Kegembiraan Cinta yang Radikal

TIDAK SEPERTI biasanya, Kenduri Cinta diselenggarakan di hari Sabtu. Meskipun pada beberapa edisi pernah juga diselenggarakan tidak di hari Jumat. Misalnya, pada bulan Desember 2013, ketika Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di Kenduri Cinta saat itu juga diselenggarakan pada hari Sabtu. Kemudian di tahun 2014, pada perayaan 14 Tahun Kenduri Cinta, saat itu Maiyahan Kenduri Cinta diselenggarakan di hari Senin. Saat itu Kenduri Cinta menghadirkan KiaiKanjeng dan Komunitas Lima Gunung dari Magelang. Saat itu juga hadir Teater Flamboyant dari Mandar. Sebuah event besar yang dihelat mensyukuri 14 tahun perjalanan Kenduri Cinta, dilaksanakan di hari Senin. Di tahun 2017, pada edisi KendurI Cinta di bulan Mei juga diselenggarakan di hari senin.

Nyatanya, pergeseran hari itu sama sekali tidak mengurangi antusias jamaah untuk hadir. Forum Majelis Masyarakat Maiyah seperti Kenduri Cinta ini sudah menjadi rumah bagi jamaah Maiyah. Tidak peduli diselenggarakan hari apa, dan di mana saja lokasinya. Lihat saja, Maiyahan atau Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di berbagai daerah, dengan lokasi yang beragam, mulai dari alun-alun di pusat keramaian sebuah kota, sampai di tengah sawah di sebuah desa.

Berbicara tema, ada banyak hal yang bisa kita anggap sebagai Radikalitas Maiyah di Majelis Masyarakat Maiyah. Misalnya, seperti Kenduri Cinta ini, dilaksanakan di Jakarta, sebuah pusat kota metropolitan. Masyarakatnya heterogen, dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, aliran, budaya, pekerjaan, pendidikan dan lain sebagainya. Mampu bertahan secara swadaya selama 19 tahun, menuju 20 tahun.

Majelis Masyarkat Maiyah adalah forum yang tidak pernah menargetkan jumlah audien. Di berbagai titik Simpul Maiyah, jumlah orang yang datang tidak mengurangi semangat sinau bareng, urip bebrayan, salaing berbagi, khusyuk, serius, dan istiqomah.

Maka sebenarnya, meskipun Kenduri Cinta memiliki pakem waktu penyelenggaraan pada Jumat pekan kedua di setiap bulan masehi, namun mempertimbangkan beberapa hal, sangat mungkin terjadi pergeseran waktu penyelenggaraan. Banyak Simpul Maiyah yang dengan percaya diri menyelenggarakan Sinau Bareng di hari efektif, bukan akhir pekan, bukan hari libur. Bukankah ini juga sebuah Radikalitas di Maiyah?

Ibu kita; Padhangmbulan, tidak peduli jatuh di hari apa bulan purnama, Maiyahan tetap dilangsungkan. Begitu juga dengan Mocopat Syafaat dan Gambang Syafaat, yang ditetapkan adalah tanggal, bukan hari.

KALI INI, tema Radikalitas Maiyah diangkat Kenduri Cinta pada edisi November 2019 ini. Kata Radikal sampai hari ini masih menjadi kata yang dimaknai yang bersifat negatif. Sementara di Maiyah, kata Radikal kita pahami secara netral. Berulang kali Cak Nun menjelaskan bahwa dalam hidup ini ada momen dimana kita sangat memerlukan radikalisme dalam diri kita. Ada pilihan-pilihan hidup yang harus kita ambil dengan cara yang radikal. Kita ber-Maiyah saja sudah merupakan salah satu keputusan yang radikal. Lebih enak dihabiskan waktu malam hari untuk tidur, nonton film, berkumpul dengan keluarga, atau jalan-jalan, tetapi kita memilih untuk Maiyahan.

Hal lain yang kita dapatkan di Maiyah, sadar atau tidak, adalah kemampuan untuk melakukan switching momentum. Majelis Ilmu seperti Kenduri Cinta memiliki format pakem yang tidak sama dengan forum diskusi kebanyakan. Meskipun tema utama sudah ditetapkan, pembahasan yang berlangsung selama diskusi mengalir saja, banyak hal dibahas, tanpa batas, loncat kesana-kemari, semua khasanah ilmu dikupas. Belum lagi sajian hiburan yang mementasakan para pelaku seni dengan berbagai karyanya, mulai dari puisi, monolog, pantomime, hingga musik dengan berbagai genrenya, semua diterima di Maiyah.

Ini yang kemudian disebut oleh Mas Ian L. Betts bahwa Maiyah membuka dan memberikan ruang untuk siapa saja. Sehingga kemudian juga menjadikan Maiyah sebagai entitas yang bisa diterima oleh siapa saja. Seperti yang dialami oleh Mas Ian sendiri, ketika menemani perjalanan Cak Nun, Mbak Via, Sabrang dan KiaiKanjeng ke Eropa. Ketika sampai di Belanda, Cak Nun berhasil mewujudkan rekonsiliasi masyarakat antar umat beragama yang sempat renggang akibat isu agama yang beredar saat itu. Tidak tanggung-tanggung, Cak Nun mempertemukan 3 pemuka agama; Islam, Kristen dan Yahudi untuk menandatangani sebuah MoU, kesepakatan untuk menjaga kedamaian bersama di Belanda.

Kita semua juga sudah mengetahui bahwa Cak Nun telah berpearn dalam banyak hal yang kaitannya adalah mewujudkan nilai-nilai persatuan. Seperti Lautan Jilbab, misalnya. Sebuah fenomena yang menjadi tonggak kemerdekaan perempuan di Indonesia untuk mengenakan Jilbab. Yang diperjuangkan oleh Cak Nun saat itu bukan hanya sekadar boleh atau tidaknya perempuan berjilbab, melainkan kemerdekaan atas setiap orang untuk berpakaian seperti apa yang ia inginkan. Singkatnya, jika berpakaian yang terbuka saja diperbolehkan, kenapa berpakaian tertutup menjadi masalah?

Syeikh Kamba berulangkali menyampaikan, seperti yang juga disampaikan di Kenduri Cinta edisi November ini. Beliau memiliki keyakinan bahwa Maiyah adalah hidayahd ari Allah, sekaligus juga merupakan hadiah dari Allah untuk kita semua, bangsa Indonesia.

Bagi Syeikh Kamba, Maiyah adalah katalisator, penyeimbang peradaban. Kegembiraan, kebersamaan, kenyamanan, keamanan yang kita alami di Maiyah adalah bukti bahwa Maiyah adalah hidayah dari Allah. Dan Maiyah ini bukanlah kreasi manusia, melainkan kreasi Allah. Kita, setiap individu diperjalankan untuk bertemu dan bersentuhan dengan Maiyah. Konsep-konsep serta nilai hidup yang diajarkan di Maiyah adalah sesuatu yang secara hakikat adalah nilai dasar yang harus dipegang oleh setiap manusia. Maiyah menjadikan nilai-nilai substantif yang sempat tercerabut dari akar kehidupan itu untuk kembali ditancapkan dalam diri manusia.

Tidak perlu Maiyah melakukan campaign tentang toleransi, karena tanpa digembar-gemborkan, Maiyah sudah melakukan itu sejak dahulu. Maiyah menerima siapa saja, menampung siapa saja, mempersilakan siapa saja. Bukan hanya datang, tetapi juga memberi ruang untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat. Audien Maiyah pun sudah terlatih untuk mendengarkan siapa saja, karena setiap individu memiliki kedaulatan dan kemerdekaan untuk sepakat atau tidak sepakat. Tanpa kita sadari, sudah banyak bentuk Radikalitas Maiyah yang kita alami, secara sadar maupun tidak sadar.