RADIKALITAS MAIYAH

Reportase Kenduri Cinta November 2019

Tidak seperti biasa, Kenduri Cinta edisi November 2019 diselenggarakan pada hari Sabtu. Pergeseran hari penyelenggaraan disebabkan agenda Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Universitas Airlangga, Surabaya, yang diadakan sehari sebelumnya. Penggiat Kenduri Cinta telah sepakat bahwa penyelenggaraan Kenduri Cinta tidak bersamaan dengan agenda maiyahan Cak Nun dan KiaiKanjeng, juga tidak bersamaan dengan agenda maiyahan di lima Simpul Induk yaitu Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat dan Bangbang Wetan.

Perubahan waktu penyelenggaraan tidak merubah apa-apa. Penggiat tetap mempersiapkan acara dengan totalitas. Berbagi dan menjalankan perannya masing-masing. Kenduri Cinta sudah menjadi rumah. Rumah yang mereka rawat setiap bulannya. Rumah yang mereka persiapkan ubo rampe-nya pada setiap hajatan rutinnya; Kenduri Cinta.

Pada edisi kali ini, Kenduri Cinta mengangkat tema Radikalitas Maiyah. Kata radikal masih menjadi kata yang dimaknai negatif. Cak Nun sering menjelaskan bahwa dalam hidup ada momen dimana kita sangat memerlukan radikalitas. Ada pilihan-pilihan hidup yang harus kita ambil dengan cara yang radikal. Misalkan, ketika laki-laki hendak menikah, pilihan radikalnya adalah bahwa ia memilih satu perempuan dari sekian banyak perempuan. Terdengar klise, namun sebenarnya hal tersebut adalah radikalitas yang nyata.

Forum Kenduri Cinta diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh para penggiat, dilanjutkan dengan wirid Maiyah dan lantunan sholawat. Suasana syahdu nan khusyuk sudah terasa sejak awal. Meski dilaksanakan pada hari Sabtu, nyatanya tidak mengurangi animo jamaah untuk datang ke Kenduri Cinta. Munajat Maiyah malam itu dipanjatkan, mendoakan kesehatan Guru kita semua; Maulana Muhammad Ainun Nadjib, yang dalam beberapa hari terakhir sedang diberi ujian sakit oleh Allah.

Pada sesi awal, Adi Pudjo memberikan paparan tentang tema yang lebih menekankan pada lingkup internal, bahwa di Maiyah terdapat banyak hal yang bersifat radikal. Jamaah yang tetap hadir meski acara diselenggarakan pada hari Sabtu, lalu bagaimana mereka menikmati forum diskusi selama berjam-jam, lalu ikut bergembira saat musik dimainkan, namun dalam waktu sama juga mampu khusyuk saat diajak bermunajat dan ber-sholawat. Switching momentum itu adalah bentuk radikalitas.

Belum lagi latar belakang jamaah yang berbeda-beda, namun semua duduk sama rata, egaliter, tidak ada sekat, tidak ada perbedaan. Ada yang santri, preman bertato, pekerja kantoran, pedagang kaki lima, driver ojek online, pengusaha hingga pejabat sekalipun duduk melantai bersama.

“Penyelenggaraan Kenduri Cinta di hari Sabtu ini salah satu bentuk radikalisme Maiyah,” ungkap Ali, jamaah Kenduri Cinta. “Mau ditaruh di hari Sabtu, di hari Jum’at, di hari Minggu, di hari apapun saja kita tetap datang kesini,” lanjutnya. Ali sampaikan sebabnya, yaitu karena kita merindukan akar-akar nilai kehidupan yang sudah semakin luntur.

Malam itu banyak testimoni dari jamaah mengenai Kenduri Cinta dan radikalitasnya. Bahwa maiyahan adalah majelis ilmu yang komplit, forum yang tidak hanya menyajikan diskusi dengan muatan tema yang berat, namun juga banyak candaan penuh hikmah. Selain itu, kesenian juga mendapat panggung. Selain sajian musik, Kenduri Cinta juga sering menampilkan pembacaan puisi, monolog teater, juga seni pantomim. Genre musik yang dimainkan pun beragam, mulai dari dangdut, jazz, rock, pop hingga etnik pernah ditampilkan di Kenduri Cinta.

Malam itu nyatanya memang banyak muda-mudi yang datang, mereka tampak memenuhi lokasi. Pada skala tertentu, meski kecil, keadaan-keadaan itu dapat disebut sebagai radikalitas Maiyah.

“Maiyah adalah metode dekonstruksi pemahaman.Maiyah mengantar kita menemukan kembali Islam.”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (November, 2019)

Maiyah, Sebuah Dekonstruksi

Radikalitas Kenduri Cinta lainnya adalah dengan mengingat bahwa forum ini diselenggarakan di Jakarta, sebuah kota metropolitan. Kota super sibuk, dengan masyarakat yang heterogen. Kenduri Cinta mampu bertahan hingga 19 tahun.
Dalam konteks tema-tema yang diangkat, Kenduri Cinta seringkali memilih tema bukan pada jalur aman, penggunaan diksi-diksi yang oleh banyak orang dianggap tabu, oleh Kenduri Cinta justru seringkali dijadikan tema utama.

Diskusi makin menghangat, meskipun baru menginjak sesi awal. Untuk menyegarkan suasana, malam itu tampil Wahyu dan Palupi membawakan sajak-sajak karya Alm. WS Rendra. Wahyu membawakan Maskumambang. Malam itu juga hadir Clara Sinta, putri dari Alm. WS Rendra. Clara dengan apik membawakan sajak-sajak karya ayahnya. Agar tidak monoton hanya berpuisi, Krist Segara malam itu tampil membawakan lagu-lagu dengan alunan gitarnya.

Setelah sesi berkesenian, forum diskusi kembali dibuka. Ali, jamaah Kenduri Cinta, malam itu menyampaikan tentang persentuhannya dengan Kenduri Cinta. Menurutnya, nilai-nilai Maiyah musti diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Diakuinya, selama bersentuhan dengan Kenduri Cinta, ia merasa diterima oleh semua orang, meskipun tak saling mengenal.

“Dari hal yang sepele misalnya, saya dari tadi di belakang minta rokok sama sebelah saya ya dikasih, padahal tidak kenal siapa yang punya rokok itu,” ujarnya.

Suasana akrab yang dialami Ali di Kenduri Cinta merupakan sebuah bukti bahwa Maiyah melahirkan atmosfer kebersamaan yang dirindukan oleh masyarakat. Sifat luhur seperti tolong menolong, gotong royong dan urip bebrayan, sebenarnya telah menjadi dasar kehidupan bermasyarakat di Indonesia, namun mulai luntur. “Kenduri Cinta inilah Pancasila yang sesungguhnya,” Ali menambahkan.

Malam itu hadir juga Mazzini, seorang pembelajar sejarah. Ia menjelaskan, jika yang dimaksud dengan radikalitas adalah sebuah fenomena atau peristiwa pembunuhan massal misal seperti bom bunuh diri, maka ada banyak peristiwa radikal terjadi di Indonesia, bahkan sejak puluhan tahun lalu. Sejarah mencatat misalnya gerakan DI/TII yang dianggap sebagai gerakan pemberontakan, negara kemudian mengejar dan menghukum orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan gerakan itu. Hal sama terjadi ketika PKI dianggap sebagai pemberontak, negara menghukum mereka memiliki keterkaitan dengan PKI. Apakah hal itu juga dapat disebut sebagai fenomena radikal?

Di Maiyah, kita mempelajari bahwa sebuah kata tidak mungkin berdiri sendiri. Seperti kata kafir, kata tersebut tidak bisa berdiri sendiri, harus tersambung dengan kata yang lain; kafir kepada siapa? Mu’min kepada siapa? Begitu juga dengan radikal, yang dimaksud radikal terhadap apa?

Ali Hasbullah menambahkan, Maiyah adalah arena kita untuk mengenal siapa diri kita, mengetahui apa potensi dalam diri kita, apa fadhillah yang sebenarnya Allah berikan kepada kita. Melalui metode Sinau Bareng di Maiyah, Marja’ Maiyah telah memberikan banyak resep ilmu dan formula untuk mengantarkan kita agar dapat mencapai tujuan itu; mengenal diri kita.

“Yang saya pahami, Maiyah adalah metode dekonstruksi pemahaman. Kita membongkar pemahaman kita yang lama terhadap sesuatu di forum ini. Dan menurut saya, Maiyah mengantarkan kita dalam menemukan kembali Islam seperti yang dahulu disampaikan oleh Rasulullah Saw di Madinah,” ungkap Ali Hasbullah.

Ditambahkan Ali Hasbullah, Maiyah juga telah melakukan dekonstruksi terhadap konsep thariqot dalam ilmu tasawuf. Pada tataran thariqot, Maiyah bisa disebut thariqot, meski tidak ada ritual-ritual wirid yang khas. Setiap wirid atau munajat di Maiyah dilakukan berdasarkan kebutuhan dan momentum. Tidak sedikit orang yang sepakat bahwa Maiyah adalah thariqot.

“Radikal itu sikap Jazz. Radikal itu pola pikir Jazz.Maiyah adalah masyarakat Jazz radikal Jazz sejati,”
Beben Jazz, Kenduri Cinta (November, 2019)

Konsep tadabbur di Maiyah juga sebuah radikalitas yang mendekonstruksi metode dalam memahami dan mempelajari Al-Qur`an. Melalui konsep tadabbur, Cak Nun mengajak kita memasuki Al-Qur`an untuk mencari hakikat dari nilai-nilai kebaikan, tidak hanya sebatas memahami makna dari setiap kata pada ayat-ayat dalam Al-Qur`an, melainkan fokus pada output pemahaman dan perilaku setelah mempelajari Al-Qur`an. Jika menghasilkan kebaikan, maka pemaknaan itu baik adanya.

“Karena selama ini kita hanya memahami bahwa untuk memahami Al-Qur`an kita harus membaca kitab-kitab tafsir atau pendapat ulama,” lanjut Ali Hasbullah tentang tadabbur.

Secara fisik, mungkin tidak ada rumah sakit Maiyah, sekolah Maiyah, perusahaan Maiyah dan sebagainya yang dimana identik dengan Maiyah. Menurut Ali, perjuangan atau jihad Maiyah adalah membangun manusia-manusia unggul yang dengan bekal nilai-nilai Maiyah mereka akan memberi pengaruh dan warna baru di manapun mereka berada, memberi pengaruh yang baik, serta menambah manfaat bagi orang banyak.

Ilham, jamaah yang tinggal di Duren Sawit ikut sepakat bahwa Maiyah adalah gerakan yang radikal. Maiyah mampu membawa sesuatu, menghadirkan sesuatu yang pijakannya adalah kebaikan untuk bersama. Maka, output Kenduri Cinta adalah rahmatan lil’alamin. Banyak orang datang ke Maiyah untuk belajar bersama, tidak saling terganggu, karena nafasnya adalah rahmatan lil’alamin, maka siapapun diterima dan akan merasa aman.

Menjelang tengah malam, Beben Jazz and Friends dari Komunitas Jazz Kemayoran tampil membawakan lagu jazz. Berkat Beben, musik Jazz kini akrab dengan jamaah Kenduri Cinta. Sudah lebih dari 6 tahun Beben Jazz membersamai Kenduri Cinta. Malam itu ia bersama komunitasnya dari KJK tampil di Kenduri Cinta.

“Radikal itu sikap Jazz. Radikal itu pola pikir Jazz,” ungkap Beben sembari menunggu kerabatnya menata alat musik. Beben bercerita, beberapa teman-teman KJK yang baru pertama kali tampil di Kenduri Cinta selalu merasakan nervous melihat jumlah audien yang banyak. Selalu ada rasa ketidakpercayaan diri ketika membawakan lagu. Beben menyampaikan bahwa masyarakat Maiyah adalah sekumpulan orang yang sudah sangat lega hatinya, sehingga jenis musik apapun yang dibawakan di Kenduri Cinta akan diterima dan dinikmati bersama-sama.

“Maiyah ini adalah masyarakat radikal Jazz yang sejati,” pungkas Beben. Merka lantas membawakan Hujan Gerimis, Benci Untuk Mencinta hingga Creed milik Radiohead yang diransemen jazz oleh Beben Jazz and Friends.

Diskusi berlanjut. Erik Supit malam itu menyampaikan bahwa akar dari kesalahan pemahaman di Indonesia adalah karena bangsa ini tidak pernah serius dengan bahasa dan kata-kata. “Kita tidak pernah bisa membedakan antara radikal dengan ekstrim, antara fundamentalis dengan mengakar, misalnya,” lanjut Erik.

Menurutnya, penggunaan bahasa sudah kacau. Ia berharap kelak anak-anak Maiyah perlu menyusun Kamus Maiyah yang memuat kata-kata yang maknanya sesuai dengan makna sebenarnya, bukan makna yang terkontaminasi oleh pergaulan peradaban.

Erik mencontohkan, jika suatu saat bertemu dengan seseorang yang tersohor, entah itu pejabat, politisi atau selebritis, coba rekam apa yang ia sampaikan, kemudian transkriplah, dari situlah kita akan menilai sejauh mana pemikiran pembicara.
Karena ada perbedaan antara intonasi ucapan dan suara yang muncul dari mulut dengan artikulasi bahasa yang ditulis dari apa yang disampaikan. Ketika berbicara, saat ngobrol, kita akan mudah memahami apa yang disampaikan, tetapi jika apa yang ia bicarakan kita transkrip ke dalam susunan kata-kata, bisa jadi kita membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami apa yang ia bicarakan.

“Saya sampai sekarang merindukan sesosok tokoh yang mampu berpidato tanpa teks, dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi sepertinya itu mustahil,” lanjut Erik.

“Tantangan generasi muda Maiyah adalah menghentak dunia maya dengan gerakan Maiyah yang otentik.”
Erik Supit, Kenduri Cinta (November, 2019)

Erik malam itu membicarakan fenomena maiyahan di berbagai daerah, dimana banyak dipenuhi oleh anak-anak muda yang antusias, hingga ke pelosok kampung juga terjadi fenomena sama. Jika di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta atau Surabaya mungkin terbantu dengan adanya publikasi di media sosial, sehingga banyak orang yang mengetahui informasi mengenai terselenggaranya maiyahan.

Uniknya adalah ketika maiyahan atau acara Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dilaksanakan pada desa terpencil, yang akses transportasinya tidak mudah, dan juga akses internet tidak seperti di kota-kota besar, tetapi masyarakat yang datang tetap banyak. Hal ini menandakan bahwa budaya getok tular masih terjaga di kalangan masyarakat kita.

Jika kita berbicara sebuah forum, bukan hanya maiyahan seperti Kenduri Cinta saja yang memiliki konsep tata ruang diskusi untuk membahas berbagai masalah sosial masyarakat. Jika kita berbicara tentang crowd funding, maiyahan juga merupakan salah satu bentuk crowd funding itu sendiri, bahkan sudah dilakukan sejak lama. Forum-forum maiyahan adalah forum yang terselenggara secara swadaya, tanpa sponsor, tidak ada juragan yang menjadi bohir untuk membiayainya.

Fenomena lain yang dipotret Erik adalah semakin banyaknya orang datang ke maiyahan, maka semakin banyak pula orang yang membicarakan Maiyah di dunia maya, semakin banyak orang yang mengkreasikan konten mengenai Maiyah, sehingga semakin banyak orang tersentuh oleh Maiyah, meskipun tidak semua datang langsung. Mungkin hanya melihat cuplikan-cuplikan video, atau membaca quotes dan meme yang bertebaran di media sosial. Uniknya, masih banyak yang menganggap bahwa maiyahan adalah forum pengajian.

Menjadi satu catatan bagi Erik, pada setiap gelaran maiyahan, tagar-tagar Maiyah muncul di daftar trending topic Twitter. Yang belum bisa dilakukan oleh anak-anak muda Maiyah, utamanya Generasi Z adalah menghentak dunia maya dengan sebuah gerakan yang otentik yang menandakan bahwa gerakan itu adalah gerakan Maiyah. Inilah salah satu tantangan bagi anak-anak muda Maiyah hari ini, karena tidak bisa dipungkiri bahwa di era Industri 4.0 ini, dunia maya merupakan salah satu mercusuar informasi yang harus bisa dimanfaatkan oleh Maiyah.

Malam itu hadir Ian Betts, sahabat Cak Nun yang juga penulis buku Jalan Sunyi Emha. Ian datang ke Kenduri Cinta langsung dari Bangkok, Thailand. Syeikh Nursamad Kamba malam itu juga hadir di Kenduri Cinta, setelah siang harinya mengisi seminar tasawuf di Pekalongan.

Terakhir kali Ian Betts ke Kenduri Cinta pada bulan Desember 2018 lalu, ketika KiaiKanjeng hadir. Saat itu Ian menceritakan perjalanannya bersama Cak Nun, Mbak Via, Mas Sabrang dan KiaiKanjeng ke Eropa, yang salah satu misi utamanya adalah melakukan rekonsiliasi sosial di Belanda pasca menghangatnya isu yang menyudutkan Islam, setelah seorang politisi Belanda merilis film Fitna.

Ian menjelaskan bahwa kata radikal pada awalnya akrab dengan tindakan anarkis di kalangan aktivis muda di Eropa dan Amerika sebelum perang dunia pertama. “Karena mereka menuntut perubahan yang drastis dari sebuah sistem tata negara yang sedang berlangsung, sehingga kekerasan kerap kali mereka gunakan demi mencapai tujuan mereka,” jelas Ian.
Sementara sekarang, kata radikal selalu dikaitkan dengan agama. Tentu bertolak belakang dengan sejarah. “Kata radikal memang berasal dari bahasa latin radix yang memiliki arti akar atau asal-usul dari sesuatu,” lanjut Ian. Sementara, dalam konteks Maiyah ada banyak peristiwa yang menjadi bukti bahwa Maiyah juga memiliki radikalitasnya tersendiri.

Ian juga berkisah ketika Cak Nun dan KiaiKanjeng datang ke Inggris. Cak Nun diberi penghormatan Islamic Awards of Excellent yang diberikan langsung oleh Gordon Brown. Bagi Ian, hal itu bukti bahwa Maiyah direspon positif oleh publik internasional.

“Kebersamaan yang dibawa Maiyah adalah kebersamaan yang dapat dijangkau oleh semua golongan.”
Ian L. Betts, Kenduri Cinta (November, 2019)

Inklusifitas Maiyah

“Radikalitas di Maiyah bisa digambarkan dengan peristiwa rekonsiliasi konflik, seperti yang terjadi di Belanda pada tahun 2008,” ungkap Ian. Saat itu di Belanda, dampak dari dirilisnya film Fitna, sangat menyudutkan masyarakat Islam di Belanda, sehingga pemerintah Belanda kebingungan untuk menyikapi isu yang berkembang.

Kedatangan Cak Nun dan KiaiKanjeng ketika itu berhasil meredam isu-isu negatif. Pada puncak perjalanan di Belanda, tiga pemuka agama (Islam, Kristen dan Yahudi) bersepakat menandatangani memorandum of understanding untuk bersepakat menjaga perdamaian bersama.

Pada perjalanan di Belanda selama kurang lebih 2 minggu itu, menurut Ian juga ada upaya rekonsiliasi melalui birokrasi melalui pertemuan-pertemuan di kantor pemerintahan, tetapi menurut Ian, yang vital justru ketika Cak Nun dan KiaiKanjeng tampil di gereja katedral dan sinagog, melalui dakwah kultural menggunakan media Gamelan KiaiKanjeng.

Cak Nun berhasil mempresentasikan Islam yang damai, sehingga diterima oleh masyarakat yang hadir. Mereka akhirnya memahami bahwa Islam tidak seperti yang digambarkan dalam film Fitna itu. Bagi Ian, perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng di Belanda merupakan bentuk radikalitas Maiyah.

“Kalau itu bisa dilakukan di luar negeri, kenapa tidak demikian juga di dalam negeri? Itulah yang saya maksud dengan Radikalitas Maiyah,” lanjut Ian.

Selain di Inggris, Ian juga pernah bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng di Australia tahun 2009. Cak Nun pernah didaulat untuk menjadi keynote speaker dalam seminar dimana Cak Nun menyampaikan bagaimana Islam yang damai terwujud di Indonesia melalui gerakan Maiyah.

Ian menambahkan, dengan inklusifitas Maiyah saat ini sebenarnya sudah menjadi modal yang cukup untuk menjadi garansi bahwa Maiyah adalah jawaban untuk mengaplikasikan Islam yang sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Kata Maiyah sendiri dimaknai oleh Ian Betts sebagai sebuah kata yang universal. Bahwa kebersamaan yang dibawa oleh Maiyah adalah kebersamaan yang dapat dijangkau oleh semua golongan, tidak hanya bagi orang Islam saja. Dan sudah terbukti, bahwa Maiyah mampu merangkul semua golongan, tidak terbatas pada suku, ras, agama, dan aliran tertentu saja. Tidak ada perbedaan mau mayoritas atau minoritas, siapapun saja yang datang ke Maiyah akan mendapatkan garansi keamanan dan kenyamanan.

Yang juga dicatat oleh Ian Betts, ketika Cak Nun dan KiaiKanjeng datang ke Italia, dan saat perjalanan ke Italia saat itu Paus Paulus Yohanes II wafat. Cak Nun dan KiaiKanjeng diundang untuk datang ke Vatikan sebagai satu-satunya representasi dari Islam. Bagi Ian, peristiwa di Vatikan itu juga salah satu bentuk dari radikalitas Maiyah. Bukan hanya di Vatikan, ketika berkunjung ke Napoli, Cak Nun juga didapuk menerima gelar Maestro atas karya-karya Gamelan KiaiKanjeng yang dipentaskan di Conservatorio di Napoli saat itu.

“Bagi saya, Maiyah adalah hidayah sekaligus hadiah dari Allah kepada kita,” tutur Syeikh Kamba menyambung. Dalam pandangan lain, Syeikh Kamba menganggap bahwa Maiyah adalah stabilisator dan juga sekaligus katalisator, sehingga apapun yang di luar Maiyah itu negatif ketika dibicarakan di Maiyah menjadi sesuatu yang positif. Seperti halnya ketika Maiyah membicarakan jihad, syariah, syahid hingga radikalitas.

Dari kata jihad misalnya, jelas perbedaan antara jihad dengan qital. Istilah qital itu sendiri lebih dekat dengan makna peperangan, bukan jihad. Ada 8 kali kata jihad disebut dalam Al-Qur`an dengan keseluruhannya adalah pemaknaan tentang perjuangan, bukan peperangan. Hanya 2 kali kata jihad disebut dalam konteks peperangan yang Nabi Muhammad Saw ikut terlibat di dalamnya. Maka penggunaan jihad dalam konteks peperangan sifatnya sangat spesial, yaitu hanya peperangan yang melibatkan Rasulullah Saw. Pada peperangan lain yang tidak melibatkan Rasulullah Saw kata qital yang dimunculkan.

“Bagi saya, Maiyah adalah hidayah sekaligus hadiah dari Allah kepada kita.”
Syekh Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (November, 2019)

ISLAM PRA BADAR

Syeikh Kamba melanjutkan, salah satu alasan mengapa istilah jihad hanya digunakan pada peperangan yang melibatkan Nabi Muhammad Saw adalah karena Nabi Muhammad Saw tidak pernah bertujuan untuk memenangkan peperangan demi meraih kekuasaan, melainkan dalam rangka dakwah Islam. Rasulullah Saw sangat menjaga akhlaq ketika berperang.

Sejarah mencatat, dalam beberapa peperangan yang Nabi Muhammad Saw terlibat didalamnya terdapat beberapa aturan yang justru melindungi musuh dan keluarganya. Misalnya, dalam peperangan tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak yang berdiam di dalam rumah, tidak boleh menebang pohon, merusak tanaman dan sebagainya. Maka, jihad dalam makna peperangan sangat eksklusif dan dijaga betul oleh Al-Qur`an, tidak sembarangan kemudian bahwa seluruh peperangan disebut sebagai jihad.

“Ada perbedaan orientasi antara orang-orang yang memeluk Islam sebelum perang Badar dengan orang-orang yang memeluk Islam sesudah perang Badar,” lanjut Syeikh Kamba. Dalam penelitian Syeikh Kamba, ajaran Islam yang dibawa Maiyah telah sejalan dan relevan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw sebelum perang Badar.

Orang yang memeluk Islam setelah perang Badar lebih kepada karena mereka menyaksikan kekuatan dan keperkasaan Islam. Berbeda dengan apa yang dialami oleh orang-orang yang memeluk Islam sebelum perang Badar karena mereka menemukan rasa iman dan cinta kepada Rasulullah Saw.

Hal ini yang kemudian juga mempengaruhi dakwah Islam pasca Rasulullah Saw wafat. Dakwah Islam era Rasulullah Saw sangat berorientasi pada cinta kasih sesama manusia, sementara ketika Rasulullah Saw wafat, lebih-lebih pasca Khulafaur Rasyidin, Dakwah Islam berorientasi pada kekuasaan. Islam dipandang sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Lebih kepada orientasi politik.

“Pemaknaan Al-Qur`an di Maiyah adalah sesuatu yang otentik,” Ian turut merespon apa yang disampaikan oleh Syeikh Kamba. Maiyah memiliki penafsiran yang komplit, bahkan di Maiyah kita diajak oleh Cak Nun untuk mempelajari Islam dengan cara yang radikal, sampai ke akar dari inti ajaran Islam itu sendiri.

Ian lantas menceritakan proses hijrah yang ia alami. Ian menyebutnya sebagai personal hijrah. Bagaimana Ian yang awalnya sangat tidak menyukai Islam justru pada akhirnya menemukan bahwa Islam adalah pilihan yang tepat untuk dirinya. “Pada awalnya, saya menemukan Paramadina Institute yang diasuh oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid) di Pondok Indah,” Ian mengisahkan pertemuannya dengan Prof. Nurcholis Madjid, Prof Azyumardi Azra, Prof. Nazaruddin Umar dan beberapa guru besar lainnya yang kemudian memperkenalkan Islam kepadanya.

Awalnya, Ian ingin mempelajari tasawuf, ia lantas berdiskusi dengan Cak Nur dan disarankan untuk mempelajari Pokok-pokok Islam terlebih dulu. Ia kemudian memasuki kelas Pokok-pokok Islam selama 1 semester. Setelahnya, Cak Nur menyarankan untuk mempelajari Filsafat Islam selama 1 semester. Proses itu dijalani oleh Ian pada tahun-tahun awal ia datang ke Indonesia.
Pada proses pembelajaran Filsafat Islam itu, Ian menemukan album Kado Muhammad. Ian bahkan masih ingat harga kaset tersebut saat itu yaitu Rp6.000, yang ternyata jauh lebih murah daripada biaya yang harus ia bayar ketika masuk kelas 2 semester di Paramadina.

Pada titik itu Ian berkesimpulan Islam adalah untuk dirinya. Dua tahun kemudian, 1998, Ian bertemu dengan Cak Nun. Pada tanggal 27 Mei 1998, Ian diajak Cak Nun untuk berkunjung ke sebuah kampung di Jakarta, dimana di kampung itu masyarakat sudah menunggu kedatangan Cak Nun yang ingin mensyukuri ulang tahunnya. Tumpeng tersaji, Ian didaulat menerima potongan tumpeng yang pertama oleh Cak Nun. Ian tampak mengenang peristiwa itu.

“Maiyah adalah ruang publik yang memungkinkan semua orang untuk memasukinya. Maiyah is making the space
Ian L. Betts, Kenduri Cinta (November, 2019)

Hikmah yang bisa diambil dari personal hijrah yang dialami oleh Ian Betts adalah bahwa proses yang dijalani Ian untuk convert to Islam bukanlah proses yang sebentar. Ian Betts tidak sibuk dengan atribut-atribut yang menjadi penanda bahwa ia adalah orang Islam. Ian sangat menghindari itu, tetapi ia justru memahami hal-hal yang sangat inti dari ajaran Islam itu sendiri.

Kembali ke tema Kenduri Cinta, dalam satu diskusi melalui pesan singkat dengan Cak Nun, Ian dijelaskan oleh Cak Nun bahwa Maiyah adalah ruang publik yang memungkinkan semua orang untuk memasukinya. Maiyah tidak eksklusif, justru sangat inklusif jika kita melihat fenomena Maiyah hari ini. Semua orang yang datang ke Maiyah diterima dan ditampung, diberi ruang, diberi kesempatan untuk singgah dan mendapatkan kenyamanan serta keamanan. “Maiyah is making the space,” ungkap Ian.

Yang dimaksud dengan menciptakan ruang menurut Ian adalah bahwa Maiyah bukan hanya menjadi forum yang dihadiri oleh ribuan orang, untuk duduk menyimak narasumber, sajian musik bahkan tertawa karena beberapa celotehan humor dari Cak Nun, tidak hanya itu. Maiyah bahkan menjadi ruang untuk solusi-solusi konflik yang dihadapi oleh masyarakat. “Maiyah adalah peradaban baru bukan hanya untuk Indonesia tetapi juga untuk dunia,” lanjut Ian.

Bagi Ian, yang dimaksud dengan Negeri Maiyah bukanlah tentang sekumpulan orang yang banyak dan bersepakat dengan beberapa kesepakatan untuk hidup bersama. Negeri Maiyah adalah manusia yang memiliki akal yang sehat, pikiran yang baik, hati yang tulus. Negeri Maiyah adalah yang kita bangun bersama di dalam hati kita semua. Bagi Mas Ian, Negeri Maiyah itu sangat mungkin dihadirkan oleh satu orang di sebuah perkumpulan, organisasi, masyarakat, lingkungan sosial dan lain sebagainya. Satu orang Maiyah mampu menghadirkan Negeri Maiyah di lingkungan sekitarnya.

Radikalitas Maiyah di Kenduri Cinta edisi November kali ini semakin lengkap ketika kelompok musik Pandan Nanas membawakan nomor-nomor gambang kromong. Jika masih banyak orang memotret Maiyah adalah pengajian, maka pemandangan dinihari di plasa Teater Besar saat itu sama sekali tidak mencirikan bahwa Maiyah adalah pengajian.

Dan selalu ada kejutan-kejutan kecil yang menggelitik ketika dibuka sesi pertanyaan dari jamaah. Seperti malam itu, Arif dari Wonosobo yang baru pertama kali datang di Kenduri Cinta. Ia berkisah tentang pengalaman mengikuti maiyahan. Sebagai anak muda yang memang lemah dalam mengingat, sering kali ia merasa dongkol dan bergumam dalam hati setelah sampai rumah; “Bajingaaan! Tadi Simbah ngomong apa ya di maiyahan, kok bisa lupa?” Pengakuan polos Arif ini disambut tawa jamaah. Diakuinya, ia sedang sangat rindu maiyahan, makanya datang ke Kenduri Cinta.

Pengalaman Arif itu belum selesai. Malam itu ia datang berbekal uang dua puluh ribu rupiah. Sepuluh ribu ia gunakan untuk membeli bensin, lima ribu ia gunakan untuk jajan, lima ribu sisanya untuk biaya parkir. Ternyata, biaya parkir sebesar sepuluh ribu. Apakah Arif merasa bingung? Tentu saja tidak. Ia cukup bernegosiasi dengan tukang parkir di IKJ dengan mengatakan bahwa limaribu sisanya nanti setelah acara, “Saya minta ke teman saya di dalam,” ungkapnya. Padahal belum tentu juga ada teman yang bisa ia mintai uang.

Itulah orang Maiyah. Terkadang kenekatannya justru mengantarkan pada keselamatannya. Motornya tetap aman di area parkir, ia bisa ikut maiyahan sampai selesai. Soal kekurangan uang parkir, urusan belakangan. “Saya mohon doa, semoga mas-mas parkir itu lupa dengan kekurangan uang parkir saya,” ungkap Arif disambut tawa dan tepuk tangan jamaah kedua kalinya.

“Jika populasi forum-forum seperti Kenduri Cinta semakin banyak, Indonesia akan baik-baik saja.”
Erik Supit, Kenduri Cinta (November, 2019)

Ada beberapa pertanyaan yang kemudian direspon oleh Syeikh Kamba. Diantaranya ada yang bertanya, kenapa susah mengajak orang lain untuk ikut datang ke maiyahan? Syeikh Kamba menjelaskan bahwa Orang Maiyah sangat mungkin akan berpikir pragmatis terhadap sesuatu, tetapi Maiyah sendiri tidak mungkin bersifat pragmatis.

Seperti yang dijelaskan oleh Syeikh Kamba di awal, Maiyah adalah hidayah dari Allah. Sehingga, kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk bersentuhan dengan Maiyah. Yang paling mungkin bisa kita lakukan adalah kita bersikap baik kepada orang lain, sehingga melalui sikap mental kita itulah kita ikut meyebarluaskan nilai-nilai Maiyah.

Syeikh Kamba cukup tergelitik mendengar kisah Arif. Syeikh Kamba kemudian ikut bernostalgia saat dulu berangkat ke Mesir untuk kuliah di Al-Azhar juga dengan bekal yang sedikit. Tapi ungkapan yang menurut Syeikh Kamba menarik dari Arif adalah kalimat “rindu Maiyah” itu yang menurut Syeikh Kamba adalah ungkapan yang sangat radikal.

Menjawab pertanyaan bagaimana bisa segala hal yang di luar Maiyah negatif didiskusikan di Maiyah menjadi positif? Menurut Syeikh Kamba karena di Maiyah kita merdeka dan berdaulat atas pengetahuan dan ilmu yang kita miliki. Di Maiyah tidak ada pengekangan atas kebenaran dari sebuah informasi. Di Maiyah terbuka lebar pintu ilmu, sehingga setiap orang memiliki hak berpendapat, untuk setuju bahkan untuk tidak setuju atas sebuah informasi.

“Yang dirindukan oleh masyarakat kita adalah budaya cangkrukan seperti maiyahan ini,” Erik turut menambahkan. Toto Rahardjo pernah mengatakan bahwa media sosial yang sesungguhnya adalah cangkrukan. Orang bertatap muka, satu sama lain saling berdiskusi. Membicarakan apa saja, dan Maiyah sampai hari ini menjaga tradisi itu. Diskusi membicarakan Islam dengan narasi-narasi yang segar kita temukan di Maiyah. Narasi yang membicarakan persaudaraan dan cinta.

Dan tidak mungkin kita temukan grup musik seperti Pandan Nanas membawakan nomor lagu dengan syair-syair yang tabu, dibawakan di forum lain yang bernuansa pengajian. Maiyah mampu mengakomodir itu.

“Tidak ada pengakuan penderitaan sejujur Arif tadi,” ungkap Erik. Dan itu adalah hal biasa di Maiyah. Kita melatih diri kita untuk menertawakan diri kita. Dan itu hal yang biasa-biasa saja kita lakukan di Maiyah. Dengan kita mampu menertawakan diri kita, kita semakin tangguh, tidak cengeng, menikmati dan mensyukuri hidup yang apa adanya.

“Di Maiyah, lelucon, ilmu pengetahuan, retorika dan argumen-argumen yang jitu berkumpul menjadi satu. Ini yang membuat kita kerap rindu kepada Maiyah. Dan inilah ruang publik yang sebenarnya. Ruang publik sebagai tempat kita berekspresi. Saya pikir, jika populasi forum-forum seperti Kenduri Cinta ini semakin banyak, saya pikir Indonesia akan baik-baik saja,” pungkas Erik.

Ian kemudian merespon pertanyaan mengenai contra extrimism, apakah hal tersebut bisa berlaku tanpa melibatkan Islam? Ian menjelaskan bahwa contra extrimism di dunia saat ini tidak mungkin tidak melibatkan Islam, karena Islam sudah sangat terkait dengan itu. Terlepas bahwa itu semua akibat dari konspirasi yang diciptakan oleh segelintir orang, faktanya memang Islam tidak bisa dilepaskan dari hal tersebut.

Kenduri Cinta edisi November 2019 dipuncaki dengan Indal Qiyam, seluruh jamaah yang hadir berdiri, kemudian berdoa bersama dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.