JABABIROH

Reportase Kenduri Cinta edisi Mei 2018

Tak seperti biasanya, Kenduri Cinta edisi Mei 2018 dilaksanakan pada Jumat pekan ketiga. Sejak sore, para penggiat telah mempersiapkan berbagai kebutuhan teknis acara, dari tenda, tata suara dan baliho acara. Menjelang Magrib, perlengkapan acara telah tertata rapi. Karpet pun telah tergelar. Suasana sekitar Taman Ismail Marzuki tampak kian ramai. Para penjaja makanan menggelar lapak mereka. Salah satunya warung angkringan Kenduri Cinta. Dengan gerobak khas-nya, penjaja menata makanan a la angkringan. Nasi kucing, sate usus, sate jeroan, dan gorengan, siap disuguhkan. Tak lupa, tiga buah ceret terisi air pun telah dipanaskan di atas tungku berbahan bakar arang. Masyarakat menikmati senja sembari menunggu azan Magrib. Ngabuburit.

Senja berlalu, langit kemudian gelap. Jamaah mulai berdatangan, menempati alas duduk yang tergelar. Tampak anak-anak kecil yang diajak serta orang tuanya berlari ke sana kemari, plasa Taman Ismail Marzuki malam itu menjadi arena bermain anak. Azan Isya berkumandang, jamaah menuju Masjid Amir Hamzah yang berada di dalam Taman Ismail Marzuki untuk menunaikan Salat Isya dan Tarawih.

Menjelang pukul sembilan, beberapa penggiat naik ke panggung, memimpin pembacaan Wirid Wabal. Yaa Dzal Wabal, Yaa Dzal ‘Adli, Yaa Dzal Qisthi, Yaa Syadiidal Iqob. Lantunan ru’us Tahlukah mengiringi pembacaan Wirid.

Bukhori dan Amien Subhan memoderasi sesi prolog. Pramono Abadi, Donny Kurniawan dan Sigit Hariyanto malam itu menjadi narasumber untuk melambari diskusi. Jababiroh, tema acara malam itu, memang istilah yang kurang didengar. Begitulah, Kenduri Cinta seringkali mengangkat tema-tema menggunakan istilah yang terdengar asing di telinga.

Pramono dan Sigit bergantian membahas tema Jababiroh. Sigit menjelaskan, pada sebuah riwayat, jababiroh dijelaskan sebagai zaman yang penuh dengan kepalsuan, penuh dengan topeng-topeng kebohongan. Sigit berpendapat bahwa demokrasi, globalisasi, dan kapitalisasi yang kini subur, merupakan wujud nyata dari jababiroh. Sebab, globalisasi dan kapitalisasi menjadikan orang miskin menjadi semakin miskin, dan sebaliknya, menjadikan yang kaya semakin kaya, kesenjangan sosial menjadi semakin lebar.

Berbeda dengan Sigit, Pramono mengintrepertasi jababiroh dengan pendekatan mitologi Jawa, yaitu tiga pembagian zaman: Kali Swara, Kali Yoga dan Kali Sangara yang masing-masing berlangsung selama 700 tahun. Jika merujuk ke penanggalan Masehi, maka saat ini kita sampai pada era Kali Sangara. Pramono lantas menjabarkannya.

Donny ikut urun pendapat. Menurutnya, pada zaman jababiroh terjadi parade fitnah, kebohongan, keserampangan, yang bermuara pada kehancuran peradaban manusia. Pertikaian terjadi karena benturan antara orang-orang yang merasa benar. Donny tak melihat itu di Maiyah, sebab di Maiyah kita sangat memahami bahwa kebenaran, kebaikan, dan keindahan harus berdialektika, ketiganya tak berdiri terpisah. Semuanya saling terhubung.

Respon lantas datang dari Ali. Ia paparkan bahwa yang pertama diistimewakan di hadapan Allah adalah manusia yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan selalu menyampaikan pesan-pesan keselamatan. Kedua, orang-orang yang selalu bersujud kepada Allah di waktu malam, mereka yang mendirikan qiyamullail. Ketiga, mereka yang takut dimasukkan neraka. Keempat, orang yang sanggup bersikap seimbang atas rezeki, tidak menghambur-hamburkan juga tidak pelit. Kelima, adalah orang yang bertaubat. Keenam, orang jujur dan tidak bersaksi palsu. Ketujuh, orang yang tidak tuli dan buta ketika ayat-ayat Allah disampaikan. Kedelapan mereka yang berdoa Robbana hablana min azwaajina waa dzurriyatina qurrota a’yunin waj’alnaa lil muttaqiina imaaman. Ali lantas mengingatkan, kunci keselamatan menghadapi zaman jababiroh adalah kesabaran.

“Guru saya pernah memberi nasihat. Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.
Ust. Noorshofa, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

RAMADAN BULAN UBUDIYAH

Forum Maiyah Kenduri Cinta tak melulu berisi diskusi-diskusi. Berbagai bentuk kesenian, modern dan tradisional sering ditampilkan. Reiza salah satunya. Malam itu ia menampilkan kesenian pantomim bersama tiga temannya. Ia mengangkat tema sosial yang tengah hangat dalam parodi pantomim. Jamaah menyimak, sesekali tertawa.

Sigit Hariyanto dan Tri Mulyana lantas mempersilakan Ust. Noorshofa ke forum. Sesaat kemudian, hujan turun. Tri meminta jamaah mengatur duduknya, merapat ke panggung. Panggung yang tak luas itu pun dipenuhi jamaah. Hujan tak mengurangi antusias mereka. Ust. Noorshofa lalu melantunkan sholawatan, jamaah ikut bersama melantunkan.

Pada kesempatan pertamanya, Ust. Noorshofa memberikan hikmah, dialog antara Nabi dan sahabat, ”Nabi bersabda: Akan datang suatu zaman dimana umatku akan diperebutkan oleh banyak pihak seperti memperebutkan hidangan yang tersaji di atas meja.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah saat itu kami sedikit jumlahnya?” Nabi menjawab, ”Tidak, jumlah kalian sangatlah banyak. Namun seperti buih di lautan.” Itulah gambaran kondisi umat saat ini, jumlahnya banyak, namun tidak mencerminkan kualitas, mudah dipecah belah, mudah dikalahkan.

“Dan, saat itu akan ditanamkan sebuah penyakit kepada pemimpin-pemimpin umat, yaitu penyakit Wahn,” Ust. Noorshofa melanjutkan. Penyakit Wahn adalah penyakit cinta yang amat sangat terhadap dunia dan takut terhadap kematian. Hubbud dunya wa karohiyatul maut. “Kita semua tak akan mampu menghindar dari kematian,” Ust. Noorshofa mengingatkan, “Dulu, guru saya pernah memberi nasihat. Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.” Sebuah pesan dari K.H. Imam Zarkasyi saat ia menjadi santri di Gontor 40 tahun lalu.

“Ada tiga manusia yang nanti akan mengalami kerugian di hari kebangkitan. Apabila rugi di dunia, kita bisa berusaha menutupnya. Tetapi, jika kerugian di akhirat, maka kita akan mengalami kebangkrutan yang sebenar-benarnya. Menurut Nabi Muhammad Saw ada 3 orang yang akan mengalami kerugian di akhirat kelak,” lanjut Ust. Noorshofa, “Rojulin dzukirtu ‘indahu falam yusholli ‘alayya, orang yang apabila namaku (Rasulullah Saw) disebut, ia tidak mau ber-sholawat. Rojulin adroka indahu abawahu-l-kibar falam yudkhilahu-l-jannah, orang yang apabila dia diberi kesempatan hidup bersama orang tuanya, tetapi matinya tidak mendapatkan surga. Rojulin dakhola ‘alaihi romadhon tsuma insalakho romadhon qobla an yughfaro lahu, orang yang diberi kesempatan bertemu Ramadan, namun saat Ramadan berlalu, dosanya tidak terhapus.”

Sholawat kepada Nabi Muhammad Saw adalah dalam rangka mendapat rahmat dari Allah, seperti yang didapatkan Nabi Muhammad Saw. Syafaat Nabi juga merupakan wasilah yang paling mustajab ketika kita berdoa kepada Allah. Berkesempatan hidup bersama orang tua, adalah kesempatan yang jangan sampai disia-siakan. Karena dengan berbuat baik kepada orang tua adalah perbuatan yang sungguh dimuliakan. Dan merugilah orang yang melewatkan Ramadan tanpa ampunan dosa.

Di tengah paparan, Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba bergabung ke forum. Hujan tampak reda, meski beberapa area masih terlihat genangan air, namun jamaah telah kembali menata posisi duduknya. Karpet yang tadinya menjadi payung untuk berteduh, kembali dijadikan alas duduk.

“Bawa Ramadan di bulan Syawal, bawa Ramadan di bulan Dzulhijjah. Bawalah Ramadan di bulan-bulan lainnya. Begitu juga dengan ibadah lainnya, bawalah salat dalam pekerjaanmu, bawa salat dalam perniagaanmu. Aplikasikan nilai-nilai ubudiyah dalam kehidupanmu sehari-hari,” pesan Ust. Noorshofa memungkasi paparannya seraya mengajak jamaah berdoa untuk kesehatan Cak Nun.

“Pengetahuan di Maiyah adalah pengetahuan yang menggunakan pendekatan pola kenabian.
Syech Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

PUASA SEPANJANG ZAMAN

Suasana malam Ramadan malam itu membuat kajian-kajian terasa istimewa. Termasuk saat Syekh Kamba memulai paparannya. Jamaah terlihat menyimak dengan intens. “Pengetahuan di Maiyah adalah pengetahuan yang menggunakan pendekatan pola kenabian,” Syeikh Kamba menjelaskan sisi tasawuf Maiyah. Syeikh Nursamad Kamba adalah salah satu sosok Marja’ Maiyah yang kompeten di bidang tasawuf. Pembahasan keilmuan beliau di Kenduri Cinta pun tak pernah jauh dari pembahasan ilmu tasawuf.

Pola kenabian dalam ilmu Maiyah dijelaskan oleh Syeikh Nursamad Kamba sebagai pola yang mengalir dan tidak mudah terbaca, karena ilmu itu terhampar begitu luasnya. Setiap jamaah memiliki kemerdekaan untuk memasuki lorong-lorong ilmu di Maiyah. “Adanya Nabi dan Rasul, yang notabene manusia biasa adalah bukti bahwa manusia sebenarnya mampu hidup dalam semesta ilahi dengan hamparan ilmunya yang begitu luasnya itu,” Syeikh Kamba melanjutkan. Nabi Muhammad Saw, tidak diutus untuk membentuk sebuah institusi keagamaan, tetapi beliau diutus untuk menjadi teladan bagi manusia.

“Agama adalah konsep kepasrahan kepada Tuhan yang diukur dari 5 indikator: kesaksian (syahadat), mendirikan salat, berzakat, berpuasa dan melaksanakan haji dengan tulus dan ikhlas,” Syeikh Kamba menambahkan. Secara garis besar, Syeikh Kamba menjelaskan bahwa Islam bersifat transformatif, dari yang sebelumnya tidak baik menjadi baik, dari yang sebelumnya tidak jelas, menjadi jelas, dan seterusnya.

Tak lama, Cak Nun ikut urun diskusi. “Astaghfirullahaladzhim, astaghfirullahaladzhim, astaghfirullahaladzhim, subhanallah, wal hamdulilllah, walaa ilaaha illallah, Allahu Akbar,” Cak Nun membuka, “Saya tidak mengucapkan Assalamu alaikum karena saya dengan anda sudah mengaplikasikan Assalaamu ‘alaikum warahamatullahi wabarakatuh selama 18 tahun di Kenduri Cinta.”

“Ide mengenai negara muncul sejak abad ke-14. Dari bentuk sebelumnya, kerajaan, kemudian menjadi negara. Semuanya, sampai hari ini, membuktikan bahwa hasilnya adalah jababiroh. Semua menghasilkan maksiat dan fitnah global dan luar biasa. Maksiat itu artinya segala sesuatu yang membelakangi Allah, yang tidak kompatibel dengan kehendak Allah. Fitnah adalah output dari segala sesuatu yang tidak kompatibel dengan Allah,” lanjut Cak Nun.

“Anda akan hidup abadi. Disebut “hidup sementara” karena anda hidup dalam kondisi biologis, seperti sekarang. Temukanlah akhirat di dunia, karena akhirat dan dunia itu bukan dikotomi. Dunia adalah bagian dari akhirat, langit itu mengandung bumi dan dunia. Dunia adalah awal dari akhirat,” terang Cak Nun.

Kembali pada bahasan jababiroh, Cak Nun melanjutkan, “Sebagian ulama mengategorikan kehidupan dalam lima (tahapan) zaman; zaman nubuwah, zaman khilafah, zaman mulukiyah, zaman jababiroh dan zaman khilafah yang kedua. Kategorisasi yang tidak mudah saya pahami, karena nubuwah dan jababiroh bersifat software sementara khilafah dan mulukiyah sifatnya adalah hardware.”

Maksiat tak hanya soal prostitusi, maksiat itu juga termasuk ketika kita mengatakan apa yang seharusnya tidak kita katakan, dan ketika kita tidak melakukan sesuatu yang seharusnya kita lakukan, “Maka, puasa adalah pekerjaan kita sehari-hari. Tidak mungkin kita hidup tanpa puasa. Tidak mungkin anda makan dengan melampiaskan nafsu sepuas-puasnya. Anda harus membatasi. Pada bidang apapun, dalam perilaku apapun, anda harus menerapkan batasan-batasan.”

“Orang Maiyah tidak perlu menunggu Ramadan untuk memahami betapa puasa adalah prinsip utama hidup. Bahkan, kalau bisa, seluruh hidup adalah puasa, karena hari raya adalah nanti di akhirat. Dunia bukanlah tempat kita membangun rumah, karena kita tidak bertempat di dunia selama-lamanya. Kita hanya bertempat di dunia ini sangat-sangat sebentar saja,” tutur Cak Nun.

“Jangan mengandalkan kebenaran anda, karena kebenaran yang sejati itu milik Allah. Kebenaran adalah bahan mentah hidupmu, dia bukan suguhan makanan.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

KEBENARAN, KEBAIKAN DAN KEINDAHAN

Malam itu, Cak Nun kembali menegaskan bahwa ia sama sekali tidak memiliki saham atas jamaah Maiyah, sehingga tidak ada kewajiban apapun, kepada siapapun saja, untuk mengikuti Cak Nun, “Aku tidak mampu menolongmu di hadapan Allah, maka aku tidak pernah membaiatmu, tidak pernah menganggapmu sebagai umatku. Setiap orang adalah khalifah, setiap orang bertanggung jawab atas dirinya masing-masing di hadapan Allah Swt. Pegang prinsip itu.”

“Jangan mengandalkan kebenaran anda, karena kebenaran yang sejati itu milik Allah. Anda hanya dipinjami dikit-dikit saja. Kebenaran adalah bahan mentah hidupmu, dia bukan suguhan makanan. Jadi jangan berdebat untuk menegakkan atau mempertahankan kebenaran anda, karena anda tidak punya kebenaran. Kebenaranmu hari ini bisa berbeda dengan kebenaranmu besok pagi,” Cak Nun mengingatkan.

Cak Nun terus menerus mengajak jamaah untuk berbuat baik. Berbuat baik itu ibarat orang memasak. Tidak penting apakah kompornya Muhammadiyah, wajannya NU, pisaunya LDII, cobeknya Salafi dan lain sebagainya, yang terpenting adalah hasil masakannya itu enak atau tidak, yang dipamer-pamerkan bukan bahan mentah di dapur, melainkan hasil masakan yang sudah diolah. “Jadi, bekalnya kebenaran, lalu membikin kebaikan, hasilnya keindahan,” tambah Cak Nun.

Berdasarkan pemahaman modern, kebenaran hanya milik dunia akademis, kampus, sekolah dan sebagainya. Kebaikan hanya dianggap sebagai wilayahnya para ulama, ustaz, kyai yang berada dalam lingkungan agama. Sementara keindahan dianggap sebagai hasil karya para seniman. Orang-orang yang tidak tercatat sebagai seniman, tidak akan dianggap menghasilkan keindahan. Sementara di Maiyah, antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan adalah 3 hal yang selalu berdialektika satu sama lain, tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.

Kebenaran adalah bahan mentah, kemudian kebenaran diolah, dengan cara berbuat baik, akan menghasilkan keindahan. Berbuat baik itu bisa apa saja, boleh berupa tata kelola pemerintahan, berdagang, bermain sepakbola, bermanfaat bagi orang banyak dan hasilnya adalah keindahan. Puncak dari keindahan adalah cinta. In kuntum tuhibbunallaha attabi’uunii yuhbibkumullah wa yaghfir lakum dzunuubakum wallahu ghofurun rohiimun. (Ali-Imron ayat 31). Dialektika keindahan hubungan antara Allah dengan hamba adalah dialektika pernikahan yang dilandasi dengan cinta. Jika hamba tidak patuh dengan Allah, maka akan hancurlah hidupnya. Begitu juga dialektika hubungan pemerintah dengan rakyat, jika pemerintah berlaku semena-mena kepada rakyat, maka tunggulah saat kehancurannya.

Cak Nun sebelumnya mengawali tentang kehidupan yang abadi, tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan. Poin lainnya adalah tentang Qoth’i dan Dhzonni. Qoth’i adalah aturan dari Allah yang tak bisa ditawar-tawar. Misalnya, perintah menunaikan ibadah haji, berpuasa di bulan Ramadan, salat lima waktu, dan sebagainya, itu semua aturan yang tidak bisa ditawar. Take it or leave it.

Sementara, pendapat, fatwa dan keyakinan akan sebuah tafsir merupakan bentuk dari Dzhonni. Pertengkaran-pertengkaran banyak terjadi akibat dari produk tafsir yang dibenturkan-benturkan. Semua kelompok merasa pendapatnya benar, sehingga terjadi klaim kebenaran. Padahal, Islam tidak memerintahkan kita untuk melakukan tafsir, yang diperintahkan Allah adalah tadabbur.

Ukuran tadabbur bukan pintar atau pandai, melainkan manfaat setelah melakukan tadabbur. Menjadi bermanfaat bagi orang lain atau tidak, lebih menyayangi dan mengasihi orang lain atau tidak, lebih setia atau tidak, lebih dekat Allah atau tidak. Boleh pintar, asalkan semakin mendekat kepada Tuhan. Tidak pintar pun tak masalah, asalkan ia dekat dengan Tuhan. Syeikh Kamba pun menjelaskan, syahadat bukanlah pengakuan, Allah tidak akan berubah sedikit pun jika seluruh manusia tidak mengakui-Nya.

“Saya tidak menganjurkan berbuat baik, tapi temukan kenikmatan dalam kebaikanmu. Bahkan, temukan lah kenikmatan dalam penderitaanmu, dalam apapun saja yang Allah tentukan dalam hidup yang cuma sebentar ini.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

Pasal untuk selalu berbuat baik, Cak Nun mengingatkan, “Kalau anda tidak merasakan kenikmatan, untuk apa hidup? Saya tidak menganjurkan berbuat baik, yang saya anjurkan adalah temukanlah kenikmatan dalam kebaikanmu. Bahkan, temukanlah kenikmatan dalam penderitaanmu. Temukan kenikmatan dalam apapun saja yang Allah tentukan dalam hidup yang cuma sebentar ini.”

Cak Nun lantas mengajak jamaah untuk menadabburi Surat Al-Insyiroh, sebuah surat yang menjelaskan dialektika kehidupan, bahwa Allah tidak pernah sesekali membiarkan manusia berjalan sendiri. Allah selalu menemani manusia. Pada setiap penderitaan, persoalan, permasalahan yang dihadapi manusia selalu ada kemudahan yang menyertainya.

“Bekerja dimanapun, kalau anda sudah mantap, lakukan saja, sampai tidak ada yang bisa menggantikan anda, menjadi orang yang paling dipercaya dalam urusan itu, menjadi ahli, menjadi tuan rumah dari pekerjaan itu, sehingga anda tidak mungkin kekurangan rezeki. Anda bisa dipercaya. Anda adalah pakar,” Cak Nun juga menekankan agar jangan sampai keluar dari pijakan Wa ilaa robbika farghob, hanya kepada Allah lah kita berharap.

Melengkapi, Cak Nun memberikan pembelajaran dengan konsep sosok Khulafaur Rasyidin, tentang bagaimana pengenalan mereka masing-masing terhadap Allah. Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq menemukan Allah dengan cara kultural dan moderat. Penghayatan keilahiannya biasa-biasa saja. Menjalani irama hidup dengan penuh kewajaran, ia memikirkannya, merasakannya, sampai pada akhirnya ia menemukan inti nilai dan berjumpa dengan Allah dalam pengalaman-pengalaman hidup. Sementara Sayyidina Umar bin Khattab adalah manusia revolusioner-radikal. Ia tidak menemukan Allah melalui cara yang kultural. Kesadaran nilai akan Allah merasuk dalam diri Sayyidina Umar melalui metodologi yang radikal dan revolusioner.

Sedangkan Sayyidina Utsman bin Affan adalah manusia mizan. Ia menimbang-nimbang, meletakkan dunia di tangan kirinya dan akhirat di tangan kanannya. Ia berpedoman kepada Allah dengan segala perintah dan larangan-Nya. Ia melakukan kalkulasi, sampai akhirnya ia menemukan titik adil, dan ia menemukan disitulah Allah berada. Sedang Sayyidina Ali bin Abi Thalib manusia spiritual. Ia tak perlu pendekatan kultural, ia tidak bersikap radikal dan juga tidak perlu menimbang-nimbang. Melihat apapun saja, Sayyidinia Ali menemukan Allah disitu.

Syahadat itu persaksian kepada Allah yang nothing compare to Him. Bahasa Jawanya tan kinoyo ngopo. Dijelaskan dalam Surat Al-Ikhlas, wa lam yakun lahu kufuwan ahad, tidak ada satupun yang sanggup menyerupai-Nya. Dia tidak seperti siapapun, tidak seperti apapun dan tidak seperti bagaimanapun. Jadi, semua konsep manusia mengenai Tuhan itu tidak benar. Maka, yang dihadirkan oleh Tuhan bukanlah diri-Nya, melainkan sifat-sifat-Nya dan perilaku-Nya.

Cak Nun menjelaskan, ketika melafazkan Laa ilaaha illallah Muhammadurrasulullah, kita tidak melakukan pendekatan empirik, karena kita tidak merasakan sifat-sifat Allah. Berbeda saat mengucapkan Laa ilaaha illarrohman Muhammadurrasulullah, atau Laa ilaaha illarrohiim Muhammadurrasulullah, dimana kita memasuki sifat rahman dan rahim-nya Allah. “Maka kesaksian boleh anda ucapkan dengan sifat-sifat Allah yang detail itu, sehingga anda dapat merasakan perjumpaan dengan-Nya.” Hal itu dijelaskan Cak Nun karena kecenderungan kebanyakan manusia adalah manusia Abu Bakar, Umar dan Utsman, “Kecuali anda manusia Ali bin Abi Thalib, yang tanpa harus ribet untuk berjumpa dengan Allah.”

Cak Nun lantas meminta Ust. Noorshofa untuk melantunkan tahlil dengan menyisipkan sifat-sifat Allah. Laa ilaaha illarrohman muhammadurrasulullah, Laa ilaaha illarrohiim muhammadurrasulullah, Laa ilaaha illa-malikil quddus muhammadurrasulullah.

“Percayalah pada kasih sayang Allah. Cinta itu tak bisa diregulasi, cinta tidak bisa dihitung.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

LIPATAN-LIPATAN KEMUNGKINAN

Menjelang tengah malam, forum makin menghangat. Cak Nun, Syekh Nursamad Kamba, Ust. Noorshofa dan para penggiat masih terus menemani, belajar bersama, sinau bareng.

“Saya ingin mengajak anda menyadari bahwa manusia itu sebenarnya tidak bisa apa-apa,” Cak Nun melanjutkan. Manusia memang tak pantas menyombongkan diri, manusia hanya dipinjami hak oleh Allah untuk memiliki atau hanya melakukan sesuatu. Innallaha laa yughoyyiru maa bi qoumin hatta yughoyyiru maa bi anfusihim. Cak Nun lantas mengelaborasi Surat Ar-Ra’du ayat 11, dimana letak perubahan yang primer hanyalah Allah saja yang bisa melakukannya.

“Saya ingatkan anda. Anda tidak bisa melawan Qadla dan Qadar. Anda tidak bisa melawan nasibmu, anda tidak bisa melawan ketentuan Allah kepadamu,” kembali Cak Nun menyampaikan ketetapan Allah atas manusia. Di tengah derasnya gempuran hinaan terhadap Islam, satu hal yang tidak seorang pun bisa menghindarinya, yaitu Qadla dan Qadar. Hinaan pada Islam begitu beragam, namun hal itu tak sedikit pun mengubah Islam. Islam tetaplah Islam.

Pada metode pengucapan kalimat tahlil yang menyertakan sifat-sifat Allah sebelumnya, Cak Nun menerangkan bahwa dengan itu kita mengusahakan diri untuk menjadi bagian dari Allah. Saat kita ucapkan Laa ilaaha illarrohman muhammadurrasulullah, maka sifat penyayang-Nya Allah yang kita resonansikan ke dalam diri kita. Kita meletakkan Allah dalam diri kita, bukan di luar diri kita.

“Saya menerapkan dalam hidup. Saya tidak melakukan semua perebutan di kebun dunia. Saya stand by kepada Allah. Pokoknya saya mengabdi sama Allah. Saya disuruh makan, saya makan. Saya disuruh tidak makan, saya tidak makan. Saya tidak masalah, karena kalau Allah yang menyuruh saya, surga dan neraka menjadi tidak penting,” Cak Nun melanjutkan, “Anda masuk surga pun, anda tidak akan bisa memahami surga dengan teori yang anda pahami sekarang.”

Cak Nun lantas mengajak jamaah melakukan simulasi, seandainya masuk surga, namun orang yang kita cintai justru ada di neraka, apakah kita tega? Seperti yang dialami oleh Nabi Nuh AS, saat istri dan anaknya kafir. Apakah kita tega melihat orang yang kita cintai ada di neraka? Atau sebaliknya, bisa jadi orang yang sangat kita benci, malah menjadi tetangga kita di surga. Siapkah kita dengan kemungkinan-kemungkinan itu? Allah sendiri mengungkapkan, hidup ini ada banyak lipatan-lipatan yang logikanya sering kita salah sangka. ‘Asaa an tukrihu syaian wa huwa khoirun lakum, wa ‘asaa an tuhibbu syaian wa huwa syarrun lakum.

“Percayalah pada kasih sayang Allah. Cinta itu tak bisa diregulasi, cinta tidak bisa dihitung,” tutur Cak Nun menjelaskan bahwa cinta itu bersifat ruhani, tidak ada regulasi ditambahi atau dikurangi kemudian mempengaruhi kadar cinta. Suami yang mencintai istri sepenuhnya, ia juga mencintai anaknya, bukan 50 persen ditambah 50 persen, tapi keduanya 100 persen. Semakin ia mencintai anaknya, maka semakin ia mencintai istrinya. Seorang guru tidak akan berkurang ilmunya setelah ia mengajarkan ilmu kepada anak didiknya, justru semakin bertambah pengetahuannya. Itulah ruhani.

Cak Nun lantas menyampaikan informasi, bahwa pada 27-28 Mei 2018 akan digelar PadhangmBulan yang bertajuk Menyorong Rembulan. Pada 27 Mei 2018, beberapa perwakilan dari Simpul Maiyah akan berkumpul bersama Sabrang. Kemudian pada tanggal 28 Mei, PadhangmBulan bersama Cak Nun, KiaiKanjeng, Letto dan Teater Perdikan yang akan menampilkan sebuah karya Pak Tertib Suharno dengan judul Kelahiran.

”Letakkan nafsu pada tempatnya. Tidak boleh anda bersujud kepada nafsu, justru nafsu yang harus bersujud kepada anda. Api jika ditaklukan akan menjadi cahaya.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

Beragam karya musik telah dilahirkan oleh Cak Nun dan Kiai Kanjeng, banyak diantaranya yang mengambil khasanah-khasanah daerah, kemudian diransemen ulang. Salah satunya adalah Sluku-sluku Bathok, sebuah tembang anak-anak berbahasa Jawa, yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah. Malam itu Cak Nun mengelaborasi tentang liriknya.

Sluku-sluku bathok, bathok’e ela-elo, siromo menyang solo, oleh-olehe payung Mutho. Pak jenthit lolo lo bah, yen mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip ayo golek apik.

Kata apik aslinya adalah duit, Cak Nun dalam lagu Kiai Kanjeng diubah menjadi kata “apik”. Malam itu, Cak Nun menafsirkan lagu Sluku-sluku Bathok yang lebih merefleksikan pada cara bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah salat.

Manusia secara fitrah dipenuhi nafsu. Maka, ketika salat berdiri, memperlambangkan nafsu yang ada dalam dirinya. Ketika takbiratul ihram, gerakan tangan takbir merupakan perlambang menyingkirkan dunia sejenak, karena ia sedang menghadap Allah. Ketika rukuk, itulah simbol ketika nafsu ditaklukan. Nafsu dalam diri manusia itu bukan dihilangkan, melainkan ditaklukan, sehingga dapat dikelola, kemudian difungsikan pada wilayah yang tepat.

Saat sujud, bukan hanya menekuk-nekuk bagian tubuh kemudian bersujud, melainkan juga melipat psikologis dan struktur mental diri. Saat sedang sujud, posisi wajah ada pada titik terbawah, bahkan lebih rendah dari posisi pantat. “Jadi, anda harus meletakkan nafsu pada tempatnya. Tidak boleh anda bersujud kepada nafsu, justru nafsu yang harus bersujud kepada anda. Api jika ditaklukan akan menjadi cahaya,” tutur Cak Nun.

Dari lagu Sluku-sluku Bathok, Cak Nun mengajak jamaah untuk terus obah, terus bergerak, terus kreatif, terus inovatif, berkembang pikirannya. Selama manusia masih hidup, akal dan pikirannya harus terus didayagunakan, terus dikreasikan. Bentuk pemikiran manusia hanyalah pendapat, opini, bukan kebenaran. Maka di Maiyah siapa saja berhak berbicara, siapa saja berhak menyampaikan pendapat, siapa saja berhak untuk menyampaikan gagasan.

Sesaat kemudian, kelompok musik Pandan Nanas tampil melantunkan beberapa lagu. Jamaah pun diberi kesempatan untuk rehat setelah sekitar 2 jam diajak untuk olah pikir. Beberapa jamaah tampak memanfaatkan jeda untuk ke toilet, ada juga yang membeli kopi dan kudapan ringan seperti kacang rebus dan bakpao yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima di area Taman Ismail Marzuki.

Setelah musik, Bu Yuni, perwakilan guru-guru swasta, dipersilakan menyampaikan pendapat. Bu Yuni malam itu menyampaikan keluh kesahnya. Perlakuan tidak adil dari pemerintah ia rasakan bersama teman-teman sejawatnya. Mereka menuntut agar Pemerintah segera mengangkat mereka menjadi PNS. Mereka ingin merasakan kehidupan dan kesejahteraan yang layak. Bu Yuni berpendapat bahwa yang dilakukan oleh guru-guru dalam rangka memberi pendidikan kepada anak-anak bangsa yang kelak kemudian akan menjadi generasi penerus.

Cak Nun mengajak jamaah berdoa agar persoalan Bu Yuni dan teman-temannya segera terselesaikan. Kenduri Cinta tidak bisa membantu apa-apa, Maiyah tidak mampu melakukan apa-apa untuk menyelesaikannya. Cak Nun bukan siapa-siapa, apalagi seorang yang mampu mengubah kebijakan pemerintah sehingga mampu mengakomodir tuntutan Bu Yuni. “Saya ini tidak berhasil menjadi apa-apa dan tidak punya apa-apa, kalau diukur menurut teori negara dan dunia hari ini. Saya berjuang dengan tidak membayangkan keberhasilan, saya berjuang karena saya menikmati perjuangan, mati-hidup Allah yang akan menolong saya,” ungkap Cak Nun.

”Hidup di dunia bukan soal kalah atau menang. Bukan soal hebat atau tidak, bukan makmur atau tidak. Hidup di dunia ini adalah apakah kamu bertahan bergantung kepada Allah dalam keadaan apa pun saja.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

BERLOMBA DALAM KEBAIKAN

Memasuki dini hari, forum masih menghangat. beberapa jamaah diberi ruang menyampaikan pendapat-pendapatnya. Seorang jamaah mengusulkan untuk dilakukan maiyahan di gedung DPR, ia berharap para wakil rakyat mendapat pendaran ilmu yang sama seperti yang ia dapat di maiyahan. Ia juga mengusulkan bagaimana jika jamaah juga menebarkan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan Cak Nun dalam bentuk forum-forum maiyahan pada lingkup kecil.

Cak Nun langsung memberi respon, secara substansi maiyahan bukan hal yang direncanakan. Maiyah merupakan anugerah dari Allah, segala sesuatu di Maiyah merupakan hidayah dari Allah. Jamaah yang berdatangan ke maiyahan merupakan petunjuk dari Allah, bukan Cak Nun yang merencanakan. Maka, maiyahan di Gedung DPR secara teknis bisa dilaksanakan, namun Cak Nun belum melihat mereka akan mampu menyerap sebagaimana jamaah Maiyah.

Berbicara penyebaran cinta dan kasih sayang, per hari ini sudah ada 59 titik simpul Maiyah dengan segala macam bentuk otentisitasnya, dengan berbagai keunikannya. Forum-forum itu telah tersebar di berbagai daerah. Mereka inilah yang kini aktif menyebarkan serbuk-serbuk cinta dan kasih sayang dari nilai-nilai Maiyah.

Merespon pertanyaan tentang bagaimana memposisikan kebenaran, Cak Nun mengingatkan bahwa kebenaran itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Maka dalam Alquran, ayatnya adalah fastabiqul khoirot. Dan tidak ada ayat fastabiqul haq. Kebenaran adalah input, sementara kebaikan adalah output. Sebenar apapun, jika kemudian hanya menciptakan keburukan, maka lebih baik tidak diungkapkan. Mari kita kurangi perdebatan tentang kebenaran.

“Hidup di dunia ini bukan soal kamu kalah atau menang. Bukan soal negaramu hebat atau tidak, bukan masyarakatmu makmur atau tidak. HIdup di dunia ini adalah apakah kamu bertahan bergantung kepada Allah dalam keadaan apa pun saja,” tutur Cak Nun.

Cak Nun juga menceritakan kisah Nabi Musa AS. Ia tidak diperintahkan oleh Allah untuk memperbaiki keadaan negeri Mesir, memperbaiki kondisi ekonominya, memperbaiki pemerintahannya dan sebagainya. Tidak. Allah hanya memerintahkan Nabi Musa untuk memberi peringatan kepada Fir’aun agar tidak menuhankan dirinya.

Maiyah, dengan perjalanannya selama 24 tahun, berposisi sama. Maiyah bukan karangan manusia. Tidak seorang pun di Maiyah berani merancang, memastikan maiyahan akan dihadiri ribuan orang, mampu membuat orang-orang bertahan sekian jam lamanya. Kesemuanya merupakan anugerah Allah yang diberikan pada kita. Pijakan kita di Maiyah adalah Wa ilaa robbika farghob.

Merespons dua pertanyaan terakhir, Cak Nun menyampaikan sebuah pesan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Jangan pernah menyia-nyiakan waktu untuk membuktikan kebaikanmu kepada orang yang membencimu karena mereka tidak akan pernah mau mengakuimu. Tetapi juga kamu tidak perlu menunjukkan kebaikanmu kepada orang yang mencintaimu karena dia sudah mencintaimu dan mengetahui siapa dirimu.”

Yang dimaksud bukan lantas tidak melakukan apa-apa, tetapi menekuni apa yang sudah dilakukan, memperjuangkan agar kebaikan terus tumbuh. Karena ada pohon yang tumbuh dengan cepat seperti pohon jagung, tetapi juga ada pohon yang pertumbuhannya memerlukan waktu yang lama, seperti pohon jati.

Cak Nun berkisah, ketika muda, ia sangat kreatif, produktif membuat karya-karya kesenian. Berbagai karya sastra dibuatnya, dari puisi, syair, esai, skenario teater, cerpen dan sebagainya. Namun, selama 30 tahun lebih, Cak Nun tetap tidak diakui sebagai seorang seniman oleh para seniman lainnya. Hal itu tak membuat Cak Nun tumpul dalam berkarya. Ia tidak mengambil pusing dan tetap produktif, ia terus menyibukkan diri dengan karya-karya sarat kreativitas.

”Indonesia ini kalau mau selamat ya sinau bareng. Sebagaimana Maiyah lakukan dimana-mana.
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mei, 2018)

Waktu mulai menginjak dini hari. Cak Nun memanfaatkan waktu-waktu akhir acara untuk kembali mengingatkan bahwa orang yang diberi anugerah kebenaran oleh Allah harus belajar kebaikan dan keindahan. Berbeda dengan orang yang diber kebaikan, ia harus belajar kebenaran dan keindahan. Dan orang yang diberi anugerah keindahan, ia harus belajar tentang kebaikan dengan bahan-bahan kebenaran yang ia miliki. Kebenaran, kebaikan dan keindahan harus berdialektika satu sama lain.

Menjawab tentang pemahaman sakmadyo, Cak Nun menjelaskan bahwa sakmadyo itu bermakna sederhana, bahasa Arabnya khoiru umuuri awsatuhaa, sebaik-baik segala sesuatu itu adalah pada titik tengahnya. Seperlunya, sekadarnya. “Bahagia, jangan terlalu bahagia. Sedih, jangan terlalu sedih. Anda harus tahu takaran, jangan kebanyakan juga jangan kurang. Kepekaan sehari-hari untuk bersikap pada tengah-tengah.”

Sama halnya dengan diri manusia, tidak ada manusia radikal saja, atau moderat saja. Radika dan moderat ada pada setiap diri, yang diperlukan adalah mengelola kapan harus radikal dan kapan harus moderat. “Radikalitas ada dalam diri kita, liberalitas ada dalam diri kita, moderasi juga ada dalam diri kita. Jadi kita sakmadyo mengekspresikan diri kita pada konteks dan nuansa yang tepat. Ketepatan nuansa itu sakmadyo,” Cak Nun menambahkan.

Menyikapi kejadian teror belakangan, Cak Nun berpesan kepada jamaah untuk menahan diri tidak berdebat tentang informasi yang belum diketahui pasti. Membunuh orang, mengambil nyawa orang, juga mengambil nyawa diri kita sendiri alias bunuh diri adalah perbuatan yang salah, sebab itu hak Allah. Namun, sebab di balik itu kita sama sekali tidak mengetahuinya pasti, kecuali memang ada yang serius riset tentang teror dan seluk beluknya. Lebih baik sinau bareng. “Indonesia ini kalau mau selamat ya sinau bareng. Sebagaimana Maiyah lakukan dimana-mana,” pungkas Cak Nun.

Sebelum ditutup, grup musik dangdut melayu asal Tanah Abang, Balte Irama, menyuguhkan musik-musik khas melayu yang asyik. Cak Nun lantas mengajak jamaah berdiri dan berdoa bersama. Menjelang pukul 3 dinihari, Kenduri Cinta edisi Mei 2018 dipuncaki. Suasana Ramadan tahun ini menjadi lebih berkesan bagi jamaah Kenduri Cinta, karena selama bulan Ramadan tahun ini, Kenduri Cinta akan dilaksanakan dua kali. Bulan depan, bersamaan dengan ulang tahun ke-18, Kenduri Cinta akan dilaksanakan tepat seminggu sebelum Idul Fitri.