Karno Tanding Kepagian

NEGERI ASTINA pun tidak luput dilanda banjir Globalisasi. Dengan bergulirnya reformasi, konstelasi politik sedemikian rupa telah mampu merombak pakem konstitusi negara. Lengsernya sang Pandudewanata dari singgasana Astina digantikan oleh Destarastra. Namun setelah anak-anak TK Kurawa berhasil melengserkan Destarastra yang tidak lain adalah ayah mereka sendiri, Gandari menggantikan duduk di singgasana untuk sementara. Berikutnya melalui pemilihan langsung, Demokrasi mbelkeduwel besutan bala Kurawa memenangkan Prabu Duryudana sebagai Raja Astina. Ekstase kebebasan demokrasi rakyat Astina terus berlangsung, hingga Ki Lurah Petruk Palsu hasil make up team sukses Ibu Gandari menjadi Raja selanjutnya.

Pertunjukan wayang-wayangan politik semakin amburadul, porak-poranda oleh kebebasan demokrasi. Wayang-wayangnya mengambil peran suka-suka. Duryudana kadang berlaku seperti Yudistira yang menderita, Burisrawa memakai topeng Arjuna dan Sangkuni mengenakan jubah Bisma supaya dikira bijaksana. Rakyat Astina semakin jauh dan lupa keberadaan Pandawa Lima yang sejati karena mereka senantiasa disuguhi berbagai pertunjukan-pertunjukan Kurawa yang memerankan Pandawa. Pagi hari Duryudana dihina-hina oleh adik-adiknya karena memusuhi Basukarna, siangnya Bala Kurawa menjilati pantat Duryudana. Sore harinya Gandari menyamar menjadi Kunti ibunya Basukarna, untuk menyemangatinya dalam Karno Tanding. Sementara pagi, siang, sore dan malam Ki Lurah Prabu Petruk Palsu suka salah tingkah berada di tengah-tengah antara Ibu Gandari, Prabu Duryudana dan Basukarna.

Kehadiran Raja Salya dari Mandaraka disambut dengan kemeriahan yang tak nampak dipaksakan oleh aparatur Astina. Bagaimana tidak, segala sesuatunya justru sudah dipersiapkan oleh protokoler Mandaraka, bahkan seperti boyongan dari Kerajaan Mandaraka ke Negara Astina. Bagi Raja Salya, Astina adalah negerinya sendiri setelah Mandaraka.  Terang saja,  Banowati putriya adalah istri Duryudana dan Surtikanti putri Prabu Salya  lainnya adalah istri dari Adipati Basukarna.

Gelaran karpet, permadani yang terhampar dan berbagai perabotan di Istana Selatan Astina gemerlap menyuguh kemewahan. Begitu sempurna segala persiapan upacara penyambutan kalau saja tidak ada lebat guyuran hujan. Dan seperti biasa, beliau Ki Lurah Prabu Palsu nampak kikuk dan kurang nyaman pada upacara penyambutan Raja Salya.

Kerajaan Mandaraka sebenarnya sedang mengalami kondisi perekonomian yang kurang bagus. Harga komoditas utama kerajaan di pasar global mengalami penurunan. Hal ini kemudian yang mendorong sang Raja membuka segala kemungkinan kemitraan dengan berbagai negara dan kerajaan se-kawasan supaya dapat menambah pendapatan kas kerajaan. Bahkan kesakralan Pertapaan Puser Bumi di Mandaraka dikorbankan. Dipugar, dimewahkan dan semakin dipercantik guna menarik peminat pesiarah yang hendak mencapai puncak kewaskitaan. Siapa saja asal mampu secara pembiayaan dapat datang ke pertapaan, kuota kedatangan para petapa-pun diperbanyak dan mengabaikan tingkat kemampuan kewaskitaan si petapa. Tidak peduli dapat modal entah dari korupsi, manipulasi atau dari hasil merampok yang penting mau bertapa, dipersilahkan. Tidak tanggung-tanggung Raja Salya turun gunung mempromosikannya. Untuk misi itu Raja Salya membalutnya dengan agenda acara keluarga. Menengok putra-putrinya, yaitu Burisrawa, Banowati dan Surtikanti yang sudah menjadi warga negara Astina.

Dalam Istana Ki Lurah Prabu menyambut Raja Salya dengan kewibawaan seadanya. “Selamat datang yang mulia paduka Raja. Ahlan wa sahlan di Astina. ” Ki Prabu memberikan salam sambutan se fasih mungkin, meski seperti biasanya tidak tepat pengucapannya.

“Woh ya Ki Petruk. Mana Surtikanti dan Banowati, tolong panggil kemari? Ini aku kangen dengan mereka.” Tanpa merasa diremehkan oleh tamu yang datang ke istananya itu, Ki Petruk bergegas menjemput Surtikanti dan Banowati yang sedari tadi sudah berada di belakang Istana Selatan bersama Ibu Gandari dan Basukarna. Mereka sudah bersiap untuk menyambut Raja Salya sejak jauh-jauh hari. Sedangkan Duryudana entah sedang apa, sekedarnya menyalami Bapak Mertuanya lantas lenyap begitu saja.

Setelah temu kangen dan serapah nostalgia, manuver-manuver politikpun mulai dilancarkan. “Pak Raja, ini sebentar lagi Anakmas Adipati Basukarna mau mengadakan perang tanding dengan Arjuna. Mbok sampayen jadi Kusir Keretanya?” Ibu Gandari membuka perbincangan baru dengan besan-nya itu.
“Loh, memang Lakon Karno Tanding sudah mulai? Bukanya itu semestinya terjadi  di Baratayuda.” Raja Salya merasa heran dengan permintaan Ibu Ratu Gandari.

“Yo ndak mesti toh Pak Raja. Di Astina yang Demokratis ini apa saja bisa terjadi.” Perbincangan dan adegan-adegan ganjil-pun berlanjut dan semakin riuh semarak. Ki Lurah Prabu Petruk yang menyingkir dari keramaian-pun tak disadari oleh mereka yang mengadakan pesta penyambutan di dalam istana.

Ki Lurah Petruk menyepi, duduk jongkok di pinggir kolam ikan samping istana. “Welah, ini kok jadi begini ceritanya. Aku jadi Raja Astina tapi tidak memiliki kuasa. Dipaksa menggelar Lakon Karno Tanding sebelum Baratayuda, kok ya aku mau saja. Setiap wayang-wayang di sekitar-ku sering gonta-ganti peran. Antara yang asli dan palsu sulit untuk dibedakan. Bahkan aku sendiri tidak bisa memastikan aku ini Petruk Asli atau Petruk Palsu. Kalau ini diterus-teruskan pasti semakin rusak keadaan, ini gara-gara Burisrawa anak Raja Salya yang menyamar jadi Arjuna menantang tanding lawan Basukarna padahal belum saatnya Baratayuda.” Nampak geram Ki Petruk namun tak berdaya untuk melakukan apa. Tatapan matanya tertuju pada seekor katak yang nangkring diatas daun teratai. Teot te blung suaranya nyaring, namun diabaikan oleh ikan-ikan hias di dalam kolam yang berseliweran di bawahnya.

“Pak Prabu, ini cerita maunya apa seh?” Adipati Basukarna tetiba muncul di samping Ki Lurah Petruk.

“Loh aku juga gak ngerti kenapa sampeyan diperankan menjadi antagonis di Karno Tanding nanti? Bahkan yang gak habis pikir Duryudana kok sampai musuhan dengan sampeyan. Ini kalau bukan karena salah tabiat sampeyan, apa lagi coba?” Ki Lurah setangah serius, setengah bercanda. “Demokrasi di Astina ini membuat keadaan semakin gak terkontrol. Wayang-wayang berperan semaunya sendiri. Baratayuda-baratayuda palsu digelar rutin sekedarnya sebagai rutinitas pesta lima tahunan. Setiap orang mengaku berada pada pihak Pandawa dan meng-Kurawakan musuh-musuhnya.” Nada suara Ki Petruk terdengar mendalam dan semakin serius. “Astina bagaimanapun sedang menjadi rebuatan berbagai kekuasaan dari dalam maupun dari manca. Akhir Baratayuda yang kelak akan terjadi, harus terjadi dan menjadi awal Astinapura Raya. Namun sebelum  itu perlu Lakon Kresna Duta.”