkan bahwa ketika berbuat sesuatu, sekecil apapun jangan mengutamakan hasilnya, tetapi menikmati prosesnya.

Pada awalnya, Maiyah Ambengan dilaksanakan tepat satu hari setelah Kenduri Cinta, dengan harapan Cak Nun usai dari Kenduri Cinta dapat langsung menuju Lampung. Akan tetapi, bersama berjalannya waktu, jadwal Maiyahan di tempat lain akhir-akhir ini seringkali berlangsung dalam hari yang sama, dan Cak Nun belum memiliki kesempatan hadir di Maiyah Ambengan. Beberapa waktu yang lalu Syamsul telah berkomunikasi dengan Cak Nun, dan salah satu yang dibicarakan adalah harapan bahwa Cak Nun bersama Kiai Kanjeng semoga segera bisa bersilaturahmi dengan jamaah Maiyah Ambengan di Lampung.

Berbicara tentang kepemimpinan, Syamsul melihat bahwa di Maiyah setiap yang hadir bisa dikatakan sudah lulus dalam urusan kepemimpinan, minimal dalam memimpin dirinya sendiri. Satu contoh yang digambarkan oleh Syamsul, bahwa dalam setiap Maiyahan laki-laki dan perempuan berkumpul tanpa ada sekat, memilih duduknya sendiri, dan semuanya menikmati forum Maiyahan tanpa ada perasaan risih, takut, segan. Karena semua sudah menyadari ketika hadir di Maiyahan yang dibawa adalah manusianya, bukan jenis kelaminnya.

Syamsul sendiri adalah jamaah Kenduri Cinta sejak awal, bahkan sejak era Cak Nun tinggal di Kelapa Gading. Saat itu Syamsul bersentuhan dengan Cak Nun melalui forum-forum Maiyah yang belum seperti saat ini. Di Maiyah Ambengan sendiri, Syamsul bersama teman-temannya memiliki kelompok musik gamelan Jamus Kalimasada, yang spiritnya terinpirasi dari Gamelan Kiai Kanjeng.

Ust. Noorshofa, yang sudah cukup lama tidak hadir di Kenduri Cinta, kemudian urun memaparkan materinya terkait tema Pemimpin Kepemimpinan. Satu cerita awal yang juga patut diteladani adalah kisah nabi Yusuf, dimana beliau memohon kepada Allah agar dicabut nyawanya ketika menjadi penguasa. Beliau tidak meminta dicabut nyawanya ketika dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, beliau tidak meminta dicabut nyawanya ketika di penjara, melainkan beliau meminta dicabut nyawanya ketika beliau berkuasa. Dari kisah ini Ust Noorshofa mengambil satu hikmah bahwa puncak kenikmatan seorang hamba adalah pertemuannya dengan Allah, bukan ketika menjadi seorang pemimpin yang berkuasa.

“Peristiwa meminta pendapat tentang mimpi yang dialami Nabi Ibrahim kepada putra beliau adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya pemimpin mengutamakan rakyat yang dipimpinnya ketika mengambil satu keputusan yang menentukan nasib orang yang dipimpinnya.”
Noorshofa, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

TENTANG MIMPI, menurut Ust. Noorshofa, merupakan salah satu anugerah dimana Allah memberikan kita kesempatan untuk merasakan sesuatu yang tidak bisa kita rasakan di dunia nyata. Seringkali ketika kita tidur, kita bermimpi tentang hal-hal yang indah, yang tidak kita rasakan ketika kita bangun. Mimpi, juga bagi sebagian nabi, menjadi salah satu petunjuk dari Allah untuk melakukan sesuatu. Nabi Ibrahim misalnya, diberikan petunjuk oleh Allah untuk menyembelih putranya, nabi Ismail, melalui sebuah mimpi. Dan, ketika nabi Ibrahim menyampaikan isi mimpi beliau kepada nabi Ismail, nabi Ismail menjawab lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu wahai Ayahku.

Dari kisah nabi Ibrahim ini kita dapat ambil hikmah tentang kemampuan memposisikan diri sebagai pemimpin bagi nabi Ismail. Peristiwa meminta pendapat tentang mimpi yang dialami nabi Ibrahim kepada putra beliau adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya pemimpin mengutamakan rakyat yang dipimpinnya ketika mengambil satu keputusan yang menentukan nasib orang yang dipimpinnya. Sedangkan saat ini, bahkan sosok pemimpin dalam keluarga pun sudah luntur, kharisma seorang ayah di dalam sebuah keluarga sering kalah oleh gadget, motor, televisi dan oleh banyak hal lainnya. Anak-anak muda sudah luntur kesadarannya untuk menghormati orang yang lebih tua.

Dari nabi Ibrahim dan Ismail, Ust Noorshofa selanjutnya mengambil hikmah dari kisah nabi Musa yang dikenal sebagai nabi yang sangat cerdas, sehingga Allah kemudian mempertemukannya dengan nabi Khidir. Hikmah yang bisa kita ambil dari kisah itu adalah meski betapa cerdasnya seorang manusia, sesungguhnya kecerdasannya itu tidak ada apa-apanya dibanding ilmu Allah yang bertebaran di alam semesta ini. Sehingga, sifat utama dalam diri rasul adalah siddiq, kejujuran yang merupakan lambang dari Akhlak.

Di Maiyah sudah sejak lama ditekankan bahwa akhlak berada di atas hukum, sehingga salah satu edisi Maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng bersama KPK di Yogyakarta beberapa tahun lalu mengangkat tema, “Negara Hukum, Manusia Akhlak”, hal ini disebabkan posisi hukum berada di bawah akhlak. Seseorang dengan akhlak yang mulia tidak memerlukan pertimbangan hukum untuk tidak mencuri. Sebab, manusia yang sejati adalah manusia yang memiliki perangai mulia sehingga dalam dirinya tidak ada niatan sedikitpun untuk menyakiti orang lain.

Membahas lebih detail tentang kepemimpinan, Ust. Noorshofa menarik garis sejarah Khulafaur Rasyidin ketika memimpin. Jika anda hendak menjadi pemimpin, contohlah akhlak Rasulullah, contohlah akhlak para sahabat Rasul. Manusia terbaik setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan menyebut ke-zuhud-an Abu Bakar sebagai orang yang tidak menginginkan dunia dan dunia juga tidak menginginkan Abu Bakar. Laa yuridu-d-dunya wa lam turidhu.

Salah satu hikmah dari kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yang sangat terkenal adalah beliau merubah kutipan dalam khutbah yang sebelumnya selalu terdapat kalimat-kalimat yang melaknat sahabat Rasulullah SAW. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghapus kalimat-kalimat umpatan itu dengan kalimat yang berbunyi; innallaha ya’muru bi-l-‘adli wa-l-ihsaani wa itaa i dzi-l-qurba wa yanha ‘ani-l-fakkhsyaa i wa-l-munkar wa-l-baghy ya’idzukum la’allakum tadzakkaruun.

Itulah kebijakan yang sangat indah untuk kembali mempersatukan umat Islam oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebelumnya, ia dikenal sebagai orang yang menonjolkan kemewahan, tetapi setelah menjadi seorang khalifah, segala kemewahan beliau tinggalkan, dan justru menjadi lebih dekat dengan rakyatnya ketika menjabat sebagai khalifah. Tentu budaya ini sangat berbeda dengan apa yang kita lihat saat ini, dimana orang yang mencalonkan dirinya sebagai pemimpin melakukan blusukan untuk mendapat simpati dari para pemilih menjelang pemilihan umum berlangsung.

Ust. Noorshofa menyindir perilaku masyarakat saat ini yang seringkali memberikan perbandingan mana yang baik antara pemimpin kafir yang tidak korupsi dengan pemimpin muslim tetapi korupsi. Menurutnya kedua hal tersebut tidak bisa diperbandingkan karena memiliki parameter yang berbeda. Jika ingin membandingkan adalah dengan parameter yang sama; pemimpin muslim dengan pemimpin muslim, dan pemimpin kafir dengan pemimpin kafir. Baru kemudian dimasukkan parameter selanjutnya, yaitu korupsi. Sehingga perbandingan yang seharusnya adalah antara pemimpin muslim yang tidak korupsi dengan pemimpin muslim yang korupsi atau pemimpin kafir yang tidak korupsi dengan pemimpin kafir yang korupsi.

Jika anda berbicara tentang Islam tidak bisa dilepaskan dari fiqih. Jika anda berbicara tentang iman tidak bisa dilepaskan dari tauhid. Dan, ketika anda berbicara tentang ihsan, anda tidak bisa melepaskan diri dari tasawuf.

Kezuhudaan Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab, digambarkan dengan, lam yuriidu-d-dunya wa qod arodathu. Umar tidak mencintai dunia, tetapi dunia menginginkan Umar. Dunia mencintai Umar karena Umar tidak akan mengambil yang syubhat apalagi yang haram dari dunia. Berikutnya, Utsman bin ‘Affan, digambarkan dengan, naala-d-dunya wa dunya naalathu, Utsman mendapatkan dunia dan dunia mendapatkan Utsman. Apa yang dilakukan oleh Utsman bin ‘Affan adalah bukan meninggalkan dunia, tetapi meninggalkan kecintaan kepada dunia.

Kemudian Khalifah Ali bin Abi Thalib digambarkan, ahyaanan yuriidu-d-dunya wa ahyaanan tarku-d-dunya, terkadang senang terhadap dunia, terkadang meninggalkan dunia. Dari keempat Khalifah tersebut, sebenarnya bermaura pada satu hal: Zuhud.

Lewat tengah malam, dua buah puisi karya Cak Nun yang berjudul “Tikus” dan “Anatomi” dibawakan oleh Syahrul. Kemudian, Fadhil membawakan beberapa nomor-nomor akustik yang menyegarkan suasana malam.

Sebelum mempersilahkan Cak Nun naik keatas panggung, Ibrahim melengkapi penjelasan Ust. Noorshofa yang mengambil beberapa nilai-nilai kezuhudan dari Khulafaur Rasyidin. Ibrahim menggambarkan bahwa Abu Bakar adalah simbol Kebijaksanaan, Umar menggambarkan simbol Keberanian, Utsman adalah simbol Kedermawanan dan Ali adalah simbol Kecerdasan. Dari 4 simbol ini, Ibrahim berpendapat bahwa seorang pemimpin membutuhkan 4 pilar untuk menopang dan mengawal jalannya kepemimpinan yang ia emban, dan keempat sahabat Rasululllah SAW tersebut merupakan pilar yang menopang kepemimpinan Rasulllah SAW saat itu.

“Mengaji dan Mengkaji. Mengkaji merupakan peristiwa intelektual akademis. Dan Mengaji, golnya adalah martabat serta ilmu yang bermanfaat secara batin.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

TAFSIR DAN TADABBUR

“PERLAKUKAN SETIAP kata sebagai pintu. Setelah anda melewati pintu maka anda akan menemukan ruangan,” Cak Nun mengawali diskusi sesi puncak Kenduri Cinta kali ini dengan pijakan awal yang sangat mendasar untuk menyadari bahwa Ilmu dari Allah yang diberikan kepada manusia sangatlah sedikit, bahkan ilmu yang sangat sedikit itu pun seringkali kesulitan untuk dijangkau dan dipahami. Cak Nun mengingatkan bahwa puncak dari forum Maiyahan seperti ini adalah setiap individu mampu mengerti dalam dirinya tentang kadar apa yang diketahui dan apa yang belum diketahui.

Sejenak kemudian, Cak Nun menjelaskan bahwa sebelum Maiyahan bersama KiaiKanjeng akhir-akhir ini telah digunakan tagline “Sinau Bareng” dan “Ngaji Bareng.” Dahulu, pernah menggunakan “Pengajian Tombo Ati”.

“Anda tahu beda antara Mengaji dan Mengkaji? Kalau mengkaji itu peristiwa intelektual akademis. Dan, mengaji itu golnya adalah martabat serta ilmu yang bermanfaat secara batin,” tutur Cak Nun.

Terhadap Al Qur’an itu 90% mengaji, dan 10% mengkaji. Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa menurut Sabrang terdapat dua pendekatan dalam belajar, yaitu “belajar dari” dan “mempelajari.” Dan, sebaiknya “belajar dari” harus lebih banyak dari “mempelajari”. Karena, dengan pijakan “belajar dari” ada banyak kemungkinan-kemungkinan untuk membuka pintu ilmu pengetahauan yang lebih luas daripada dengan menggunakan metode “mempelajari.” Bahkan, mempelajari diri sendiri pun, kita belum tentu akan sampai pada tahap mengetahui yang sesungguhnya.

Tagline “Ngaji Bareng” dan “Sinau Bareng” yang selama ini diangkat dalam setiap Maiyahan di beberapa tempat selanjutnya diduplikasi oleh beberapa pihak di Indonesia. Namun, seperti hal nya ketika seseorang menikmati makanan ketoprak, jika setiap hari yang disajikan adalah ketoprak, maka sudah pasti akan menghadapi rasa bosan. Oleh karena itu mulai bulan April ini tagline yang diangkat oleh Maiyah adalah “Tadabburan Bersama.”

Kali ini Cak Nun mengeksplorasi lebih dalam untuk membahas Tadabburan. Selama ini, antara manusia dengan Al Qur’an, jarak yang membentang diantara keduanya selalu diisi dengan tafsir, sehingga yang lahir adalah para mufassir atau ahli tafsir. Dan, tentu saja tidak mungkin semua orang mampu menjadi ahli tafsir, sebab ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi ahli tafsir, selain harus beragama Islam, dia harus mampu menguasai Bahasa Arab dan semua ilmu yang berkaitan seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh, dan seterusnya. Seorang Ahli Tafsir juga harus mengetahui asbabu-n-nuzul sebuah ayat yang diturunkan, apa peristiwa yang melatarbelakangi ayat tersebut diwahyukan, dan beberapa syarat-syarat yang lain juga harus dipenuhi oleh seorang ahli tafsir.

Cak Nun menjelaskan bahwa metode yang dilakukan oleh Al Qur’an tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh dunia akademisi saat ini. Jika di dunia akademisi saat ini, untuk mempelajari sebuah ilmu pengetahuan kita dapat dengan mudah menentukan di fakultas mana akan kuliah, misalnya. Jika ingin belajar pertanian, maka kuliahlah di fakultas pertanian. Tetapi, Al Qur’an tidak menggunakan metode pendekatan seperti ini. Belum tentu kita akan menemukan ilmu seluk-beluk sapi di Surat Al Baqoroh. Justru, ada banyak pintu-pintu ilmu yang sangat jauh dari sapi di Surat Al Baqoroh. “Jadi jangan mempelajari Al Qur’an. Tetapi, belajar dari Al Qur’an. Itulah bedanya Tafsir dan Tadabbur,” lanjut Cak Nun.

“Tafsir itu ukurannya adalah benar atau tidak secara rasional, ilmiah mungkin bahkan secara akademis. Tetapi kalau tadabbur ukurannya adalah manfaat atau tidaknya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

DI AL-QURAN tidak ada saran untuk menafsirkan. Justru, yang ada adalah perintah untuk mentadabburi Al Qur’an. Untuk hal ini Cak Nun mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk lebih spesifik memahami perbedaan antara tafsir dan tadabbur. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Tafsir Al Qur’an adalah peristiwa akademis, sehingga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk kemudian diakui sebagai seorang ahli tafsir, sedangkan untuk men-tadabburi Al Qur’an tidak membutuhkan syarat apapun dalam melakukannya, karena hasil akhirnya adalah bukan dokumentasi akademis melainkan manfaat lahiriah yang dirasakan oleh orang yang mentadabburi dan juga lingkungan di sekitarnya.

Cak Nun menekankan bahwa benar adanya jembatan bernama tafsir untuk memahami Al Qur’an, tetapi juga harus diketahui dan dipahami bahwa ada jembatan lain bernama tadabbur. Wilayah tadabbur menjangkau skala yang lebih luas daripada wilayah tafsir bagi yang melakukannya, jika tafsir harus mempersyarati seseorang dengan sekian syarat, tidak halnya dengan tadabbur. Siapapun anda, apapun pekerjaan anda, apapun latar belakang pendidikan anda, selama tujuannya adalah mencari manfaat sebaik-baiknya dari Al Qur’an, anda berhak untuk melakukan tadabbur Al Qur’an.

Dengan contoh yang lebih mudah, Cak Nun menjelaskan bagaimana saat kita membeli kendaraan bermotor, kita tidak perlu mengetahui siapa direktur pemilik kendaraan bermotor tersebut, atas dasar apa kendaraan itu dirilis, kenapa kendaraan itu dirilis sekarang dan sebagainya, pertanyaan-pertanyaan demikian adalah tugas ahli tafsir. Sebagai manusia biasa, maka yang dilakukan adalah memikirkan bagaimana menghasilkan manfaat sebaik-baiknya setelah kendaraan itu dimiliki. Sikap inilah yang seharusnya ditanamkan dalam diri setiap individu manusia kepada Al Qur’an, sehingga tidak ada ungkapan bahwa seseorang merasa awam terhadap Al Qur’an hanya karena dia bukan Ahli Tafsir, karena setiap kali bertadabbur kepada Al Qur’an, maka ia sedang belajar dari Al Qur’an dan mencari manfaat yang sebaik-baiknya dari Al Qur’an. Dan jika diperluas resonansinya, kita bisa melakukan Tadabbur kepada Alam, kepada Angin, kepada Pohon dan seluruh Alam Semesta.

Dengan adanya sekat tafsir, seakan terbangun sebuah batas yang membentang antara manusia dengan Al Qur’an. Padahal ada banyak sekali hal-hal yang sangat memungkinkan dijadikan pintu bagi setiap manusia untuk tadabbur terhadap Al Qur’an. Al Qur’an memiliki aturan mainnya sendiri, satu contoh dalam surat Al Ikhlas tidak ada satupun ayat didalamnya yang menyebutkan kata Ikhlas. Cak Nun mencontohkan pula seorang ilmuwan Jepang yang berhasil melakukan penelitian bahwa salah satu ramuan mujarab untuk awet muda adalah dengan mengkonsumsi satu buah tin dan tujuh buah zaitun dikonsumsi satu kali setiap hari. Dari peristiwa ini kita melihat bahwa Allah memberikan hidayah kepada siapapun saja, bahkan kepada seorang imuwan yang tidak beragama Islam sekalipun. Dalam penelitian lebih lanjut, diketahui kemudian bahwa kata At Tiin hanya sekali disebutkan dalam Al Qur’an dan kata Zaitun disebutkan sebanyak 7 kali di Al Qur’an. Sehingga jika difahami lebih mendalam, sesungguhnya semua orang tidak awam dengan Al Qur’an, karena semua orang memiliki caranya masing-masing untuk bertadabbur kepada Al Qur’an.

Dan cara manusia mentadabburi Al Qur’an jangan sampai diatur-atur oleh orang lain, biarkanlah setiap individu menemukan sendiri polanya masing-masing untuk mentadabburi Al Qur’an sebagai wujud bukti kecintaannya kepada Al Qur’an.

“Cinta itu kondisi, mencintai itu aktifitas. Mencintai itu tidak harus cinta, mungkin kamu tidak terlalu cinta tetapi kamu mencintai. Mencintai itu komitmen, setia, kerja keras untuk menyenangkan dan membahagiakan orang yang kamu cintai. Maka bekal yang utama bukan cinta pribadimu tetapi kebersamaan cintamu kepada Tuhan diantara orang yang saling mencintai,” ungkap Cak Nun.

“Di Maiyah yang menjadi fondasi utama adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Karena Maiyah merupakan salah satu bentuk dari manifestasi sebuah negeri.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

MEMAHAMI NEGARA DAN NEGERI

“ILMU ITU tidak akan habis anda masuki, baik dengan intensifikasi maupun dengan ekstensifikasi,” Cak Nun meneruskan uraiannya sembari perlahan-perlahan memasuki tema Kenduri Cinta kali ini. Sudah lazim kita dengar di beberapa pengajian ketika membahas tentang kepemimpinan maka harapan yang diinginkan adalah terwujudnya baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur.

Cak Nun menerangkan terminologi baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur sebagai salah satu contoh yang tidak pernah ditadabburi oleh masyarakat Islam saat ini. Sementara itu, apa yang dilakukan oleh Kenduri Cinta ini merupakan salah satu proses tadabbur, bukan berarti Tafsir itu tidak penting, tetapi Tafsir itu mempersyaratkan banyak hal agar seseorang diperbolehkan melakukan tafsir.

Kata baldatun memiliki satu resonansi yang sama dengan bilaadun dan baladun. Bilaadun dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia berarti negara, seperti lagu kebangsaan Mesir yang menggunakan kata bilaadi. Tetapi jika baldatun, cakupan wilayahnya tidak terbatas pada batas teritorial seperti layaknya sebuah negara. Baladun memiliki arti yang lebih umum lagi.

Cak Nun mengajak jamaah untuk kembali menelaah perbedaan antara negara dan negeri. Dari hal yang mendasar ini, Cak Nun menjelaskan bahwa urusan Pilkada merupakan urusan negara, sedangkan acara Maiyahan yang berlangsung seperti di Kenduri Cinta seperti ini merupakan urusan negeri. Sehingga tema-tema mengenai negara yang dibahas di dalam Maiyahan pada hakikatnya adalah sebuah sedekah yang diberikan oleh jamaah maiyah kepada negara. Karena, yang paling utama dibahas di dalam Maiyah adalah persoalan-persoalan negeri.

Negara memiliki batas teritorial formal, kemudian ada aturan perundang-undangannya, dan segala tatanan kehidupan yang sudah diatur oleh para pejabat negara. Sedangkan negeri tidak mengenal aturan-aturan baku seperti itu, karena yang menjadi batas di dalam negeri adalah cinta di dalam batin setiap masing-masing individu. Sehingga, di Maiyah yang menjadi fondasi utama adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar, karena Maiyah merupakan salah satu bentuk dari manifestasi sebuah negeri. Dan, setiap orang yang hadir di Maiyah bukan datang karena ada konstitusinya, bukan karena ada pasal hukumnya, bukan karena adanya aturan yang mengharuskan jamaah datang ke Maiyah.

Satu contoh kasus, ketika seorang suami harus membiayai istrinya melahirkan anaknya dan suaminya tidak mempunyai uang sehingga terpaksa mencuri sepeda untuk digadaikan dan uangnya digunakan untuk membiayai persalinan istrinya, secara hukum negara suami tersebut dinyatakan salah. Tetapi, di dalam wilayah negeri tidak sesempit itu persoalannya. Sehingga, dalam sebuah negeri, kepemimpinannya tidak terbatas dalam wujud tokoh seseorang saja, karena semua orang berhak menjadi pemimpin. Kepemimpinan di Maiyah tidak harus figur, dan semua jamaah Maiyah bisa menjadi pemimpinnya, karena pemimpin adalah output dari kepemimpinan. Tetapi, yang terjadi di sebuah negara, subjek utamanya adalah pemimpin yang belum tentu memiliki output Kepemimpinan. Bahkan, salah satu bentuk kesalahan penggunaan kata di Indonesia adalah penggunaan kata “negeri” di dalam “Pegawai Negeri Sipil”, sehingga bisa untuk dipahami bahwa Negara Indonesia tidak memiliki pegawai.

Orang boleh saja mengatakan bahwa urusan bahasa adalah urusan yang sepele, tetapi pada faktanya semua kerusakan-kerusakan yang ada di dunia saat ini salah satu penyebabnya adalah karena manusia tidak meletakkan kata sesuai pada fungsinya. Seperti yang terjadi di Indonesia, antara negara dan negeri saja tidak banyak orang yang menyadari bahwa kedua kata tersebut memiliki resonansi dan artikulasi yang begitu jauh berbeda.

“Kalau engkau sudah memasuki dunia batin dan sifat waktu yang sesungguhnya maka surga ada dalam dirimu, sekarang juga.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

CAK NUN MENEKANKAN, jika memang kita memiliki tujuan untuk memperbaiki keadaan Indonesia, perbaiki terlebih dahulu hal-hal yang sangat mendasar, seperti perbedaan antara negeri dan negara ini. Apalagi, yang ada di Indonesia adalah Undang-Undang Negara, bukan Undang-Undang Negeri. Sehingga sangat aneh ketika seorang Pegawai Negeri justru taat kepada negara, dan sangat wajar ketika seorang Pegawai Negeri melanggar Undang-Undang Negara dan lebih taat kepada atasannya, karena memang pada dasarnya tidak ada Undang-Undang Negeri. Alhasil, tentu saja akibat dari kesalahan yang sangat fatal ini adalah kerancuan pemerintah dalam mengurusi Negara Republik Indonesia.

Berbelok sejenak dari pembahasan yang sedang menghangat, ada sebagian masyarakat Jakarta tidak menginginkan dipimpin oleh pemimpin yang bukan dari golongan Islam, untuk ini Cak Nun menegaskan agar melakukan instrospeksi terlebih dahulu kedalam wilayah internal individu masing-masing. Dengan kata lain, apa investasi mereka sebenarnya sehingga mereka merasa layak dan harus dipimpin oleh orang Islam? Apa andalan mereka sehingga merasa tidak layak dipimpin oleh setan, bahkan iblis? Karena, realitanya, yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah individu masing-masing manusianya. Kita lihat di Jakarta dalam skala yang sangat kecil saja, setiap hari begitu banyak orang melanggar aturan lalu lintas di jalan raya, menerobos lampu merah, menerobos jalur yang tidak seharusnya dilalui.

Contoh-contoh kecil ini juga dianggap oleh banyak orang adalah hal yang sepele. Tetapi, pada skala yang lebih besar, kita melihat ada pihak-pihak yang menganggap bahwa melanggar hukum sudah merupakan hal wajar.

Pejabat memutuskan undang-undang yang tidak semestinya dikeluarkan. Pejabat melakukan korupsi dan merasa tenang-tenang saja meskipun ada KPK. Dan, itu fakta yang terjadi hari ini. Oleh karenanya, bagaimana mungkin kita merasa memiliki hak untuk tidak pantas dipimpin oleh setan, sedangkan perilaku-perilaku kita sendiri di kehidupan nyata merepresentasikan perilaku-perilaku setan.

Fenomena ini diperparah dengan pemahaman manusia terhadap segala sesuatu yang berdasarkan konsep materialisme. Orang ingin menikmati kehidupan di surga karena merasa di dunia sudah tidak bisa merasakan kemewahan-kemewahan yang dirasakan oleh orang lain, seperti memiliki rumah yang besar, kendaraan nyaman, makanan yang enak, dan sebagainya. Semangat yang dibangunnya adalah semangat materialisme dalam mengkonsepsi surga.

Padahal, surga bukan berada di dalam rentang waktu yang linier saja, yaitu pemahaman bahwa saat ini bukanlah surga dan di akhirat nanti baru akan ada surga. Menurut Cak Nun kehidupan di surga adalah kehidupan dimana manusia sudah tidak perlu berjuang lagi, sebab apa yang diinginkan oleh manusia di surga nanti akan didapatkan tanpa perjuangan keras seperti di dunia. Maka, kehidupan di dunia saat ini adalah perjuangan untuk kelak mendapatkan surga. Dan, yang terpenting adalah jangan mengukur kenikmatan surga dengan kenikmatan dunia, karena berbeda 100% dari apa yang kita bayangkan saat ini.

“Kalau engkau sudah memasuki dunia batin dan sifat waktu yang sesungguhnya, maka surga ada dalam dirimu, sekarang juga,” lanjut Cak Nun.

Begitu sempitnya manusia memahami bahwa surga dimengerti dalam tataran materialisme, dan kebanyakan orang pada akhirnya terjebak dalam konsep bahwa yang paling utama dalam hidup ini adalah mencapai kesuksesan-kesuksesan yang bersifat materialisme. Sangat jarang orang memahami bahwa kehidupan di dunia ini merupakan ladang perjuangan, dimana dunia ini sejatinya tidak ada puncak kesuksesan. Segala materialisme yang dipuja-puja oleh banyak orang, yang diagung-agungkan oleh banyak orang dan dianggap sebagai sebuah kesuksesan sebenarnya belum tentu semua itu mengantarkannya kepada surga yang hakiki.

“Di Indonesia, mayoritas orang berhenti pada proses ta’lim saja, padahal sesungguhnya ada tahapan lain; ta’rif, tafhim, taf’il dan ta’dib.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

MENGHIDUPKAN NUANSA TA’DIB

SAAT INI dunia akademisi di Indonesia begitu banyak dipenuhi konsep ta’lim dan kehilangan konsep ta’dib. Ta’lim adalah peristiwa seseorang mengalami perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Dan, untuk menyelaraskan proses ta’lim ini, maka dibutuhkan “agen” yang membawa pengetahuan baru yang sebelumnya tidak diketahui oleh banyak orang, sampai akhirnya orang pun mengetahui pengetahuan tersebut. Di Indonesia, mayoritas orang berhenti pada proses ta’lim saja, padahal sesungguhnya ada tahapan lain; ta’rif, tafhim, taf’il dan ta’dib.

Dalam pemahaman sederhana, ta’dib adalah proses pemberadaban dimana sekolah-sekolah saat ini tidak memiliki urusan dengan peradaban ruhani dan moral, sehingga yang terjadi di dunia akademisi sebagian besar adalah peristiwa ta’lim. Jika seorang Profesor melakukan zina terhadap mahasiswinya, misalkan, maka gelar profesornya tidak akan dicabut karena gelar profesor adalah wilayah akademis. Begitu juga yang terjadi ketika seorang magister menjabat suatu jabatan kemudian melakukan korupsi, maka gelar magister yang disandangnya tidak akan dicopot oleh lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazahnya. Karena, peristiwa pendidikan di Indonesia hanya bersifat ta’lim dan tidak memiliki konsep hubungan yang erat terhadap ruhani dan moral.

Cak Nun bercerita bahwa di Padhangmbulan, Jombang, sebulan sekali ada event yang disebut “Ta’dib Padhangmbulan” dimana pesertanya adalah para siswa-siswi SMK Global, sekolah milik keluarga besar Cak Nun di Jombang. Yang dilakukan oleh para guru dan para siswa dalam ta’dib Padhangmbulan itu merupakan aktifitas empiris, mereka tidak hanya menerima materi dari para narasumber, melainkan terjadi peristiwa proses penggalian kemampuan-kemampuan dari setiap siswa. Mereka tidak hanya menjadi pihak yang pasif menerima informasi, tetapi juga menghasilkan informasi. Sama seperti yang terjadi di forum-forum Maiyahan, bahwa yang terjadi adalah bukan jamaah diajari oleh narasumber melainkan narasumber yang hadir memancing cara berpikir jamaah yang datang melalui informasi-informasi yang disampaikan oleh narasumber.

Terhadap tema Pemimpi Kepemimpinan, Cak Nun menjelaskan bahwa di Kenduri Cinta tidak ada pemimpin, karena yang dibutuhkan di Kenduri Cinta dan juga di Maiyah adalah sikap kepemimpinan. Dan, seperti yang sudah dibahas pada diskusi sebelumnya, tema-tema kepemimpinan bisa mengambil sumber dari mana saja, bisa mengambil dari Al Qur’an, bisa dari Rasulullah SAW, bisa dari Khulafaur Rasyidin, bisa dari sistem kerajaan, bahkan dari binatang atau pohon pun bisa.

Cak Nun kemudian menyampaikan beberapa contoh bagaimana sikap kepemimpinan muncul dari dalam diri seorang Nabi, seperti ketika Rasulullah Muhammad SAW menjadi penengah masyarakat Mekkah yang berdebat atas siapa yang paling pantas meletakkan Hajar Aswad setelah pemugaran Ka’bah, saat itu Rasulullah SAW menggunakan surbannya yang di setiap ujung surban tersebut lalu dipegang oleh para pemimpin masyarakat setempat saat itu. Atau, ketika di Madinah, Rasulllah SAW mengamanatkan kepada seekor unta untuk menentukan dimana letak akan dibangunnya Masjid Nabawi. Dimana Unta itu berhenti dan beristirahat, maka disitulah masjid akan dibangun.

ATAU, beberapa suku-suku pedalaman bahkan melibatkan makhluk Allah yang lain untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin. Salah satu contohnya adalah dengan menggunakan lebah. Di sebuah suku pedalaman di Sulawesi, lebah menjadi media parameter bagi masyarakatnya untuk mengetahui siapa yang layak untuk menjadi pemimpin. Setelah 3 orang dipilih oleh masayarakat setempat untuk menjadi pemimpin selanjutnya seorang pawang lebah melepaskan ribuan lebah untuk mengerumuni ketiga orang tersebut. Dari ketiga orang itu akan terlihat siapa yang paling pantas untuk menjadi pemimpin.

Orang yang pertama bisa lari ketakutan dikejar oleh ribuan lebah. Sementara itu, ada orang kedua sangat kebal dengan lebah sehingga setiap lebah yang menyengatnya langsung mati saat menyentuh tubuhnya. Dan, ada orang yang ketiga mampu membuat kondisi sangat mesra dan nyaman antara dirinya dengan ribuan lebah yang mendekatinya. Tentu saja, orang yang ketiga adalah orang yang kemudian terpilih menjadi pemimpin mereka.

Orang yang pertama tidak layak menjadi pemimpin karena ketika dihadapkan dengan satu persoalan bukan menyelesaikan tetapi malah melarikan diri. Orang yang kedua, adalah orang yang sangat kuat dan tegas, tetapi sangat berbahaya karena tidak akan tahan dengan kritikan. Siapa yang mengkritiknya bisa langsung dikenai hukuman.

Untuk menjangkepi pembahasannya Cak Nun pun memberi kesempatan jamaah Kenduri Cinta dalam memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

Merespon Jebeng Irfan yang bertanya apakah Semar itu sama dengan Semarang dan Samiri, Cak Nun merespon bahwa apapun penafsiran seseorang terhadap Semar itu silahkan saja bebas. Dan jika ingin dilegalisasi sebagai salah satu penelitian akademis, maka seorang peneliti harus memenuhi syarat-syarat akademis yang sudah diatur oleh dunia akademis saat ini. Cak Nun kemudian bercerita ketika menyusun naskah “Tikungan Iblis”, dalam naskah tersebut Cak Nun menuliskan bahwa Semar sudah hidup di bumi bahkan sejak sebelum Nabi Adam diturunkan ke bumi oleh Allah. Di dalam naskah itu, Semar digambarkan dalam Smarabhumi, yaitu salah satu Malaikat Allah yang sudah di-casting oleh Allah untuk berlaku sebagai pihak antagonis.

Selanjutnya, merespon pertanyaan Aswin yang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan menciptakan sesuatu yang sifatnya sia-sia dan menurutnya bertabrakan dengan logika pribadinya bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu kalau tidak ada manfaatnya sedangkan Tuhan sendiri memposisikan dirinya sebagai pihak yang tidak bergantung kepada siapapun. Cak Nun merespon dengan penjelasan bahwa logika Tuhan jangan disamakan dengan logika manusia. Terserah-terserah Tuhan akan menciptakan apa dan akan berlaku seperti apa. Laa tatafakkaru ‘ani-l-khaaliq, tafakkaruu ‘ani-l-khalqi.

Cak Nun kemudian memberikan kesempatan kepada Habib Anis Sholeh untuk merespon dua pertanyaan terakhir berkenaan tirakat dan pertikaian antar umat beragama di Indonesia. Dan, sebelum membahas lebih detail, Habib Anis mengingatkan bahwa thoriqot atau tarekat jangan dibayangkan sebagai sebuah lembaga atau sistem yang sudah baku atau terstruktur. Berdasarkan pengalaman pribadinya, bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang secara terus menerus dalam takaran tertentu, itu merupakan salah satu bentuk thoriqoh yang dilakukan. Sehingga, jangan sampai ada bayangan yang menyeramkan tentang thoriqoh atau tirakat yang dilakukan oleh seseorang. Bahkan, menurut Habib Anis sendiri, Maiyah ini juga merupakan salah satu bentuk dari thoriqoh.

Syahdan, mengapa orang saat ini memiliki kualitas yang berbeda dengan orang zaman dahulu, Habib Anis menitikberatkan pada faktor intensitas manusia yang begitu seringnya berinteraksi dengan media massa. Maka, secara tidak langsung, cara pandang masyarakat saat ini sudah dikondisikan melalui informasi-informasi yang diberitakan oleh media massa, yang kemudian menimbulkan efek pembenaran-pembenaran terhadap realita yang terjadi.

Habib Anis juga menyoroti perilaku masyarakat yang salah menempatkan dunia sebagai faktor primer dalam kehidupannya. Banyak orang menganggap bahwa dunia adalah tujuan jangka panjang, sehingga orang mati-matian mengejar dunia demi kepuasan sesaat dan melupakan akhirat yang sesungguhnya harus menjadi tujuan jangka panjang mereka.

Kemudian, terkait persoalan masyarakat yang sebenarnya sudah beberapa kali dibahas di Maiyahan, bahwa munculnya beberapa pihak yang berdakwah dengan cara tidak baik, dengan mengkafir-kafirkan orang lain, membid’ah-bid’ahkan orang lain, menurut Habib Anis hal ini lebih karena masyarakat kita juga kurang memahami kebudayaan dan tradisi yang sudah dilakukan sejak zaman dahulu di Indonesia. Misalnya, di beberapa daerah di Jawa Tengah, setiap kali petani akan memasuki musim tanam, mereka akan melakukan tradisi bancakan di dekat sawah yang akan mereka garap. Ternyata, ada penelitian yang membuktikan, bahwa peristiwa bancakan itu justru membantu petani untuk mengusir hama-hama yang ada di sekitar lahan sawah yang akan mereka garap.

“Orang saat ini tidak mampu memahami bahwa sesuatu yang dilakukan adalah bentuk mujahadah dalam perjuangan hidupnya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

IJTIHAD, JIHAD, DAN MUJAHADAH KEHIDUPAN

CAK NUN TELAH menjelaskan bahwa syirik atau tidaknya sebuah perilaku bukan terletak pada benda atau materi yang kasat mata. Karena, syirik atau tidaknya sebuah perbuatan itu terletak pada konsep alam pikiran seseorang yang melakukannya. Sedangkan bid’ah atau tidaknya sebuah tradisi, di Maiyah sejak lama juga sudah dijelaskan bahwa dalam ibadah terdapat klasifikasi ibadah mahdloh dan mu’amalah. Rumus yang berlaku adalah, apabila ibadah mahdloh: lakukan hanya apa yang diperintahkan, dan Ibadah mu’amalah: lakukan saja semuanya, kecuali yang dilarang.

Cak Nun juga menambahkan bahwa dalam sebuah thoriqoh, ketika seseorang berniat untuk melakukan atau mengikuti sebuah thoriqoh, yang harus menjadi fondasi kuat adalah bahwa orang lain yang ditunjuk sebagai mursyid ditentukan berdasarkan keputusan pribadi dan kedaulatan pribadi, bukan karena sang mursyid yang meminta diakui sebagai mursyid. Di dalam wilayah ini memang akan dilematis, di satu sisi seseorang yang akan bertarekat itu tidak memiliki bekal apa-apa untuk menentukan orang lain sebagai mursyid, dan di satu sisi lain tidak boleh seorang murysid mengaku dirinya sebagai mursyid bagi orang lain. Maka, jalan keluarnya adalah kebebasan dan kedaulatan dalam diri setiap orang yang menentukan siapa yang akan dipilih sebagai mursyidnya.

Dialektika kehidupan dan persambungan antara manusia dengan Allah itu sangat dinamis. Cak Nun menjelaskan, terkadang manusia merasa kurang bersyukur atas semua nikmat yang sudah Allah berikan, dan ketika menyadari hal tersebut manusia biasanya merasa risih untuk meminta sesuatu kepada Allah. Allah sudah memberi nikmat kesehatan, nikmat iman, nikmat Islam dan lain sebagainya, dan manusia mensyukurinya sehingga kemudian merasa bahwa semua nikmat itu begitu banyaknya dan merasa malu jika ingin meminta lebih. Namun, disisi lain, Allah memerintahkan; ud’unii astajib lakum. Mintalah kepadaKu, niscaya Aku akan memberikan kepadamu apa yang kau minta. Jika kita menggunakan pendekatan Tafsir, akan sulit menemukan hubungan yang tepat. Tetapi, jika menggunakan pendekatan dialektika cinta antara hamba dengan Tuhannya, maka hal yang demikian merupakan salah satu bentuk kemesraan.

“Siapa bilang thoriqoh sekarang ini nggak bisa dilakukan?,” Cak Nun menjelaskan bahwa bagaimana tirakat atau thoriqoh orang terdahulu itu bukan tidak bisa dilakukan oleh orang zaman sekarang. Tetapi, orang saat ini tidak mampu memahami bahwa sesuatu yang dilakukan adalah bentuk mujahadah dalam perjuangan hidupnya.

“Di Maiyah, yang dilakukan adalah belajar bersama, tadabbur bersama, ta’dib bersama. Tidak mengunggulkan satu sama lain, tidak merasa paling unggul, berendah hati satu sama lain untuk bersama-sama menemukan kebenaran yang sejati.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Apr, 2016)

KETIKA SESEORANG mengalami kesulitan dalam hidup, beban yang berat dalam menghadapi sebuah persoalan tidak dipahami sebagai bentuk tirakat. Cak Nun menjelaskan bahwa hidup kita yang saat ini penuh dengan perjuangan hidup, dan penuh dengan mujahadah adalah kesempatan yang sangat baik untuk tirakat. Hanya saja, banyak orang yang tidak mampu memposisikan mujahadah dalam hidupnya sebagai bentuk dari thoriqoh atau tirakat yang dilakukannya.

Cak Nun mengingatkan bahwa tirakat itu tidak harus jalan kaki yang jauh berpuluh-puluh kilometer atau berpuasa berhari-hari lamanya untuk meningkatkan kualitas diri manusia. Penderitaan, perjuangan, tempaan hidup manusia seharusnya menjadi cara tirakat setiap individu untuk meningkatkan diri masing-masing saat ini.

Mujahadah adalah pengembangan dari kata Juhdun, artinya sesuatu yang berat. Kalau anda berpikir yang berat, maka anda sedang berijtihad. Dan, ketika anda merasakan hidup yang sangat berat, itu namanya mujahadah, output-nya adalah jihad,” jelas Cak Nun.

Jadi mujahadah itu sekarang tersedia dimana-mana. Bersyukurlah. Bila tadi anda mengatakan; aku tirakat untuk anakku, untuk cucuku. Sekarang pun juga begitu.

Begitu anda merasa berat dengan pekerjaan anda, dengan dagangan anda, dengan perjuangan anda di kampus, atau apapun saja, begitu anda mengalami sesuatu yang berat, anda sampaikan; Yaa Allah, seluruh yang aku tanggung, yang berat-berat ini, aku peruntukkan bagi anakku supaya hidupnya lebih ringan dari hidupku ini. Dan, sangat disayangkan seandainya mujahadah ini tidak membuat kita lebih dekat dengan Allah, tidak membuat kita lebih matang dari sebelumnya, dan tidak membuat diri kita ditempa lebih keras dari sebelumnya.

Cak Nun menjelaskan bahwa Ksatria posisinya ada diantara Brahma dan Sudra. Untuk Brahma, itu terserah dia apa saja profesinya, bisa tukang becak, bisa pedagang, bisa ulama, bisa raja sekalipun. Apapun posisi yang diemban oleh seseorang, asalkan hidupnya itu menuju Tuhan, maka dia adalah Brahma, jadi gol­nya adalah ruhaniah, perjumpaan dengan Allah.

Boleh kaya, boleh miskin, boleh jadi apa saja, asalkan hidupnya dan tujuan batinnya adalah Allah, maka dialah Brahma. Sedangkan Sudra itu kebalikannya dari Brahma. Meskipun anda adalah ulama, meskipun anda kiai, tetapi apabila tujuan akhirnya adalah harta benda yang bersifat materi untuk memperkaya diri, maka anda adalah Sudra. Cak Nun menjelaskan bahwa Ksatria, Brahma atau Sudra itu bukan soal kasta sosial tetapi hal tersebut adalah persoalan orientasi batin dalam setiap individu.

Anda sudah tahu bedanya negara dengan negeri. Kalau anda kecewa dengan negara dan seluruh strukturnya, anda jangan marah, jangan benci. Yang sebaiknya harus kita lakukan adalah memperbanyak negeri di dalam hidup anda. Maiyahan-maiyahan yang berlangsung di beberapa daerah di Indonesia merupakan salah satu bentuk mewujudkan negeri-negeri agar hati kita tidak terlalu sibuk terjebak dalam keputus-asaan melihat kondisi negara.

Di Maiyah, yang dilakukan adalah belajar bersama, tadabbur bersama, ta’dib bersama. Tidak mengunggulkan satu sama lain, tidak merasa paling unggul, berendah hati satu sama lain untuk bersama-sama menemukan kebenaran yang sejati.

CAK NUN PUN menjelaskan kembali tentang pentingnya pengetahuan dan kesadaran batas. “Anda hidup itu polos saja, ikhlas. Tidak harus tahu, ndak harus pintar. Bodoh itu ndak apa-apa asal pada proporsinya. Alhamdulillah ada saat-saat dimana anda itu bodoh dan tidak tahu. Yang ndak boleh itu memperbodohi orang lain dan memperbodoh dirimu sendiri. Tapi kalau keadaannya kamu bodoh dan tidak tahu, ndak apa-apa. Kalau kamu diberi pengetahuan melebihi kebodohanmu, justru menjadi celaka,” lanjut Cak Nun sembari menjelaskan bahwa batas pengetahuan dengan adanya kebodohan itu tidak masalah, seperti halnya jarak pendengaran telinga kita yang dibatasi dan jarak penglihatan kita yang dibatasi.

Sudah sekitar 3 jam lebih Kenduri Cinta mengembara ke dalam pintu-pintu ilmu kehidupan. Lewat pukul 03.00 dini hari, Koko and Friends dari Komunitas Jazz Kemayoran membawakan beberapa nomor akustiknya.

Memuncaki Kenduri Cinta kali ini, Cak Nun kembali menjelaskan tentang hidayah dari Allah kepada seluruh umat manusia. Bahwa turunnya hidayah dari Allah swt kepada manusia sangat bergantung pada software dan hardware yang ada dalam setiap diri manusia.

Jika Nabi dan Rasul diberi anugerah berupa mukjizat, itu karena spesifikasi software dan hardware mereka memang di-setting lebih siap untuk menerima gelombang mukjizat dari Allah dibandingkan dengan kita. Cak Nun menekankan, bahwa salah satu tujuan kita ber-Maiyah selama ini adalah dalam rangka meningkatkan kualitas software dan hardware dalam diri kita sehingga gelombang hidayah yang kita terima dari Allah juga akan meningkat kualitasnya. Kita menjadi lebih peka dari sebelumnya. Menjadi lebih waspada dan waskita dari sebelumnya. Menjadi lebih tajam dan lebih jernih dalam berpikir. Menjadi lebih sigap dalam setiap keadaan. Menjadi lebih kreatif dari sebelumnya.

“Ada satu kunci; jangan menyerap apapun, jangan melakukan apapun, jangan mendengar apapun, jangan melihat apapun, kalau itu menghabiskan tenaga anda. Musik saja ada yang menyerap tenaga dan ada yang menghimpun tenaga.” Cak Nun mengungkapkan ketakjubannya terhadap fenomena Maiyahan yang berlangsung di berbagai daerah, dimana setiap orang yang hadir sangat banyak, bertahan duduk 6-8 jam, berpikir keras, tidak tampak muka lelah bahkan merasa lebih segar dari sebelumnya. Pada kondisi ini, Cak Nun mengajak semua jamaah Kenduri Cinta untuk menyadari bahwa apa yang kita rasakan di Maiyahan ini merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah yang dianugerahkan kepada kita.

Menjelang pukul 04,00 dini hari, Kenduri Cinta edisi April 2016 dipuncaki oleh Cak Nun dengan mengajak semua jamaah berdiri untuk melaksanakan ‘Indal Qiyam dan berdoa bersama.